Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel, dan merupakan respon inflamasi yang abnormal akibat partikel atau gas yang beracun terutama akibat asap rokok (GOLD, 2011) Timbulnya eksaserbasi pada PPOK biasanya dicetuskan oleh adanya infeksi atau polusi udara dengan gejala klinis sesak nafas, batuk, peningkatan produksi sputum dan perubahan warna sputum (GOLD, 2011). Eksaserbasi ini menurunkan kualitas hidup dan mengindikasikan prognosis yang lebih buruk. Penelitian retrospektif pasien PPOK di United Kingdom terdapat 14% pasien PPOK dengan eksaserbasi meninggal dalam waktu 3 bulan [National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), 2004]. Peningkatan angka prevalensi dan morbiditas PPOK terutama didapatkan di negara industri. World Health Organization memperkirakan pada tahun 2020 PPOK akan meningkat dan menempati urutan ke-5 dari 12 penyakit tersering di dunia dan urutan ke – 3 dari 6 penyebab kematian yang tersering. Alasan peningkatan yang dramatis dari PPOK sebagai penyebab kematian yang lebih sering dibanding penyakit kardiovaskular di negara industri dan penyakit infeksi di negara berkembang dikarenakan meningkatnya jumlah perokok dan polusi lingkungan (Barnes, 2000). Tahun 2004, sekitar 34,5% penduduk Indonesia merokok dan 28,4% diantaranya merokok tiap hari (Pradoyo et al., 2005).
1
2
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM dan PL) di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkiale (33%), kanker paru (30%), dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004). Menurut GOLD (2011), PPOK dapat diklasifikasikan menjadi derajat penyakit ringan; FEV1 ≥80, sedang; FEV1 50-79, berat; FEV1 30-49 dan sangat berat; FEV1 <30, dengan menggunakan spirometri. Forced vital capacity (FVC) yaitu volume maksimal udara yang dapat diekspirasikan secara paksa. Forced expiratory volume in one second (FEV1) yaitu volume udara yang diekspirasikan secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi minimal. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan fungsi paru untuk mengekspirasikan udara. Rasio FEV1 terhadap FVC (FEV1/FVC) secara klinis dapat menentukan derajat obstruksi ringan. Sedangkan pengukuran FEV1 saja dapat menentukan derajat obstruksi sedang, berat dan sangat berat (GOLD, 2011; Abiyoso, 2002). Pengkajian pasien PPOK adalah dengan melakukan penetapkan derajat keparahan dari penyakitnya, dampaknya pada status kesehatan pasien dan resiko eksaserbasi di masa datang, dan penentuan
kelompok terapi.
GOLD
merekomendasikan penggunaan kuisioner Modified British Medical Research Council (mMRC) atau COPD Assesment Test (CAT) (GOLD, 2011).
CAT
didesain untuk mengukur dampak dari PPOK pada kehidupan pasien PPOK, dan bagaimana perubahannya seiring dengan berjalannya waktu. CAT sangat mudah
3
digunakan, dan menolong klinisi untuk membuat pasiennya lebih baik (http://www.catestonline.org, 2012).
CAT direkomendasikan untuk menilai
gejala, skor ≥ 10 menunjukkan gangguan status kesehatan yang signifikan (GOLD, 2011). Terapi pada PPOK antara lain bronkodilator yaitu golongan β2 agonis, antikolinergik dan methilxantin. Pemilihan golongan bronkodilator tersebut tergantung dari kemampuan obat yang disesuaikan dengan respon pasien. Bronkodilator ini dapat meningkatkan kapasitas exercise dan memperbaiki fungsi paru, tetapi tanpa disertai adanya peningkatan FEV1 yang signifikan. Terapi glukokortikosteroid inhalasi jangka panjang tidak dapat meningkatkan FEV1, tetapi pada PPOK derajat berat dan sangat berat dengan FEV1 kurang dari 50% dapat memperbaiki keluhan klinis, demikian juga pada kondisi eksaserbasi. Pemberian terapi mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) seperti ambroxol, erdosteine, carbocysteine, iodinated glycerol juga dapat diberikan pada pasien PPOK stabil maupun dengan eksaserbasi. Terapi antibiotik diberikan pada PPOK eksaserbasi dengan gejala yang infeksius (GOLD, 2011). Erdosteine
merupakan
agen
mukolitik
yang
digunakan
sebagai
ekspektoran pada terapi simptomatik pada keadaan stabil atau eksaserbasi akut pada bronkitis kronik. Obat ini dimetabolisme di hepar menjadi bentuk aktif dan memiliki aktivitas menghambat pembentukan glycoprotein disulphide bridges sehingga menurunkan viskositas sputum dan menghambat adhesi bakteri pada sel epitel bukal serta memiliki efek sebagai antioksidan (Dechant et al., 1996).
4
Berbagai macam derajat inflamasi pada PPOK dapat terjadi pada saluran nafas kecil dan besar sampai ke alveoli, menyebabkan hipersekresi mukus, penyempitan saluran nafas dan destruksi alveolar. Kondisi ini memberat pada eksaserbasi (Noguera, 2001). Pemberian erdosteine dapat memperbaiki keadaan ini oleh karena efeknya sebagai mukolitik, antibakteri, antioksidan dan antiinflamasi (Moretti, et al., 2007). Pertanyaan Penelitian Apakah pemberian erdosteine 2 x 300 mg selama 10 hari pada pasien PPOK stabil dapat memperbaiki derajat obstruksi yaitu meningkatkan FEV1 lebih besar daripada plasebo? Apakah pemberian erdosteine 2 x 300 mg selama 10 hari pada pasien PPOK stabil dapat memperbaiki derajat obstruksi yaitu menurunkan skor CAT lebih besar daripada plasebo? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian erdosteine 300 mg 2 kali sehari selama 10 hari terhadap perbaikan derajat obstruksi dengan melihat peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT pada pasien PPOK stabil dibanding dengan plasebo. Manfaat Penelitian Bagi
peneliti
dapat
mengetahui
perbedaan
pengobatan
dengan
penambahan erdosteine pada terapi standar pada PPOK stabil, yang memiliki aktivitas mukolitik, antibakteri, antioksidan dan antiinflamasi dibandingkan
5
dengan hanya
terapi
standar saja
yaitu
pemberian bronkodilator dan
kortikosteroid. Bagi pasien dapat memperoleh perbaikan karena penyakit PPOK berupa perbaikan derajat obstruksi dengan melihat peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT. Bagi ilmu pengetahuan dapat menambah bukti manfaat pengobatan erdosteine yang dapat memperbaiki derajat obstruksi dengan meningkatkan FEV1 dan penurunan skor CAT pada PPOK stabil. Keaslian Penelitian Dal Negro et al., (2007) meneliti pengaruh pemberian erdosteine dan acetylcysteine pada pasien PPOK derajat ringan dan sedang yang mendapat salbutamol terhadap FEV1, kadar reactive oxygen species (ROS) dan 8isoprostane. Penelitian dilakukan secara double blind, randomized, pada 30 subyek penderita PPOK derajat ringan dan sedang. Selama 10 hari pengobatan didapatkan peningkatan FEV1 pada kelompok yang mendapat erdosteine dan salbutamol (1,694±0,017 menjadi 1,925±0,158 L, p<0.05) dan pada kelompok yang mendapat acetylcysteine dan salbutamol tidak mengalami perubahan FEV1 (1,312±0,021 menjadi 1,200±0,058 L, p<0,05). Penurunan kadar 8-isoprostane signifikan pada kelompok erdosteine dibanding kelompok acetylcysteine setelah 10 hari terapi (p<0,001). Cazzola et al., (2009) meneliti efikasi erdosteine pada pasien PPOK stabil dan eksaserbasi dalam suatu studi meta analisis yang melibatkan 15 randomized controlled trial (RCT) dengan 1046 data individu. Peneliti menilai skor gejala
6
(frekuensi batuk dan intensitas, viskositas sputum dan purulensi, kesulitan untuk mengeluarkan dahak, ronki yang terdengar saat auskultasi, sesak), yang dinilai dengan Global Efficacy Index (GEI) dan overall physician efficacy assessment (OA). Erdosteine secara signifikan menurunkan GEI dibanding dengan pembanding (plasebo atau mukolitik lain) (-1.02; 95% CI: dari - 1.60 sampai 0.44; p = 0.0006). Yunus et al., (2007) meneliti peran erdosteine dalam mengurangi kebutuhan akan bronkodilator selama episode eksaserbasi akut pada pasien PPOK. Uji klinik dilakukan dengan desain acak, tersamar ganda dan terkontrol dengan plasebo. Parameter efikasi primer yang digunakan adalah frekuensi penggunaan bronkodilator per hari, yang dievaluasi pada hari ke-8 pengobatan. Parameter efikasi sekunder yang diukur adalah perbaikan gejala klinis (termasuk viskositas dan purulensi sputum) dan GEI. Kelompok erdosteine secara bermakna membutuhkan lebih sedikit bronkodilator dibandingkan dengan kelompok plasebo, p<0,001. Kelompok erdosteine menunjukkan perbaikan klinis yang lebih tinggi (61,9%) pada akhir studi dibandingkan dengan kelompok plasebo (46,7%), dengan perbaikan purulensi dan viskositas sputum yang sedikit lebih baik pada kelompok erdosteine. Namun demikian, perbaikan parameter sekunder tersebut belum menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok. Sepengetahuan penulis penelitian mengenai hasil guna erdosteine dibandingkan plasebo dalam memperbaiki derajat obstruksi dengan melihat
7
peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT pasien PPOK stabil belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian yang kami lakukan berbeda dengan penelitian – penelitian sebelumnya yaitu dilakukan pada populasi PPOK stabil dan untuk melihat pengaruh pemberian erdosteine ditambah terapi standar terhadap terapi standar saja dalam perbaikan derajat obstruksi dengan melihat peningkatan FEV1 dan penurunan skor CAT. Tabel 1. Tabel Keaslian Penelitian Peneliti Judul Metodologi Dal Negro et al., (2007)
pemberian erdosteine dan acetylcysteine pada pasien PPOK derajat ringan dan sedang yang mendapat salbutamol terhadap FEV1, kadar reactive oxygen species (ROS) dan 8-isoprostane
double blind, randomized, pada 30 subyek penderita PPOK derajat ringan dan sedang, selama 10 hari pengobatan
Cazzola et al., (2009)
efikasi erdosteine pada pasien PPOK stabil dan eksaserbasi dengan Global Efficacy Index (GEI) dan overall physician efficacy assessment (OA)
meta analisis yang melibatkan 15 randomized controlled trial (RCT) dengan 1046 data individu.
Hasil peningkatan FEV1 pada kelompok erdosteine dan salbutamol (1,694±0,017 1,925±0,158 L, p<0.05) dan pada kelompok acetylcysteine dan salbutamol tidak mengalami perubahan FEV1 (1,312±0,021 1,200±0,058 L, p<0,05). Erdosteine secara signifikan menurunkan GEI dibanding dengan pembanding (placebo atau mukolitik lain) (1.02; 95% CI: dari 1.60 sampai - 0.44; p = 0.0006).