BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Sub Arachnoid Blok (SAB) atau anestesi spinal adalah salah satu teknik dalam anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnooid dengan tujuan mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu sesuai yang diinginkan (Covino et al., 1994). Teknik ini pertama kali dilakukan oleh seorang ahli bedah asal Jerman yaitu dr. August Bier pada tahun 1887 dengan menggunakan jarum spinal untuk memasukkan kokain ke dalam ruang subarachnoid. Obat anestesi lokal digunakan dengan tujuan mendapatkan blok yang adekuat. Dasar dari pemilihan jenis obat anestesi lokal adalah durasi dari pembedahan itu sendiri dan kebutuhan untuk segera pulih dan segera mobilisasi paska operasi (Covino et al., 1994). Dua jenis golongan obat anestesi lokal yaitu; amida dan ester. Masing masing mempunyai sifat yang berbeda. Dalam perkembangannya penggunaan obat obatan tersebut dapat ditambahkan obat obatan lain seperti opioid, vasokonstriktor, klonidin dan lain sebagainya (Covino et al., 1994).
Pengurangan
dosis
bupivakain
dan
dikombinasikan
dengan
opioid
akan
memperpendek diurasi aksi, tetapi akan tetap menciptakan suatu anestesi subarachnoid blok yang adekuat untuk prosedur operasi yang pendek (Manaa et al., 2005). Anestesi dengan tehnik spinal atau Sub Arachnoid Blok (SAB)
telah banyak
digunakan untuk pasien-pasien yang menjalani operasi seksio sesarea. Hal ini dikarenakan tehnik SAB memberikan banyak manfaat dan kemudahan pada operasi seksio sesarea, termasuk berkurangnya angka morbiditas dan mortalitas pada maternal dibandingkan dengan anestesi umum. Tingginya risiko komplikasi jalan nafas pada anestesi umum. Mula kerja dan masa pulih yang cepat, relatif mudah, simple kualitas blok motorik dan sensorik yang baik
1
pada SAB (Morgan, 2009; Bucklin et al, 2009). Pada spinal anestesi ibu tetap sadar dan bisa melihat lahirnya si buah hati.Penggunaan yang besar spinal anestesi pada operasi seksio sesarea ini tidak menutup kemungkinan adanya komplikasi hal-hal yang tidak diinginkan, terutama komplikasi yang dihubungkan dengan perubahan akibat kehamilan itu sendiri dan tingginya blokade spinal. Komplikasi komplikasi tersebut adalah hipotensi, shivering, mualmuntah bradikardi dan lain lain (Morgan et al, 2009, Cesur et el, 2007). Perubahan anatomis dan fisiologis yang terjadi pada wanita hamil meliputi perubahan sistem pernapasan, kardiovaskuler, renal, gastrointestinal, endokrin, saraf dan museksio sesareauloskeletal.Banyaknya komplikasi yang diakibatkan oleh spinal anestesi terutama hipotensi yang memang disebabkan oleh perubahan tersebut. Perubahan tersebut meliputi adanya tekanan darah yang sedikitmenurun pada ibu hamil yang akanmenyebabkanterjadinya relative hipotensi, pembesaran uterus selama kehamilan dengan adanya fetus yang besar akanmenekan vena cava yang akan menyebabkan obstruksivenous return dari ekstremitas bawah. Pada posisi supine selain terjadinya penekanan pada vena cava terjadi juga penekanan pada aorta sehingga terjadi hipotensi yang disebut supine aortocaval hipotension syndrome. Terjadinya penekanan pada vena cava, ditambah dengan adanya kontraksi uterus
akan
menyebabkan peningkatan tekanan pada ruang subarachnoid. Diameter ruang subarachnoid berkurang karena terjadi pelebaran vena-vena epidural. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi tindakan anestesi terutama spinal anestesi. Banyak komplikasi yang disebabkan diantaranya adalah hipotensi, blok spinal tinggi bahkan total spinal. Karena halhal tersebut maka spinal anestesi pada wanita hamil perlu dipertimbangkan antara dosis obat dan target ketinggian blok untuk operasi seksio sesarea. Ketinggian blok sensorik untuk seksio sesarea adalah sekitar level T4-T6. Karena pada wanita hamil lebih sensitif terhadap obat anestesi lokal maka diperlukan pengurangan dosis (Covino, 1994, Morgan 2009).
2
Bucklin et al mengatakan pada wanita hamil diperlukan pengurangan dosis obat anestesi spinal sekitar 30%, akibat pengaruh perubahan hormonal dan perubahan mekanik. Walaupun banyak variabel yang mempengaruhi penyebaran obat anestesi tetapi terlihat bahwa dosis obat lokal anestesi yang lebih penting. Dosis yang besar akan menyebabkan meningkatnya insiden hemodinamik yang tidak stabil dan efek lain seperti hipotensi, bradikardi dan nausea (Cesur et al, 2008). Berbagai penelitian telah dilakukan yang bertujuan untuk memperkecil terjadinya komplikasi SAB pada bedah seksio sesarea, diantaranya adalah penggunaan anestesi lokal dengan dosis kecil, dengan harapan penggunaan anestesi lokal dosis kecil tidak akan memblok serabut saraf simpatis di daerah atas, berkurangnya efek samping berupa hipotensi, mual, muntah, shivering dan bradikardi. Dosis kecil tersebut diharapkan tetap bisa mencapai target ketinggian level blok untuk operasi seksio sesarea dengan durasi yang cukup. Akan tetapi dosis kecil anestesi lokal akan mempengaruhi kualitas dan durasi anestesi spinal. Obat yang sering digunakan adalah salah satunya bupivakain hiperbarik. Beberapa peneliti menurunkan dosis bupivakain yang ditambah opioid lipofilik intratekal dapat mengurangiinsidenhipotensi dan mempertahankan kualitas anestesi yang baik. Fentanil merupakan opioid lipofilik yang banyak digunakan dan mudah didapat. Fentanil yang bisa diberikan untuk meningkatkan anestesi intraoperatif dan analgesi post operatif adalah antara 10-25 mcg (Bucklin, et al, 2009). Intrathekal opioid meningkatkan kualitas analgesi dan menurunkan kebutuhan obat lokal anestesi dan beberapa penelitian menunjukkan adanya stabilitas dari hemodinamik (Sivevski, 2006). Penelitian akhir-akhir ini telah membuktikan anestesi spinal yang sukses untuk bedah seksio sesarea dengan menggunakan dosis bupivakain yang sangat rendah (5-9 mg) yang di kombinasikan dengan opioid. Minimalisir dosis bupivakain dengan tujuan untuk menurunkan insiden hipotensi pada maternal, menurunkan penggunaan vasopressor, menurunkan nausea, dan
3
menurunkan lama perawatan di PACU dan meningkatkan kenyamanan maternal (Ginosar et al, 2004). Penelitian tentang penggunaan bupivakain dengan dosis kecil yang dikombinasikan dengan fentanil untuk operasi seksio sesarea maupun operasi lain semisal TURP telah banyak dilakukan. Para peneliti sebelumnya menggunakan dosis bupivakain 12,5 mg, 9 mg sampai 7,5 mg yang dikombinasikan dengan fentanil dengan berbagai dosis, ada yang dikombinasi dengan 15 mcg ada pula dengan 25 μg. Terdapat pula penelitian pada operasi TURP dengan menggunakan bupiacain 0,5% hiperbarik 5 mg + fentanil 25 μg dibandingkan dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 10 mg yang dilakukan oleh Kurniawan, 2013. Dari penelitianpenelitian tersebut didapatkan kesimpulan bahwa dengan dosis bupivakain yang kecil dikombinasikan dengan fentanil masih efektif untuk operasi seksio sesarea, dimana didapatkan durasi blok motorik dan sensorik yang masih cukup bahkan masih lebih panjang untuk operasi seksio sesarea tersebut. Namun, dari penelitian-penelitian tersebut masih didapatkan komplikasi baik hipotensi maupun shivering. Hasibuan (2011), (bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 15 μg) didapatkan efek hipotensi sebesar 29,4% dan shivering sebesar 5,8 %. Bintarto et al., 2010 (Bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 μg) menghasilkan analgesia intraoperatif yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil, dengan kejadian hipotensi sebesar 24,1% ( 13 dari 54 pasien). Mebazaa et al., 2010 (Bupivakain isobarik 7,5 mg ditambah fentanil 25 μg dan morfin 100 μg) menghasilkan insiden hipotensi yang lebih sedikit yaitu 68 %. Turhanoglu (2009) melakukan penelitian terhadap 40 pasien seksio sesarea atau, yang membandingkan antara grup B (bupivakain 0,5% plain 10 mg) dan grup BF (bupivakain 0,5% plain 4 mg ditambah fentanil 25 μg. Didapatkan durasi blok motorik dan sensorik yang cukup untuk operasi seksio sesarea namun terdapat insiden hipotensi sebesar 100 % pada
4
grup B dan sebesar 75% pada grup BF. Sivevsi A., 2006 (bupivakain isobarik 0,5% 9 mg ditambah fentanil 20 μg didapatkan efek hipotensi sebanyak 10%. Peneliti bermaksud mengadakan penelitian ini dikarenakan banyak pertimbangan diantaranya; penelitian low dose bupivakain sebelumnya masih banyak efek samping spinal anestesi yaitu hipotensi, shivering, nausea vomiting, di Yogyakarta belum ada penelitian spinal anestesi pada sesksio sesarea menggunakan dosis bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 (penelitian sebelumnya oleh Hasibuan (2011) pada seksio sesarea yang membandingkan Bupivakain 7,5 mg ditambah fentail 15 µg dan bupivakain 12,5 mg), kondisi data demografi yang ada akan memberikan hasil yang berbeda, penelitian sebelumnya sebagian besar pada operasi TURP. Dalam penelitian ini penulis akan membandingkan durasi blok sensorik dan motorik antara kombinasi bupivakain 0,5% hyperbarik 5 mg dan fentanil 25 μg dengan bupivakain 0,5% hyperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 15 μg pada bedah seksio sesarea dengan spinal anestesi. B. Rumusan masalah Permasalahan yang sering muncul pada penggunaan bupivakain 0,5% hiperbarik dosis besar adalah timbulnya banyak efek samping baik selama operasi maupun setelah operasi selesai dan didapatkan lama kerja blok motorik yang lebih panjang daripada operasi seksio sesarea. Penurunan dosis bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg dengan penambahan fentanil 25 μg diharapkan dapat mengurangi durasi blok motorik namun dengan blok sensorik yang adekuat, dapat mengurangi timbulnya efek samping yang tidak diharapkan, sehingga masa pulih dan mobilisasi menjadi lebih cepat.
5
C. Pertanyaan Penelitian Apakah dosis bupivakain 0,5% hyperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 μg mempunyai durasi blok motorik lebih pendek dibandingkan dengan bupivakain 0,5% hyperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 15 μg tetapi tetap mempunyai blok sensorik yang adekuat pada operasi seksio sesarea dengan spinal anestesi. D. Tujuan Penelitian 1. Membandingkan lama kerja blok sensorik bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 μg dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 15 μg pada operasi seksio sesarea dengan spinal anestesi. 2. Membandingkan lama kerja blok motorik bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 μg dengan bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 15 μg pada operasi seksio sesarea dengan spinal anestesi. E. Manfaat Penelitian 1. Akan didapatkan dosis terkecil bupivakain hiperbarik 0,5%
yang masih efektif
untuk operasi seksio sesarea 2. Mengurangi efek samping spinal anestesi baik durante operasi maupun paska operasi dengan pemulihan yang lebih cepat (bromage score 0) F. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis di RSUP DR Sardjito Yogyakarta belum pernah dilakukan penelitian uji banding durasi blok sensorik dan motorik dengan menggunakan bupivakain 0,5% hiperbarik 5 mg ditambah fentanil 25 μg dan bupivakain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanil 15 μg pada bedah seksio sesarea dengan spinal anestesi. Adapun penelitian tentang low dose bupivakain pada operasi seksio sesarea yang pernah dilakukan didalam dan di luar RS Dr.Sardjito tertera pada tabel sebagai berikut
6
Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti (tahun) Hector et al., ( 2004)
Sivevsi A, (2006) Cesur et al., ( 2007)
Turhanoglu et al., (2009) Bintarto et al., (2010)
Hasibuan, 2011
Intervensi
Desain Penelitian RCT
Jumlah sampel 236 pasien SC
RCT
40 pasien SC
Doble-blind prospective studi
72 pasien SC
grup B: bupivacain 0,5% plain 10 mg grup BF: bupivacain 0,5% plain 4 mg + fentanyl 25 μg
RCT
40 pasien SC
Insiden terjadinya hipotensi 100 % pada grup B, dan pada grup BF 75% (p<0,05 )
Kelompok I: bupivacain 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanyl 25 mcg Kelompok II: Bupivacain 0,5% hiperbarik 12,5 mg
RCT
108 pasien SC
Kelompok A: Bupivacain hiperbarik 0,5% 7,5 mg + Fentanyl 15 mcg Kelompok B: Bupivacain Hiperbarik 0,5% 12,5 mg
RCT
36 Pasien SC
Kelompok I lebih efektif dibandingkan dengan kelompok II karena menghasilkan analgesia intraoperatif yang adekuat dan hemodinamik yang lebih stabil (p<0,005) Kelompok A mempunyai lama blok sensorik dan motorik lebih pendek dibanding kelompok B pada operasi SC
(G1): Bupivacain 0,5% 10 mg. Grup 2(G2): Bupivacain 0,5% 7,5 mg+ fentanyl 15 mcg+ 0,2cc Nacl 0,9%. Grup 3 (G3): Bupivacain 0,5% 7,5 mg+fentanyl 25 mcg Grup dengan bupivacain 0,5% isobarik 13,5 mg Grup dengan bupivacain 0,5% isobarik 9 mg +fentanyl 20mcg Grup HB: bupivacain hiperbarik 0,5% hiperbarik 10 mg Grup PHB: plain bupivacain 0,5% 5 mg+bupivacain hiperbarik 0,5% 5mg
7
Hasil G2 dan G3 efektif dibandingkan pada G1 ( P: 0,0011)
mencegah
nyeri
operatif
Grup bupivacain isobarik 0,5% 9 mg + fentanyl 20 mcg didapatkan hipotensi lebih sedikit dibandingkan dengan grup bupivacain isobarik 13,5 mg Kelompok PHB lebih sedikit kejadian hipotensi, nausea dan vomiting dibandingkan dengan kelompok HB (p<0,001)