1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi merupakan salah satu tantangan
seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003 melaporkan bahwa sekitar 50-70% pasien merasakan nyeri akut pascaoperasi dengan intensitas sedang berat. Nyeri pascaoperasi tidak hanya terjadi setelah pembedahan mayor, bahkan terjadi pada pembedahan yang relatif minor (Pogatzi, 2003). Penanganan nyeri pascaoperasi adalah komponen penting dalam perawatan pasien pasca pembedahan. Kurangnya penanganan nyeri, terlepas sebagai suatu hal yang tidak manusiawi, dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pembedahan dapat merubah sistem imun dan perubahan ini proporsional dengan tingkat invasif dari suatu pembedahan. Analgesia yang baik dapat mengurangi efek merugikan ini. Nyeri akut pascaoperasi yang tidak mendapat penanganan yang adekuat dapat menimbulkan konsekuensi negatif terhadap psikologis, fungsi fisiologis sistem respirasi, kardiovaskuler, sistem saraf otonom, gastrointestinal, neuroendokrin, renal, hepatik, dan fungsi imunologis pasien. Adanya perubahan ini mengakibatkan imobilisasi yang lebih lama, terhambatnya penyembuhan luka, meningkatnya pembiayaan dan lama tinggal di rumah sakit, serta berpotensi untuk berkembang menjadi nyeri kronik (Buvanendran, 2009). Manfaat penangan nyeri yang adekuat antara
2
lain meningkatkan kenyamanan pasien, memungkinkan mobilisasi dini, berkurangnya insiden komplikasi jantung dan paru, penurunan resiko trombosis vena dalam, berkurangnya kemungkinan terjadinya nyeri kronis, dan menurunkan biaya perawatan. Kegagalan dalam penanganan nyeri pascaoperasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti edukasi yang kurang, ketakutan pasien akan efek samping obat nyeri, penilaian nyeri yang salah, dan kurangnya petugas medik (Javery KB, 1996). Tindakan prosedur bedah mayor menghasilkan nyeri setelah pembedahan sehingga akan meningkatkan kebutuhan analgesia, memperlambat kembalinya fungsi peristaltik usus, dan beberapa komplikasi lainnya. Dengan demikian, peningkatan kebutuhan analgesia setelah pembedahan akan diikuti dengan peningkatan resiko timbulnya efek samping obat analgesia yang dipilih, seperti kejadian depresi jalan nafas, kejadian mual muntah, dan sedasi yang dalam. Hal ini juga berimplikasi terhadap lamanya proses perawatan pasien di rumah sakit (Vadivelu, 2010). Penanganan nyeri akut pascaoperasi dilakukan dengan cara pemberian obat yang bekerja mempengaruhi aktivitas hantaran stimulus nyeri dari perifer ke sentral sesuai dengan perjalanan stimulus nyeri. Modalitas terapi yang efektif digunakan dalam menangani nyeri akut ini adalah konsep pendekatan secara multimodal, menggunakan kombinasi dua atau lebih agen atau pun tehnik analgesia yang bekerja di titik tangkap yang berbeda. Konsep multimodal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas analgesia, menurunkan dosis agen analgesia yang digunakan sehingga mampu menekan efek samping yang ditimbulkan (Buvanendran, 2009).
3
Penggunaan kombinasi analgetika opioid dan non opioid (termasuk agen ajuvan) yang bekerja di titik tangkap yang berbeda di sistem saraf pusat dan perifer, dapat meningkatkan efikasi analgesia pascaoperasi, menurunkan efek samping opioid yang menyertai. Efek samping tersebut diantaranya mual, muntah, sedasi, pruritus, depresi respirasi, retensi urin, dan konstipasi (Vadivelu, 2010). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan ditemukannya agen analgesia baru memberikan peluang adanya kombinasi baru dalam konsep multimodal untuk penatalaksanaan nyeri akut pascaoperasi. Konsep multi farmakologi dengan menggunakan dua atau lebih agen analgesia dengan berlandaskan efek sinergistik memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan monofarmakologi (Vadivelu, 2010). Analgesia opioid masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan nyeri akut intensitas sedang berat pada periode awal pascaoperasi. Namun, penggunaan opioid dalam dosis besar menimbulkan efek samping yang selanjutnya dapat menghambat proses rehabilitasi, serta meningkatkan pembiayaan untuk mengatasi efek samping yang timbul (Buvanendran, 2009). Beberapa penelitian yang berkelanjutan telah dilakukan untuk menentukan tehnik dan pilihan ajuvan untuk mengurangi kebutuhan opioid untuk analgesia setelah pembedahan. Adapun tujuan dari semua proses tersebut adalah untuk memberikan kenyamanan pada penderita setelah pembedahan dan menurunkan biaya perawatan. Tujuan penanganan nyeri pascaoperasi adalah untuk meredakan nyeri dengan mencegah munculnya efek samping yang minimal (Vadivelu, 2010).
4
Morfin intravena pada umumnya digunakan sebagai analgesia standar pascaoperasi untuk operasi mayor. Morfin adalah gold standard penanganan nyeri. Morfin, suatu alkaloid analgesik kuat dan merupakan agen aktif utama ditemukan pada opium, bekerja langsung pada sistem susunan saraf pusat. Meskipun demikian, morfin memiliki efek samping seperti konstipasi, adiksi, depresi nafas, pruritus, mual muntah, dan sedasi (Kollender, 2008). Stimulasi nosiseptif menghasilkan hipereksitabilitas dengan pengaktifan reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suat proses yang terlibat dalam patofisiologi nyeri akut. Ketamin, suatu antagonis NMDA non-kompetitif, penggunaan pada dosis subanestetik menghasilkan blokade NMDA spesifik dan memodulasi sensitisasi sentral dan oleh karena itu memberikan efek anti hiperalgesik (Cartensen M, 2010). Ketamin telah digunakan sebagai anestesi intravena. Ketamin juga telah digunakan sebagai analgesia untuk nyeri akut dan kronik pada dosis subanestetik. Ketamin memiliki banyak keuntungan sebagai analgetik. Ketamin tidak mendepresi fungsi kardiovaskular, tidak mendepresi reflek protektif laring, kurang mendepresi ventilasi dibandingkan opioid, dan menurunkan resistensi jalan nafas (Javery KB, 1996). Oleh karena itu ketamin memiliki peran dalam manajemen nyeri pascaoperasi dengan menurunkan jumlah opioid yang dibutuhkan, mengurangi efek samping, dan memberikan stabilitas hemodinamil
serta
pernafasan.
Ketamin
juga
memiliki
sifat
sebagai
imunomodulator. Ketamin mencegah eksaserbasi dan perluasan inflamasi lokal tanpa mengganggu resolusi inflamasi. Jumlah sitokin proinflamasi secara signifikan menurun dengan penggunaan ketamin. Sel imun yang memproduksi
5
sitokin inflamasi tidak dipengaruhi oleh ketamin bila tidak ada stimulus inflamasi. Efek regulasi imun ini lebih terlihat bila ketamin diberikan sebelum adanya inflamasi. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa ketamin sebagian besar diberikan saat induksi sebelum pembedahan (De Kock, 2013). Ketamin dosis kecil yang diberikan sebelum stimulus noksius juga memiliki keuntungan dengan mencegah sensitisasi sentral yang pada akhirnya akan mengurangi kebutuhan analgetik pascaoperasi (Singh H, 2013). Patient Controlled Analgesia (PCA) adalah suatu sistem dimana pasien memberikan sendiri dosis analgetik yang telah ditentukan untuk mengurangi nyerinya. Sejak pengenalannya pada awal tahun 1980an, penanganan nyeri pascaoperasi telah jauh membaik. Penggunaan PCA di rumah sakit telah meningkat dikarenakan efek menguntungkannya yang telah terbukti lebih baik dibandingan cara lain. Hal ini mencakup berkurangnya nyeri, kepuasan pasien yang meningkat, berkurangnya efek sedasi, dan berkurangnya komplikasi paksa operasi. Semua model PCA mencakup variabel-variabel ini: loading dose, demand dose, lockout interval, kecepatan infus, dan batas maksimal per sekian waktu yang ditentukan. PCA dengan opioid intravena merupakan metode umum yang digunakan untuk mengontrol nyeri pascaoperasi mayor. Metode ini dapat menyesuaikan level kontrol nyeri yang lebih baik dibandingkan dengan metode kontinu intravena sehingga akan meningkatkan kenyamanan dan kerjasama pasien. Pendekatan PCA untuk pemberian obat digunakan untuk menghindari pemberian dosis melalui intravena yang berlebihan. Penggunaan PCA menghindarkan kekurangan atau kelebihan dosis analgetik, menyediakan suatu metode untuk pasien untuk mentitrasi
6
dosis opioid untuk mendapatkan analgesia yang lebih baik. Morfin adalah obat yang paling banyak dipelajari dan digunakan untuk PCA intravena ini. Bahkan, morfin adalah pilihan pertama untuk PCA (Grass JA, 2005). Salah satu modalitas untuk mengurangi nyeri pascaoperasi adalah pemberian ketamin sebelum insisi. Ketamin bila diberikan sebelum terjadinya insisi akan menurunkan inflamasi dan mencegah terjadinya sensitisasi sentral. Hal ini pada akhirnya akan menurunkan konsusmsi analgetik pascaoperasi dan efek samping obat tersebut. Roybalt dkk meneliti bahwa ketamin 0,15 mg/kg yang diberikan sebelum insisi menurunkan konsumsi morfin sebesar 39,4% dibandingkan dengan plasebo pada operasi laparotomi kolesistekomi (Roybalt L, 1993). Kafali dkk menggunakan ketamin 0,15 mg/kg sebelum insisi, pascaoperasi konsumsi opioid menurun 18% pada , Menigaux dkk, Aveinepasien-pasien yang dilakukan operasi abdomen bawah (Kafali H, 2004). Pada penelitian Kwok ddk, pemberian ketamin 0,15 mg/kg sebelum insisi menurunkan konsumsi morfin sebesar 56% dibandingkan dengan plasebo pada operasi laparoskopi ginekologi (Kwok RF 2004). Pada penelitian Menigaux C, didapatkan penurunan konsumsi morfin sebesar 52,5% dibandingkan plasebo pada operasi anterior cruciate ligamnet repair pada pasien yang diberikan ketamin 0,15 mg/kg sebelum insisi (Menigaux C,2000). Pada penelitian Aveline C, pemberian ketamin 0,15 mg/kg sebelum insisi dapat menurunkan konsumsi morfin sebesar 57% dibandingkan plasebo pada operasi disektomi lumbal (Aveline C, 2005). Akan tetapi pada penelitian operasi bedah mayor yang dilakukan oleh Dullenkopf dkk, ketamin 0,15
7
mg/kg tidak menurunkan secara bermakna konsumsi morfin bila dibandingkan dengan plasebo (Jouguet-Lacoste, 2015). Pemberian ketamin sebelum insisi dikatakan lebih aman dan lebih tepat dalam menurunkan analgesia pascaoperasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pemberian ketamin intravena sebelum insisi akan memberikan analgesia yang lebih baik pascaoperasi.
1.2
Rumusan Masalah Dengan demikian masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Apakah pemberian ketamin 0,15 mg/kg intravena sebelum insisi dapat menurunkan konsumsi morfin pascalaparotomi?
Apakah pemberian ketamin 0,15 mg/kg intravena sebelum insisi dapat menurunkan nyeri akut pascalaparotomi?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan antara lain:
Untuk membuktikan ketamin 0,15 mg/kg intravena sebelum insisi dapat menurunkan konsumsi morfin pascalaparotomi
Untuk membuktikan ketamin 0,15 mg/kg intravena sebelum insisi dapat menurunkan nyeri akut pascalaparotomi
8
1.4
Manfaat Penelitian Dengan
diketahuinya
perbandingan
konsumsi
morfin
dan
nyeri
pascaoperasi dengan pemberian ketamin 0,15 mg/kg sebelum insisi, maka dapat dianalisa efektifitas dari penggunaan ketamin sebagai analgesia. Dengan demikian, dapat dipilih pemberian ketamin sebelum insisi sebagai salah satu modalitas dalam usaha menurunkan konsumsi morfin dan nyeri pascaoperasi. Pada gilirannya, akan dapat menurunkan efek samping penggunaan morfin pada pascaoperasi.
9