BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran pernafasan obstruktif intermitten, reversible dimana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimulus tertentu. Manifestasi asma berupa penyempitan jalan nafas yang mengakibatkan dispnea, batuk, dan mengi (Smelzer, 2001). Global Initiative for Asthma (2010) menyatakan bahwa asma merupakan masalah kesehatan global. Penduduk dari segala macam usia dapat terkena penyakit saluran pernafasan ini. Ketika tidak terkontrol, akan menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari dan terkadang fatal akibatnya. Asma merupakan beban berat tidak hanya pada masalah pembiayaan tetapi juga dapat menyebabkan kehilangan produktivitas dan menurunnya partisipasi dalam kehidupan keluarga. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, akan terjadi peningkatan prevalensi di masa mendatang serta akan mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien. Menurut Beasley (2004) sekitar 300 juta orang saat ini menderita asma. Departemen kesehatan menyatakan bahwa asma termasuk dalam 10 besar penyebab kematian dan kesakitan di rumah sakit. Asma tidak terkontrol pada dewasa menempati urutan teratas pada penelitian Rahayu (2012) yaitu sebesar 52% kemudian diikuti oleh pasien usia lanjut yakni sebesar 21%, dan pasien usia remaja sebesar 2%. Asma
1
2
terkontrol juga paling banyak dimiliki oleh pasien dewasa yakni sebesar 17%, kemudian remaja sebesar 7%, dan usia lanjut 1%. Berdasarkan hasil penelitian Sullivan et al., (2011) didapatkan bahwa sebanyak 2.003 dari 47.033 dewasa menderita asma di Amerika Serikat. Orang dewasa dengan asma menghabiskan lebih dari 1,4 hari waktunya untuk istirahat dan mengalami
keterbatasan aktivitas atau tidak dapat
bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah, ataupun pergi ke sekolah. Kontribusi terbesar penggunaan layanan kesehatan pada dewasa adalah penggunaan obat, diikuti oleh hospitalisasi dan pelayanan kesehatan di rumah. Asma adalah penyakit jangka panjang yang tidak bisa disembuhkan. Adapun tujuan terapi asma adalah mengontrol penyakit (National Heart Lung and Blood Institute, 2011), mencapai dan mempertahankan kontrol gejala (Global Initiative for Asthma, 2010). Mengontrol asma dapat meningkatkan kualitas hidup. Semakin buruk kontrol asma semakin sering kunjungan ke rumah sakit, gawat darurat, rawat inap, dan penurunan kualitas hidup (Vollmer et al., 1999). Berdasarkan hasil penelitian Rhee et al., (2011) didapatkan bahwa remaja dengan kontrol asma yang tidak akurat ternyata mempunyai angka hospitalisasi, kunjungan ke unit gawat darurat, dan absen dari sekolah yang cukup tinggi. Pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan oleh pasien asma pada remaja antara lain sekitar 10% pasien dirawat di rumah sakit karena kekambuhan asma, 14% mengunjungi unit gawat darurat sekurang-kurangya satu kali, 22% pasien mendatangi spesialis asma, 32% berkunjung penyedia pelayanan kesehatan untuk mengatasi asma yang memburuk, 45% menjadwalkan kunjungan ke penyedia pelayanan kesehatan untuk mengecek asma
3
secara rutin, 33% mengunjungi klinik sekolah, lebih dari 25% remaja tidak masuk sekolah akibat asma. Hal ini membuktikan bahwa kontrol asma sangat penting untuk dilakukan bagi setiap penderita asma baik anak, remaja maupun dewasa Kontrol asma bergantung pada dua hal penting yaitu mendapatkan pelayanan medis dan mempunyai keterampilan manajemen asma yang baik (Asthma Lung Association, 2011). Kunci penting dalam manajemen diri sendiri pada asma adalah pengetahuan tentang asma (Carson et al., 1991). Pasien dari segala usia dengan pengetahuan tentang asma yang lebih memiliki manajemen asma yang lebih tepat dibandingkan mereka dengan pengetahuan tentang asma yang kurang (Abdulwadud et al., 2001). Memiliki pengetahuan yang tepat adalah langkah pertama menuju manajemen penyakit yang lebih baik (Mo-Kyung et al., 2004). Pada studi pendahuluan yang dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta peneliti mendapatkan fenomena kunjungan berulang pada pasien. Satu pasien asma dewasa saja bisa mencapai dua hingga tiga kali kunjungan dalam satu bulan. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol asma pasien memang masih rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kontrol asma adalah pengetahuan tentang penyakit asma. Berdasar fenomena dan teori tersebut diatas peneliti ingin mengetahui bagaimana hubungan pengetahuan tentang asma terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah “Bagaimana hubungan pengetahuan tentang asma terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara pengetahuan tentang asma terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengetahuan tentang asma pada pasien asma di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. b. Mengetahui pemanfaatan pelayanan kesehatan pada pasien asma di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Institusi pendidikan Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber data untuk penelitian selanjutnya.
5
2. Perawat Diharapkan dapat memberikan informasi kepada perawat mengenai hubungan pengetahuan tentang asma terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan sehingga dapat membantu dalam penatalaksanaan pengelolaan asma di rumah sakit. 3. Institusi Rumah Sakit Diharapkan dapat memberikan informasi dan digunakan sebagai dasar untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pada pasien asma. 4. Pasien Diharapkan setelah mengetahui tingkat pengetahuan tentang asma pada diri sendiri, pasien akan terus meningkatkan dan mepertahankan pengetahuan asma yang dimiliki untuk mencapai manajemen asma yang lebih baik. E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul hubungan pengetahuan tentang asma terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan belum pernah diteliti sebelumnya akan tetapi terdapat beberapa penelitian serupa yaitu: 1.
Ediworo (2009). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Umum Asma dengan Tingkat Kontrol Asma Pasien di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi tingkat kontrol asma tidak terkontrol pada pasien asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Alat ukur yang digunakan adalah Asthma Control Test. Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang (cross
6
sectional). Hasil dari penelitian ini adalah prevalensi asma tidak terkontrol pada pasien asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan yang diukur dengan Asthma Control Test adalah sebesar 75,7%. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan umum asma dengan tingkat kontrol asma (p > 0,05) pasien Poliklinik Asma Rumah Sakit Persahabatan. Perbedaan penelitian Ediworo (2009) dengan penelitian ini adalah pada variabel penelitian. Variabel terikat pada penelitian Ediworo (2009) adalah tingkat kontrol asma, sedangkan pada penelitian ini adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan. Persamaan penelitian Ediworo (2009) dengan penelitian ini adalah desain penelitian yang digunakan yakni menggunakan desain cross sectional dan penggunaan alat ukur Asthma Genereal Knowledge Questionnaire (AGKQ). 2.
Rhee (2011). Adolescents’ Perception of Asthma Symptomps and Health Care Utilization. Metode penelitian yang digunakan adalah studi eksplorasi dengan rancangan cross-sectional. Adapun subyek pada penelitian ini adalah remaja berusia antara 13-20 tahun yang terdaftar jika mereka memiliki gejala yang konsisten dengan asma persisten sebagaimana ditentukan oleh EPR3 atau melaporkan penggunaan obat pencegahan asma. Sampel penelitian berjumlah 126 orang yang diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasar Asthma Control Questionnaire yaitu inaccurate symptom perception (IG) sebanyak 39 orang, well-controlled accurate symptom perception (WCA) sebanyak 78 orang, dan poorly controlled accurate symptom perception (PCA) sebanyak 9 orang.
7
Ketiga kelompok ini dibandingkan dengan melihat bagaimana pemanfaatan pelayanan kesehatan, kunjungan gawat darurat, hospitalisasi, dan absen dari sekolah maupun kerja selama 3 bulan terakhir. Alat ukur yang digunakan adalah Asthma Control Questionnaire untuk mengukur persepsi kontrol asma. Sedangkan alat ukur untuk pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan menggunakan kuisioner yang didalam nya berisi informasi mengenai penggunaan pelayanan kesehatan dan absensi dari sekolah. Hasil dari penelitian ini adalah pada kelompok remaja inaccurate symptom perception (IG) lebih sering mempunyai riwayat hospitalisasi, kunjungan ke gawat darurat, dan absen dari sekolah dibandingkan dengan kelompok remaja well-controlled accurate symptom perception (WCA). Adapun pemanfaatan pelayanan kesehatan yang digunakan pasien antara lain sekitar 10% pasien dirawat di rumah sakit karena kekambuhan asma, 14% mengunjungi unit gawat darurat sekurang-kurangya satu kali, 22% pasien mendatangi spesialis asma, 32% berkunjung ke primary care provider (PCP) untuk mengatasi asma yang memburuk, 45% menjadwalkan kunjungan PCP untuk mengecek pasien asma secara rutin, 33% mengunjungi klinik sekolah, lebih dari 25% remaja tidak masuk sekolah akibat asma. Perbedaan dengan penelitian kali ini variabel bebas yang digunakan pengetahuan tentang asma, sedangkan pada penelitian Rhee (2011) adalah akurasi persepsi gejala asma. Persamaan penelitian ini adalah sama-sama
8
menggunakan rancangan cross-sectional dan variabel terikat adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan. 3.
Katerine (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Asma dengan Tingkat Kontrol Asma. Tujuan penelitian mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang asma dengan tingkat kontrol asma. Alat ukur yang digunakan Asthma Control Test (ACT) dan Asthma General Knowledge Questionnaire (AGKQ). Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan metode cross-sectional. Penentuan sampel menggunakan metode consecutive sampling. Adapun jumlah subyek penelitian sebanyak 65 orang. Hasil penelitan menunjukkan 19 orang memiliki asma tidak terkontrol memiliki pengetahuan tentang asma yang rendah, 1 orang dengan asma terkontrol sebagian dengan tingkat pengetahuan yang rendah, dan 1 orang pasien asma terkontrol total memiliki pengetahuan tentang asma yang rendah. Pasien yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak 21 orang dan yang memiliki pengetahuan tentang asma tinggi sebanyak 44 orang. Analisis mennggunakan uji Chi-square, didapatkan hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan tentang asma dengan tingkat kontrol asma dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05). Persamaan dengan penelitian ini adalah penggunaan alat ukur Asthma General Knowledge Questionnaire (AGKQ), desain penelitian menggunakan cross-sectional dan variabel bebas yang digunakan yakni pengetahuan mengenai asma. Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel terikat yang digunakan
9
dalam adalah tingkat kontrol asma, sedangkan pada penelitian kali ini variabel terikat yang digunakan adalah pemanfaatan pelayanan kesehatan. 4.
Wolagole (2012). Gambaran Pengetahuan dan Sikap dalam Mengontrol Kekambuhan Asma pada Pasien Asma Bronkial Rawat Jalan di Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan gambaran pengetahuan dan sikap dalam mengontrol kekambuhan asma dan gambaran asma terkontrol dan tidak terkontrol pada pasien asma bronkial rawat jalan di RSP dr. Ario Wirawan Salatiga. Variabel bebas yang digunakan yaitu pengetahuan dan sikap. Variabel terikat yang digunakan yaitu mengontrol kekambuhan asma. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti. Kuesioner pengetahuan berisi 10 pertanyaan mengenai pengetahuan asma dengan alternatif jawaban disediakan oleh peneliti. Kuesioner sikap mengontrol kekambuhan asma berisi 10 pernyataan dengan alternatif jawaban Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Kuesioner mengontrol kekambuhan asma berisi 10 pertanyaan dengan alternatif jawaban ya dan tidak. Jumlah sampel penelitian sebanyak 75 pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang asma dengan kategori pengetahuan baik sebanyak 60%, sedang 28%, dan kurang 12%. Sikap dalam mengontrol kekambuhan asma positif sebanyak 61,3% dan negatif 38,7%. Responden yang memiliki asma terkontrol sebanyak 65,3% dan asma tidak terkontrol 34,7%.
10
Persamaan dengan penelitian kali ini yakni variabel bebas yang digunakan yaitu pengetahuan tentang asma. Perbedaan dengan penelitian kali ini adalah jenis penelitian yang digunakan deskriptif sedangkan pada penelitian kali ini jenis penelitian yang digunakan adalah analitik korelatif.