BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas yang pertama kali dilakukan manusia adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Penguasaan dan penggunaan lahan mulai berubah seiring dengan pertumbuhan populasi dan pertambahan penduduk yang tak terkendali. Hal ini menimbulkan permasalahan kompleks akibat pertambahan jumlah penduduk melalui transmigrasi dan urabanisasi, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam, berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi dalam pemanfaatannya. Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi lahan yang nantinya berujung pada munculnya proses marginalisasi bagi pemilik dan pengelola lahan pertanian. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius. Maraknya alih fungsi lahan di Bali, khususnya di Kota Denpasar menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan nasib petani dan lahan pertanian sawah mereka. Alih fungsi lahan sawah yang tak mampu dibendung telah menyebabkan berkurangnya areal lahan persawahan, rata-rata per tahun mencapai lebih dari 1.000 hektar dari hasil sensus pertanian Desember 2013, diketahui bahwa jumlah rumah tangga petani (RTP) di Bali 404.507 KK, menurun menjadi 55.930 KK (17,85%) dibandingkan dengan tahun 2003 yang jumlahnya mencapai 460.437 KK. Penurunan ini terjadi karena alih fungsi lahan sawah yang berubah menjadi
2
permukiman. Dari jumlah itu, 63,58% (257.181 rumah tangga) adalah petani gurem yang menggarap lahan sawah kurang dari 50 are (Bali Post, 24 Desember 2013: hal 1). Menurunnya pemasukan rumah tangga petani akibat sektor pertanian dianggap tidak menguntungkan karena lahan garapan yang sempit. Pembangunan sektor pertanian di Bali cenderung stagnan karena kontribusinya terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) sangat rendah. Alih fungsi lahan sawah di Bali setiap tahun rata-rata 1.000 hektare. Sumbangan sektor pertanian terhadap perekonomian Bali selama ini hanya 18,5%, paling kecil dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti parawisata dan jasa. Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan saat ini merupakan kawasan pusat pengembangan properti. Di Denpasar khususnya, dengan kenaikan harga lahan yang makin tinggi telah membawa dampak yang kompleks terhadap kehidupan ekonomi dan sosiokultural masyarakatnya. Akibat harga lahan yang melambung tinggi di satu sisi merupakan ancaman terjadinya alih fungsi lahan karena banyak pemilik lahan yang tergiur menjualnya (Bisnis Bali, Sabtu, 8 Februari 2014, hal. 5). Di sisi lain, permintaan investor tak kalah pesat tanpa diikuti pengawasan dan kewaspadaan pihak regulator dalam perizinannya jelas mengancam habisnya lahan-lahan persawahan yang produktif akibat para investor demikian banyak menginvestasikan dalam bentuk properti perumahan, hotel, vila, restoran, perkantoran, dan sebagainya. Lebih parah lagi, masyarakat petani di Denpasar yang mewarisi kultur dan sistem perekonomian dari para leluhur, perlahan-lahan terancam rapuh (punah) karena tidak ada lagi budaya bercocok tanam, subak,
3
sebagai akibat tergerus sistem pasar bebas. Dewasa ini berimplikasi terjadinya marginalisasi dalam bentuk permodalan, keterdesakan pemanfaatan lahan sawah karena telah beralih fungsi, dan ketidakberdayaan dalam mempertahankan ekosistem pertanian. Saluran irigasi di Bali yang dipelihara oleh sistem subak banyak yang terkontaminasi kasus polusi, misalnya saluran irigasi banyak dialiri sampah plastik hingga sampah rumah tangga. Bahkan, di Denpasar banyak alur sungai dan saluran air ke sawah dipenuhi sampah plastik dan limbah. Ancaman lainnya adalah melangitnya tarif pajak bumi dan bangunan (PBB). Hal ini mendorong petani menjual sawahnya. Data BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa selama lima tahun (2004--2009), rata-rata setiap tahun lahan sawah yang beralih fungsi lebih dari 1.000 hektare. Hal ini sangat membahayakan ketahanan pangan di Bali. Implikasi perubahan fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat
menimbulkan
kerugian
sosial
dan
kemiskinan
struktural
secara
berkepanjangan. Luas areal persawahan di subak Saba ke nonpertanian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan penyusutan. Hal ini perlu mendapat perhatian secara serius. oleh sebab itu, perlu diadakan penelitian secara lebih mendalam. Bukti-bukti penyusutan areal persawahan di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur dapat digambarkan pada tabel di bawah ini:
4
Tabel 1.1 Luas Lahan Pertanian di Subak Saba (2004 – 2012) o
Tahun
Luas Lahan Ha
Penyusutan
1
2004 -- 2005
42,80
1,7 ha
2
2006 -- 2007
41,10
1,7 ha
3
2008 -- 2009
39,10
2,7 ha
4
2010 -- 2011
36,40
0,7 ha
5
2012 -- 2013
35.33
1,7 ha
Sumber : Register Luas Sawah Subak Saba, 2013
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa penyusutan areal persawahan di subak Saba pada tahun 2006 -- 2007 adalah seluas 1,7 ha. Pada tahun 2008--2009 luas areal mengalami penyusutan 2,7 ha, dan pada tahun 2010-2011 luas sawah di subak Saba menyusut 0,7 ha. Catatan terakhir pada tahun 2012--2013 luas sawah di subak Saba mengalami penyusutan seluas 1,7 ha. (Register Luas Sawah Subak Saba, 2013). Perubahan dan alih fungsi lahan pertanian digunakan sebagai perumahan, perkantoran, dan kuburan. Hal ini mencerminkan adanya penyusutan luas areal sawah di subak Saba yang berdampak terhadap kehidupan petani di subak Saba. Semula sebagai petani beralih menjadi buruh bangunan, pelayan toko, karyawan DKP, bahkan ada yang menjadi pengangguran karena lahan sawahnya telah terjual.
5
Penyusutan profesi petani tentu diikuti dengan penyusutan lahan pertanian dan jika penyusutan lahan pertanian di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur tidak dikontrol maka akan memengaruhi kebutuhan pangan di Kelurahan Penatih dan pada akhirnya akan memunculkan marginalisasi karena masyarakat petani di subak Saba terdesak oleh adanya gempuran investor yang ingin menanamkan modalnya dalam bentuk investasi properti (Suradnya, wawancara 4 Januari 2014; Cf. Bali Post Rabu, 27 Agustus 2014, hal.15,kol.2-3) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah kebijaksanaan pemerintah Kota Denpasar yang menetapkan lokasi
kawasan subak Saba sebagai lokasi
pengembangan kawasan budi daya tanaman padi dan termasuk kawasan produksi serta kawasan permukiman. Rencana Tata Ruang Wilayah bertujuan sebagai berikut. a. Mewujudkan pola pemanfaatan ruang yang lebih terarah dan lebih optimal dengan tidak mengorbankan aspek kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup. b. Menciptakan kemudahan, baik bagi tiap-tiap instansi sektoral maupun dinas di lingkungan pemerintah Kota Denpasar yang terkait dalam pengembangan potensi Kota Denpasar, pengembangan kegiatan sosial ekonomi, serta pengaturan sistem pergerakan dan koordinasi pengembangannya, baik penentuan program, pendanaan, maupun dalam penyiapan peraturannya. 1) Menetapkan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah Kota Denpasar dan masyarakat.
6
2) Mencegah terjadinya benturan kepentingan antarsektor dalam usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. 3) Menyusun rencana terperinci tata ruang di Kota Denpasar serta pelaksanaan pembangunan dalam pemanfaatan ruang bagi kegiatan pembangunan dan merupakan dasar dalam mengeluarkan perizinan pembangunan (Dinas Tata Ruang dan Perumahan Pemerintah Kota Denpasar, 2006: 8). Pengaturan tata ruang dan perumahan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Denpasar telah mendegradasi kawasan areal persawahan di subak Saba yang mengakibatkan terjadinya perubahan pemanfaatan areal persawahan dari pertanian menjadi nonpertanian. Hal ini menimbulkan berbagai dampak bagi kehidupan petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur (Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan, 2012: 12). Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian menyangkut dimensi yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas-prioritas pembangunan pertanian wilayah secara nasional yang secara langsung juga ikut membantu masyarakat memanfaatkan peluang. Alih fungsi lahan dapat terjadi karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, kebijaksanaan arah pembangunan, dan mekanisme pasar. Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa-masa yang lalu akibat perencanaan tata
7
ruang sering berubah-ubah dan lemahnya mekanisme kontrol oleh pemerintah kepada pemilik lahan. Alih fungsi lahan terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri, dengan mengusung ideologi kapitalisme dan ekonomi pasar. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali diikuti dengan kebutuhan perumahan menjadikan lahan-lahan pertanian menyusut di berbagai wilayah di Kota Denpasar. Lahan yang semakin sempit, semakin terancam akibat adanya kebutuhan akan perumahan dan lahan industri. Hal ini mendapat legitimasi dari para penguasa daerah terutama dalam pemberian izin untuk memanfaatkan lahan yang semula diperuntukkan sebagai lahan pertanian dan persawahan. Hal ini diperparah lagi karena petani lebih memilih bekerja di sektor informal daripada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan kepemilikan lahan cenderung diikuti oleh terjadinya alih fungsi lahan oleh para investor untuk menanamkan modalnya dalam bentuk pembangunan bidang properti. Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, perumahan, maupun bangunan industri. Kondisi demikian mencerminkan adanya peningkatan permintaan terhadap lahan untuk aktivitas nonpertanian yang mengakibatkan banyak lahan sawah, terutama di subak Saba mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan juga terjadi karena kurangnya insentif pada usaha tani yang menyebabkan terjadi alih fungsi lahan ke tanaman pertanian
8
lainnya.
Permasalahan tersebut diperkirakan mengancam kesinambungan
produksi beras nasional. Sekaligus kehidupan para petani (marginalisasi petani). Isu alih fungsi lahan sawah perlu mendapat perhatian karena beras merupakan bahan pangan utama. Ketergantungan pada impor beras semakin meningkat apabila isu alih fungsi lahan sawah diabaikan. Pasar beras internasional bersifat thin market, artinya ketergantungan terhadap impor, sifatnya tidak stabil dan menimbulkan kerawanan pangan yang pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional. Penyusutan lahan pertanian di subak Saba ditengarai akibat wilayah tersebut semakin strategis bagi pengembang sektor-sektor, seperti property, usaha ekonomi nonpertanian. Wilayah tersebut relatif dekat dengan Kota Denpasar sehingga menarik bagi pengembang hunian dan bisnis. Atas posisinya yang strategis itulah lahan di subak Saba menjadi menarik bagi para pengembang. Karena tergiur oleh harga yang mahal, sebagian petani pemilik lahan kemudian menjual tanahnya. Sementara sebagian lainnya ada pula yang mengalihfungsikannya menjadi sarana penunjang kegiatan bisnis nonpertanian seperti dikontrakkan/disewakan, dibangun rumah-rumah sewaan/tempat indekos, rumah toko (ruko). Namun, bagi petani penggarap dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena umumnya mereka tidak memiliki akses (skill) untuk memasuki lapangan kerja formal nonpertanian. Selain itu, semakin menurunnya minat masyarakat untuk menggeluti okupasi pertanian dikhawatirkan mengancam kesinambungan tradisi agraris di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Para petani semakin terjebak dengan semakin
9
sempitnya kesempatan kerja. Akibatnya, timbul masalah sosial yang pelik yang pada gilirannya terjadi proses marginalisasi terhadap para petani yang semula sebagai pemilik lahan. Lama-kelamaan bisa berubah menjadi buruh tani di lahannya sendiri yang telah dikuasai oleh para investor luar. Masalah utama yang dapat menyebabkan itu terjadi adalah ketidaksiapan mentalitas dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) memelihara dan mempertahankan kultur yang dimiliki, sementara mereka harus berhadapan dengan isu globalisasi yang begitu kuat. Pada tahun 2015, misalnya, mau tidak mau Bali dalam hal ini Denpasar khususnya, dihadapkan pada tantangan yang berat, yakni persaingan dalam perdagangan bebas ASEAN dengan berbagai ekses yang ditimbulkan. Orang Bali mesti menguatkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki, yaitu kemampuan SDM serta memperkuat kultur dan sistem ekonomi sebagaimana yang dilakukan nenek moyang terdahulu. Dahulu mereka bisa hidup makmur dari pertanian karena memanfaatkan betul hasil-hasil pertanian yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sekaligus menopang kehidupan sosial sehingga areal persawahan bisa tetap lestari. Berdasarkan uraian di atas maka perlu melakukan penelitian terhadap fenomena marginalisasi petani subak Saba, karena diwilayah itu banyak terjadi proses alih fungsi lahan yang pada akhirnya menimbulkan marginalisasi dikalangan masyarakat petani subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur. Fenomena marginalisasi petani yang saat ini semakin masif tampak kurang mendapat perhatian dan penelitian dari para akhli ilmu sosial. Kalau pun ada, itu
10
hanya sebatas wacana dan kurang mendapat kajian secara seimbang dengan masalah sosial lainnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkatnya menjadi judul kajian dalam tesis ini.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan didukung data dasar di atas, maka
permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dapat diformulasikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih Kecamatan Denpasar Timur? 2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur? 3. Apa dampak dan makna marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur?
1.3
Tujuan Penelitian Pada dasarnya penelitian ini mempunyai dua tujuan yakni tujuan umum
dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut diuraikan satu per satu sebagai berikut. 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk membongkar dan memahami secara garis besar fenomena termarginalnya petani di subak Saba, Denpasar Timur. Hal ini penting dilakukan karena selama ini fenomena marginalisasi petani yang terjadi di wilayah subak Saba hanya dibahas melalui pendekatan positivistik.
11
Oleh karena itu, apa yang menjadi akar permasalahan dan apa yang ada di balik fenomena ini belum terbongkar secara mendalam. 1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Mengetahui bentuk marginalisasi petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur. 2. Memahami faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur. 3. Mengetahui dampak dan makna marginalisasi petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai dua manfaat penting, yakni manfaat teoretis
dan manfaat praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini
bermanfaat untuk menambah pengetahuan yang terkait
dengan masalah marginalisasi petani yang selama ini belum banyak terungkap. Di samping itu, fenomena marginalisasi merupakan fenomena yang sangat aktual dan perlu diteliti saat ini. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini sangat bermanfaat untuk hal – hal berikut.
12
1. Memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan, dalam
menentukan
atau
menyusun
program
perencana
sebagai
upaya
penanggulangan terjadinya marginalisasi petani. 2. Memberikan kontribusi bagi pihak-pihak terkait dalam membuat kebijakan untuk menangani marginalisasi petani sehingga tidak terjadi proses marginalisasi petani secara berkesinambungan.
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1
Kajian Pustaka Pembahasan tentang masalah marginalisasi petani sudah banyak dilakukan
oleh beberapa pakar, baik dalam buku-buku, jurnal, maupun dalam penelitian, tetapi khusus tentang marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih belum ada yang membahas. Meskipun demikian, penelusuran pustaka atau kajian terhadap buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian terdahulu penting dilakukan untuk menghindari terjadinya pengulangan terhadap hal yang sama. Selain itu, kajian pustaka juga bermanfaat untuk menambah informasi, inspirasi, ide, dan wawasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini. Penjelajahan berbagai kajian yang sudah ada dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan yang substansial dari penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan sehingga originalitas penelitian ini dapat dibuktikan. Beberapa pustaka dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah marginalisasi petani yang sudah ditelusuri dapat disebutkan seperti terurai berikut ini; Kajian tentang marginalisasi petani pernah dilakukan oleh Sulastra (2010) dengan judul ”Kehidupan Petani Subak Abian sebagai Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian di Desa Adat Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung: Suatu Kajian Budaya. Kajian ini mengungkapkan bahwa kehidupan petani subak abian Desa Adat Pecatu mengalami perubahan sebagai dampak alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian untuk tempat pendirian fasilitas penunjang
14
kegiatan kepariwisataan, yakni vila, bar, restoran, serta kompleks perumahan. Walaupun mengalami perkembangan, keberadaan subak abian tetap lestari lengkap dengan struktur organisasinya. Organisasi subak abian tersebut tetap berperan sebagai pengayom atas kehidupan anggotannya, baik kehidupan sosial, ekonomi, maupun keagamaan. Kajian lain tentang termarginalnya budaya petani (pura subak) dilakukan oleh
telah
Surpa (2011) yang berjudul “Implikasi Alih Fungsi Lahan
terhadap Eksistensi Pura Subak dan Sosial Budaya Masyarakat di Kecamatan Denpasar Barat.” Dari penelitian itu ditemukan bahwa alih fungsi lahan terhadap eksistensi pura subak di Denpasar Barat tidak terlepas dari proses hegemoni yang dilakukan, oleh pemerintah dan investor pemilik modal yang dapat menciptakan opini seolah-olah Kota Denpasar adalah tujuan wisata dan kota yang aman. Dari hasil penelusuran sumber di atas, ternyata sangat berbeda dengan kajian yang peneliti lakukan terutama berbeda dari segi lokasi serta pendekatan yang digunakan untuk membedah permasalahan. Peneliti lebih menekankan penggunaan pendekatan teori-teori kritis yang berusaha membongkar relasi-relasi kekuasaan yang ada di balik proses terjadinya marginalisasi petani. Kajian
Nyoman
Suryawan
(2013)
yang
menganalisis
tentang
“Marginalisasi Masyarakat Nelayan Pascareklamasi di Kelurahan Serangan, Denpasar
Selatan”
menyimpulkan
bahwa
marginalisasi
menyangkut
keterpinggiran ekonomi, ketidak bedayaan kelompok nelayan, dan keterdesakan dalam pemanfaatan lingkungan. Keterpinggiran ekonomi terjadi karena semakin sempitnya peluang ekonomi sebagai akibat berkurangnya lahan perairan pantai
15
dan rendahnya pendapatan yang diperoleh dari mata pencaharian nelayan dibandingkan dengan kondisi yang dirasakan sebelum proses reklamasi. Keterpinggiran nelayan terkait dengan aspek fisiknya terjadi karena banyaknya areal publik seperti perairan laut dan wilayah pantai yang sebelumnya dimanfaatkan oleh nelayan sebagai tempat menambatkan alat angkutnya (jukung), tetapi kini sudah banyak dikapling-kapling untuk kebutuhan yang beragam sesuai dengan keinginan investor. Kecuali itu, peran pemerintah dan keterlibatan pengusaha (investor) yang bermain dalam praktik hegemoni telah mendorong terjadinya reklamasi di Kelurahan Serangan. Kajian yang dilakukan oleh Suryawan ini sangat bermanfaat dalam upaya memahami faktor-faktor penyebab terjadinya marginalisasi di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Kajian Suryawan ini juga banyak memberikan inspirasi dalam penelitian ini terutama terkait dengan praktik kolaborasi yang dilakukan oleh penguasa dan pengusaha dalam rangka menghegemoni petani khususnya di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur yang pada
akhirnya
menimbulkan marginalisasi. Kajian Rosta Minawati (2010) yang membedah masalah “Keterpinggiran Komunitas Hindu dalam Pluralitas Agama di Kabupaten Karo, Sumatera Utara” menyimpulkan bahwa keterpinggiran komunitas Hindu dalam pluralitas agama menjadi wacana multikultur yang sangat penting khususnya di Kabupaten Karo Sumatera Utara. Perkembangan agama Kristen dan Islam memiliki magnet yang cukup kuat untuk menarik komunitas Hindu yang tersisa saat ini. Dengan demikian, komunitas Hindu semakin mengalami penurunan jumlah, bahkan
16
mencapai kepunahan. Hasil penelitian ini cukup bermanfaat dalam penelitian ini, terutama digunakan sebagai acuan dalam memahami fenomena sosial keterpinggiran petani yang ditengarai di subak Saba akibat dari semakin gencarnya masuk investor yang menguasai lahan-lahan di sekitar subak Saba. Amaludin (1987) dalam bukunya yang berjudul Kemiskinan dan Polarisasi Sosial; Studi Kasus di Desa Bulu Gede, Kabupaten Kendal Jawa Tengah membedah masalah kemiskinan petani di Desa Bulu Gede akibat dari adanya ketimpangan distribusi penguasaan tanah yang cukup tajam. Hal ini memberikan kesan bahwa di pedesaan Jawa seakan-akan terjadi suatu polarisasi ekonomi, yakni kecenderungan pembagian masyarakat menjadi dua golongan yang berlawanan, yaitu golongan miskin dan golongan kaya. Kemiskinan seperti ini merupakan apa yang disebut oleh Selo Soemardjan sebagai kemiskinan struktural, yakni kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat. Mereka miskin karena struktur sosial masyarakat dan tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Kajian ini memberikan inspirasi bagi penulis dalam upaya memahami secara lebih mendalam mengenai marginalisasi petani di subak Saba Denpasar, paling kurang memberikan tuntunan dalam memahami konsep marginalisasi atau keterpinggiran masyarakat petani di subak Saba Denpasar Timur. Ngurah Suryawan (2008) dalam penelitiannya mengenai ”Bara Suara di Tepi Kuasa: Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern di Desa Petandakan, Buleleng Bali” lebih menyoroti kekerasan dan pembentukan politik kebudayaan Bali. Dia mempertanyakan sejauh mana peran dan posisi kelompok masyarakat
17
yang tersisihkan dan
dikalahkan dalam pembentukan
politik kebudayaan.
Ngurah Suryawan mengangkat dan merepresentasikan kelompok masyarakat yang terpinggirkan
sebagai
akibat
dari
politik
hegemoni
Orde
Baru
yang
mendeskriditkan kelompok masyarakat yang berideologi komunisme. Kajian ini hampir mirip dengan kajian marginalisasi khususnya dalam bidang politik. Penelitian penulis juga mengamati marginalisasi petani yang lebih cenderung disebabkan oleh adanya hegemoni penguasa dan pengusaha. Kajian ini cukup bermanfaat untuk memahami persoalan hegemoni penguasa dan pengusaha. Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi (1987) dalam kajiannya mengenai “Dilema Ekonomi Desa Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia” menyimpulkan bahwa modernisasi membawa perluasan perekonomian uang dan pertumbuhan penduduk di atas sumber daya tanah pertanian yang terbatas. Uang dan pertumbuhan penduduk menyertai perubahan dalam kelembagaan desa mengenai hak milik lahan dan ikatan kontrak antara petani, buruh tani, dan pelaku lain di desa dan kota. Dengan perubahan kelembagaan sebagai pusat perhatian, Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi berusaha membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan pembangunan pedesaan serta dampak-dampaknya, dengan pertanyaan apakah perubahan ini mengarah pada gejala polarisasi masyarakat atau ke arah lain. Hayami dan Kikuchi menyimpulkan bahwa di pedesaan Jawa dan Asia umumnya gejala polarisasi, yaitu proses terkutubnya masyarakat menjadi hanya dua lapisan saja. Kedua lapisan petani yang dimaksud adalah lapisan petani komersial yang kaya dan lapisan buruh tani tunakisma yang miskin belum tampak
18
nyata. Hal itu terjadi karena sejauh ini, interaksi sosial yang didasarkan atas ikatan moral tradisional serta bekerjanya berbagai pranata sosial yang ada telah memblokir jalan ke arah itu. Namun, tidak berarti bahwa kekuatan-kekuatan ekonomi yang ada tidak mengarah ke polarisasi dan mungkin saja kekuatan itu berimbang menuju dua arah yang berbeda. Ke arah manakah selanjutnya desa di Asia berkembang. Inilah masalah yang disebutnya sebagai “persimpangan jalan”. Di satu pihak, teknologi dapat merusak sebagian pranata sosial, padahal pranata sosial ini justru merupakan penghambat polarisasi. Penetrasi kekuatan pasar bersama dengan berlangsungnya proses semakin timpangnya distribusi pendapatan dapat menciptakan suatu “ambang batas”. Dari titik itu proses stratifikasi berevolusi ke arah polarisasi. Jika ekonomi pedesaan bergerak ke arah ini, dikhawatirkan bahwa “pertentangan kelas” meningkat. Stabilitas terganggu sehingga usaha pembangunan
jangka panjang menjadi
terhambat. Kajian Hayami dan Kikuchi ini sangat penting bagi penulis dan cukup memberikan inspirasi dalam memahami fenomena marginalisasi petani subak Saba yang tengah menggejala saat ini. Marginalisasi petani ini sebagai akibat adanya penetrasi para investor
untuk mendapatkan areal tanah yang
diperuntukkan sebagai tempat pengembangan permukiman dan sektor-sektor layanan publik lainnya. Karl J. Pelzer (1991) dalam kajiannya mengenai “Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani” menyebutkan bahwa dalam sejarah sosial
suatu
masyarakat,
ternyata
suatu
fenomena
khusus
sering
mengimplikasikan masalah-masalah yang jauh lebih dalam. fenomena sengketa
19
pertanahan misalnya mengimplikasikan masalah seperti perubahan yuridis menyangkut undang-undang kepemilikan tanah, perubahan teknologi berkenaan dengan metode pertanian, perubahan ekonomi menyangkut penanaman modal, pemasaran, dan ketenagakerjaan, perubahan politik menyangkut hubungan kekuasaan, perubahan sosiologis berhubungan dengan struktur masyarakat dan perubahan kultural yang berkenaan dengan pemahaman diri. Sengketa agraria antara pengusaha dan petani tidak bisa tidak harus dilihat sebagai akibat dari konstelasi kompleksitas permasalahan di atas. Semua itu dapat dikembalikan ke satu masalah inti, yaitu masalah yuridis “siapa yang berhak dan hak apa yang dapat dilaksanakannya” merupakan suatu masalah yang tak pernah terselesaikan dengan tuntas. Sengketa agraria yang dilukiskan Karl J. Pelzer dalam penelitian itu, sekalipun terjadi dalam kurun sejarah yang silam, tetap merupakan isyarat masa lampau yang terbukti lebih sering terjadi pada masa sekarang. Karya Pelzer ini sangat relevan digunakan untuk memperkaya analisis penulis ketika melihat faktor-faktor penyebab terjadinya marginalisasi petani subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur Noer Fauzi (1999) yang meneliti “Petani & Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia” beranggapan bahwa persoalan sengketa tanah saat ini sudah gawat. Berbagai kasus tanah dari tahun 80-an hingga sekarang menunjukkan kualitas yang luar biasa. Bentuk manipulasi dan kekerasan dalam penanganan kasus tanah masih dominan. Beberapa kasus menggunakan berbagai teror dan pemakaian senjata yang mengakibatkan banyak korban jatuh. Dari rangkaian pelanggaran, penelitian ini muncul sebagai upaya untuk membeberkan
20
secara komplet persoalan tanah. Kajian ini memandang faktor perubahan struktural menjadi kunci pemecahan masalah-masalah tanah. Melalui kajian ini, Fauzi melihat nasib yang sejak zaman sejarah hingga zaman kini di mana krisis dan reformasi belum banyak mengubah nasib kaum petani. Hasil penelitian Fauzi ini banyak memberikan pemahaman kepada penulis terutama dalam memahami masalah beralihnya status kepemilikan atas tanah yang terjadi di subak Saba Denpasar. James C. Scott (1993) dalam kajiannnya mengenai “Perlawanan Kaum Tani” menyatakan bahwa melemahnya ikatan patron-klien antara petani gurem/ buruh tani (klien) dan petani kaya (patron) dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain adanya diferensiasi sosial yang menjadi sumber pengaruh ke mana elite pertanian di desa menaruh harapan. Kesenjangan dalam pemilikan tanah yang terjadi di desa Jawa dapat memperkuat pula ikatan patron-klien, di mana klien (buruh tani) makin tergantung pada hubungan kerja. Akan tetapi, terjadi pula sebaliknya, yaitu penggusuran buruh tani tetap terjadi dan makin banyak buruh tani di desa yang “tak berpatron” lagi. Kajian Scott juga mencatat bahwa buruh tani yang masih berakar pada dusun mengenal ikatan guyub di mana daya swakarsa secara perorangan atau kolektif mampu mempertahankan ketahanan mereka. Di samping itu juga diamati bahwa keterlibatan buruh tani di luar dusun umumnya tidak terlepas dari perantaraan “patron” baru. Kajian Scott ini tampak jelas dapat memperkaya pemahaman tentang masyarakat petani dan hubungannnya dengan petani kaya ataupun penguasa dan pengusaha.
21
James C. Scott (1981) dalam kajiannya “Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara” menempatkan masalah utama rumah tangga petani subsistensi pada inti kajiannya. Kecemasan terhadap kekurangan pangan menjelaskan banyak teka-teki sosial dan moral dalam masyarakat tani, seperti penolakan terhadap inovasi, keinginan untuk memiliki tanah, hubungan dengan orang lain, dan lembaga-lembaga negara. Scott membongkar sejarah masyarakat tani Asia Tenggara untuk menunjukkan perubahan dari masa kolonial yang secara sistematis melanggar “moral ekonomi” petani dan menciptakan suatu situasi yang mengandung pergolakan dan revolusi. Kajian ini cukup penting bagi penulis untuk memperkaya pemahaman mengenai masyarakat petani yang sedang mengalami perubahan sebagai akibat adanya pengaruh ideologi kapitalisme.
2.2
Konsep Beberapa konsep penting terkait dengan penelitian ini yang perlu
dijelaskan adalah sebagai berikut. 2.2.1 Marginalisasi Secara etimologi “marginalisasi” berasal dari kata “marginal” yang berarti berhubungan dengan tepi, pinggir, dan batas (Darminto, 2011: 232). Marginalisasi berarti proses yang menjadikan kelompok tertentu berada pada posisi tepi, terpinggirkan, atau tidak berdaya. Menurut Fakih (2008:14), proses marginalisasi sama saja dengan proses pemiskinan. Hal ini terjadi karena pihak yang termarginalkan tidak diberikan kesempatan mengembangkan dirinya. Artinya,
22
peminggiran oleh sekelompok orang dan merupakan sebuah proses sosial yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik terjadi secara alamiah maupun dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan. Marginalisasi adalah suatu posisi korban dalam hubungan oposisi biner (binary opposision) dari paham modernisme. Dalam kenyataannya ”ia” atau ”mereka” yang terpinggirkan adalah orang yang dianggap kalah. Dalam dunia kehidupan masa kini yang penuh ketidakadilan terdapat banyak korban dan posisi marginal. Hanya dalam paradigma keilmuan lainnya marginalisasi dianggap penyakit atau penyimpangan (patologi). Marginalisasi disebut dengan berbagai penamaan dalam studi Kajian Budaya, yang sering disebut the other (sang liyan atau yang lain), ia mengalami proses marginalisasi, ia juga disebut subaltern, yaitu konsep yang diungkapkan oleh Anthonio Gramsci dan Gayatri Chakravorty Spivak. Kata sub melekat dalam keterpinggiran karena dalam kenyataannnya ’ia’ tersubordinasi. Marginalisasi dalam hal ini merujuk pada posisi dan keberadaan masyarakat petani yang tertepikan, termarginal, tidak berdaya, kalah, dan tidak dapat bersaing dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. 2.2.2 Petani Petani adalah orang yang pekerjaannya bercocok tanam pada tanah pertanian. Anwas (1992: 34) mengatakan bahwa petani adalah orang yang melakukan cocok tanam dari lahan pertaniannya atau memelihara ternak dengan tujuan untuk memperoleh kehidupan dari kegiatan itu. Landsberger dan Alexandrov (1981: 10) mengatakan bahwa “petani” adalah penduduk yang secara
23
eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam. Dengan demikian kategori ini mencakup, baik penggarap atau penerima bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka. 2.2.3 Subak Subak merupakan organisasi atau lembaga tradisional
yang bergerak
dalam tata guna air untuk irigasi serta mengatur sistem pengelolaan pertanian bersifat sosial religius, mandiri. Anggotanya terdiri atas petani yang berada dalam suatu kesatuan wilayah tertentu dan diatur dalam awig-awig (Windia, 2006: 45; Sutawan et al., 1986: 377; Geertz, 1980: 7--8). Suparta (2005:45) mengatakan bahwa subak merupakan salah satu budaya agraris yang bersifat komunal, memiliki ikatan emosional, primordial, kolektif, keterikatan dengan alam yang tinggi, dan memiliki teknologi yang sangat sederhana sehingga perlu diubah menjadi subak yang maju dengan petani yang berbudaya maju. Bertolak dari pengertian konsep-konsep di atas, maka marginalisasi petani subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur, yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengandung arti adanya kelompok masyarakat penggarap sawah yang berlokasi di subak Saba. Posisinya menjadi termarginal atau tidak berdaya sebagai akibat adanya desakan investor yang berkolaborasi dengan penguasa yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah menjadi lahan nonpertanian. Aspek bentuk yang dimaksud dalam penelitian ini menyoroti dan membatasi “apa” (ontologi) yang ingin diketahui. Di sini ada upaya untuk
24
mengetahui siapa (kekuasaan, kepentingan) di balik bentuk marginalisasi itu sendiri. Aspek fungsi mempersoalkan “bagaimana (epistemologis) bentuk (ideologi, kebijakan, peraturan) apabila diimplementasikan di masyarakat petani subak Saba, apakah ada keteraturan, keterurutan, dan keterpaduan, bahkan sebaliknya menimbulkan keos. Aspek makna (aksiologi) mempersoalkan aksi atau upaya pencarian kebenaran secara empirik dan rasional untuk membongkar segala kepalsuan apabila implementasi bentuk itu terbukti berdampak buruk dan sekaligus memberikan solusinya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan memang benar ada manfaatnya bagi kehidupan manusia dan sekaligus menunjukkan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Dalam aspek faktor-faktor penulis berupaya untuk mencari dan menjelaskan (explanation) latar belakang penyebab terjadinya marginalisasi petani di subak Saba Denpasar Timur sehingga ditemukan penjelasan data emik. Dari gambaran di atas dapat dikatakan bahwa bentuk, faktor, dan makna dalam kajian ini tidak dipahami secara harfiah. Di katakan demikian karena pada hakikatnya bentuk merupakan identifikasi masalah, sedangkan faktor merupakan interaksi yang menyebabkan terjadi dalam masalah yang diidentifikasi, dan makna merupakan dampak (dari masalah yang diidentifikasi dan interaksi yang terjadi) yang muncul dalam masyarakat petani di subak Saba yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Terkait dengan hal ini, diasumsikan bahwa masyarakat petani subak Saba memiliki tujuan emansipatoris dan pembebasan atas cengkeraman kepentingan kolaborasi hegemonik investor dan penguasa, yang menimbulkan marginalisasi bagi petani subak Saba Denpasar Timur.
25
2.3
Landasan Teori Dalam menganalisis penelitian ini, digunakan beberapa teori yang relevan
dengan permasalahan yang dikaji. Teori yang digunakan adalah teori yang erat kaitannya dengan perspektif Kajian Budaya, seperti teori hegemoni, teori kuasa/pengetahuan dan teori Subaltern, Teori-teori ini digunakan secara eklektik untuk menganalisis ketiga masalah yang telah dirumuskan di atas. 2.3.1 Teori Hegemoni Teori hegemoni pertama kali diperkenalkan oleh Antonio Gramsci (1891-1937) seorang filsuf
Marxis dari Italia. Kata hegemoni berasal dari bahasa
Yunani “hegeisthai” yang berarti pemimpin, kepemimpinan, kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Jadi, titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelaskelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Menurut Gramsci, agar pihak yang dikuasai mematuhi penguasa, maka yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, Tetapi juga harus memberikan persetujuan atas subordinasi mereka. Terkait dengan hal ini, Simon, (2004: 19-20) menyatakan bahwa hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Secara lebih tegas Gramsci (dalam Barker, 2005:62) menjelaskan bahwa hegemoni berarti situasi di mana suatu “blok histories” fiksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan terlebih lagi dengan konsensus.
26
Teori di atas dapat aplikasikan untuk membedah masalah terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur. Teori hegemoni seperti terurai di atas dipakai untuk menganalisis permasalahan penelitian yang pertama dan kedua yang berkaitan dengan
bentuk-bentuk marginalisasi dan
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya marginalisasi. 2.3.2 Teori Kuasa/Pengetahuan Dalam konteks ini Foucault menyebutkan keseluruhan pola berpikir dengan sistem wacana dengan
tidak memisahkan antara pengetahuan dan
kekuasaan. Melalui wacana, kehendak untuk
mengetahui terumus dalam
pengetahuan. Kekuasaan selalu terakumulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. menurut Foucault penyelenggara kekuasaan, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis dari kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memproduksi pengetahuan, bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya, tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Hal itu terjadi karena setiap kekuasaan disusun, dimanfaatkan, dan diwujudkan lewat pengetahuan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kuasa dan pengetahuan dimaksudkan untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam apakah ada kekuasaan di balik fakta alih fungsi lahan dan marginalisasi petani yang terjadi di
27
subak Saba. Selanjutnya gagasan atau ideologi yang ada di baliknya tidak hanya bisa dipahami, tetapi bisa juga diperbaiki kembali untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik sebagai wujud dari gerakan emansipatoris. 2.3.3 Teori Subaltern Teori subaltern membedah masalah yang terjadi pada masyarakat petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur. Teori ini diaplikasikan dalam mengontrol bentuk marginalisasi petani di subak Saba Denpasar Timur saat ini. Kesadaran kedudukan, peranan dan andil dalam masyarakat petani terhadap identitas terpinggir dan subordinat yang memposisikan masyarakat petani menjadi subaltern. Masyarakat petani sebagai subjek ingin melakukan dekonstruksi atas keadaan keterpinggiran yang terjadi pada kelompoknya. Teori subaltern berada di wilayah dan pada periode poskolonial. Sebelum menguraikan pendekatan poskolonial penting juga dipahami pikiran kolonialisme. Secara etimologis, kolonialisme berasal dari kata Romawi ”colonia” yang berarti ”tanah pertanian” atau permukiman” (Lubis, 2006:203 dan Loomba, 2003:1). Dalam poskolonialisme sering dipertentangkan antara yang dominan dan yang dikuasai/terjajah. Kolonialisme dan imperialisme merupakan suatu istilah yang sering terkait satu sama lainnya. Kolonialisme merupakan perwujudan dari imperialisme itu sendiri. Kolonialisme merupakan sejarah kelam penjajahan pada masa modern. Selain itu, poskolonialisme bukan hanya modernitas, tetapi di sana ada pembebasan serta pencerahan. Studi poskolonial merupakan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme. Poskolonial berkembang menjelang abad ke-21 dan fokus dari kajiannya adalah
28
masalah ketidakadilan dalam bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan hegemoni, kolonialisme, dan kekerasan epistemologi Barat yang berkembang sejak awal abad modern (Lubis, 2006:202). Linda Tuhiwai Smith (2005:5) dan Lubis (2006:213--214) mengatakan bahwa imperialisme yang terjadi di Eropa awal abad ke -19 dan ada empat kecenderungan yang terjadi, yaitu (a) imperialisme sebagai ekspansi ekonomi, (b) imperialisme sebagai transmigrasi penduduk lain, (c) imperialisme sebagai sebuah semangat, gagasan dengan berbagai
pengejawantahan, dan (d) imperialisme sebagai bidang ilmu
pengetahuan yang diskursif” (Smith, 2005:5; Lubis, 2006:213--214). Sejarah kolonial merupakan sejarah perampasan, dalam hal ini identitas masyarakat petani masa lalu telah terampas akibat kekalahan dalam kontestasi yang terjadi dalam masyarakat kolonial. Dalam posisi ini keterpinggiran masyarakat petani terdominasi oleh ruang dan waktu karena eksistensi kekuasaan yang dominan, seperti pengusaha, pemerintah, dan kapitalis. Subaltern diadopsi pertama kali dari pemikir Italia Gramsci, yang menggunakan istilah subaltern bagi kelompok sosial yang berada di subordinat yakni kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Teori subaltern berkembang dari konsep Marxisme mengenai struktur kelas golongan borjuis (bangsawan) dan para buruh (proletariat)
yang
kemudian
dikembangkan
oleh
Gramsci
dalam
teori
hegemoninya. Akan tetapi, istilah subaltern lebih banyak digunakan dalam teori poskolonial yang berkaitan dengan imperialisme atau penjajahan budaya atau dominasi budaya tertentu terhadap budaya lainnya (http://www.wikipedia.com).
29
Poskolonial mengeksplorasi berbagai pengalaman tentang penindasan, resistensi, ras, gender, representasi, dan perbedaan yang tidak mungkin eksis tanpa empire (penguasaan). Dalam hal ini, wacana poskolonialisme yang membela subaltern ingin menghilangkan atau mengaburkan binerisme, seperti mayoritas dan minoritas atau pusat dan pinggir masyarakat petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur.
2.4
Model Penelitian Model penelitian pada dasarnya merupakan kerangka berpikir yang
dituangkan dalam bentuk bagan untuk dapat mempermudah pemahaman terhadap masalah yang telah dirumuskan. Untuk itu, model penelitian ini ditampilkan seperti bagan berikut ini. Model Penelitian Modernisasi Globalisasi
Pembangunanisme Investasi Modal Melebarnya Jaringan Sosial Petani
Bentuk Marginalisasi Petani
Organisasi Tradisional Subak
Marginalisasi Petani
Faktor-Faktor Terjadinya Marginalisasi Petani
Perubahan Okupasi Agraris Terancamnya Tradisi Bertani
Dampak dan Makna Marginalisasi Petani
30
Keterangan Tanda: : Hubungan Korelasi : Hubungan satu arah Keterangan Model Bagan model penelitian di atas menggambarkan bahwa arus modernisasi dan globalisasi yang terjelma menjadi ideologi pembangunanisme untuk meluaskan investasi modal telah mendekonstruksi organisasi tradisional subak yang ada di subak Saba. Akibatnya okupasi agraris mengalami perubahan serta trancamnya tradisi bertani karena tanah-tanah sawah telah diambil alih oleh para investor untuk kepentingan investasi. Kecuali investor, kebijakan pemerintah melalui Perda yang tertuang dalam Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar telah mengubah peruntukan wilayah areal persawahan menjadi areal permukiman dan perkantoran. Hal ini berakibat terjadinya alih fungsi lahan yang menjadi modal produksi dan terjadi proses marginalisasi petani di subak Saba. Tanah-tanah persawahan yang semula dikuasai oleh petani telah beralih kepemilikan sebagai akibat dari adanya pengaruh pembangunan terutama yang diusung oleh adanya investasi modal yang dijalankan oleh para investor. Maraknya alih fungsi lahan di subak Saba memunculkan bentuk-bentuk marginalisasi petani, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya marginalisasi petani serta dampak dan makna dari adanya marginalisasi petani itu sendiri. Pada era global ini munculnya teknologi modern, semakin meningkatnya kebutuhan ekonomi, sifat individualistis, dan gaya hidup konsumtif sudah mulai menyusupi kehidupan masyarakat umumnya dan kehidupan petani khususnya.
31
Tuntutan akan kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan, papan, dan pendidikan yang semakin meningkat menyebabkan petani berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Ketika kebutuhan hidup meningkat dan potensi sumberdaya alam serta sumber daya manusia berkurang dapat menimbulkan kesenjangan dalam masyarakat petani. Selanjutnya memunculkan marginalisasi pada arus masyarakat bawah terutama bagi masyarakat petani yang lahan garapannya telah beralih kepemilikan kepada pihak-pihak luar terutama yang dikuasai oleh investor. Investor yang mengusung ideologi pasar kurang memerhatikan kepentingan masyarakat petani karena mereka lebih mementingkan keuntungan dar pada memerhatikan kesejahteraaan petani pada umumnya.
32
BAB III METODE PENELITIAN 3.1
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang lebih menekankan
pada
penggalian data melalui wawancara, selanjutnya menjelaskan dan
mendeskripkan realitas sosial secara holistik dan mendalam disertai interpretasi data pendukung dan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Marginalisasi petani di subak Saba Kecamatan Denpasar Timur dikaji dan dianalisis dengan menggunakan teori-teori kritis secara eklektik. Kajian budaya sebagai suatu disiplin ilmu yang sering dipakai sebagai pendekatan dalam mengkaji fenomena sosial, ekonomi, dan budaya mempunyai ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri ilmu lain, yakni pendekatannya yang meminjam konsep dan teori berbagai disiplin ilmu (interdisipliner). Sebagai sebuah pendekatan, cultural studies merekombinasikan secara eklektik berbagai pendekatan dan metode analisis yang telah ada, seperti teori budaya, teori kritis, teori ideologi, antropologi, semiotika, analisis teks, analisis wacana, dan dekonstruksi (Piliang, 2005:20). Sebagai suatu kajian yang bersifat interdisipliner secara praksis memfokuskan perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-persoalan kekuasaan dan politik dengan kebutuhan perubahan dan representasi dari kelompok-kelompok sosial yang terpinggirkan. Representasi yang menyangkut kelas, gender, dan ras, diangkat dan diteliti. Di samping itu, kajian budaya merupakan gerakan pembebasan dengan berpihak pada yang lemah dan terpinggirkan (Hall, 1992 dalam Mariyah, 2006: 4).
33
Bertolak dari gagasan di atas, penelitian ini mengkaji dan membongkar terjadinya proses marginalisasi di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur. Petani sebagai pemilik sawah dalam hal ini dilihat sebagai kelompok yang lemah, tersubordinasi, dan terpinggirkan akibat dihegemoni oleh investor yang haus lahan dalam menginvestasinya. Dalam kajian ini beberapa aspek menjadi fokus perhatian seperti aspek sosial budaya, ekonomi, politik, dan ekosistem, terutama yang berkaitan dengan kondisi lingkungan masyarakat. Semua penjelasan penelitian dilakukan dengan metode kualitatif melalui metode penelitian seperti berikut ini.
3.2
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan
Denpasar Timur, di Kota Denpasar. Lokasi ini dipilih atas dasar pertimbangan berikut. Pertama, subak Saba merupakan salah satu subak dari empat subak yang ada di Kelurahan Penatih yang lahannya banyak dialihfungsikan, yakni mencapai 70%. Jumlah ini tidak hanya paling menonjol di tingkat desa tetapi juga terbanyak di tingkat
Kecamatan Denpasar Timur. Kedua,
petani yang tanahnya telah
dialihfungsikan merasa menyesal karena sekarang tidak mempunyai pekerjaan lagi. Akibat lebih jauh adalah terjadinya proses marginalisasi.
3.3
Jenis dan Sumber Data Menurut Lofland dan Lofland (Moleong 2002: 112), jenis data utama
dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata dan tindakan. Selebihnya
34
adalah data sekunder, yaitu studi dokumen berupa laporan, tulisan, dan arsip. Berkaitan dengan hal itu, jenis data yang dikumpulkan untuk kepentingan penelitian ini ádalah data kualitatif,
yakni data berupa kata-kata, tindakan,
kalimat, dan ungkapan. Sebagai pelengkap juga dikumpulkan data kuantitatif berupa angka-angka yang diperoleh dari berbagai sumber. Sumber data
dibedakan
atas sumber data primer dan sumber data
sekunder. Data primer ádalah jenis data yang digali dari observasi dilokasi penelitian dari informan melalui wawancara mendalam. Data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen terkait yang sudah tersedia untuk mendukung bukti-bukti analisis tetapi
bermanfaat untuk kepentingan penelitian ini. Sumber data
sekunder, antara lain dari monografi desa, profil desa, Badan Pusat Statistik (BPS), dan dokumen lainnya.
3.4
Penentuan Informan Informan memegang peranan kunci karena mereka inilah yang menjadi
sumber informasi dalam membahas permasalahan penelitian sehingga memilih calon informan yang tepat menjadi hal yang sangat penting. Informan kunci dalam penelitian ini ádalah kepala desa, pekaseh, petani pemilik sawah yang beralih fungsi (termarginal), dan petani yang tanahnya belum beralih fungsi. Mereka ini dipilih atas dasar pertimbangan bahwa mereka mengetahui informasi secara mendalam tentang kondisi masyarakat setempat. Oleh karena itu, mereka dipakai sebagai informan kunci. Mereka ini diharapkan dapat memberikan informasi yang mendalam tentang permasalahan yang berkaitan dengan masalah proses terjadinya
35
marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Dari informan kunci ini diperoleh informasi informan berikutnya yang dianggap mampu memberikan penjelasan tentang masalah yang diteliti. Pola semacam ini terus berlanjut (snow ball) dan semakin lama semakin bertambah banyak sehingga sampai pada tingkat kejenuhan baru pencarian informan dihentikan. Pekaseh juga dianggap paling mengetahui petani yang termarginalkan sebagai akibat tanahnya terjual atau beralih fungsi. Oleh karena itu, mereka diharapkan dapat memberikan petunjuk bagi peneliti untuk mencari informan lainnya untuk memeroleh informasinya. Petani dipilih sebagai informan atas dasar pertimbangan bahwa mereka ini yang
dapat memberikan
melatarbelakangi memberikan
informasi tentang
alasan atau faktor yang
terjadinya marginalisasi petani. Di samping itu, juga dapat
informasi
tentang
dampak
dan
makna
setelah
terjadinya
marginalisasi di Subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur. Pemilihan informan dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu memilih dengan sengaja orang-orang
yang dianggap memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
memadai terkait dengan permasalahan penelitian.
3.5
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian memegang peranan penting untuk mendapatkan
data atau informasi yang diperlukan untuk membahas permasalahan penelitian. Karena penelitian ini tergolong penelitian kualitatif (Moleong, 2002: 117), maka
36
diperlukan pengamatan berperan serta, dan peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya. Artinya, instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Walaupun demikian, agar pengumpulan data di lapangan dapat berjalan efektif dan efesien, peneliti juga menggunakan instrumen pelengkap, yaitu alat pencatat, alat perekam, pengambil foto, dan gambar. Instrumen lain yang sangat penting adalah pedoman wawancara untuk membantu dalam mengarahkan jalannya wawancara. Rencana pedoman wawancara ini
berisi
pertanyaan yang sifatnya terbuka dengan tujuan agar peneliti dapat melakukan wawancara secara bebas, luas, dan mendalam. Dengan demikian peneliti dapat memperoleh informasi secara lengkap, mendalam, dan akurat.
3.6
Teknik Pengumpulan Data Mengacu pada jenis penelitian dan jenis data yang diperlukan untuk
kepentingan penelitian seperti di atas, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi/pengamatan, teknik wawancara mendalam untuk menggali data primer, dan studi dokumen untuk memeroleh data sekunder. Teknik – teknik tersebut diuraikan satu per satu sebagai berikut. 3.6.1 Teknik Observasi Usaha pengamatan atau observasi yang cermat dianggap merupakan salah satu cara penelitian ilmiah dan paling sesuai bagi para ilmuwan dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Teknik observasi merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati, mencermati, dan mencatat secara sistematis
37
gejala dan kenyataan-kenyataan yang berhubungan dengan permasalahan serta tujuan penelitian. Dalam konteks penelitian ini, observasi tidak hanya dilakukan di subak Saba, tetapi secara langsung juga dilakukan observasi di beberapa lokasi ke tempat tinggal petani yang termarginalkan. Pengamatan dilakukan dengan cermat dan berkesinambungan sehingga permasalahan yang diangkat dapat diketahui secara jelas dan mendalam. 3.6.2 Teknik Wawancara Selain teknik observasi, juga digunakan teknik wawancara. Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Dalam proses ini hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor yang berinteraksi dan memengaruhi arus informasi. Faktor-faktor tersebut adalah pewawancara, informan, topik penelitian, dan situasi wawancara. Ada dua jenis wawancara, yakni wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang umum digunakan dalam penelitian kuantitatif. Sebaliknya wawancara tidak terstruktur adalah wawancara dengan menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara (interview guide) yang umum digunakan dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2002: 138). Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara tidak terstruktur atau wawancara mendalam
terhadap informan yang sudah ditentukan. Dalam
penggunaan teknik ini, penulis dapat mengajukan pertanyaan secara bebas dan leluasa dengan berpatokan pada pokok-pokok pertanyaan yang tercamtum dalam
38
pedoman wawancara. Dengan cara ini, penulis dapat melakukan komunikasi dengan informan secara santai, terbuka, fleksibel, dan lancar sehingga pada akhirnya bisa mendapatkan informasi yang lengkap dan mendalam terkait dengan praktik-praktik kelompok marginal di subak Saba. 3.6.3 Studi Dokumen Data yang terdapat dalam bahan dokumen tidaklah secara khusus tersedia bagi penelitian sejarah saja, tetapi juga secara leluasa dapat digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini juga digunakan teknik studi dokumentasi dan studi kepustakaan untuk melengkapi data primer yang diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara. Studi dokumen digunakan untuk memeroleh data yang terkait dengan permasalahan penelitian. Dokumen yang dimaksud, antara lain berupa monografi desa, profil desa, dan foto-foto. Dokumen-dokumen ini sangat penting artinya untuk mendukung data primer lainnya yang diperoleh dari hasil wawancara dan observasi (Hasan, Fuad & Koentjaraningrat, 1923)
3.7
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dan
interpretatif. Analisis data menurut Patton dalam Moleong, (2002: 103) adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Seperti telah disinggung di atas bahwa penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Oleh karena itu, mengikuti
39
pendapat Moleong, pada penelitian kualitatif analisis data dilakukan selama penelitian berlangsung secara deskriptif kualitatif dan interpretatif. Analisis
data
kualitatif seperti diungkapkan Miles dan Habermas (1992: 19) dilakukan melewati tiga langkah sistematis sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data, yaitu (a) reduksi data, (b) penyajian data, dan (c) penarikan simpulan. Reduksi data meliputi proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan
suatu bentuk
analisis yang menajamkan, menggolongkan, mangarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sehingga mudah dimengerti. Penyajian data, berkaitan dengan penyusunan teks naratif atau menyusun informasi
yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan simpulan dan pengambilan tindakan. Penarikan simpulan pada intinya mengungkapkan hal-hal yang hakiki, makna subjektif. 3.8
Teknik Penyajian Hasil Penelitian Data atau informasi yang telah berhasil dikumpulkan melalui beberapa
tahapan penelitian disajikan menjadi sebuah laporan penelitian ilmiah dalam bentuk tesis. Penyajian data dalam tesis ini dilakukan secara formal dan informal. Secara formal, yakni dalam bentuk tabel-tabel, dan gambar. Sebaliknya, secara informal, yakni dengan mendeskripsikan atau menarasikan dalam bentuk katakata dan ungkapan. Semua ini disusun sesuai dengan sistematika yang sudah diformulasikan sesuai dengan permasalahan penelitian yang dituangkan ke dalam delapan bab.
40
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1
Letak Geografis dan Batas Wilayah Subak Saba termasuk wilayah Pesedahan Yeh Lauh, berada di kawasan
utara Kota Denpasar mempunyai ketinggian 50 --75 meter di atas permukaan laut. Keadaan wilayahnya cukup datar sehingga cocok untuk pengembangan pertanian sawah basah. subak Saba merupakan kawasan penyangga yang mempunyai fungsi untuk daerah resapan air pada waktu musim hujan dan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) bagi Kota Denpasar. Luas wilayah subak Saba yang tercantum dalam Buku Liter B Subak Saba No. 126, tahun 1955 adalah 44.505 ha. Akan tetapi, adanya alih fungsi lahan terutama untuk pengembangan perumahan dan perkantoran pemerintah, saat ini luas wilayah subak Saba tinggal 36,00 ha Jadi, ada pengurangan luas wilayah sebesar 8,505 ha. Secara administratif subak Saba termasuk wilayah Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Batas-batasnya adalah sebelah utara berbatasan dengan subak Paang, sebelah timur berbatasan dengan subak Temaga wilayah Penatih, sebelah selatan berbatasan dengan Banjar Koon, dan sebelah Barat berbatasan dengan subak Lungatad. Wilayah subak Saba dibagi menjadi empat munduk, yakni munduk kelod kangin, kelod kauh, kaja kauh, dan kaja kangin. Alih fungsi lahan secara besar-besaran telah terjadi di kawasan munduk kelod kauh dan kelod kangin.
41
4.2
Keadaan Bangunan Fisik Dalam mewujudkan salah satu fungsi subak sebagai organisasi pengelola
dan pendistribusian air sangat ditentukan oleh sarana dan jaringan irigasi yang memadai. Sarana fisik bangunan irigasi subak Saba sudah memadai seperti dam dan saluran irigasi. Bangunan balai subak sudah permanen karena bantuan pemerintah, seperti gambar berikut.
Gambar 4.1 Balai Subak Saba (dok. Antari, 2013) Setiap tahun Pemkot Denpasar memberikan bantuan dana untuk memperbaiki saluran irigasi. Anggota subak utamanya para pengurus mempunyai kewajiban untuk memelihara bangunan irigasi yang sudah ada. Apabila ada saluran irigasi yang jebol anggota subak berusaha untuk menanggulangi secara swadaya. Kalau kerusakannya cukup parah dan memerlukan biaya besar, pekaseh beserta pengurus melaporkan kepada instansi terkait untuk mendapat perbaikan.
42
Saluran irigasi yang langsung mengairi sawah petani menjadi tanggung jawab tiap – tiap anggota untuk memelihara agar air dapat terpenuhi.
Gambar 4.2 Saluran Irigasi Subak Saba (dok. Antari, 2013)
Sumber air subak Saba berasal dari dam Kedewatan yang mengairi tiga wilayah persubakan di tiga kabupaten/kota yakni 11 subak di wilayah Kota Denpasar, 14 subak di Kabupaten Badung, dan 44 subak di Kabupaten Gianyar. Ketiga wilayah yang mendapat air dari dam Kedewatan dikenal dengan perkumpulan Sedahan Yeh Lauh. Pada musim kemarau biasanya debit air berkurang sehingga masyarakat petani mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman padinya. Untuk mengatasi kekurangan air pada musim kemarau pengurus subak secara bergiliran meminjam air (nyelang toya) ke Subak Semana yang terletak di wilayah Kabupaten Badung dua kali seminggu pada Kamis dan Minggu. Hal ini sudah menjadi kesepakatan di antara pengurus subak
sehingga pada setiap hari Kamis dan Minggu pengurus subak Saba
43
diijinkan membuka saluran air di wilayah subak Semana untuk mengalirkan air ke saluran air yang mengairi subak Saba Selain bangunan fisik berupa jaringan irigasi subak Saba juga sudah memiliki balai subak yang cukup representatif. Balai subak berdiri di atas lahan milik pemerintah dengan luas sekitar 5 are, terletak di tengah areal persawahan. Bangunan balai subak dibagi dua, yakni ruang tertutup dan ruang terbuka. Ruang tertutup difungsikan untuk menyimpan barang-barang inventaris subak, sedangkan ruang terbuka digunakan untuk pertemuan balai subak. Fungsinya sebagai tempat pertemuan anggota subak, tempat mengadakan berbagai upacara dan tempat menyelenggarakan penyuluhan oleh petugas penyuluh pertanian. Di sisi selatan area balai subak terdapat bangunan tempat menyimpan padi (lumbung). Bangunan ini hanya sebagai simbol Dewi Sri, Dewi Kesuburan karena di dalamnya tidak ada padi yang tersimpan. Dalam keseharian bangunan lumbung ini sering digunakan sebagai tempat beristirahat bagi petani setelah mengerjakan sawahnya. subak Saba juga mempunyai pura subak yang terletak di bagian timur laut kawasan balai subak merupakan arah yang disucikan oleh umat Hindu. Subak Saba juga mempunyai tempat suci yang disebut Bedugul yang letaknya di pojok Timur laut empelan. Ada dua Bedugul yang dimiliki oleh subak Saba, yakni Bedugul di bangunan bagi di Banjar Jenah dan Bedugul di bangunan bagi Banjar Anggabaya. Di tiap-tiap sawah petani mendirikan sanggah Catu/sanggah Pengalapan. Sesuai dengan namanya sanggah Pengalapan letaknya di kawasan paling hulu (pengalapan) dari sawah tempat air pertama masuk ke sawah dari saluran irigasi yang dianggap
44
sebagai areal paling suci. Di tempat inilah segala jenis sesajen dihaturkan oleh masing-masing petani dalam kaitannya dengan upacara yang berhubungan dengan pertanian. Untuk melancarkan segala aktivitas petani dalam usahanya mengolah sawah dan mendistribusikan hasil-hasil pertanian di kawasan subak Saba sudah dibangun jalan subak yang representatif. Jalan aspal yang menghubungkan tempat tinggal petani menuju balai subak dapat dilalui kendaraan roda empat. Jalan ini dapat memperlancar aktivitas petani sehingga mempersingkat waktu tempuh ke sawah, apalagi saat ini banyak petani yang menggunakan sepeda motor sebagai sarana tranportasi ke sawah dan mengangkut hasil panennya ke rumah dan ke pasar. Sarana jalan yang telah memadai mengurangi biaya pengangkutan saat terjadi panen karena kendaraan sudah dapat masuk untuk mengambil hasil pertanian.
4.3
Keadaan Anggota dan Struktur Organisasi Kajian yang dilakukan oleh Pitana dkk. (1992) tentang sistem pengairan
di Bali yang dikenal dengan subak, anggotanya dibedakan menjadi tiga kategori, yakni krama pengayah, krama pengoot atau pengampel, dan krama leluputan (Sudarta, 2012: 6). Klasifikasi anggota tersebut di atas secara umum masih berlaku di seluruh subak yang ada terutama subak yang ada di kawasan Kota Denpasar. Anggota subak Saba dapat dibedakan menjadi petani pemilik penggarap dan petani penggarap. Anggota subak Saba dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni krama pengayah dan krama pengoot.
45
Krama pengayah (anggota aktif) berjumlah 76
orang. Anggota aktif
(krama pengayah) melaksanakan berbagai kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan subak, seperti mengerjakan sawah dan melaksanakan upacara ritual. Di samping itu juga ikut aktif melaksanakan berbagai aktivitas, seperti pemeliharaan dan perbaikan jaringan irigasi, gotong royong dalam membersihkan saluran irigasi, memperbaiki jalan subak, balai subak, dan ikut memelihara fasilitas subak. Anggota subak aktif juga wajib mengikuti berbagai kegiatan, seperti rapat-rapat anggota, penyuluhan yang diberikan oleh instansi pemerintah, PPL tentang masalah pertanian. Krama pengoot/pengampel (anggota tidak aktif) adalah anggota subak yang mengerjakan sawah, tetapi karena kesibukan, baik sebagai karyawan maupun pegawai negeri, tidak bisa ikut aktif dalam kegiatan subak. Karena tidak berpartisipasi
secara
aktif,
sebagai
gantinya
anggota
tidak
aktif
(pengoot/pengampel) wajib membayar sejumlah uang setiap panen yang besarnya telah disepakati dalam rapat anggota subak. Di subak Saba terdapat 30 orang anggota pengoot/pengampel. Jumlah uang yang harus dibayar dalam satu masa penen adalah Rp 2.000,00 setiap are, sedangkan anggota yang aktif hanya membayar Rp 1.000,00 setiap are. Di subak Saba tidak ada anggota khusus (leluputan). Organisasi subak mempunyai pengurus yang lazim disebut prajuru subak. Menurut Windia (2006: 64), subak yang mempunyai wilayah cukup luas dan mempunyai struktur pengurus sebagaimana organisasi modern, dengan susunan pengurus adalah (a) pekaseh (ketua subak), (b) petajuh atau pangliman (wakil
46
ketua), (c) penyarikan (sekretaris), (d) petengen atau juru raksa (bendahara), (e) juru arah atau kesinoman (penyalur informasi), dan (f) saya (pembantu khusus). Subak Saba mempunyai struktur pengurus hampir sama dengan struktur pengurus yang disebutkan di atas. Karena wilayahnya cukup luas, maka wilayah subak dibagi menjadi wilayah yang lebih kecil yang disebut munduk. Setiap munduk dipimpin oleh dua orang kelian munduk yang sekaligus bertugas sebagai juru arah atau kesinoman. Karena wilayahnya cukup luas, pekaseh didampingi oleh enam orang pangliman. Dalam struktur organisasi subak Saba tidak dikenal istilah saya (pembantu khusus).
4.4
Kegiatan Ritual Kegiatan ritual di subak Saba dapat dibedakan menjadi dua, yakni
kegiatan ritual yang dilaksanakan secara kelompok dan kegiatan ritual secara perorangan di sawah masing-masing. Kegiatan ritual secara berkelompok yang wajib dilakukan oleh anggota subak adalah upacara piodalan di pura subak yang letaknya di area balai subak. Upacara di pura subak dilaksanakan setiap satu tahun sekali, yakni pada hari Purnama Kasa. Tingkat upacara yang dilaksanakan di pura subak adalah banten tumpeng solas dan caru ayam berumbun. Subak Saba juga mempunyai kewajiban terhadap upacara di pura Laban yang terletak di Desa Kedewatan sebagai sumber air bagi subak Saba. Walaupun tidak ikut melaksanakan upacara, warga subak Saba mempunyai kewajiban untuk menghaturkan dana punia berupa iuran sesuai dengan tingkatan upacara yang
47
dilaksanakan. Upacara piodalan di pura
Laban Desa Kedewatan Kabupaten
Gianyar dilaksakan setiap enam bulan sekali pada Buda Keliwon Pagerwesi. Kegiatan ritual secara kelompok juga dilaksanakan apabila ada wabah penyakit yang menyerang tanaman petani. Hal ini sesuai dengan Palet 2 Indik Pengaci Ring Subak pawos 17: sajawaning piodalan kewentenang peneduh wiadin nangluk mrana manut wiguna. Di samping itu buku Bebantenan Ring Pesawahan Subak Saba terdapat tuntunan dan petunjuk bagi petani dalam mengatasi berbagai wabah (mrana), sarana perlengkapan yang digunakan, serta mantra yang harus diucapkan, seperti padi dirusak oleh burung, hama wereng, hama tikus, dan hama walang sangit. Menurut pengakuan para petani karena perkembangan teknologi, mereka tidak lagi menggunakan penolak hama secara tradisional. Mereka lebih banyak menggunakan obat-obatan modern karena hasilnya lebih cepat tampak. Penggunaan benih transgenik juga sering menyerbu petani di subak Saba, akibatnya bibit lokal terancam. Kehadiran benih hibrida telah mengancam keberadaan benih unggul lokal, akibatnya petani akan makin tergantung pada industri pangan karena tidak lagi mengusahakan pengadaan benih secara mandiri dan berkelanjutan. Padahal, harga benih hibrida jauh lebih mahal sehingga pengeluaran petani akan membengkak. Benih hibrida tidak bisa ditanam lagi oleh petani. Hal ini akan menjadikan monopoli pasar bagi produsen benih tertentu. Masuknya benih hibrida akan membuat petani ketergantungan di samping penggunaan benih tersebut, 90 % ketergantungan bahan asupan anorganik, seperti pupuk dan perangsang hingga menggunakan pestisida melebihi ambang
48
keamanan untuk dikonsumsi. Akibatnya tidak ramah lingkungan karena asupan bahan kimia yang berlebihan. Bila petani mengonsumsi hasil pertanian tersebut, akan berdampak buruk bagi kesehatan (Bali Post, Sabtu, 24 Mei 2014, hal 1, kol.: 1-5; hal.23, kol. 1-3). Ritual yang dilakukan secara individual sesuai dengan yang tercantum dalam buku Bebanten Ring Pesawahan Subak Saba
adalah upacara mulai
mengerjakan sawah (ngendag memacul), upacara ngurit, upacara saat menanam padi, upacara padi berusia 12 hari, upacara padi berusia 17 hari, upacara padi berusia 27 hari, padi berusia 35 hari, padi berusia 42 hari, padi berusia 70 hari, padi berusia 105 hari, padi pada saat beling (bunting), padi saat meluspusin, upacara ngusaba ring bedugul, upacara mantenin ring sawah, upacara pecaruan sebelum panen, upacara pada saat panen, upacara mendak Dewa Nini, upacara menyusun padi, upacara menaikkan padi ke lumbung, upacara menurunkan padi dari lumbung, upacara mralina Dewa Nini, upacara nyimpen beras di pulu, dan upacara ngerasakin.
4.5
Rapat-Rapat dan Penyuluhan Masalah rapat-rapat (paruman) sesuai dengan yang tercantum dalam awig-
awig Subak Saba Pesedahan Yeh Lauh pada palet 3 pawos 11 tentang rapat-rapat dinyatakan bahwa rapat dapat dibedakan menjadi dua, yakni rapat krama subak dan rapat prajuru subak. Rapat krama dan rapat prajuru dilaksanakan secara berkala dan sesuai dengan kebutuhan krama subak. Rapat anggota subak dapat dilaksanakan apabila dihadiri oleh 50 persen dari jumlah anggota. Dalam
49
membahas dan memutuskan persoalan diusahakan secara musyawarah mufakat. Apabila jalan musyawarah tidak tercapai, maka diputuskan melalui suara terbanyak. Segala keputusan yang telah disepakati dalam rapat wajib dipatuhi oleh semua anggota subak. Rapat pengurus subak membicarakan dan merencanakan program
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
keberadaan
subak
dan
membicarakan hal-hal yang belum diputuskan dalam rapat anggota. Rapat-rapat pengurus subak Saba yang diadakan dalam satu kali panen diantaranya rapat mendak toya, mencari air untuk musim tanam. Rapat untuk mencari traktor yang digunakan untuk mengolah tanah. Dalam rapat tentang traktor dibicarakan kebutuhan traktor, ongkos yang harus dibayar, dan giliran mendapat traktor. Dalam rapat pekaseh beserta jajarannya terutama para kelian munduk diadakan kesepakatan tentang giliran mendapat traktor dan selanjutnya kelian munduk menyampaikan kepada anggota di munduk-nya masing-masing. Selanjutnya para pengurus subak mengadakan rapat tentang mulai menanam (mewinih) dan apabila telah disepakati, informasinya diteruskan kepada anggota subak oleh kelian munduk. Apabila ada saluran air yang rusak atau jebol dan kerusakan sarana irigasi, lainnya para pengurus subak mengadakan rapat pengurus untuk membicarakan upaya perbaikannya dan membuat laporan kepada instansi terkait apabila kerusakannya tidak dapat ditanggulangi oleh pengurus dan warga subak. Rapat rutin anggota subak Saba diadakan setiap enam bulan sekali, yakni pada hari Sugian Pengenten. Rapat anggota juga dilaksanakan pada saat diadakan pembagian pupuk. Apabila ada bantuan bibit dari pemerintah, rapat pada saat
50
dilaksanakan upacara yang tingkatan lebih besar dan memerlukan persetujuan anggota, rapat untuk kesepakatan membayar sawinih. Permasalahan yang ada di setiap munduk ditangani oleh kelian munduk beserta anggotanya. Apabila dipandang perlu, anggota munduk juga mengadakan rapat dipimpin oleh kelian munduk. Di samping itu, anggota subak juga mengadakan pertemuan jika ada penyuluhan dari instansi terkait dan penyuluhan dari petugas Penyuluh Pertanian. Para PPL biasanya datang memberikan penyuluhan jika petani mengalami kegagalan panen karena serangan hama. PPL memberikan penyuluhan tentang cara-cara penanggulangan hama, cara bercocok tanam yang lebih efektif, seperti sistem tabela (tanam benih langsung) yang berbeda dari cara yang dilakukan secara tradisi, yakni tapin (tanaman pindah). Melalui sistem tabela diharapkan produksi petani lebih meningkat karena dapat mengurangi ongkos produksi dan efisiensi tenaga kerja. Upaya yang telah dilakukan oleh PPL dan instansi terkait dalam meningkatkan produktivitas petani belum berhasil maksimal karena sebagian besar petani masih melaksanakan cara bercocok tanam secara tradisional.
4.6
Kegiatan Gotong Royong Kegiatan gotong royong masih berjalan baik di lingkungan subak Saba
khususnya pekerjaan yang berkaitan dengan pemeliharaan dan perbaikan saluran irigasi, membersihkan lingkungan balai subak, pura subak, memperbaiki dan membersihkan jalan usaha tani. Untuk membersihkan saluran irigasi utama biasanya dilaksanakan oleh pengurus subak beserta jajarannya. Gotong royong
51
meperbaiki saluran utama dilaksanakan pada saat awal musim tanam. Pekaseh bersama pengurus subak membersihkan saluran utama dari hilir sampai ke hulu dan memastikan tidak ada kerusakan yang terjadi pada saluran utama. Gotong royong membersihkan saluran utama tidak melibatkan seluruh anggota subak karena jumlah pengurus di subak Saba sudah cukup memadai untuk melaksanakan gotong royong pada saluran utama. Jumlah pengurus subak Saba adalah sembilan orang terdiri atas pekaseh, delapan orang pangliman, petengen, penyarikan, delapan orang kelian munduk. Gotong royong di setiap munduk diadakan setiap bulan sekali dikordinasikan oleh kelian munduk. Kebersihan saluran irigasi di setiap munduk menjadi tanggung jawab warga munduk. Setiap awal musim tanam anggota munduk dipimpin oleh kelian munduk membersihkan saluran di areal munduk masing-masing sampai di saluran utama. Gotong royong ini bertujuan untuk memastikan bahwa saluran air telah berfungsi untuk memeroleh air yang cukup dalam satu musim tanam. Aspek pelemahan subak berupa hamparan persawahan akan bermanfaat secara maksimal apabila didukung oleh fasilitas irigasi yang memadai. Sistem irigasi subak di Bali didukung oleh fasilitas fisik subak, seperti empelan (bendungan, dam) yang berfungsi sebagai bangunan bagi untuk mendistribusikan air ke areal subak melalui aungan (trowongan), telabah (saluran primer), tembuku aya (bangunan bagi primer), telabah gede (saluran sekunder), tembuku gede (bangunan bagi sekunder), telabah pemaron (saluran tersier), tembuku pemaron (bangunan bagi tersier), telabah penyahcah (bangunan bagi
52
kuarter), tembuku pengalapan (bangunan pemasukan air individual), serta tali kunda (saluran air individual) (P. Windia, 2006: 65). Tanggung jawab untuk membersihkan saluran individual (tali kunda) dikerjakan oleh anggota subak sesuai dengan kebutuhan dan kebersihan saluran air di areal sawahnya.
4.7
Keadaan Pertanian. Sungai Ayung merupakan sungai terpanjang di Bali Selatan menjadi salah
satu sumber air untuk mengairi subak di daerah Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kota Denpasar. Subak Saba memeroleh air irigasi dari dam Kedewatan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar. Karena tidak mendapat air langsung dari saluran utama, istilah lokal “natak tiyis,” maka pada musim kemarau yang bersamaan dengan musim tanam padi seluruh wilayah subak Saba dibagi menjadi dua, yakni bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara dalam menerapkan pola tanam dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian hulu dan bagian hilir. Apabila di bagian hulu menanam padi, maka di bagian hilir menanam palawija. Sebaliknya, apabila di bagian hilir menanam padi, di bagian hulu menanam palawija. Pola tanam ini dilakukan untuk menanggulangi kekurangan air pada musim kemarau. Pola tanam yang diterapkan adalah pola tanam serempak (kerta masa) yakni padi dan palawija. Jika ada yang melanggar, dikenai sanksi yang sangat tegas. Bahkan, pernah ada anggota subak yang melanggar, yaitu menanam padi pada saat musim tanam palawija. Karena melanggar kesepakatan maka pekaseh dan anggota subak mendatangi sawah petani yang melanggar dan secara bersamasama mencabut tanaman padi yang sudah berumur dua bulan. Sejak saat itu tidak
53
ada anggota subak yang berani melanggar sistem pola tanam yang sudah disepakati bersama. Pada masa musim palawija petani kebanyakan menanam kedelai, tetapi ada pula yang menanam bunga pacar dan kangkung. Adanya jalan usaha tani menuju balai subak memudahkan para petani dalam mengangkut dan memasarkan hasil-hasil pertanian.
4.8
Sumber Dana dan Penggunaannya Subak sebagai organisasi yang bersifat sosial religius dan mempunyai
salah satu fungsi mendistribusikan air untuk kebutuhan pertanian memiliki berbagai fasilitas fisik yang harus dipelihara. Di samping itu, subak juga mempunyai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan ritual yang membutuhkan sumber-sumber dana. Dalam awig-awig subak Saba tentang kekayaan subak disebutkan bahwa kekayaan atau kepemilikan subak berupa bangunan, seperti balai subak, pura subak, dan mempunyai sumber dana yang diperoleh melalui urunan anggota subak, sawinih setiap musim tanam, denda-denda, dan sumbangan pihak luar (pemerintah). Dalam awig-awig juga disebutkan agar kekayaan subak digunakan untuk kepentingan subak dan dipertanggungjawabkan dalam setiap rapat anggota. Iuran anggota subak dibedakan antara anggota aktif (krama pengayah) dan anggota tidak aktif (krama pengoot/pengampel). Bantuan dari pemerintah biasanya diberikan setiap tahun. Untuk tahun 2013 diberikan bantuan sebesar 30 juta. Di samping itu, sumber dana juga diperoleh dari para pedagang yang membeli gabah (penebas). Mereka dikenai dana punia yang dibayarkan kepada
54
pangliman, sedangkan para pengembala itik, pemilik traktor juga membayar kepada kelian munduk sesuai dengan kesepakan. Selama ini dana tersebut tidak masuk kedalam kas subak karena digunakan untuk kesejahteraan pengurus di tiaptiap munduk. Dana yang dimiliki oleh subak digunakan untuk berbagai keperluan seperti memperbaiki saluran irigasi yang rusak, memperbaiki berbagai fasilitas fisik yang lain seperti pura subak, balai subak, biaya upacara di pura subak, sumbangan untuk upacara di pura Laban Kedewatan sebagai pura penyungsungan bersama, untuk dana konsumsi apabila pengurus, anggota subak mengadakan rapat dan gotong royong membersihkan saluran irigasi. Akan tetapi ada keluhan dari anggota subak tentang pemgelolaan dana subak yang selama ini tidak transparan yang menimbulkan kecemburuan di kalangan anggota. Untuk masa yang akan datang para pengurus subak wajib mempertangungjawabkan keuangan subak di hadapan rapat anggota untuk menghindari rasa saling curiga di antara para anggota. Kepercayaan yang diberikan oleh anggota hendaknya dilaksanakan secara bertanggung jawab sebagai modal dasar dalam membangun subak ke arah yang lebih baik.
4.9 Kendala dan Harapan Subak Upaya untuk melestarikan subak merupakan tujuan yang sangat mulia dan menjadi harapan petani. Hal tersebut diungkapkan oleh salah seorang petani, yaitu Gedoran di subak Saba sebagai berikut. “Saya sangat setuju dan mendukung upaya pemerintah Kota Denpasar dalam melestarikan subak karena sebagai petani
55
saya sangat tergantung terhadap keberadaan subak dan satu-satunya pekerjaan yang saya tekuni sampai saat ini” (Gedoran, wawancara 28 Desember 2013). Ungkapan yang tulus tersebut menggambarkan bahwa masih banyak masyarakat yang mengharapkan subak di Kota Denpasar tetap lestari. Banyak kendala yang dihadapi oleh petani dalam upaya untuk melestarikan subak, yaitu sebagai berikut. Pertama, adanya alih fungsi lahan yang mengancam keberadaan subak, Istilah yang digunakan oleh petani di subak Saba “Subak Saba sudah diserang dari berbagai penjuru oleh tukang kapling tanah”. Hal ini sulit dihindari karena pengurus subak tidak mempunyai kekuatan untuk melarang hal tersebut. Tukang kapling tanah bahkan sering melanggar larangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah khususnya kawasan jalur hijau. Kedua, kurang tertariknya generasi muda untuk menekuni bidang pertanian yang dianggap sebagai pekerjaan kasar, bergelut dengan lumpur sehingga membuat mereka kurang percaya diri bergaul dengan teman-temannya. Keterbatasan tenaga lokal yang terjun di bidang pertanian mengakibatkan usaha pertanian sangat tergantung kepada tenaga luar. Hal ini sangat dirasakan oleh petani pada saat musim panen bersamaan dengan hari raya besar keagamaan yang mengakibatkan kerugian bagi petani. Kondisi tersebut sering digambarkan oleh petani dengan ungkapan “sing ngelah padi tiyang pusing, ngelah padi tiyang pengeng” artinya tidak menyapai padi saya pusing, mempunyai padi saya juga pusing” Ketiga, dalam bidang pemasaran hasil pertanian pada saat panen petani sering dipermainkan oleh para tengkulak. Hal ini terjadi karena terbatasnya tenaga
56
kerja saat musim panen dan kebiasaan masyarakat petani menjual padi melalui sistem tebas. Beberapa kasus ada petani yang sudah mengutang beras di tempat tengkulak sebelum musim penen. Karena sudah banyak berutang, pada musim panen harga ditentukan oleh tengkulak sehingga petani tidak mempunyai posisi tawar di hadapan tengkulak. Demikian juga hasil palawija seperti kedelai pada saat musim panen harganya sering jatuh. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan petani di subak Saba. Keempat, kendala hama seperti hama kepiting dan keong emas yang sangat meresahkan petani di subak Saba. Hama kepiting sangat sulit diatasi karena hama tersebut merusak tanaman padi dengan memotong batang padi dan membuat lubang di pematang sawah dan pematang saluran irigasi yang mengakibatkan pemborosan air. Demikian juga hama keong emas yang merajalela di pematang sawah yang baru ditanam dan memotong tanaman padi petani. Hama kepiting dan keong emas dialami oleh seluruh subak yang ada di kawasan Kota Denpasar. Berbagai kendala yang telah diungkapkan di atas merupakan persoalan yang dihadapi oleh petani di subak Saba dan mengharapkan berbagai pihak untuk ikut mencarikan solusi agar para petani tetap eksis dalam mempertahankan subak sebagai salah satu warisan budaya Bali yang telah mendapat pengakuan dari lembaga internasional sebagai salah satu warisan budaya dunia (world cultural heritage). Para petani di subak Saba mempunyai berbagai harapan, seperti untuk menghindari terjadinya alih fungsi lahan secara terus-menerus, yang mengancam keberadaan subak. Terkait dengan itu, pemerintah hendaknya mengeluarkan aturan tegas seperti peraturan daerah tentang subak dan memberlakukan secara
57
konsisten, artinya siapa melanggar harus dikenai senksi tegas. Di samping itu, ada peningkatan subsidi kepada petani seperti bantuan bibit padi dan palawija serta pelatihan bidang pertanian kepada generasi muda khususnya pelatihan untuk meningkatkan keterampilan generasi muda di bidang agrobisnis dan agrowisata di kawasan subak Saba Untuk menghindari kerugian petani pada masa panen, pemerintah hendaknya merevitalisasi lembaga yang mampu membeli hasil panen dengan harga yang wajar sesuai dengan ketentuan pemerintah. Koperasi unit desa (KUD) sebagai lembaga mitra petani belum berperan, bahkan tidak menampakkan aktivitasnya dalam membantu petani untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat subak Saba mengharapkan adanya bimbingan teknis yang lebih intensif dari lembaga terkait dalam upaya mengatasi hama. Demikian juga peranan petugas penyuluh pertanian lapangan (PPL) terutama intensitas pertemuan dengan petani lebih ditingkatkan. Setiap saat anggota subak bisa berkomunikasi, konsultasi dengan PPL untuk membahas pemasalahan yang dihadapi. Apabila memungkinkan, PPL bisa berkantor di balai subak supaya bisa dekat dengan petani. Harapan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia prajuru subak terutama dalam meningkatkan kemampuan dalam bidang manajerial. Oleh karena itu, pelatihan dalam bidang manajerial kepada pengurus subak perlu untuk dilaksanakan segera. Salah satu isu yang sangat krusial yang sedang dihadapai masyarakat Bali khususnya di kawasan perkotaan adalah terjadinya persaingan yang sangat tajam
58
dalam pemanfaatan sumber daya yang sangat terbatas, yakni tanah dan air. Pulau Bali adalah pulau kecil dengan sumber daya alam dan air yang sangat terbatas menjadi rebutan dari berbagai pihak untuk kepentingan pengembangan kawasan permukiman, pembangunan objek dan sarana pariwisata, dan upaya untuk melestarikan pertanian. Pada saat ini upaya melestarikan pertanian sebagai salah satu sektor untuk menunjang kehidupan masyarakat mempunyai tantangan yang sangat besar. Alih fungsi lahan pertanian untuk permukiman dan fasilitas pariwisata yang diperkirakan mencapai luas 1.000 hektare setiap tahun menjadi ancaman bagi upaya melestarikan sektor pertanian. Penyempitan lahan pertanian yang terjadi di daerah perkotaan dipicu oleh melambungnya harga tanah yang sebagian besar digunakan untuk lahan permukiman. Kondisi ini menggoda pemilik lahan untuk menjual lahan pertaniannya yang sudah terjepit oleh permukiman. Di samping itu, juga karena sarana irigasi yang sudah tidak memadai untuk menyediakan air bagi kebutuhan lahan pertanian yang masih ada. Subak di Bali telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia (world cultural heritage). Namun, demikian, berbagai permasalahan kini muncul. Subak selama ini memiliki fungsi dan peran yang terbatas sehingga dikhawatirkan tidak mampu mempertahankan eksistensinya di tengah gempuran pembangunan. Subak perlu direvitalisasi atau diberdayakan bukan saja organisasinya atau kelembagaannya, melainkan juga para anggotanya agar menjadi lebih sejahtera dari segi ekonomi melalui peningkatan fungsi dan peran subak. Sehubungan dengan itu, subak diharapkan menjadi lebih kuat dan mandiri sehingga mampu
59
bertahan dalam
menghadapi dinamika perkembangan
zaman. Keterbatasan
fungsi dan peran Subak merupakan permasalahan dasar yang pada akhirnya berdampak pada alih fungsi lahan
yang terus-menerus terjadi sehingga
produktivitas pertanian terus merosot. Hal ini berdampak terhadap ketahanan pangan masyarakat karena adanya ketergantungan pangan kepada pihak luar. Peningkatan fungsi subak untuk menyediakan kebutuhan pangan kepada masyarakat sangat penting. Kearifan lokal yang diwarisi secara turun-temurun merupakan hal yang sangat penting untuk mepertahankan pertanian. Gagasan pemikiran yang ditawarkan oleh pemerintah untuk memadukan beberapa fungsi tambahan pada subak sehingga fungsi subak tidak hanya terbatas
pada
irigasi, tetapi menjadikan subak mempunyai fungsi yang lebih luas.
Pada
akhirnya revitalisasi fungsi subak ini mampu meningkatkan fungsi dan perannya dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Revitalisasi fungsi subak khususnya subak Saba diharapkan mampu memberikan sumbangan kepada pembangunan masyarakat khususnya kepada anggota subak Saba sebagai bagian pelestari lingkungan alam. Salah satu unsur tri hita karana dalam subak adalah palemahan berupa areal sawah beririgasi merupakan salah satu wilayah terbuka hijau yang berfungsi sebagai penyangga suatu kawasan. subak Saba yang terletak di sisi timur Kota Denpasar berfungsi sebagai daerah resapan air dan menampung air pada saat musim hujan sehingga mampu mengendalikan banjir. Apabila subak yang berada di kawasan Kota Denpasar punah karena pesatnya pembangunan maka ancaman banjir terhadap Kota Denpasar sulit dihindari. Kawasan terbuka hijau juga
60
memberikan sumbangan kebersihan udara karena tanaman padi menghasilkan O2 dan menyerap zat-zat beracun berbahaya bagi manusia dan makluk hidup lainnya. Bentangan sawah yang menghijau di samping memanjakan mata karena pemandangannya yang indah, sawah juga menjadi tempat hidup dan berkembangnya berbagai jenis tanaman dan hewan sehingga subak juga berfungsi sebagai kawasan untuk pemeliharaan dan keanekaragaman hayati. Pendukung ketahanan pangan sebagai aktivitas di bidang pertanian yang menghasilkan beras dan bahan pangan lainnya, seperti kedelai, ketela, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran merupakan wujud nyata subak sebagai penyangga ketahanan pangan masyarakat petani. Produksi padi di berbagai kawasan Kota Denpasar, khusus di subak Saba terus merosot karena terjadi alih fungsi lahan untuk pembangunan, khususnya permukiman akan mengancam areal persawahan. Penguatan subak dalam pembangunan sektor pertanian hingga terwujudnya ketahanan pangan, swasembada, dan penguatan perekonomian nasional adalah wujud nasionalisme dalam menyongsong kebangkitan nasional. Sebagai penyangga pembangunan pertanian dan perdesaan, subak merupakan suatu lembaga tradisional yang menjadi mitra pemerintah untuk menyalurkan program pembangunan pertanian. Peningkatan produktivitas pertanian khususnya padi melalui intensifikasi pertanian, penerapan teknologi dalam bidang pertanian, program bimbingan massa (bimas), intensifikasi khusus (insus), teknologi paket D, dan program suprainsus merupakan program unggulan pemerintah dilakukan melalui subak. Subak Saba sudah menerapkan panca usaha tani sebagai salah satu program pemerintah dalam meningkatkan hasil pertanian
61
seperti (1) penggunaan benih bermutu dari varietas unggul, (2) penggunaan pupuk yang tepat, yakni jenis, dosis, waktu, dan cara pemupukan yang tepat, (3) penggunaan air irigasi sesuai dengan kebutuhan optimal tanaman, (4) pengendalian hama/penyakit tanaman terpadu, dan (5) pelaksana cara bercocok tanam yang baik, yakni sesuai dengan anjuran. Tri hita karana sebagai salah satu landasan falsafat sangat memengaruhi aktivitas anggota subak Saba. Dalam kehidupan masyarakat subak Saba ada tiga hal pokok yang harus diatur agar tujuan hidup masyarakat subak dapat diwujudkan, yakni (1) sukerta tata agama, artinya menata tertib hidup beragama; (2) sukerta tata pawongan, maksudnya menata hubungan saling mengabdi, baik dalam keadaan suka maupun dalam duka sesama warga subak; (3) sukerta tata palemaha, artinya menata tata wilayah subak agar aktivitas yang berhubungan dengan pemujaan kepada Tuhan, mengabdi kepada sesama manusia, dan alam lingkungan terakomodasi secara seimbang. Adanya keseimbangan ketiga unsur di atas menjadi sebab (karana) untuk mencapai kebahagiaan hidup (hita) yang menjadi tujuan hidup manusia di dunia. Tri hita karana berarti tiga penyebab timbulnya kebahagiaan. Secara lebih tegas hal itu diuraikan dalam Bhagawad Gita III. 10, yaitu membangun kebahagiaan dengan mewujudkan sikap hidup yang seimbangan antara berbakti kepada Tuhan, mengabdi kepada sesama umat manusia, dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan yadnya. Untuk mewujudkan nilai-nilai falsafah tri hita karana dalam kehidupan anggota subak Saba telah dilakukan berbagai ritual, baik secara kelompok
62
maupun secara individual, seperti upacara di pura Pengulun Subak, Pengulun Empelan, dan di sanggah catu masing-masing. Di samping itu, juga dilaksanakan upacara nangluk merana yang bertujuan untuk meminimalisasi gangguan hama terhadap tanaman padi. Hal-hal lain yang tampak adalah nilai-nilai tradisional gotong royong masih tetap berlangsung terutama dalam mengerjakan perbaikan dan membersihkan saluran irigasi dan memperbaiki fasilitas fisik subak yang lain, seperti pura subak, balai subak. Masyarakat subak Saba masih tetap memegang teguh kepercayaan terhadap hari baik (dewasa ayu) dalam melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan mulai mengerjakan sawah, mulai menanam padi, dan kegiatan lainnya.
4.10
Sejarah Kelurahan Penatih Pemberian suatu nama sering dikaitkan dengan suatu peristiwa atau
kejadian. Peribahasa mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengetahui sejarah serta dapat menghormati jasa pahlawan atau pendahulunya. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa generasi penerus diharapkan untuk mengerti dan mengetahui asal usul bangsa dan negaranya. Demikian pula dengan nama Kelurahan Penatih, ada beberapa informasi yang bisa dijadikan pedoman, seperti cerita tokoh masyarakat dan didukung oleh bukti-bukti yang ditemukan. Hal itu digunakan sebagai acuan atau pedoman, dalam menguraikan sejarah Penatih. Sejarah ini diawali dengan pelantikan enam orang adipati (wakil raja) dienam daerah pada hari purnama sasih Kapat tahun Caka 1272 (bulan Oktober
63
1350) oleh Raja Majapahit. Diantara yang dilantik adalah Sri Kresna Kepakisan menjadi adipati di Bali dan berkedudukan di Desa Samplangan, Kecamatan Gianyar. Sri Kresna Kepakisan di Bali disertai oleh beberapa kesatria diantaranya Kesatria Kediri dan Kesatria Daha. Selain itu, juga disertai oleh para Arya, di antaranya Arya Pinatih, Arya Singha Sardula, dan lain-lainya. Di Bali Ksatria Kediri dan Ksatria Daha diberikan kedudukan sebagai patih oleh Sri Kresna Kepakisan. Oleh sebab itu beliau bergelar arya, yaitu Arya Kepakisan atau Arya Kresna Kepakisan. Di pihak lain Arya Singha Sardula diberikan kedudukan sebagai kanuruhan (sekretaris raja) dan oleh karenanya beliau lebih di kenal dengan nama Arya Kanuruhan. Ksatria lainnya diberikan kedudukan sebagai anglurah di wilayah Bandana Negara sekarang Badung dan bertempat tinggal di suatu tempat yang bernama Desa Penatih. Arya Penatih bergelar Arya Wang Bang Pinatih Ini disebabkan oleh sebelumnya beliau berasal dari brahmana yang meninggalkan kebrahmanaannya dan menjadi arya mengikuti kewargaan mertuanya yang bernama I Gusti Buleleng, yaitu Patih kerajaan Singosari di Jawa. Di dalam proses waktu Desa Penatih berubah menjadi Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Berkaitan dengan pelaksanaan administrasi pemerintahan baik pada masa penjajahan Belanda, Jepang, maupun setelah Indonesia Merdeka, wilayah Desa Penatih awalnya meliputi Kelurahan Penatih dan Desa Penatih Dangin Puri yang terdiri atas tujuh desa adat. Ketujuh desa adat tersebut adalah desa adat Anggabaya,
Penatih,
Penatih
Puri,
Gunung,
Pohmanis,
dan
Laplap,
yangseluruhnya memiliki 19 banjar. Proses perkembangan selanjutnya terutama
64
karena bertambahnya jumlah penduduk dan semakin kompleknya masalah yang dihadapi maka pada tahun 1981 Desa Penatih dimekarkan menjadi Desa Penatih Dangin Puri dan Kelurahan Penatih. Adanya pemekaran ini juga dimaksudkan untuk mempercepat pelayanan kepada masyarakat dan adanya peningkatan status Kota Denpasar dari ibu kota Kabupaten Badung menjadi Kota Administratif Denpasar yang sekarang menjadi Kota Denpasar (Profil Pembangunan Kelurahan Penatih, 2010/2011). 4.11
Penduduk dan Angka Demografis Berdasarkan Profil Pembangunan Kelurahan Penatih Tahun 2010/2011
diketahui bahwa ,jumlah keseluruhan penduduk Kelurahan Penatih adalah 7.190 orang (atau 1.732 KK), yang terdiri atas 3.586 orang laki-laki dan 3.604 orang berjenis kelamin perempuan. Secara terperinci tabel di bawah menggambarkan komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin. Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur
Kelompok Umur (Tahun)
Jumlah
0-1
226
>1 - <5
219
>5 - <7
241
>7 - <15
874
>15 - 56
4.678
>56
952
Sumber: Profil Pembangunan Kelurahan Penatih Tahun 2011
65
Tabel di atas menunjukkan adanya populasi berimbang antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Distribusi penduduk yang tergolong berumur produktif (sekitar umur 20--50 tahun) relatif kurang ideal. Angka berlipat hanya terjadi pada dua peringkat umur yang tergolong produktif, yakni pada umur 30-34 tahun dan umur 35--39 tahun, sedangkan peringkat umur 20 – 29 tahun dan 40 – 50 tahun hanya mencapai angka rata-rata sekitar 7 %. 4.12
Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Jarak Kelurahan Penatih relatif dekat dengan wilayah pusat pendidikan
terutama Kota Denpasar. Hal itu secara segnifikan memengaruhi kemajuan tingkat pendidikan
penduduk
setempat.
Mengingat
jaraknya
relatif
dekat,maka
pendidikan, baik pada strata menengah maupun perguruan tinggi, umumnya ditempuh dikota tersebut. Jarak tempuh dari Kelurahan Penatih ke Kota Denpasar yang hanya sekitar 7 km biasanya hanya memerlukan waktu perjalanan sekitar 30 menit dengan menggunakan sepeda motor. Di samping itu, kemajuan tingkat pendidikan penduduk kelurahan juga dikondisikan oleh ketersediaan fasilitasfasilitas pendidikan yang cukup memadai di wilayah setempat, terutama sampai pada jenjang pendidikan menengah. Gambaran umum kemajuan tingkat pendidikan tersebut tampak dalam tabel di bawah ini:
66
Tabel 4.2 Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1
Tamat SD/ Sederajat
1.252
2
Tamat SLTP/Sederajat
494
3
Tamat SLTA/Sederajat
2.915
4
Tamat Diploma 1
60
5
Tamat Diploma 2
30
6
Tamat Diploma 3 ke atas
470
Sumber :Profil Pembangunan Kelurahan Penatih Tahun 2011 Tabel di atas menunjukkan adanya perkembangan pesat di bidang pendidikan yang dialami penduduk setempat. Di samping meratanya kesempatan mengenyam pendidikan, strata pendidikan menengah sampai dengan pendidikan tinggi populasinya cukup besar. Penduduk setempat yang menamatkan pendidikan setingkat sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) tercatat sekitar 2.915 dan merupakan angka tertinggi di antara jenjang pendidikan yang lainnnya. Selanjutnya, diikuti oleh jenjang pendidikan dasar (sekolah dasar/ sederajat), yakni sekitar 1.252 dan jenjang pendidikan lanjutan (SLTP/ sederajat) sekitar 494. Bahkan, presentase angka untuk pendidikan tinggi memperlihatkan adanya perkembangan yang cukup baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa proses urbanitas seperti telah disinggung terdahulu nampaknya signifikan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan di wilayah tersebut.
67
4.13
Penduduk Berdasarkaan Mata Pencaharian Hidup Karakteristik wilayah yang sedang mengalami proses-proses urbanitas
terutama ditandai dengan semakin terdesaknya sektor tradisional seperti dalam bidang pertanian menuju perkembangan sektor-sektor lain semakin pesat. Untuk memeroleh gambaran mengenai sektor-sektor yang sedang berkembang di wilayah setempat, selanjutnya diuraikan secara lebih terperinci berdasarkan datadata yang tercantum pada tabel di bawah ini. Tabel 4.3 Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No
Jenis Pekerjaan
Jumlah Orang
1
Petani
935
2
Buruh
647
3
Pedagang
4
Wiraswasta
863
5
PNS/TNI/POLRI
719
6
Karyawan Swasta
1.007
7
Guru
575
8
Tukang sapu (DKP)
503
9
Satpam
431
10
Lain-lain
360
Jumlah
7.190
1.101
Sumber : Profil Pembangunan Kelurahan Penatih Tahun 2011
68
Berdasarkan data-data yang tertera pada tabel di atas, tergambar adanya proses-proses perubahan dalam struktur ekonomi penduduk. Hal itu terutama ditunjukkan oleh adanya persentase yang tinggi pada dua macam pekerjaan, yaitu bidang perdagangan dan jasa. Secara teoretis, transformasi ekonomi seperti itu dapat dijadikan dasar untuk memahami perubahan dalam kehidupan masyarakat yang sedang menuju masyarakat industri (sekunder). Posisi
geografis
desa
yang
strategis
seperti
terurai
terdahulu
mengondisikan pula adanya perkembangan pesat dalam sektor perekonomian penduduk. Sebagai jalur penghubung antara wilayah-wilayah disekitarnya, menyebabkan wilayah desa menjadi potensial dalam perkembangan sektor perdagangan yang sekaligus membuka peluang usaha bagi penduduk. Demikian juga perkembangan seperti bidang jasa. Perluasan sentra-sentra kegiatan pariwisata yang semakin mendekati wilayah desa, sekaligus juga membuka peluang kerja bagi penduduk desa. Pekerjaan sebagai PNS/POLRI/TNI berjumlah 719 tampaknya juga dipengaruhi oleh adanya kompleks-kompleks perumahan (Perumnas) yang sering kali dihuni oleh orang-orang yang berprofesi seperti itu. Di pihak lain pekerjaan sebagai buruh berjumlah 647 dapat juga dipengaruhi oleh adanya proyek-proyek pembangunan fisik seperti perumahan, perkantoran dan lain-lain sekaligus dapat menjadi peluang kerja bagi penduduk.
69
4.14
Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur
adalah
masyarakat yang homogen dengan berpegang teguh pada adat istiadat. Di balik homogenitas yang ada, budayanya
dilandasi oleh agama Hindu. Penduduk
Kelurahan Penatih memeluk agama Hindu (Selayang Pandang Kota Denpasar, 2008 : 35). Agama Hindu melandasi adat dan budaya masyarakatnya. Setiap bidang kegiatan diwadahi oleh kelembagaan masyarakat yang dikenal dengan sistem kelembagaan adat. Sistem kelembagaan adat yang masih berlaku sampai saat ini, antara lain lembaga desa adat, banjar adat, subak, sekaa, sanggar Baris Oleg dan Gandrung, sanggar Tari Bali. Sistem kelembagaan ini masih ada dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari semua lapisan masyarakat yang beragama Hindu di Kelurahan Penatih. Melalui lembaga-lembaga tradisional masyarakat di Kelurahan Penatih melakukan interaksi sosial antarwarga masyarakat sehingga tercipta hubungan persahabatan secara selaras terutama dalam usaha untuk memajukan kehidupan sosial dan budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami arus perubahan. Ketaatan pada tradisi yang merupakan kearifan lokal, dapat memberikan identitas atau representasi, diri masyarakat itu sendiri, sebagai alat untuk melakukan resistensi, terhadap desakan dari pihak-pihak luar, untuk mendapatkan keuntungan, khususnya dari para pengusaha dan penguasa yang berkolaborasi untuk memenuhi keinginan para pengusaha dan penguasa itu sendiri.
70
BAB V BENTUK MARGINALISASI PETANI SUBAK SABA, KELURAHAN PENATIH DENPASAR TIMUR
Pada era globalisasi saat ini tuntutan hidup semakin tinggi di tengah pesatnya kebutuhan manusia, baik sandang, pangan, maupun papan. Di tengah kebutuhan yang menjadi hal mutlak di dalam menjalankan kehidupan saat ini, mau atau tidak setiap individu melakukan perlombaan hidup untuk memenuhi dan mencapai
apa yang diinginkannya. Salah satunya adalah kebutuhan tempat
tinggal (hunian). Kebutuhan
tempat
tinggal
yang
begitu
banyak
seiring
dengan
pertumbuhan penduduk yang meningkat, ditambah arus urbanisasi dari desa ke kota yang begitu pesat, membuat masyarakat sulit memeroleh hunian yang layak. Permasalahan seperti itu disikapi lain oleh penduduk pemilik lahan, yaitu dengan dijalankannya bisnis indekos, sewa-menyewa, rumah tinggal, dan kontrakan lahan. Kegiatan itu menjadi salah satu bagian sumber nafkah yang tentunya ditujukan bagi kaum menengah atas. Sisi lain pendatang yang menjadi kaum pinggiran, di mana hidup dalam keterbatasan lebih memilih berdiam (bermukim) di tanah-tanah kosong, milik pemerintah, bantaran sungai. Semua hal itu dikelola oleh oknum pemerintah yang nakal. Namun, persoalaan tersebut disikapi lain oleh investor kaum pengusaha (kapitalis), khususnya dalam
memandang
persoalan hunian yang layak. Tentunya ditujukan bagi kaum kelas atas, yang sibuk mencari hunian.
71
Bagi kaum kapitalis, semua hal atau objek bisa dijadikan modal untuk mendapatkan
keuntungan
sebesar-besarnya.
Pada
saat
masyarakat
sulit
mendapatkan kehidupan yang layak akibat modernisasi zaman, pada saat itu pula setiap individu bersaing dan berkompetisi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu di antaranya kebutuhan tempat tinggal meningkat. Sementara lahanlahan tak produktif telah habis, terdesak oleh pembangunan. Kaum kapitalis kini mulai menyisir lahan-lahan produktif. Salah satu di antaranya lahan pertanian sawah, sebagaimana yang terjadi di wilayah subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Pengamatan yang dilakukan penulis pada objek kajian dan berdasarkan informasi yang diberikan oleh masyarakat setempat, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat mengalami dilema di dalam penentuan hidup. Di satu sisi harus mempertahankan tradisi subak dan persawahan, sedangkan di sisi lain masyarakat dituntut oleh adanya kebutuhan hidup yang besar sehingga ada yang untung dan ada pula yang rugi. Proses marginalisasi petani mulai terjadi pada masyarakat, khususnya petani penggarap, seperti yang terjadi di subak Saba. Marginalisasi merupakan bagian dari modernisasi zaman (Gedoran, wawancara 29 Desember 2013). Bentuk-bentuk marginalisasi petani di Kelurahan Penatih, Denpasar Timur dapat diuraikan sebagai berikut.
5.1
Marginalisasi dalam Bidang Permodalan Permodalan merupakan sarana penting dalam melakukan segala hal di
dunia ini terlebih di dunia modern saat ini. Hal itu berbeda jauh dengan dunia
72
lama (dunia tradisi). Keadaan saat ini di mana setiap pergerakan individu tidak terlepas dari modal, baik berupa modal materi maupun modal yang sifatnya abstrak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:964) dinyatakan bahwa permodalan adalah seluk-beluk mengenai modal, sementara modal harta benda (uang, barang) yang dapat digunakan untuk menghasilkan sesuatu, yang menambah kekayaan, atau barang yang digunakan sebagai dasar bekal untuk bekerja. Bentuk marginalisasi bidang permodalan adalah bentuk dipinggirkannya petani atau dengan kata lain memproses
petani dari keadaan semula untuk
dijadikan seperti keinginan pemodal dengan tujuan tertentu. Terpingirnya petani, tentunya dikonstruksi oleh pemodal
lewat modal yang dimilikinya. Hal ini
terungkap lewat wawancara berikut; Alasan petani di sini menjual sawahnya karena tidak bisa membayar utang yang dulu dipakai sebagai modal usaha, untuk menyekolahkan anak-anaknya yang umumnya untuk masuk perguruan tinggi (Gedoran, wawancara 5 April 2014) Dari hasil wawancara di atas, dapat dikemukakan bahwa salah satu permasalahan utama pengembangan usaha di bidang pertanian di Denpasar khususnya di Kelurahan Penatih adalah masalah permodalan. Persoalan tersebut menurut Scott (1981: 4--5) adalah bahwa moral ekonomi petani didasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas. Ketika petani mengalami suatu keadaan yang dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadaikan harta benda mereka. Scott mengungkapkan bahwa
petani
menggunakan hasil sawah untuk kebutuhan hidup, selebihnya dijual untuk
73
membeli beberapa barang kebutuhan, seperti garam, kain, dan untuk memenuhi tagihan-tagihan dari pihak luar (Scott, 1981:4--5). Banyak persoalan dalam mencari modal yang membuat petani terpaksa menjual tanah. Masalah permodalan dan pembiayaan usaha di bidang pertanian tersebut mempunyai cerita yang sejalan dengan upaya pemerintah setempat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Berbagai program terobosan telah dilakukan oleh pemerintah, tetapi sampai saat ini belum terlihat niat baik itu. Program-program pemberdayaan masyarakat petani Kelurahan Penatih dilakukan dengan berbagai bentuk dan strateginya. Semua program tersebut dimaksudkan untuk memberikan penguatan permodalan kepada masyarakat miskin, seperti kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses modal/kredit perbankan. Dalam praktiknya kelompok petani tersebut dalam konteks pemberian modal masih belum mendapatkan akses. Kelompok petani yang masuk dalam usaha kecil hanya memeroleh akses kurang dari 25%, kucuran pemberian modal diberikan dalam sistem perkreditan nasional, yang diikuti oleh sistem perkreditan daerah. Proporsi akses terhadap perkreditan nasional tersebut akan semakin kecil, yaitu tidak lebih dari 10% jika dilihat dari segi bidang usaha pertanian. Akses petani terhadap sumber-sumber modal yang resmi masih sangat terbatas, tetapi lebih mudah mendapatkan modal dari peminjam uang dengan bunga tinggi (rentenir). Jika lahan usaha tani dijadikan agunan untuk mendapatkan kredit (modal) dari perbankan, maka hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar petani tidak akan mendapatkan modal, yang bersumber dari lembaga keuangan resmi. Oleh karena itu, modal menjadi bagian dari
74
penghambat usaha tani di subak Saba, sekaligus menjadi sebab termarginalnya kaum petani. Masalah dan tantangan lainnya dalam pemberian modal petani oleh perbankan adalah tingkat pengembalian kredit yang umumnya rendah dan berpotensi besar pada kredit bermasalah. Penghasilan dari usaha tani di subak Saba jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kebutuhan rumah tangga. Hal ini berdampak kepada alokasi pembayaran cicilan kredit, seperti yang di kemukakan oleh Grinjit sebagai berikut ini. Penduduk yang memiliki sawah sekitar 30 are, hasilnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuan sehari-hari, kalau mau untung paling tidak harus memiliki 1 hektare. Biaya produksi tidak sesuai dengan hasil (wawancara 3 Maret 2014) Hal di atas juga d ikuti oleh Bapak Kerta dalam wawancara berikut. Untuk mencukupi kebutuan sehari hari, petani mencari kerja tambahan seperti sebagai kuli bangunan, sebagai tukang parkir, karyawan kebersihan Kota Denpasar (wawancara 3 Maret 2014) Dari hasil wawancara di atas, diketahui bahwa petani yang memilki sedikit sawah sangat sulit di dalam pemenuhan kebutuhannya. Petani kekurangan modal, bahkan
akses permodalan sangat terbatas. Petani tidak mandiri dan
banyak yang tidak bertani lagi. Hal ini disebabkan oleh norma subsistensi. Sebaliknya resiprositas akan timbul apabila ada sebagian dari anggota masyarakat menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat yang lain. Hal ini akan menyebabkan berbagai etika dan perilaku
para petani. Scott menambahkan
bahwa para petani adalah manusia yang terikat, dalam aktivitas ekonominya. Mereka (petani) dalam aktivitasnya sangat tergantung pada norma-norma yang ada, mendahulukan selamat dan tidak mau mengambil risiko. Aktivitas mereka
75
hanya semata mata mencukupi kebutuhan konsumsi. Petani subsisten inilah yang dinamakan ekonomi moral petani (Scott, 1981:5). Faktor lain yang mempersulit mendapatkan modal adalah persyaratan dan bunga yang tinggi yang dibebankan pada para petani peminjam modal usaha. Pemerintah belum cukup tegas dan belum bisa menyikapi hal-hal yang dibutuhkan para petani. Perhatian pemerintah terhadap petani sangat kurang membuat para petani sulit memeroleh modal dalam konteks pengadaan pupuk secara tidak langsung menimbulkan marginalisasi bagi para petani di subak Saba, Kecamatan Denpasar Timur. Solusi tabungan dan pinjaman berbunga rendah yang diberlakukan pada petani akan dapat berkontribusi positif untuk kemandirian petani dalam menjawab masalah modal usaha tani, tetapi kennyataanya tak pernah terjadi. Namun, ada hal positif yang dilakukan oleh krama subak, yang memberikan pinjaman modal kepada petani. Hal ini dapat dilihat dari wawancara berikut. Petani yang mengalami kesulitan modal akan diberikan pinjaman oleh kelompok subak, dengan catatan ketika petani tersebut panen harus membayar utang dan bunganya. Kalau petani tersebut bandel dan tak mau membayar utangnya, maka petani diberi sanksi dengan tidak diberikan air ke sawahnya sebagai sebuah hukuman (Wedi, wawancar 25 Januari 2014) Dari hasil wawancara di atas,
diketahui bahwa salah satu bentuk
solidaritas adalah gotong royong. Istilah gotong royong mengacu pada kegiatan saling menolong atau saling membantu dalam masyarakat. Tradisi kerja sama tersebut tercermin dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat, di antaranya adalah kegiatan dalam membangun rumah, memperbaiki sarana umum, mengadakan hajatan, dalam bencana alam, dan kematian (Sajogya, 2005 : 28).
76
Kebijakan krama subak untuk menyelamatkan petani sesunguhnya telah dilakukan, tetapi di tengah arus modernisasi yang begitu kuat di mana kebutuhan hidup terus meningkat membuat
bantuan dari krama subak pun tak mampu
berdampak besar bagi petani. Pertanian adalah usaha yang harus disertai dengan faktor-faktor produksinya. Di antara faktor
produksi yang paling signifikan
adalah modal. Modal sangat diperlukan oleh petani dalam usaha taninya. Namun, kini modal sangat sulit didapatkan oleh para petani karena pada dasarnya para petani adalah sebagian masyarakat
yang berekonomi sangat pas-pasan dan
pengetahuan yang kurang. Hal tersebut membuat modal yang mudah dan cepat aksesnya didapatkan dari upaya utang. Jika petani mengambil utang dari para rentenir/lintah darat, mendapatkan utang sangat mudah, tetapi saat utang tersebut dikembalikan akan dilipat gandakan. Maraknya utang, dan pengkreditan mendorong bank untuk menyediakan sarana pengkreditan/ utang. Namun, hal itu juga sangat sulit untuk dijangkau oleh para petani.
Bunga yang diperhitungkan sangat besar ditambah lagi dengan
agunan yang begitu berat. Hal tersebut membuat petani sangat kewalahan dan tidak sanggup menjangkaunya. Di samping itu, pemerintah juga mengusulkan berbagai macam lembaga, baik mikro maupun makro. Namun, hal tersebut juga sangat merepotkan para petani. Ilmu dan keterampilan yang dimiliki tidak memadai untuk mengakses hal tersebut yang letaknya jauh dari areanya, belum lagi hal tersebut dipengaruhi oleh bunga dan jaminan yang harus diberikan kepada pemberi dana talangan.
77
5.2
Terjadinya Alih Fungsi Lahan Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah
perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan). Alih fungsi lahan menjadi dampak masalah terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Perubahan fungsi lahan untuk penggunaan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, yang makin bertambah jumlahnya, dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Alih fungsi lahan dapat juga diartikan sebagai berpindahnya hak-hak kekuasaaan lahan dari satu individu ke individu lain, yang disebabkan oleh suatu hal. Dalam penelitian ini alih fungsi lahan yang dimaksud adalah berpindah tangannya hak kepemilikan lahan produktif sawah, di subak Saba Penatih menjadi lahan produktif untuk perumahan. Hal ini terlihat pada gambar berikut.
Gambar 5.1 Alih Fungsi Lahan (dok. Antari, 2013)
78
Seperti tergambar di atas banyak lahan sawah yang mulai berubah menjadi permukiman. Hal ini juga sesuai dengan informasi berikut. Sawah di subak Saba yang terjual banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, dan usaha dagang. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah kota melalui perda yang memberikan ruang untuk memanfaatkan areal persawahan sebagai areal pemukiman (Raka, wawancara 4 Desember 2013) Berdasarkan informasi yang diterima, diketahui bahwa pada umumnya perluasan lahan permukiman dilakukan dengan menimbun lahan sawah dengan material batu dan pasir. Pada saat pembangunan perumahan
tidak pernah
diperhatikan jalur-jalur irigasi yang tertutup. Pada akhirnya terjadi pemutusan air irigasi, yang menyebabkan sawah kekurangan air akibat macetnya irigasi.
Gambar 5.2 Pencemaran Lingkungan (dok. Antari, 2013) Pada gambar di atas jelas sekali terlihat pencemaran lingkungan yang terjadi akibat
konversi
lahan
persawahan
menjadi
lahan
pembangunan,
yang
menghasilkan limbah anorganik, yang berdampak buruk terhadap lahan persawahan. Hal ini telah menimbulkan pencemaran lingkungan yang merisaukan
79
para petani karena dapat mengancam ekosistem pertanian. Pada awalnya petani merasa untung karena dengan masuknya investor berarti ada peredaran uang dalam wilayahnya. Akan tetapi, petani telah terjebak oleh ideologi kapitalis yang diusung oleh pengusaha. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Gramsci (dalam Barker, 2005:62) bahwa hegemoni adalah situasi di mana suatu blok historis, faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan persetujuan. Sesuai dengan pandangan Gramsci, dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa negara sebagai penguasa adalah blok historis atau kelas berkuasa yang menjalankan otoritasnya kepada kaum petani, sebagai kelas subordinat dengan kombinasi kekuatan (power). Di samping itu kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dengan alasan telah disetujui lewat sebuah konsensus, yang di belakanganya terselip kesepakatan yang sangat merugikan kaum petani. Hegemoni ini terlihat lewat kebijakan pemerintah yang mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi lahan perumahan, dengan alasan demi terwujudnya pembangunan masyarakat yang madani seperti wawancara berikut. Pembangunan jalan dan pengembangan perumahan di subak Saba, Penatih membuat jalur irigasi banyak yang ditutup (Pinjer, wawancara 28 Desember 2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh Astawa sebagai berikut. Keadaan pertanian di subak Saba cenderung memburuk setelah sawah-sawah banyak yang beralih fungsi dan terjual (wawancara 2 Januari 2014). Dari hasil wawancara di atas, terlintas gambaran keadaan terkini di Kelurahan Penatih, yaitu berkurangnya pemandangan persawahan, yang dulunya
80
luas dan permai. Dahulu setiap pagi terlihat pak tani dengan kerbaunya melintasi jalan pada pukul 06.00 wita
pagi. Sekarang apa yang terlihat? Lahan-lahan
pertanian yang produktif seperti padi yang hijau pada masa tanam, menguning pada saat panen, lahan yang dapat menghidupi warga subak Saba selama bertahun-tahun kini telah berubah menjadi beton. Hal tersebut seperti yangdiutarakan oleh Peet & Hartwick (1999:44) bahwa dalam hegemoni pembangunan
berkelanjutan,
aparatur
yang
memproduksi
pengetahuan
menciptakan ekonomi politik. Maksudnya adalah untuk melancarkan suatu proyek tertentu yang membawa manfaat ekonomi bagi kalangan tertentu, lembagalembaga riset dan universitas dirancang untukmelakukan cara tertentu agar rencana proyek tersebut dapat berjalan mulus tanpa ada resistensi dari para petani. Pembangunan perumahan bahkan pertokoan ini membuat jumlah petani di subak Saba khususnya semakin berkurang dan tenggelam begitu saja. Hal ini terungkap dalam wawancara berikut. Kebanyakan anak disini bekerja sebagai guide, bukan hanya tidak mau menjadi petani tetapi memang lahan tani itu sudah menyempit sekarang. (Suki, wawancara 28 Desember 2013) Dari hasil wawancara di atas, tampak bahwa marginalisasi petani diakibatkan oleh dialihfungsikannya lahan sawah menjadi lahan pengembangan perumahan. Regenerasi petani tidak terjadi bukan hanya karena profesi petani tidak menjanjikan, melainkan juga karena lahan pertanian itu sendiri sudah menyempit. Bahkan, sebentar lagi mungkin hilang sehingga dapat dikatakan bahwa bukannya kaum anak muda di subak Saba tidak mau menjadi petani, melainkan lahan pertanian itu sudah tidak ada lagi untuk digarap. Dalam hal
81
demikian petani menjadi kaum subaltern atau kaum-kaum yang menjadikan kelompok lain berbeda, yang berada lebih di bawah (Ratna, 2013:463). Namun, ada juga petani pemilik lahan pertanian di subak Saba, yang memang tidak menjual tanahnya. Mereka umumnya dari kaum berada dan menjalin kerja sama dengan petani penggarap untuk mengerjakan lahannya, seperti terungkap pada wawancara berikut. Sekarang pemilik sawah di subak Saba tidak bertani lagi karena hidup mereka sudah mapan dan lahan sawah milik mereka disewakan kepada para petani penggarap dengan hasil pertanian dibagi tiga (Latra, wawancara 20 Pebruari 2014) Dari hasil wawancara di atas, diketahui pandangan Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77) yang mengungkapkan bahwa kontra hegemoni adalah pihak yang mengorganisasikan dan mereorganisasikan terus-menerus kehidupan, baik sadar maupun tidak sadar dari massa. Upaya penyelamatan petani penggarap dilakukan dengan mempertahankan lahan pertanian yang masih tersisa dan jumlahnya sangat sedikit, dengan kontra hegemoni. Hal semacam ini dapat digambarkan sebagai strategi kaum petani pemilik lahan dalam
melawan hegemoni dari penguasa, yaitu pemerintah setempat,
dengan upaya mempertahankan lahan yang telah ada. Hal tersebut sejalan dengan pandangan yang dikemukakan Gramsci dalam bahasan teorinya, yaitu memberikan solusi untuk melawan hegemoni (kontra hegemoni) dengan menitikberatkan pada sektor pendidikan. Menurut Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77), kaum intelektual memegang peranan penting di masyarakat. Berbeda dengan pemahaman kaum intelektual
82
yang selama ini dikenal. Dalam catatan hariannya Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77) menulis bahwa setiap orang sebenarnya adalah seorang intelektual, tetapi tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya di masyarakat. Dari sini dia membedakan dua tipe intelektual yang ada di masyarakat. Yang pertama adalah intelektual tradisional di mana intelektual ini terlihat independen, otonom, dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Mereka hanya mengamati serta mempelajari kehidupan masyarakat dari kejauhan dan sering kali bersifat konservatif (anti terhadap perubahan). Alih fungsi lahan ini menimbulkan banyak dampak kurang baik, diantaranya dampak di bidang kesehatan, ekonomi, sosial, dan budaya. Berdampak buruk di bidang kesehatan, terutama bagi anak-anak yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Lahan pertanian yang seharusnya menghasilkan sumber makanan yang bergizi bagi kehidupan manusia, sekarang semakin berkurang dan beralih fungsi. Dampak di bidang ekonomi, yaitu petani dirugikan karena tidak bisa melakukan kegiatan pertanian sehingga petani tidak memiliki hasil dari kegiatan pertanian dan memberikan keuntungan bagi pihak lain seperti investor. Bidang kebudayaan juga terpengaruh oleh dampak alih fungsi lahan. Hal ini juga terjadi di subak Saba. Subak di sini sudah menjadi budaya dan diakui dunia, tetapi sekarang subak beralih fungsi menjadi perumahan dan gedunggedung sehingga budaya hanya tinggal nama dan subak semakin berkurang. Hal tersebut mengubah budaya lokal yang terdapat di subak Saba. “Lumbung padi” berubah menjadi “lumbung beton”. Ungkapan ini sangat pantas untuk keadaan lahan pertanian di subak Saba. Seiring dengan
83
berkurangnya lahan pertanian, tradisi bertani pun ikut berkurang. Hal itu terjadi karena semakin banyak petani yang menginginkan kesejahteraan dan menjadikan penerus mereka sebagai petani. Kesan petani di subak Saba bagaikan masyarakat yang bekerja, tetapi mengalami nasib yang merana atau seperti ungkapan “ayam mati di lumbung padi”. Ironis memang nasib petani di subak Saba.
5.3
Tergusurnya Petani dari Ranah Ekosistem Pertanian Alam menjadi suatu hal yang sangat penting dalam dunia pertanian.
Tanah, air, dan udara yang menjadi sumber untuk melakukan pertanian kini sudah tercemar. Pencemaran mulai dari kontaminasi tanah, yaitu melalui penggunaan pupuk kimia secara berkelanjutan. Hal itu menyebabkan kecanduan dan tanah kehilangan unsur hara. Subak Saba dulu dikenal sebagai “lumbung padi” khususnya di Kecamatan Denpasar Timur. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar masyarakat subak Saba bekerja sebagai petani. Masyarakat memilih menjadi petani karena tersedianya lahan yang produktif untuk mengembangkan kegiatan pertanian. Dulu subak Saba sebagai jantung
pertanian di Penatih, tetapi saat ini jauh dari
bayangan makmur. Kini pertanian di subak Saba semakin menjerit. Kata “tergusur” berasal dari kata “gusur” yang dalam Kamus Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:498) berarti menyeret, menghela, menarik, membongkar, dan memindahkan. Sementara ekosistem adalah sistem kehidupan dalam suatu lingkungan tertentu, yaitu terdiri atas komunitas (Depdiknas, 2008:377). Dengan kata lain tergusurnya petani dari ranah ekosistem pertanian
84
adalah memindahkan petani dari sistem kehidupan komunitasnya, baik dengan cara-cara yang “legal,” maupun cara-cara “ilegal”, dengan tujuan tertentu. Tujuan menggusur petani, baik secara legal maupun ilegal
adalah demi alasan
pembangunan infrastruktur perkotaan yang sesungguhnya di dalam tujuannya bermain kaum kapital yang sengaja mengonstruksi keadaan lewat modernisasi zaman. Hal ini dapat dilihat dari wawancara berikut. Disini di subak Saba terjadi alih fungsi lahan akibat banyak yang tergiur harga tanah yang tinggi sehingga para petani mau menjualnya, (Sukra, wawancara 25 Februari 2014). Kenyataan di atas diperkuat lagi dengan hasil wawancara berikut. Tanah-tanah di subak Saba banyak yang beralih fungsi karena masyarakat petani di subak Saba terlena dengan harga tanah yang semakin melambung tinggi, sehingga terlena dengan buaian dari para pembeli untuk menjual lahan sawahnya (Madya, wawancara 26 Februari 2014). Dari wawancara di atas, tampak bahwa petani telah tergoda dengan harga tanah yang mahal dan berharap dengan menjual lahan sawahnya mereka akan bisa hidup berkecukupan. Namun, petani kurang menyadari bahwa dirinya telah terhegemoni oleh pengusaha. dikemukakan
Hal
ini sesuai dengan pandangan yang
oleh Gramsci dalam Tilaar (2003:77) bahwa hegemoni adalah
kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial yang didominasi atau disokong oleh kelas tertentu. Keberhasilan hegemoni ditentukan oleh terciptanya kesepakatan. Di samping itu, bahwa kesepaktan terjadi lewat penawaran harga yang menggiurkan. Akibat dari terjadinya alihfungsi lahan, maka mau tidak mau petani akan tergusur minggir sekaligus lahan persawahan pun berubah menjadi permukiman,
85
atau seperti apa yang diinginkan kaum pengembang. Hegemoni yang dilakukan oleh penguasa (pemerintah) dengan memanfaatkan isu pariwisata yang selalu dieluh-elukan pemerintah Kota Denpasar, yaitu meningkatnya kebutruhan hunian dan cepatnya akses menuju tempat-tempat penting. Hal ini yang membuat kaum kapitalis memanfaatkan keadaan, seperti ini tampak berikut ini. Para pengembang datang ke warga dan menawarkan harga yang bagus dengan janji-janji akan mempekerjakan warga di sini (warga subak Saba) di sana (proyek), kalau ada warga yang tidak mau biasanya akan di datangi oleh oknum pemerintah untuk merayu warga tersebut, (Kerta, wawancara 27 Februari 2014) Hal ini senada juga dengan apa yang disampaikan oleh Pan Nadri seperti berikut. Para pemodal (investor) dengan berbagai upaya berusaha untuk merayu para petani pemilik lahan sawah untuk mau menjual sawahnya yang akan dipakai tempat usaha dan nanti anggota keluarga yang mau menjual lahannya akan ditampung sebagai tenaga kerja di proyek milik investor (wawancara 27 Februari 2014). Dari hasil wawancara di atas, diketahui bahwa warga umumnya diimingimingi dengan janji-janji manis sehingga mau melepaskan tanah mereka secara baik-baik dalam kesadaran yang palsu. Hal semacam demikian menurut Gramsci (dalam Barker, 2005:373) adalah hegemoni melibatkan pendidikan dan pemenangan konsensus daripada pemakaian kekuatan brutal dan koersif semata. Sesungguhnya petani tergusur dari ranah ekosistemnya akibat dari konstruksi pemerintah saat itu lewat hegemoni Dinas Pertanian. Ketidaktahuan petani tentang konstruksi kepentingan kaum kapitalis tersebut secara tidak langsung terjadi semenjak revolusi hijau. Selama ini kaum tani digerogoti dengan bagaimana memproduksi hasil pertanian secara cepat, instan, dan dalam keuntungan yang
86
fantastis. Di sisi lain pemerintah memiliki kepentingan atas swasembada pangan, padahal sesungguhnya semua itru merupakan konstruksi kaum kapitalis yang terencana lewat teknologi-teknologi kimia, khususnya di bidang pertanian dan sebagai awal penghacuran kaum petani. Lewat kuasa dan pengetahuan pemerintah, hegemoni masyarakat petani dengan
dijalankan pada
memberikan arahan bahwa pestisida sebagai
kompenen terpenting dalam usaha tani dan sangat berguna dalam membantu petani merawat pertaniannya. Pestisida dapat mencegah lahan pertanian dari serangan hama. Hal ini berarti jika para petani menggunakan pestisida, hasil pertaniannya akan meningkat dan akan membuat hidup para petani menjadi semakin
sejahtera.
Hegemoni
pemahaman
kepada
masyarakat
tersebut
menyebabkan akhirnya pestisida digunakan di hampir setiap lahan pertanian. Di balik wacana manfaat besar pestisida, ternyata pestisida memiliki dampak yang merugikan dalam pemakaiannya. Setelah adanya penelitian-penelitian terbaru, diketahui ternyata pestisida dapat merusak ekosistem air yang berada di sekitar lahan pertanian. Di samping itu sesungguhnya dampak negative pestisida diketahui oleh kaum kapitalis lebih dahulu. Dikatakan demikian hal ini telah dikonstruksi jauh hari oleh kaum barat, yang sesunguhnya sudah mengetahui akan menimpa petani di Bali umumnya dan khususnya di subak Saba. Hal ini terungkap lewat wawancara berikut. Sejak sawah-sawah di subak Saba menggunakan bibit dan pupuk yang diberikan pemerintah pada awalnya hasil panen melimpah, namun ketika petani tidak lagi menggunakan pupuk atau pestisida kebanyakan hasil pertanian menjadi buruk, (Nadi, wawancara 1 Maret 2014).
87
Dari wawancara di atas, tampak pandangan Gramsci, (dalam Tilaar, 2003:78) yang mengemukakan bahwa tempat terjadinya pergulatan hegemoni adalah masyarakat madani. Dalam kaitanya dengan pendapat yang dikemukakan Gramscsi, maka masyarakat subak Saba telah dikonstruksi oleh kaum kapitalis (investor) lewat hegemoni pemerintah yang membuat petani di subak Saba, bergantung pada pupuk produksi mereka. Jika pupuk dan pestisida digunakan, akan menghasilkan sisa-sisa air yang mengandung pestisida. Air yang mengandung pestisida ini akan mengalir melalui sungai atau aliran irigasi dan dapat menyuburkan ganggang, diperairan tempat sungai atau irigasi tadi bermuara. Ketika air sawah tidak lagi berkualitas maka dengan sendirinya sawah itu akan membunuh dirinya sendiri. Dari gambaran di atas, dapat dikatakan bahwa di balik janji-janji pemerintah
yang
berkolaborasi
dengan
pengusaha,
ada
relasi-relasi
berkepentingan di dalamnya terutama petani akan semakin tergantung kepada perusahaan multinasional yang menyediakan bibit, pupuk, dan pestisida. Ini berarti bahwa kebebasan para petani untuk melakukan aktivitas pertaniannya tidak lagi bisa mandiri karena telah terpasung oleh hegemoni pemerintah dan pengusaha yang lebih mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, tanpa peduli akan kepentingan masyarakat petani. Selain merusak ekosistem, pestisida juga dapat mengganggu kesehatan terutama kesehatan petani. Dengan seringnya menggunakan pestisida, maka kontak kulit dengan pestisida juga akan semakin sering dan dapat mengakibatkan
88
iritasi kulit. Jika pestisida terhirup dan masuk paru-paru, dapat mengganggu kesehatan pernapasan. Dengan adanya dampak buruk pestisida pada lahan pertanian secara otomatis masyarakat dikonstruksi untuk terus-menerus membeli obat-obatan untuk pertanian. Masyarakat dicekoki dengan cara-cara pertanian teknologi modern. Petani dianjurkan menggunakan bibit ungul, produksi rekayasa genetik, dan pupuk kimia yang dikatakan berkualitas bagus, yang pada awalnya semua diberikan secara gratis oleh pemerintah, tetapi pada akhirnya masyarakat harus membelinya. Kenyataan saat ini, yang menyebabkan petani mengalami kekurangan modal adalah akibat dari ketergantungan terhadap produsen bibit dan pupuk yang diproduksi oleh kaum kapitalis. Jika petani tidak menggunakan pupuk pada tanamanya, maka hasil sawah tidak akan baik sehingga memengaruhi hasil panen. Oleh karena itu, kadang-kadang ongkos produksi dan hasil panen tidak berimbang yang mengakibatnya banyaknya lahan yang tidur. Petani selalu mengalami gagal panen kalau tanaman tidak diberikan petsisida, pupuk, dan sebagainya. Ketika kebutuhan hidup petani meningkat, dan hasil pertanian tidak bisa memenuhi semua kebutuhan hidup itu, maka dengan sendirinya petani beralih ke pekerjaan instan, yang dapat memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, seperti
buruh bangunan dan lain-lain. Akibatnya lahan pertanian menjadi
usaha
sambilan, yang tidak begitu diperhatikan lagi. Hal demikian yang sesunguhnya diinginkan oleh kaum kapitalis sehingga kepentingan mereka di daerah tersebut terkesan tidak merugikan petani. Namun, keuntungan bagi petani jika ekosistem
89
pertanian di rubah menjadi ekosistem perumahan, atau dengan kata lain kaum kapital mengkondisikan lahan persawahan yang sebenarnya produktif, menjadi lahan persawahan tidak produktif lagi. Oleh karena itu, pengambilalihan lahan terkesan tidak menyalahi peraturan pemerintah. 5.4 Munculnya Kemiskinan Struktural Kemiskinan yang dimaksudkan di sini bukanlah kemiskinan yang dialami oleh seorang individu oleh karena dia malas bekerja atau karena dia terus menerus sakit dan kemiskinan yang demikian ini adalah bersifat individual. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (SeloSoemardjan, 1980: 5). Golongan demikian itu adalah para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin adalah kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled laborers).Dari situ muncullah kemiskinan-kemiskinan baru, seperti diungkapkan di bawah ini. Petani yang tanahnya terjual banyak yang beralih pekerjaan menjadi buruh bangunan, (Limun, wawancara 3 Maret2014). Dari
wawancara
di
atas,
Gramsci
(dalam
Ratna,
2013:463)
mengemukakan bahwa subaltern adalah orang-orang yang tertindas dan dalam kaitan ini bahwa masyarakat di subak Saba memang tertindas secara ekonomi. Petani banyak beralih profesi diakibatkan oleh kebutuhan tidak cukup dari hasil menjalani profesi menjadi petani. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
90
petani telah mengalami proses pemiskinan yang terstruktur dari kaum kapitalis. Kondisi masyarakat petani sejak dimulainya alih fungsi lahan, yaitu petani sulit mendapatkan modal, maka dengan sendirinya harus mencari sumber dana lain, yaitu bekerja sebagai buruh bangunan.. Hampir semua lahan di subak Saba pada awalnya merupakan lahan pertanian sawah, yang secara berangsur dialihfungsikan oleh masyarakatnya menjadi berbagai bentuk penggunaan lahan lain, seperti pengembangan permukiman dan infrasturuktur. Alih fungsi lahan itu terjadi secara bertahap hingga saat ini sehingga luas lahan pertanian sawah di subak Saba semakin berkurang. Beberapa alasan yang menyebabkannya adalah tekanan pertumbuhan penduduk dan faktor-faktor pendorongnya, seperti memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya. Fakta yang terungkap di lapangan bahwa telah terjadi kemiskinan struktural seperti diungkapkan oleh Bapak Gedoran dalam wawancara berikut. Ada petani yang menjual 3 hektar sawah, punya rumah, mobil, motor, setelah jual sawahnya, sekarang sepeda ontel aja ngak punya, (wawancara 7 Maret 2014) Dari fakta di atas, O’Donnell (2003:22) mengemukakan bahwa “materialisme dan konsumerisme merusak lingkungan dan menguras semangat dan nilai masyarakat”. Dalam hal ini sudah terjadi pemiskinan yang terstruktur dengan adanya konstruksi dari kaum kapital dalam cara-cara menghegemoni masyarakat petani dengan materi berupa uang dan janji keasyikan akan kemajuan dunia modern dengan memeroleh lahan persawahan serta memanfaatkan ketidaktahuan petani (kebodohan petani). Artinya, kaum kapital dengan
91
mudahnya memeroleh lahan pertanianya sehingga muncul proses marginalisasi di kalangan petani subak Saba. Peningkatan jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap alih fungsi lahan. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa kejadian ini dipicu adanya kebutuhan hunian, yang dikomersialkan pengembang atau kaum kapital dengan memanfaatkan jasa oknum pemerintah. Faktor-faktor lain yang mendorong antara lain kebutuhan lahan, adanya program permukiman penduduk, modernisasi zaman, dan gaya hidup.
92
BAB VI FAKTOR- FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA MARGINALISASI PETANI DI SUBAK SABA, KELURAHAN PENATIH DENPASAR TIMUR
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:401) dinyatakan bahwa faktor adalah “hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (memengaruhi) terjadinya
sesuatu”.
Dalam hal
ini,
faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, adalah terjadinya alih fungsi lahan atau proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi, ekonomi, serta kondisi sosial rumah tangga pertanian pengguna lahan. Di samping itu, juga aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pusat, maupun daerah, yang berkaitan
dengan
perubahan
fungsi
lahan
pertanian.
Kelemahan
pada
aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi. Faktor internal dan eksternal berlangsung sejalan dengan berkembangnya zaman, terutama pada era globalisasi di mana kebutuhan pokok manusia meningkat dan kepentingan-kepentingan penguasa pun ikut bergerak di dalamnya. Hal ini dimanfaatkan pula oleh pengusaha sebagai simbol kapitalisme. Berdasarkan uraian bab sebelumnya, maka dapat dikemukakan beberapa faktor yang mendorong terjadinya marginalisasi petani
di subak Saba, Kelurahan
93
Penatih, Denpasar Timur. Adapun faktor-faktor yang dimaksud adalah sebagai berikut:
6.1
Pengaruh Globalisasi Pengertian globalisasi menurut bahasa adalah “global dan sasi”. “Global”
adalah mendunia dan “sasi” adalah proses. Jadi, apabila pengertian globalisasi menurut bahasa ini digabungkan, akan menjadi "proses sesuatu yang mendunia”. Global berkenaan dengan keseluruhan (Depdiknas, 2008:482). Globalisasi memiliki dimensi ideologi dan teknologi. Dimensi ideologi, yaitu kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah teknologi informasi yang telah menyatukan dunia sehingga terjadi sebuah proses sosial yang berakibat bahwa pembatasan geografis pada keadaan sosial budaya menjadi kurang penting, yang terjelma di dalam kesadaran orang. Pengaruh globalisasi di bidang teknologi terungkap dalam wawancara berikut: Petani banyak menjual sawahnya, demi mengikuti tuntutan gaya hidup, orang punya mobil dia mau beli mobil, punya motor dia mau beli motor, namun hasil uang penjualan sawah tidak dapat dikelola dengan baik pada akhirnya tidak punya harta lagi, (Rena, wawancara 12 Maret 2014). Dari wawancara di atas, diketahui bahwa pengaruh globalisasi teknologi menjadi salah satu faktor terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih. Di Bali hampir tiap detik terjadi arus masuk teknologi yang selalu disiapkan
oleh kaum kapitalis. Salah satu di antaranya adalah kendaraaan
bermotor. Kendaraan bermotor hampir tiap minggu berganti mode ataupun berganti sampul, dengan isi yang sama, tetapi dalam kemasan yang menarik.
94
Kemasan yang tampak menarik dengan janji-janji yang terlihat baik, akan secara tidak langsung menghegemoni konsumen, yaitu masyarakat untuk memilikinya. Padahal, sesunguhnya masyarakat tidak membutuhkan, ataupun bukan barang penting (urgen). Namun, kaum kapitalis tahu bahwa sasaran mereka adalah masyarakat yang konsumtif dan tidak memiliki pengetahuan, tentang rencana besar kaum kapitalis. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Barker (2005:143) bahwa modernisasi adalah citra keasyikan yang menjanjikan, di mana saat ini dunia mengalami kemajuan sosial dan ini kemajuan teknologi. Bahkan, ada warga yang telah menjadi contoh nyata akibat dari pengaruh globalisasi teknologi ini, seperti terungkap pada wawancara berikut. Ada petani yang menjual tiga hektare sawah, punya rumah, mobil, motor, setelah jual sawahnya, sekarang sepeda ontel saja tidak punya,. (Gedoran, wawancara 24 Januari 2014). Dari wawancara di atas, diketahui bahwa pengaruh globalisasi teknologi memang tragis, seseorang yang terjebak dalam globalisasi teknologi seperti kecanduan heroin, yaitu ap apun siap dilakukan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Individu tersebut tidak sadar akan dirinya yang telah hancur, atau menghancurkan diri sendiri. Pengaruh globalisasi juga menyerang pasar penjualan tanah, seperti terungkap dalam wawancara berikut. Ada orang yang menjual tanah 24 are seharga 120 juta, setelah itu menyesal dia menjual tanahnya, petani tersebut balik mau membeli lagi dengan harga 450 juta dan hanya mendapat 3 are (Rena, wawancara 20 Maret 2014). Kedua
wawancara sebelumnya sesuai dengan pandangan O’Donnell
(2003:22) bahwa “materialisme
dan konsumerisme merusak lingkungan juga
95
menguras semangat dan nilai masyarakat”. Dengan meminjam pendapat ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat sudah terhegemoni oleh pasar penjualan tanah begitu menggiurkan, terutama bagi kaum kapitalis. Hal demikian merupakan konstruksi kaum kapitalis. Keadaan para petani dalam hegemoni dunia modern, terjadi akibat dari ketidaktahuan mereka (petani). Kebanyakan petani menyesal ketika mengetahui harga tanah mereka yang terus melonjak seiring dengan perjalanan waktu. Moderenisasi zaman ditambah dengan Bali sebagai destinasi pariwisata, bahkan kerasnya pengaruh globalisasi pasar bebas ini memaksa masyarakat untuk hidup dengan dikejar oleh waktu demi kehidupan sehari-hari. Hal ini terungkap dalam wawancara berikut. Ada juga kasus orang yang menjual sawah 25 are karena demi tuntutan gaya hidup, tidak sampai 1,5 tahun uangnya habis digunakan untuk berfoya-foya, padahal anak-anaknya bekerja dan berpengahasilan lumayan baik. ( Rudita, wawancara 20 Maret 2014). Dari wawancara di atas terbukti apa yang telah dikemukakan oleh Barker (2005:143) bahwa modernisasi adalah citra keasyikan yang menjanjikan, dalam hal ini terungkap karena tuntutan globalisasi. Sehubungan dengan itu, warga menjual tanahnya dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan keseharian dan dijadikan modal. Namun, dalam realitasnya justru setelah menjual tanah kehidupan tidak berubah, malah diperbudak oleh waktu, dengan kata lain walaupun seluruh keluarga telah bekerja, kenyataannya belum bisa memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Akibat dari globalisasi pasar yang menganggap waktu adalah uang, maka pikiran masyarakat pun mulai terkostruksi bahwa setiap
96
waktu yang disediakan untuk siapa pun adalah uang dan tidak boleh dibuang percuma. Hal itu terungkap dari wawancara dengan Gedoran sebagai berikut. Untuk meningkatkan orang gotong royong ke sawah yang dulunya di hari Kamis karena kesibukan dan dipindahkan di hari Minggu, namun mereka yang pergi bergotong royong itu digaji, yang diambil dari kas kelompok tani, kalau nga digaji tak ada orang yang datang gotong royong, kalaupun ada cuman sedikit (wawancara 14 Maret 2014). Dari wawancara di atas, diketahui bahwa globalissi memengaruhi pola pikir masyarakatnya, yaitu gotong royong dahulunya adalah budaya masyarakat dalam berinteraksi dan menjalin kerukunan atarwarga berubah seiring dengan perkembangan era globalisasi. Gotong royong pun dilakukan berdasarkan upah yang diterima, di mana komunikasi dan interaksi warga tidak menjadi hal utama, seperti yang diungkapkan oleh Barker (2005:119) bahwa sebagian besar proses globalisasi berwujud ekonomi. Sikap yang ditunjukkan petani terhadap tradisi gotong royong berdasarkan uang sebagai jantung ekonomi. Namun, ada pula masyarakat yang terpengaruh globalisasi tidak menjual sawahnya. Kelompok ini lebih memilih bekerja sama dengan petani penggarap, sementara mereka masih tetap bisa hidup dalam zaman modern. Hal ini terungkap dalam wawancara berikut. Sekarang pemilik sawah di subak Saba tidak bertani lagi karena hidup mereka sudah mapan dan lahan sawah milik mereka disewakan kepada para petani penggarap dengan hasil pertanian dibagi dua (Suka, wawancara 14 Desember 2013). Dari wawancara di atas, terlihat bahwa ada juga warga yang terpengaruh dengan globalisasi, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan apa yang dimiliki. Hal itu dilakukan karena menurut mereka, era globalisiasi tak bisa dihindari,
97
tetapi hendaknya kita tidak terperangkap dalam keasyikan dunia yang global. Mungkin efek globalisasi yang diterima petani pemilik lahan tidak seberapa dibandingkan dengan
petani penggarap. Dikatakan demikian karena petani
penggaraplah yang berada di lapangan yang
menghadapi situasi yang nyata.
Sikap seperti ini (yang dilakukan oleh petani pemilik lahan) adalah sikap di mana mereka memiliki kuasa dan pengetahuan terhadap dampak globalisasi itu sendiri sehingga dapat mengupayakan kontra hegemoni dan balik memanfaatkannya (Gramsci, dalam Barker, 2005:64). Tidak jarang globalisasi menjadi momok yang sangat memprihatinkan bagi para petani. Petani selalu ditekan dengan adanya padi dari luar negeri yang notabene lebih murah daripada beras lokal, tetapi kualitasnya berada di bawahnya sehingga persaingan yang tidak sehat ini menekan para petani. Hal ini sebenarnya merupakan bagian dari rencana besar kapitalisme, dalam memandulkan lahan pertanian di subak Saba, Kelurahan Penatih. Dengan demikian, lahan tersebut akan dapat digunakan sebagai lahan yang lain, yang mendatangkan keuntungan pada mereka (kaum kapitalis). Lebih mengkhawatirkan lagi jika benih padi rekayasa
diperkenalkan
kepada para petani maka ada pekerjaan sampingan petani yang akan tergusur, terutama buruh tanam, yang biasanya merambah rumput atau gulma. Karena tidak ada gulma, dia kehilangan penghasilan. Di samping itu, di alam gulma berfungsi untuk makanan serangga, dan mikro organisme.
Jika gulma hilang, berarti
serangga akan menyerbu tanaman lain. Dengan demikian, semakin sulit dan mahal untuk biaya pengendaliannya. Hal itu akan lebih menguntungkan pihak
98
perusahaan yang menjual obatan-obatan kimia. Upaya untuk membasmi serangga dan fenomena ini menyebabkan petani subak Saba menjadi tergantung pada pemilik bibit, yang dalam hal ini dikuasai oleh dunia kapitalis. Di sinilah teori hegemoni bekerja secara halus dan menyusup ke dunia pertanian di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur yang pada akhirnya menimbulkan proses marginalisasi. Marginalisasi ditingkat global memiliki bentuk yang lebih kompleks dan luas. Kapitalisme menciptakan ketidakadilan dan ketidakmerataan distribusi sumber daya dan pelayanan publik. Barang-barang publik diambil alih oleh privat, sementara masyarakat lokal tidak mampu mengakses sumber daya yang ada di sekitar mereka dengan gratis.
6.2 Pembangunanisme Pembangunanisme terbagi menjadi dua kata dasar yaitu “pembangunan” dan” isme”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pembangunan adalah hal, cara, dan perbuatan membangun (Depdiknas, 2008:135), sementara “isme” adalah penegasan ideologisnya. Hakikat pembangunan merupakan upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap kehidupan sosial maupun lingkungan alam. Namun, dalam hal ini pembangunanisme menjadi faktor
terjadinya
marginalisasi petani
di subak Saba, Kelurahan
Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Hal ini terlihat pada wawancara dengan Bapak Kerta sebagai berikut.
99
Keadaan pertanian di subak Saba cenderung memburuk setelah sawah-sawah banyak yang beralih fungsi dan terjual menjadi pengembangan perumahan, jalur hijau pun dilabrak oleh para pengembang perumahan. Hal ini terjadi karena pekaseh sama sekali tidak diajak untuk memutuskan kegiatan semacam ini (Kerta, wawancara 17 Januari 2014) Dari wawancara di atas, tergambar seperti yang diutarakan oleh Peet dan Hartwick (1999) yaitu dalam hegemoni pembangunan berkelanjutan, aparatur yang memproduksi pengetahuan menciptakan ‘ekonomi politik. Maksudnya adalah untuk melancarkan suatu proyek tertentu, yang membawa manfaat ekonomi bagi kalangan tertentu, lembaga-lembaga riset dan universitas dirancang untuk melakukan cara tertentu agar rencana proyek tersebut dapat berjalan mulus tanpa ada resistensi dari para petani. Di sini tampak jelas sekali bahwa perubahan terjadi akibat proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan di subak Saba, Kelurahan Penatih menyisakan berbagai macam persoalan. Setelah lahan pertaniannya beralih menjadi lahan permukiman kondisi masyarakat petani mengalami pergeseran. Hal itu terjadi sebab lahan pertanian sudah berkurang sehingga kesempatan untuk mengembangkan usaha dalam bidang pertanian semakin terbatas. Keterbatasan pengembangan usaha dalam bidang pertanian sangat memengaruhi penurunan pendapatan petani serta berbagai hal yang bersentuhan dengan pola kehidupan masyarakat petani sehari-hari. Kondisi seperti ini menempatkan masyarakat petani dalam posisi subaltren. Hal ini terungkap dalam wawancara berikut. Dulu sebelum sawahnya dijual petani menggarap dua hektare sawah, dan setelah banyak yang menjual dan beralih fungsi petani menggarap atau mengerjakan sawah menjadi satu hektare. Keadaan ini tentu mengakibatkan penghasilan petani menjadi berkurang, ditambah lagi kegiatan bertani kurang menjanjikan masa depan yang lebih baik. Generasi muda di subak Saba enggan untuk mengambil pekerjaan bertani, mereka
100
lebih banyak beralih ke pekerjaan di sektor jasa karena areal sawahnya sudah terjual kepada pengembang perumahan (Kerta, wawancara 6 April 2014). Dari hasil wawancara di atas, tampak bahwa penyusutan lahan pertanian di subak Saba, Kelurahan Penatih semakin meluas. Berdasarkan hasil wawancara di atas, alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan berdampak kepada kondisi kehidupan petani itu sendiri. Ia berdampak pada kondisi ekonomi yaitu berkurangnya pemasukan (uang), peran sosial, orientasi nilai budaya, stratifikasi sosial, dan kesempatan kerja serta kesempatan berusaha. Dengan demikian, masyarakat di subak Saba berada pada posisi tertindas, dalam hal ini Gramsci (dalam Ratna, 2013:463) menyatakan bahwa subaltern adalah orang-orang yang tertindas dan terpinggirkan. Beberapa perubahan yang tercermin adalah terjadinya peningkatan tenaga kerja yang bergerak di luar sektor pertanian. Seharusnya hal itu dapat meningkatkan, baik perekonomian maupun pendapatan petani setempat dengan menjadi buruh sampingan, tetapi realitasnya tidak demikian. Terbukti terjadi peningkatan pekerja buruh musiman pada masa pembangunan infrastruktur seperti saat ini terjadi di subak Saba, Kelurahan Penatih. Hal tersebut terungkap pada wawancara berikut. Terjadi eksodus besar-besaran dari Pulau Jawa ke Bali khususnya buruh bangunan, yang secara tidak langsung mempengaruhi warga lokal dalam mendapatkan pekerjaan sampingan, dengan kata lain warga subak Saba Kelurahan Penatih tidak mendapat pekerjaan di daerahnya sendiri. Hal ini diakibatkan pengembang yang umumnya datang dari luar, secara langsung membawa pekerja atau buruh mereka sendiri di samping buruh luar lebih murah jika dibandingkan dengan buruh lokal (Gredeg, wawancar 4 Maret 2014)
101
Dari wawancara di atas, diketahui bahwa akibat dari gencarnya pembangunanisme, membuat perubahan terbesar terjadi pada komponen status dalam masayrakat yang menimbulkan perubahan status antara orang yang memiliki lahan dan orang yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Pemilik lahan tetap memiliki posisi stratifikasi sosial yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki lahan. Bahkan, dapat dikatakan ada pembagian kelas, yakni
ada golongan yang menindas dan ada golongan yang ditindas.
Dengan demikian, petani menjadi kaum subaltern atau kaum yang menjadikan kelompok lain berbeda, yang berada lebih di bawah (Ratna, 2013:463). Sehubungan dengan itu, peluang orang yang tidak memiliki lahan semakin kecil dan semakin sempit dalam memperbaiki nasibnya. Karena hanya tetap bertahan pada buruh tani, lebih-lebih lagi kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh masyarakat petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur, mengakibatkan posisi petani menjadi terpingirkan atau termarginal. Terkait dengan hal ini tampaknya pemerintah perlu menerapkan regulasi terhadap proses alih fungsi lahan terutama lahan pertanian yang subur dan produktif. Hal itu penting sebab fenomena yang terjadi sekarang ini adalah masalah lahan pertanian setiap tahun mulai menyempit atau berkurang. Di samping
itu,
pemerintah
juga
perlu
meningkatkan
berbagai
program
pembangunan yang berpihak kepada masyarakat pedesaan. Hal lain yang juga diperlukan adalah sosialisasi, musyawarah, atau kesepakatan bersama dengan masyarakat, terutama para pemilik lahan untuk menghindari permasalahan atau konflik.
102
Pihak pengembang diharapkan memiliki tanggung jawab sosial (corporate social responsibility), misalnya dengan memberdayakan masyarakat sekitar proyek pengembangan perumahan. Adapun bentuk pemberdayaan adalah dengan memberikan bantuan terhadap pengembangan ekonomi masyarakat petani, terutama adalah tenaga kerja generasi muda. Tanggung jawab sosial ini dimaksudkan untuk menghindari kesenjangan sosial masyarakat yang pada akhirnya bermuara pada konflik sosial di masyarakat pedesaan. Marginalisasi adalah fenomena pedesaan yang menimbulkan kemelaratan dan ciri kebudayaan pribumi tertentu, yang biasanya tertahan yang menunjukan fenomena integral dalam masyarakat. Artinya, peminggiran oleh sekelompok orang, yang menurutnya pariwisata adalah pembangunan, yang meminggirkan masyarakat.
Hal
itu terjadi
karena
dalam
proses
pengembangan dan
pembangunannya menggeser nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Proses peminggiran masyarakat kebanyakan terjadi diawali dengan pembebasan lahan, seperti terungkap dalam wawancara berikut. Pada lahan pertanian di subak Saba sering terjadi pelanggaran terhadap jalur hijau dan masyarakat lokal tidak berani melarang karena semua itu telah ditentukan oleh pemerintah pusat (Kerta, wawancara 15 Januari 2014). Dari pernyataan wawancara di atas nada penindasaan dari oknum-oknum yang memiliki kepentingan atas lahan yang akan dibebasakan dengan memanfaatkan ketidaktahuan dan kelemahan masyarakat lokal. Sehubungan dengan itu, pembebasan tahan mulai digencarkan dengan selalu mengedepankan isu pariwisata Bali. Hal tersebut senada dengan hal yang diungkapkan oleh Foucault bahwa kekuasaan beroperasi di seputar dan melalui jejaring yang
103
tumbuh di sekeliling intitusi-institusi negara dalam arti tertentu (Foucault dalam Latif, 2005:39). Berangkat dari argumentasi Foucault, dalam hal ini ada permainan atau kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk mendapatkan areal yang bisa digunakan untuk pengembangan usaha bisnis properti melalui hegemoni pemerintah dan pengusaha kepada pemilik lahan di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Pengembang pariwisata membutuhkan sarana dan prasarana yang mendesak lahan pertanian dan menyebabkan terjadinya perubahan tata guna lahan. Artinya, tanah yang seharusnya digunakan untuk lahan pertanian, tetapi yang terjadi adalah pengembangan kawasan perumahan, yang mendesak lahan petani secara hegemonik. Dalam khazanah ilmu sosial ada beberapa definisi dan penjelasan teoretis mengenai marginalisasi. Beberapa ahli mengemukakan bahwa marginalisasi merupakan sebuah proses sosial, yang membuat masyarakat menjadi marginal, baik secara alamiah maupun dikreasikan sehingga masyarakat memiliki kedudukan sosial yang terpinggirkan. Hal ini pun dialami oleh petani di subak Saba, Kelurahan Penatih. Petani di subak Saba menjadi kelompok subaltern yang hak-haknya perlu diperjuangkan dan diberikan ruang gerak untuk menyuarakan kepentingannya kepada penguasa. Dengan demikian, akan tercipta kondisi yang partisipatori sebagai sebuah pembelaan pada kelompok subaltern yang ada di subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur.
104
6.3
Tekanan Politik Penguasa dan Pengusaha Tekanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “keadaan dengan
kekuatan menekan atau desakan yang kuat dengan paksaan” (Depdiknas, 2008:1472). Politik adalah ilmu yg mempelajari sifat dan fungsi negara dan pemerintah (Depdiknas, 2008:545) penguasa adalah orang yg menguasai atau orang yang berkuasa untuk menyelenggarakan sesuatu, memerintah, atau pemegang kekuasaan (Depdiknas, 2008:764), sedangkan pengusaha adalah orang yang mengusahakan,
baik perdagangan,
industri, maupun yang lainnya
(Depdiknas, 2008:1599). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tekanan politik penguasa dan pengusaha adalah bentuk kerja sama antara yang memiliki kekuasaan, dalam hal ini pemerintah selaku pengambil kebijakan dan pengusaha selaku pemilik modal dalam mendesak pemilik lahan baik secara legal maupun ilegal, demi kepentingan dan tujuan tertentu dalam hal alih fungsi lahan. Dalam konspirasi ini petanilah yang menjadi korbanya. Hal ini terungkap dari wawancara berikut. Ada juga peringatan dari pemerintah kalau ada yang membangun di daerah jalur hijau jangan dilarang biar tidak banyak punya musuh, (Kerta, wawancara 15 Januari 2014). Dari hasil wawancara di atas, dapat gdipahami seperti yang diungkapkan oleh Foucault (dalam Latif, 2005:39), bahwa kekusaan ada di mana-mana atau kuasa sebagai sosok yang ada dalam interaksi sosial. Dalam kaitannya dengan hal tekanan penguasa dan pengusaha terhadap petani, pada kasus marginalisasi petani di subak Saba bagaimana terungkap bahwa pengusaha yang memiliki modal memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki penguasa di dalam cara-cara memeroleh
105
lahan, baik secara legal maupun ilegal. Kesepakatan atau deal-deal itu menguntungkan kedua belah pihak. Tekanan
penguasa
sesunguhnya sudah
berjalan lama, dalam melakukan proses alih fungsi lahan. Bahkan, tak jarang dilakukan dengan cara represif. Hal itu terungkap lewat informasi warga dalam wawancara berikut. Tekanan pemerintah pada masa Pak Harto, yang kemudian pemerintah Bali dalam hal ini Gubernur Ida Bagus Oka pun juga ikut menekan kaum petani di Penatih untuk mau mengalihfungsikan lahanya yang digunakan untuk kegiatan SPBU (Madya, wawancara 20 Januari 2014). Dari wawancara di atas, tergambar bahwa tekanan penguasa datang tidak hanya bersifat lokal, tetapi nasional yang dikonstruksi melalui kebijakankebijakan, yang menguntungkan kaum pengembang (pengusaha atau kaum kapitalis). Hal tersebut
senada dengan pandangan Foucault (dalam Latif,
2005:39) bahwa kekusaan ada di mana-mana, dalam hal ini kekuasaan berada pada
tangan
penguasa
dan
pengusaha.
Kepentingan
kaum
pengusaha
direalisasikan oleh kaum penguasa sehingga dengan sendirinya penguasa mendapat keuntungan tersendiri dalam berbagai bentuk, misalnya saham, gratifikasi uang, money loundry, dan lain-lain, yang semuanya mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal tersebut berakibat terjadi memarginalisasi. Namun di tengah arus tekanan penguasa dan pengusaha ada juga petani yang tidak takut terhadap
tekanan
penguasa dan pengusaha seperti terungkap dalam
wawancara berikut ini. Petani pemilik lahan di sini (subak Saba) ada juga didatangi oleh oknum pemerintah untuk membeli tanah petani tersebut dengan harga murah, tetapi pemilik lahan menolak keras menjualnya karena mereka
106
merasa tidak punya tanah. Tanah yang mereka miliki merupakan tanah warisan dari leluhur dan itu pantang untuk dijual (Madri, wawancara 22 Pebruari 2014). Dari wawancara di atas tampak bahwa tidak semua warga subak Saba, Kelurahan Penatih takut terhadap tekanan yang diberikan oleh penguasa dan pengusaha. Bahkan, mereka bertahan sampai saat ini dengan keadaan yang masih lebih baik dan tidak terjebak dalam prangkap-perangkap kapitalisme global. Sikap seperti ini merupakan perlawanan secara terbuka
dengan melakukan kontra
hegemoni dengan mengorganisasikan dan mereorganisasikan terus-menerus kehidupan, baik sadar maupun tidak sadar dari massa (Gramsci, dalam Tilaar, 2003:77). Penguasa dalam hal ini pemerintah seharusnya memberikan bantuan kepada petani, yang merupakan kewajiban, yang mesti dilakukannya agar petani tetap bisa mempertahankan lahan sawahnya. Akan tetapi, yang terjadi adalah permainan beberapa pihak untuk meraih keuntungan sepihak dari adanya kebijakan tersebut sehingga menyebabkan tidak tersalurkannya bantuan untuk petani secara penuh. Bukan hanya kesalahan pelaksanaan proses sebuah kebijakan, melainkan, kontrol dari kebijakan itu pun menjadi pertanyaan besar. Pengalihfungsian lahan sawah menjadi areal permukiman di subak Saba, Kelurahan Penatih merupakan bentuk hegemoni yang dilakukan pemerintah berkolaborasi dengan pengusaha secara halus, canggih, dan intelek melalui wacana pembangunan. Wacana diberikan secara halus sehingga petani subak Saba, Kelurahan Penatih tidak menyadari bahwa dirinya telah terhegemoni.
107
Bahkan, dalam praktiknya wacana hegemoni dilengkapi dengan dominasi yang sifatnya represif. Hegemoni di subak Saba, Kelurahan Penatih dilakukan melalui wacana tentang pembangunan perumahan, yang disosialisasikan oleh pemerintah bersama dengan pengusaha (investor) kepada masyarakat di subak Saba, Kelurahan Penatih. Sosialisasi disertai dengan janji-janji tertentu, yang cukup menggiurkan masyarakat di subak Saba, seperti meningkatkan kesejahtraan masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja dan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi masyarakat. Secara umum janji-janji hegemonik yang ditujukkan itu memperlihatkan adanya kontestasi antara penguasa dan masyarakat terhadap lahan yang beralih fungsi, dengan kepentingan yang berbeda. Petani subak Saba, Kelurahan Penatih lebih memaknai lahan tersebut sebagai sumber ekonomi bagi kehidupannya di samping memberikan makna religius terhadap areal persawahan. Sebaliknya pihak penguasa lebih menekankan pada penataan lahan yang tidak merugikan, baik secara ekonomi maupun religius terhadap masyarakat pendukungnya. Alih fungsi lahan terjadi tidak hanya akibat belum maksimalnya kebijakan pemerintah yang membela kepentingan petani, tetapi juga akibat petani sudah mulai goyah dalam mempertahankan swadharma sebagai petani dan tergiur pekerjaan lain. Memang nasib petani di subak Saba, Kelurahan Penatih kini kian terpuruk. Selain masih dianggap termarginalkan, permasalahan yang dihadapi petani subak Saba makin kompleks. Ironisnya, pemerintah daerah terkesan acuh tak acuh alias tidak mau tahu kesulitan yang dirasakan petani. Padahal, selain
108
sektor pariwisata, pertanian juga masih tetap memegang peran strategis menjaga stabilitas dan pemerataan perekonomian di Bali. Sektor pertanian menjadi semakin suram sebagai akibat adanya alih fungsi lahan yang meningkat dan air irigasi semakin terbatas karena sebagian diambil oleh PDAM dan regenerasi petani lemah karena generasi muda enggan menjadi petani. Di samping itu, juga ketergantungan benih, pupuk, dan biaya pengelolaan lahan tinggi, seperti sewa traktor, upah tanam, panen, ditambah lagi harga jual hasil panen tidak menentu. Hal lainnya adalah meningkatnya tuntutan kebutuhan lahan permukiman dan fasilitas pariwisata, kerusakan lingkungan, cuaca yang tidak menentu, beban pajak, serta rendahnya kemaun anak muda untuk bertani (Bali Post, Senin, 26 Mei 2014, hal. 1, kol. 1--3). Hal inilah yang menjadi kendala para petani di subak Saba yang menyebabkan mereka selalu tertindas dan tertekan. Dengan kondisi seperti ini wajar saja jumlah petani di Bali khususnya di Kelurahan Penatih
semakin
berkurang karena kebanyakan generasi muda tidak ada yang mau menjadi petani. Hal itu terjadi karena bayangan bahwa menjadi petani merupakan pekerjaan yang melelahkan dan tidak menjanjikan hidup masa depan yang lebih baik. Kondisi ini juga berdampak pada upaya-upaya pelestarian subak. Kini banyak subak yang tidak mempunyai lahan dan terdesak. Yang tersisa hanya nama dan palinggih-nya, yakni pura Ulun Suwi. Kondisi ini sangat ironis di tengah kuatnya budaya Bali yang bermuara dari kehidupan bertani. Salah satu contoh permasalahan yang dihadapi oleh petani subak Saba, Kelurahan Penatih
109
seiring dengan perkembangan global adalah terjadinya marginalisasi secara sistemik. Penegakan Hukum Pasal 1 butir (2) RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menyebutkan bahwa, perlindungan petani adalah segala upaya membantu petani menghadapi permasalahan prasarana dan sarana produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim. Dalam beberapa hal, upaya perlindungan petani masih sebatas jargon. Berbagai kasus penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi sering tidak berakhir di meja hijau. Kasus penyelewengan hanya heboh di awal, kemudian masuk peti es. Perlindungan terhadap lahan pertanian juga belum secara serius dilakukan oleh pemerintah. Meskipun sudah ada Undang-Undang Nomor 41, Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, konversi lahan sawah tetap berlangsung terus-menerus. Inilah awal dari bencana karena sektor industri perumahan dari pengembang tidak serta merta mampu menyediakan lapangan kerja bagi para petani ataupun buruh tani yang tanahnya dikonversi sebagaimana yang terjadi di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur saat ini. Melalui mekanisme pasar yang sehat, harga pangan terjangkau dan kesejahteraan petani meningkat sehingga tercipta kehidupan petani yang harmoni dan sejahtera dalam hal sandang, pangan, dan papan. Para petani juga harus dilindungi dari globalisasi perdagangan, yaitu mulai dari pestisida berbahaya, benih transgenik, atau pupuk kimia yang di negara asal
110
telah dilarang. Globalisasi perdagangan tidak menciptakan perkampungan global (global village), tetapi lebih mirip penjarahan global (global pillage). Saatnya marginalisasi petani di republik ini diakhiri dan harus diadakan tindakan nyata yang dapat dirasakan oleh para
petani di subak Saba, Kelurahan Penatih,
Kecamatan Denpasar Timur. Faktor kebijakan pemerintah, yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah yang berhubungan dengan perubahan fungsi lahan pertanian perlu dipertegas. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi dan harus diusahakan secara maksimal, agar dapat dijadikan lahan pertanian yang abadi. Hal ini harus ada perlindungan secara hukum melalui perda (Albornaz, 2007:202). Patologi birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur patologi birokrasi digambarkan seperti “sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas, dan prosedur-prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status” (Dwidjowijoto, 2006:84) Pengusaha jelas bertujuan untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya dengan menjalankan perusahaannya dengan tetap harus mematuhi hukum yang berlaku. Meskipun harus tetap diingat bahwa seorang pengusaha bisa dan harus juga mempunyai tanggung jawab (sosial), yaitu turut serta berpartisipasi dalam pembangunan bangsa dan negara baik secara langsung maupun tidak (Agung, 2010: 19).
111
Birokrasi selalu diwarnai dengan adanya campur tangan penguasa dan pengusaha. Patologi ini akan menyebabkan penyelewengan terhadap kebijakan politik, yang tidak lagi mementingkan kepentingan rakyat, tetapi mementingkan para pengusaha dan para penguasa itu sendiri. Ciri khas korupsi di Indonesia, antara lain bersifat integralistik, yaitu dipraktikkan begitu menyatu antara penguasa dan pengusaha. Penguasa yang berkolusi dengan pengusaha tidak saja di tingkat rendah dan menengah, tetapi terutama sekali di tingkat atas sebagaimana yang dilansir oleh media massa cetak dan elektronik akhir-akhir ini (Hisyam, 2003:197). Dengan kekuatan uang, pengusaha seperti memiliki senjata ampuh untuk menekan pemerintah. Sampai saat ini birokrasi kita masih diwarnai dengan campur tangan para pengusaha. Di samping itu, juga berbagai kebijakan hanya mementingkan para pengusaha dan pejabat semata. Oleh karena itu ketegasan birokrasi di Indonesia harus ditingkatkan dan mereka harusnya membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan rakyak secara transparan.
6.4 Gaya Hidup Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa gaya adalah kesanggupan untuk berbuat (Depdiknas, 2008:443), sementara hidup adalah masih terus ada, bergerak, dan bekerja sebagaimana mestinya (Depdiknas, 2008:521). Gaya hidup dapat diartikan sebagai pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia di dalam masyarakat. Gaya hidup menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan
112
umum, dan upaya membedakan statusnya dari orang lain melalui lambanglambang sosial. Gaya hidup atau life style juga dapat diartikan, sebagai segala sesuatu yang memiliki karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat tertentu. Dalam hal ini gaya hidup menjadi faktor penting yang memengaruhi terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Hal ini terlihat pada wawancara berikut: Karena berkeinginan hidup mewah dan bercermin pada tetangga mereka punya rumah bagus, punya mobil bagus, harga tanah yang ditawar dengan harga bagus, petani menjadi tergiur menjual sawah agar bisa seperti tetangganya yang memiliki semuanya, (Kerta, wawancara 24 Desember 2013). Dari wawancara di atas, masyarakat di subak Saba, Kelurahan Penatih sudah banyak yang terpengaruh, atau dihegemoni oleh budaya-budaya modern dengan segala keasyikannya. Zaman modern membuat petani lupa segalanya walaupun harta pemberian leluhurnya berupa sawah pun ikut dijual, demi terpenuhi hasrat dunianya yang cenderung konsumtif karena salah satu bagian akibat dari gaya hidup adalah budaya konsumerisme. Hal serupa dikemukakan oleh Hasan (2011:188) bahwa “para produsen individual (kaum kapitalis) memuaskan kebutuhan-kebutuhan mereka (petani dan masyarakat) dengan ragam yang lebih banyak”. Secara tidak langsung masyarakat petani dihegemoni dengan materi, berupa barang-barang yang diproduksi oleh kaum kapitalis dengan tujuan agar masyarakat di subak Saba, Kelurahan Penatih, menjadi masyarakat konsumerisme. Konsumerisme berasal dari kata dasar konsumen yang diberikan akhiran isme. Konsumen berarti pemakai barang-barang hasil industri (Depdiknas, 2008:750), sementara akhiran “isme” memberikan penekanan bahwa
113
orang yang berideologikan hidup konsumen yang berlebihan. Hal ini terlihat dari hasil wawancara berikut. Dahulu canang, banten, dan perlengkapan adat dibuat sendiri maupun secara bergotong royong bersama keluarga, maupun warga. Namun, hal demikian sulit ditemukan saat ini karena saat ini hal-hal yang berhubungan dengan perlengkapan adat sudah tersedia di pasar, dengan kasarnya ada uang ada barang, (Suki, wawancara 24 Desember 2013) Dari wawancara di atas, diketahui bahwa kini warga subak Saba, Kelurahan Penatih cenderung lebih baik membeli daripada memproduksi sendiri kebutuhan kesehariannya terutama yang berhubungan dengan perlengkapan adat. Hal ini disebabkan oleh zaman modern di mana kesibukan warga meningkat, kebutuhan hidup mendesak, maka dalam pandangan kapitalisme ideologi pun bisa dijadikan pangsa pasar. Sehunbungan dengan itu, dengan alasan logis hal yang bersifat sakral, bisa diperjualbelikan. Dengan kata lain telah terjadi komodifikasi, yang diakibatkan oleh hegemoni kapitalis sesuai dengan pandangan Fairclough (dalam Ratna, 2013:496) bahwa komodifikasi adalah suatu proses, yang di dalamnya benda, aktivitas, dan buah pemikiran, juga hasil-hasil kebudayaan secara keseluruhan, yang semula hanya
untuk memenuhi kebutuhan
secara
personal kemudian didistribusikan, dikonsumsi secara impersonal. Bahkan, secara massal digunakan sebagai barang komuditas. Keturunan petani jarang sekali ingin menjadi petani, kecuali mungkin jika sudah terdesak. Hal ini terungkap dari wawancara berikut. Saat ini warga subak Saba, Kelurahan Penatih menjadikan pertanian sebagai kerja sambilan, kerja utama adalah kerja di kantor, buruh bagunan, dan Dinas Kebersihan Kota (DKP) (Mara, wawancara 14 Desember 2013)
114
Dari wawancara di atas, diketahui bahwa warga petani subak Saba, Kelurahan Penatih tidak menjadikan pertanian sebagai pekerjaan utama terlebih generasi kedua para petani. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan petani tidak menjanjikan prospek masa depan yang lebih baik bagi anak-anak modern saat ini di subak Saba, Kelurahan Penatih. Di samping itu, mereka lebih memilih pekerjaan yang berada pada sektor pariwisata, perkantoran, dan lain-lain. Akibat dari tidak adanya regenerasi petani, dan kaum muda lebih memilih pekerjaan yang berhubungan dengan sektor pariwisata maka dengan sendirinya profesi petani menjadi terpingirkan atau menjadi subaltren. Hal itu seperti yang dikemukakan Gramsci (dalam Ratna, 2013:463) bahwa subaltern adalah orang-orang yang tertindas. Oleh karena itu, pemuda di subak Saba, Kelurahan Penatih akan terus mengikuti gaya hidup, yang telah dikonstruksikan oleh gaya hidup modern. Hal ini terungkap dari wawancara berikut ini: Akibat terjadinya modernisasi zaman yang diikuti oleh alih fungsi lahan, maka uang hasil menjual sawahnya kebanyakan dipakai berfoyafoya seperti judi tajen serta kehidupan malam dengan berpoya-poya lebihlebih karena adanya sanjungan dari teman-teman dekatnya (Astawa, wawancara 4 Januari 2014) Dari wawancara di atas terlihat jelas bahwa masyarakat petani subak Saba banyak yang terjebak dengan gaya hidup modern, yang dibawa oleh dampak parawisata. Ketika seseorang (petani) telah memiliki uang yang berlebih dari hasil penjualan lahan, apabila tidak dikontrol dengan baik dari ganguan gaya hidup hedonis, maka masyarakat akan terjebak dalam prangkap kapitalisme, yaitu gaya hidup atau life style seperti yang diungkapkan oleh Ratna (2013:147) yakni gaya hidup yang menandakan kemajuan tingkat kehidupan manusia menghargai dan
115
memuliakan nilai-nilai kehidupan individu. Dalam hubungan ini adalah dengan memberikan berbagai bentuk kepuasaan. Kepuasan dunia inilah yang membawa masyarakat petani terjebak dalam hegemoni kapitalis, yang membuat masyarakat petani menjadi marginal. Hal ini juga terungkap dari informasi Bapak Gedoran sebagai berikut. Untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup sesuai dengan tuntutan zaman, maka banyak sawah di subak Saba dijual, lebih-lebih petani tergiur dengan harga tanah yang begitu melambung tinggi (Gedoran, wawancara 14 Desember 2013) Hasil wawacara di atas sesuai dengan pandangan O’Donnell (2003:22) bahwa “materialisme
dan konsumerisme merusak lingkungan dan menguras
semangat dan nilai masyarakat”. Hai itu terjadi karena banyak warga petani yang tergiur dengan keduniaan yang dipengaruhi oleh kemajuan zaman, yaitu manusia dicekoki dengan kemudahan dan keasyikan dunia (instan). Semua itu bisa diperoleh dengan uang (materi) dan pada saat yang sama, gaya hidup yang dulunya masih tradisional pun ikut berubah menjadi gaya hidup modernis. Masyarakat yang ikut dengan gaya hidup yang modernis, mau tidak mau harus mendapatkan modal uang untuk bisa berada dalam komunitas modern tersebut. Ketika pengetahuan tentang modal uang tidak ada dan dimanfaatkan oleh kaum modernis kapitalis bahwa lahan petani atau masyarakat tersebut bisa dipakai anggunan atau sebagai konpensasi
uang, yang dapat dipakai masyarakat
mengikuti gaya kehidupan modern. Karena hal ini telah terjadi, maka perubahan perilaku, baik individu maupun masyarakat, terjadi dengan sendirinya. Fakta ini terungkap lewat wawancara berikut.
116
Ada juga warga di sini dulu sebelum jual sawah dan jadi kaya, orangnya hidup biasa saja, sekarang setelah punya uang dari hasil jual sawah, sudah beda gaya hidupnya sering ke kafe, minum-minum, agak sombong sekarang, (Patra, wawancara 14 Desember 2013) Hasil wawancara di atas, sesuai dengan pendapat mengemukakan yakni
Ratna (2013:147)
gaya hidup menandakan kemajuan tingkat kehidupan,
manusia menghargai dan memuliakan nilai-nilai kehidupan individu, dalam hubungan ini dengan memberikan berbagai bentuk kepuasaan. Hal ini terungkap dari perubahan pola pikir, sikap, dan perilaku seseorang, yang diakibatkan oleh gaya hidup yang hedonis. Itulah sebabnya di dalam masyarakat pun, tidak terjalin hubungan yang baik. Hal ini akan menyebabkan
manusia berdiri pada
kelompoknya masing-masing dan membentuk komunitas eksklusif sendiri. Akhirnya terjadilah kesenjangan yang memicu konflik, baik horizontal maupun vertikal. Ketika konflik ini muncul tak jarang masyarakat atau kelompok itu sendiri yang menjadi korban dari jebakan kapitalisme, seperti terungkap dalam wawancara berikut. Ada juga petani yang sempat kaya, karena gaya hidup berlebihan dan jatuh miskin, dia tidak mau bekerja lagi karena malu (Nugra, wawancara 16 Desember 2013). Dari wawancara di atas, terungkap bagaimana perangkap kapitalisme menjebak mangsanya, yaitu setelah masyarakatnya dipecah, gaya hidupnya dikonstruksi, kemudian keuntungan yang sebesar-besarnya diambil tanpa menyisakan sedikit pun, sehingga nasib tragis akan menimpa masyarakat itu sendiri. Hal itu seperti yang dikemukakan oleh O’Donnell (2003:22) bahwa “materialisme dan konsumerisme merusak lingkungan serta menguras semangat
117
dan nilai masyarakat. Namun ada juga warga yang tidak terpengaruh oleh gaya hidup berlebihan. Mereka tetap bertahan dengan kehidupan tradisionalnya, seperti yang di ungkapkan oleh Bapak Sukra berikut ini. Saya walaupun tidak menjual sawah masih saya punya motor lama yang penting masih bagus tidak perlu yang baru yang penting bisa dipakai dan sampai pada tujuan dengan selamat, buat apa beli motor baru untuk gaya-gaya, sementara motor baru itu dibeli dengan kredit yang harus dibayar angsurannya tiap bulan, yang jika tidak bisa bayar angsuran akan bisa bikin pusing kepala (wawancara 28 November 2013) Dari wawancara di atas, diketahui bahwa warga atau masyarakat tidak tergiur dan terjebak dalam perangkap kapitalisme global, yaitu gaya hidup hedonis, justru hidup dalam kedamaian dan ketenangan. Mereka (petani, masyarakat) mengupayakan perlawanan atau kontra hegemoni terhadap jebakan kapitalisme. Hal ini terjadi
Bapak Sukra lebih memilih hidup sederhana
berdasarkan kebutuhan nyata sehingga tidak mudah terperangkap oleh adanya jebakan yang dikonstruksi oleh kaum kapitalis yang semakin mengglobal saat ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77) bahwa kontra hegemoni bertugas
memisahkan kaum proletar dari pandangan-pandangan
kapitalisme dan mengukuhkan pandangan dunia sosial.
6.5 Etos Kerja Etos berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti karakter, cara hidup, kebiasaan seseorang, motivasi, atau tujuan moral seseorang serta pandangan dunia mereka, yakni gambaran, cara bertindak, ataupun gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan hidup. Sementara etos dalam Kamus Besar
118
Bahasa Indonesia mengandung arti “pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial” dan etos sebagai kata “kerja” berarti ‘melakukan sesuatu (Depdiknas, 2008:703). Dari pendapat di atas, diketahui bahwa etos kerja dapat diartikan sebagai pandangan dunia, yakni gambaran cara bertindak dalam melakukan sesuatu. Hal ini terlihat pada masyarakat petani
di subak Saba,
Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur melalui wawancara berikut. Pada saat ini para petani di Penatih sudah banyak beralih profesi Hal ini dikarenakan sebagai petani hasil pemasukan (uang) yang didapat tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari (Tunas, wawancara 1 Januari 2014) Pernyataan di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Suradnya seperti berikut. Di zaman yang serba cepat ini, masyarakat di Kelurahan Penatih tidak tertarik lagi untuk menekuni pekerjaan sebagai petani karena hasil yang diperoleh sebagai petani tidak mencukupi untuk menutup keperluan sehari-hari apalagi untuk membiayai anak-anak sekolah ketingkat yang lebih tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan itu, petani mengalihfungsikan lahan sawahnya untuk rumah kos-kosan (wawancara 3 Januari 2014) Dari wawancara di atas, diketahui bahwa petani beralih profesi bukan karena tidak mau menjadi petani, melainkan karena uang yang didapat dari hasil bekerja sebagi petani, tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian masyarakat petani telah dikonstruksi lewat hegemoni penguasa dan pengusaha sehingga kondisi petani sama dengan kaum subaltren atau kaum yang menjadikan kelompok lain berbeda, yang berada lebih di bawah (Ratna, 2013:463). Wawancara tersebut juga menggambarkan cara pandang, yang diakibatkan oleh modernisasi zaman. Secara rasional, masyarakat subak Saba, Kelurahan Penatih berpandangan bahwa dengan menjadi petani tidak mungkin
bisa
119
mencukupi kebutuhan keseharian mereka. Saat ini kebutuhan hidup sangat meningkat. Hal ini juga diungkapkan oleh petani seperti berikut. Penduduk yang memiliki sawah sekitar 30 are, hasilnya tidak cukup memenuhi kebutuan sehari-hari, kalau mau untung, paling tidak harus memiliki 1 hektare kalau tidak biaya produksi tidak sesuai dengan hasil yang didapat (Gedoran, wawancara 3 Februari 2014) Dari hasil wawancara di atas, diketahui bahwa petani hanya memiliki lahan persawahan kecil akan lebih baik jika tidak lagi mengelola lahan tersebut. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. Alasannya jika mengelola lahan yang kecil, lebih banyak rugi daripada untungnya sehingga petani cenderung beralih profesi. Hal itu
diakibatkan oleh kaum kapitalis, yang menghegemoni
petani lewat
kebijakan-kebijakan pemerintah,yang penuh dengan intrik-intrik. Janji-janji palsu membuat masyarakat petani tergiaur untuk mengikuti kebijakan pemerintah. Pada akhirnya kaum petani menjadi ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah. Petani dalam hal kekuatan (power) tidak memiliki posisi tawar yang baik sehingga pada akhirnya menjadi kaum yang tersubordinat atau kaum kelas dua, seperti yang dikemukan Gramsci (dalam Ratna, 2013:463)
bahwa subaltern
adalah orang-orang yang tertindas dan terpinggirkan. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi masyarakat yang memiliki cara pandang yang berbeda dari masyarakat lain di subak Saba, Kelurahan Penatih, yaitu bapak Gedoran, yang mengemukakan sebagai berikut. Sekarang pemilik sawah yang dulunya petani di subak Saba tidak bertani lagi karena hidup mereka sudah mapan dan lahan sawah milik mereka, disewakan kepada para petani penggarap dengan hasil pertanian di bagi tiga (wawancara 12 Desember 2013)
120
Hasil wawancara di atas, sesuai dengan pandangan Gramsci, (dalam Tilaar,
2003:77),
bahwa
kontra
hegemonik
mengorganisasikan
dan
mereorganisasikan terus-menerus kehidupan, baik sadar maupun tidak sadar, dari massa. Cara pandang berbeda dari pemilik lahan pertanian, yang dahulunya hanya sebatas menjadi petani, kini mereka memiliki pengetahuan, sebagai akibat pengaruh globalisasi. Oleh karena itu cara pandang mereka berubah, yaitu lebih baik menjadi bos petani, sehingga mereka masih bisa tetap bekerja di bidang lain. Cara pandang masyarakat yang berbeda ini dapat dikatakan sebagai upaya melawan hegemoni pemerintah atau kontra hegemoni. Hal itu membuat masyarakat di subak Saba, Kelurahan Penatih ada yang pro dan kontra terhadap dampak terjadinya alih fungsi lahan. Salah satu di antaranya adalah Bapak Sukra yang mengemukakan seperti di bawah ini. Saya walaupun tidak menjual sawah masih saya punya motor lama yang penting masih bagus dan tidak perlu yang baru (wawancara 15 November 2013). Pendapat yang kira-kira maknanya sama dengan pendapat sebelumya adalah pendapat yang dikemukakan oleh Bapak Raka dalam wawancara berikut. Karena untuk memenuhi kebutuhan zaman, maka banyak sawahsawah dijual, sebenarnya kalau untuk hidup sederhana dengan kepemilikan sawah awal tanpa menjual petani bisa hidup sederhana tidak kelaparan (wawancara 15 November 2013) Dari hasil wawancara di atas, diketahui bahwa paradigma hidup sederhana tanpa di pengaruhi perkembangan dan tuntutan zaman atau dengan melakukan upaya kontra hegemoni yang sesunguhnya dapat dilakukan petani di subak Saba, Kelurahan Penatih kemungkinan besar marginalisasi tidak akan terjadi Namun, cara pandang dengan menjual lahan persawahan dan mengikuti selera
121
perkembangan zaman merupakan cikal bakal terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur. Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan oleh Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77) bahwa kontra hegemonik bertugas memisahkan kaum proletar dari pandanganpandangan kapitalisme serta mengkukuhkan pandangan dunia sosial.
6.6 Tradisi Tradisi adalah adat kebiasaan yang diwariskan secara turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat (Depdiknas 2008:
1543). Dengan kata lain, tradisi adalah warisan masa lalu yang diberikan oleh keturunan terdahulu, baik mengandung tradisi positif maupun tradisi yang negatif. Bahkan, ada tradisi yang salah ditafsirkan sehingga berkembang ke arah yang kurang
baik. Berkenaan dengan tradisi budaya setempat, ada tradisi
yang
berjalan dengan baik dan ada pula tradisi yang disalahtafsirkan. Berkenaan dengan penelitian ini, tradisi yang menjadi faktor terjadinya marginalisasi petani adalah seperti yang terungkap dalam wawancara berikut ini: Tradisi di sini dahulunya setelah panen ada acara syukuran makanmakan dan minum secara sederhana, namun karena kemajuan zaman sekarang syukuran umumnya tidak lagi sederhana, tetapi menggunakan bir, (Gedoran, wawancara 15 Nopember 2013) Dari pendapat di atas, jelas terjadi penyelewengan tradisi di mana pada awalnya
tradisi menekankan pada hal-hal kesederhanaan, tetapi karena
terpengaruh oleh globalisasi kapitalisme, masyarakat mulai tergoda untuk mengikuti gaya hidup yang hedonis (glamor) sehingga hal-hal yang sakral pun mulai ditinggalkan. Pudarnya tradisi
masyarakat di Penatih sesuai
dengan
122
pendapat yang dikemukakan oleh O’Donnell (2003:22) bahwa “materialisme dan konsumerisme
merusak lingkungan
dan menguras
semangat
dan nilai
masyarakat”. Pendapat O’Donnell ini mengisyaratkan bahwa pudarnya tradisi di subak Saba, karena budaya tradisi leluhur, telah terkontaminasi oleh kemajuan zaman. Hal lain yang menyebabkan marginalisasi petani yaitu mengendurnya sikap gotong royong. Sebelum adanya kebudayaan yang memanjakan manusia (instan), mereka selalu melakukan secara bersama-sama. Namun saat ini semua merasa mampu melaksanakan sendiri, seperti terungkap
dalam wawancara
berikut: Untuk meningkatkan orang gotong royong ke sawah yang dulunya di hari Kamis tapi karena kesibukan dipindahkan ke hari Minggu, namun mereka yang pergi bergotong royong itu di gaji, yang di ambil dari kas kelompok tani, kalau tidak digaji tidak ada anggota kelompok atau orang yang datang gotong royong, kalaupun ada cuman sedikit. (Gedoran, wawancara 12 Desember 2013) Wawancara di atas didukung dengan dokumentasi gambar berikut.
Gambar 6.1 Lunturnya semangat Gotong Royong di Subak Saba (dok. Antari, 2013) Jika dilihat dari hasil wawancara dan gambar 6 di atas, jelas bahwa tradisi budaya gotong royong masyarakat telah hilang, akibat budaya kapitalistik, di
123
mana segala sesuatu dihargai dengan uang, Jika demikian adanya maka komunikasi antarpetani, akan semakin renggang dan akhirnya hilang. Uang menjadi dasar komunikasi antara petani dalam kelompoknya atau dengan kata lain bahwa petani terjebak di dalam dunia
materialisme dan konsumerisme
(O’Donnell, 2003:22). Hal demikian membuat petani jauh dari kesuksesan, padahal gotong-royong yang baik, tanpa pamrih menjadi sebuah kesuksesan i para petani agar tidak diperbudak oleh oknum-oknum kapitalis yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Marginalisasi pada masyarakat terjadi dalam dimensi yang lebih luas. Ia terjadi karena program-program dan kebijakan pembangunan lebih memihak pada kalangan sosial atas daripada kalangan bawah. Misalnya masyarakat kelas bawah tidak memiliki akses yang cukup luas untuk masuk ke pasar kerja karena eligibility, yang terlalu kompetitif. Sementara pemerintah tidak berhasil memberdayakan mereka. Artinya, masyarakat hanya mampu menarik sumbangan atau menjadi centeng para pengembang yang merupakan kaum kapitalis. Hal ini terungkap pada wawancara berikut. Di sini setiap pengembang di lahan baru dikenakan sumbangan, untuk kas subak yang hasilnya dipakai untuk biaya perawatan pura dan upacaranya (Gedoran, wawancara 1 Januari 2014). Dari hasil wawancara di atas, diketahui bahwa hegemoni terjadi melalui kesepakatan kompensasi terhadap lahan yang diperjualbelikan, seperti yang dikemukan Gramsci (dalam Tilaar, 2003:77) bahwa hegemoni adalah kondisi sosial dalam semua aspek kenyataan sosial. Kondisi sosial dan kenyataan sosial, yang terjadi di subak Saba adalah bahwa masyarakat sangat sulit mempertahankan
124
tradisi mereka secara utuh. Artinya, hak-hak adat atas tanah-tanah leluhur mereka sulit dipertahankan akibat dari cara pandang yang berbeda sehingga masyarakat tergiur untuk menjual lahan persawahanya. Di sisi lain pengembang yang meraup untung
yang besar dan hanya memberikan kostribusi kecil, yaitu berupa
sumbangan simbolis sebagai bentuk tanggung jawab moral pada warga krama subak Saba. Kerasnya hegemoni
yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
masyarakatnya, membuat masyarakat di subak Saba, Kelurahan Penatih tidak sadar telah berada dalam jebakan kapitalisme.
125
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA MARGINALISASI PETANI DI SUBAK SABA, KELURAHAN PENATIH, DENPASAR TIMUR
Gejala marginalisasi petani (sektor pertanian) di subak Saba sebagai dampak dari perubahan fungsi lahan (tanah) pertanian menjadi areal permukiman ataupun tempat kegiatan usaha lain
lebih jauh berdampak pada aspek-aspek
kehidupan petani lainnya. Berikut beberapa aspek yang teridentifikasi di jabarkan lebih mendalam.
7.1
Dampak Marginalisasi Petani
7.1.1 Dampak Lingkungan Fisik Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dampak berarti benturan atau pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik negatif maupun positif (Depdiknas, 2008:313). Lingkungan fisik adalah lingkungan hidup atau lingkungan budaya, yaitu semua benda dan
daya serta kondisi termasuk di
dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada manusia
dan memengaruhi kelangsungan hidup serta
kesejahteraan
dan jasad hidup lainnya (Danusaputro dalam Naja, 2007:49). Dari
jabaran pendapat tersebut dapat diartikan bahwa dampak lingkungan fisik sebagai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat terhadap lingkungan hidup dan lingkungan budaya yang di dalamya terdapat manusia dan tingkah perbuatannya serta infrastruktur pendukungnya. Berkaitan dengan marginalisasi petani di subak
126
Saba, lingkungan fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perubahan karakteristik wilayah pedesaan dalam proses alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat dari dokumentasi foto-foto perubahan fisik dari karakteristik desa dalam proses alih fungsi lahan hingga masyarakat setempat menjadi marginal seperti terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 7.1 Subak sebelum alih fungsi lahan Sumber: www.googleimage.com
Lahan persawahan subak Saba sebelum mengalami alih fungsi lahan masih kental melakukan kegiatan ritual baik sebelum maupun sesudah masa panen berlangsung seperti mengadakan upacara mebiukukung, mendak toya, membuat Dewa Nini, ngerasakin sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.
127
Gambar 7.2 Upacara Mebiukukung Sumber: www.googleimage.com Dokumentasi foto di bawah, memperlihatkan adanya perubahan yang sangat signifikan terjadi di subak Saba setelah adanya alih fungsi lahan yang berdampak langsung pada karakteristik lingkungan fisik subak sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 7.3 subak Saba setelah adanya proses alih fungsi lahan (dok. Antari 2013).
128
Hal ini juga didukung dan diperkuat oleh informasi warga setempat yang terungkap lewat wawancara berikut. Keadaan pertanian di subak Saba cenderung memburuk setelah sawah-sawah banyak yang beralih fungsi dan terjual menjadi pengembangan pembangunan perumahan, jalur hijau pun dilabrak oleh para pengembang perumahan. Hal ini terjadi karena pekaseh sama sekali tidak diajak untuk memutuskan kegiatan semacam ini (Kerta, wawancara 17 Januari 2014) Hasil wawancara di atas jelas memperkuat dokumentasi foto-foto sebelumnya yang menujukkan adanya perubahan fisik dari subak Saba. Keadaan pertanian yang dulu
baik dan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, kini
berubah menjadi lahan perumahan yang tahap demi tahap mempersempit wilayah subak Saba dan tak peduli dengan aturan pemerintah. Secara tidak langsung proses alih fungsi lahan juga ikut mengubah struktur wilayah subak Saba yang masih produktif menjadi berkurang. Hal itu dengan sendirinya mempersempit wilayah pekerjaan petani, yang mengakibatkan berkurangnya juga pendapatan petani. Dengan berkurangnya pendapatan petani di tengah kebutuhan ekonomi meningkat, secara tidak langsung memaksa petani mencari pekerjaan lain untuk memenuhi
kebutuhannya, baik dengan cara bekerja di tempat lain maupun
berutang. Jika petani telah terperangkap dalam wilayah ini, otomatis pekerjaan petani akan ditinggalkan karena tidak menjanjikan dan tidak dapat lagi diharapkan sebagai pekerjaan utama. Oleh karena itu,
seiring dengan perjalanan waktu
profesi petani termarginalkan dengan adanya perubahan fisik dari lingkungan petani itu sendiri yang diakibatkan oleh perubahan zaman.
129
Kehidupan masyarakat subak Saba mulai terusik akibat adanya perampasan hak-hak mereka secara halus melalui proses alih fungsi lahan. Hal tersebut mengakibatkan para petani termarginalkan. Penyebab utama dari keadaan itu adalah terjadinya urbanisasi yang bias, terutama sikap elite politik penguasa dan pengusaha yang terlalu mementingkan dirinya sendiri. Dari sisi lain marginalisasi juga terjadi akibat dari dirusaknya ekosistem dan sumbersumberdaya alam di wilayah subak Saba, yang berdampak kepada masyarakat subak Saba menjadi termarginalkan. Hal ini terungkap dalam wawancara berikut. Sawah di subak Saba yang terjual banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, dan usaha dagang. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah kota melalui perda yang memberikan ruang untuk memanfaatkan areal persawahan sebagai areal pemukiman. (Raka, wawancara 4 Desember 2013). Sebagaimana dikemukakan sebelumnya dari wawancara di atas diketahui bahwa proses alih fungsi lahan umumnya berlangsung dari aktivitas ekonomi yang rendah ke aktivitas ekonomi yang lebih tinggi. Dengan kata lain aktivitas ekonomi yang meningkat membutuhkan dukungan infrastruktur yang memadai pula. Salah satu di antaranya adalah lahan, yang digunakan sebagai pusat perumahan, perkantoran, dan lain-lain. Di samping itu, pada umumnya aktivitasaktivitas tersebut
didukung oleh kebijakan pemerintah, bahkan dengan
mengatasnamakan rakyat. Dari aktivitas-aktivitas seperti inilah
perubahan
lingkungan fisik wilayah subak Saba terus mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perubahan yang begitu pesat dan tidak diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia setempat membuat persaingan tidak sehat antara pemodal
130
dan pemilik lahan. Pemodal melancarkan hegemoninya dalam ketidaktahuan pemilik lahan sehingga pemilik lahan tergiur dan menyerahkan lahannya pada pengembang. Dengan kata lain pemilik lahan selaku petani
dijebak dalam
ketidaktahuannya sehingga saat ini posisinya terpinggirkan. 7.1.2 Dampak Psikologi Dampak kejiwaan yang dirasakan oleh petani di subak Saba akibat marginalisasi terlihat dari sifat, pola pikir, dan tingkah lakunya, baik berupa peningkatan maupun penurunan taraf hidup. Pihak yang paling merasakan dampak alih fungsi lahan adalah petani penggarap. Mereka semakin sulit memeroleh lahan garapan. Karena luas lahan yang digarap terbatas, dengan sendirinya penghasilan dari okupasi bertani juga menuerun. Dampak tersebut terungkap lewat wawancara berikut. Dulu sebelum sawahnya dijual petani menggarap dua hektare sawah, dan setelah banyak yang menjual dan beralih fungsi petani menggarap atau mengerjakan sawah menjadi satu hectare. Keadaan ini tentu mengakibatkan penghasilan petani menjadi berkurang (Pinjer, wawancara 12 Januari 2014). Dari hasil wawancara di atas,terungkap bahwa dampak psikologis yang dialami petani terutama adalah terganggunya ketenteraman batin. Akan tetapi, yang terjadi saat ini, yaitu pemasukan berkurang dan kebutuhan hidup meningkat sehingga masyarakat terkesan diperbudak oleh waktu. Dengan demikian, tradisitradisi yang dulu pernah ada pun berangsur mulai pudar, seperti tergambar pada wawancara berikut. Dengan banyaknya sawah yang ada di subak Saba terjual,frekuensi ritual yang semakin berkurang, maka tradisi yang ada di sawah lambat laun juga menghilang seperti misalnya upacara mulai bekerja di
131
sawah/mapag toya, ngerasakin, mewinih, dan lain-lain secara berangsurangsur mengalami kemunduran (Wedi, wawancara 25 Januari 2014). Dari wawancara di atas tergambar bahwa alih fungsi lahan mengakibatkan tradisi yang telah lama diwariskan oleh leluhur mulai ditinggalkan. Bahkan, agama pun tidak sanggup membendung modernisasi zaman, yang pada akhirnya berdampak pada efek kejiwaan masyarakat di subak Saba. Pada masyarakat yang terkena dampak modernisasi, akan tumbuh gaya hidup individualis, yang mementingkan rasionalitas dan menyingkirkan kehidupan irasional. Gambaran pudarnya tradisi ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Latif (2011:95) bahwa pudarnya gaya hidup tradisional dari peradaban pertengahan, termasuk pola-pola fundamental dalam kehidupan sosial, berbagai aspek sistem ekonomi, politik, intelektual, sosial, agama, dan kejiwaan. Padahal, di dalam kehidupan yang rasional terdapat kehidupan irasional seperti tergambar pada wawancara berikut. Semakin rendahnya frekuensi pelaksanaan ritual di bidang pertanian sering dikaitkan oleh kalangan petani sebagai penyebab dari semakin maraknya tumbuh berbagai penyakit/gangguan tanaman (Kerta, wawancara 4 Desember 2013). Dari wawancara di atas, sebenarnya secara rasional tidak ada hubungan antara kedatangan hama dan tidak dijalankannya perintah agama Hindu. Namun, dari sisi psikologis, selalu ada hubungan antara apa yang terjadi di dunia dan keyakinan terhadap Tuhan. Salah satu di antaranya adalah persoalan sawah sampai saat ini terdapat hama, tidak seperti zaman dulu, yaitu sawah hidup dan tumbuh tanpa gangguan hama. Dari segi ilmu pengetahuan bahwa hama yang banyak saat ini terjadi akibat banyaknya pemakaian bahan-bahan
kimia dan
132
rekayasa genetika bibit padi, yang mengakibatkan kerusakan ekosistem. Dalam keyakinan agama, manusia yang merusak alam akan mendapakan karma dari apa yang telah diperbuatnya. Hal itu merupakan efek dan dampak dari arus besar globalisasi, yang direncanakan oleh kaum kapitalis. Oleh karena itu mau tidak mau berdampak kejiwaan bagi kaum petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, baik dampak kejiwaan secara konkret( keduniaan) maupun abstrak (niskala). 7.1.3 Dampak Sosial Budaya Semakin berkurangnya frekuensi aktivitas di bidang pertanian, sebagai akibat masuknya modernisasi yang ditandai oleh penggunaan sarana modern (traktor, huller), penggunaan jenis padi varietas unggul, dan berbagai jenis pestisida. Dampak lebih jauh semakin kurang berfungsinya (disfuction) pranata kerja sama di bidang pertanian, seperti pranata gotong royong/tolong menolong yang terwujud dalam bentuk sekaa numbeg, yaitu kelompok petani yang secara sama-sama menghimpun diri untuk mencangkul tanah pertanian anggota dalam jumlah yang disepakati secara bergantian. Sekaa nenggala merupakan kelompok petani yang melakukan kegiatan membajak sawah dengan menggunakan sapi atau kerbau; sekaa memula, yakni kelompok petani menanam benih padi; sekaa mejukut, yaitu kelompok petani untuk menyiangi tanaman padi; sekaa manyi, yakni kelompok petani yang bergerak di bidang memanen padi; sekaa mekajang, yaitu kelompok petani pengangkut padi dari sawah sampai ke rumah pemilik; dan sekaa nebuk, yaitu kelompok petani yang bekerja menumbuk padi.
133
Di subak Saba sebelum sistem irigasi diatur dengan baik dikenal adanya sekaa yeh. Begitu juga setelah terjadinya modernisasi pertanian, yaitu setelah dibudidayakannya jenis padi varietas unggul, masih ditemukan sekaa nigtig yaitu kelompok pemanen baru tanpa menggunakan ani-ani tetapi merontokkan padi menjadi gabah (Wiasti dkk,2012:43). Belakangan tampak semakin mengendurnya kesadaran sosial yang dilandasi oleh nilai-nilai solidaritas antarsesama. Asas pemberian (give) sebagai nilai solidaritas mulai berubah ke arah yang berprinsipkan untung rugi dan bukan lagi hubungan solidaritas sosial atas dasar keakraban sosial. Dampak sosial yang terjadi saat ini menjadi sangat mengkhawatirkan sebab petani jarang mau mengakui bahwa dirinya petani. Hal itu terjadi karena bertani dianggap sebagai pekerjaan yang sangat rendah, kotor dan kurang bermartabat. Pada masa Orde Baru petani menjadi sebuah pekerjaan yang sangat menjanjikan, sebagaimana terwujud dalam program revolusi hijau (Fakih, 2001:210). Namun, saat ini menjadi petani merupakan momok bagi keluarga. Keturunan petani jarang sekali yang ingin menjadi petani. Mungkin jika terdesak, baru akan melaksanakan pekerjaan bertani, seperti terungkap pada wawancara berikut. Petani yang ada di subak Saba bertani merupakan pekerjaan sampingannya, misalnya pagi jam 8 dia ke sawah terus bisa bekerja ke kantor dulu dan jam 4 sore lagi ke sawah (Gedoran, wawancara 14 Desember 2013). Wawancara di atas mengungkapkan fakta bahwa kehidupan petani saat ini tidaklah menjadi kehidupan yang menjanjikan atau dipaksa meninggalkan
134
kehidupan pertanian karena konstruksi keadaan saat ini. Di samping itu, kebutuhan hidup petani tidak bisa lagi dipenuhi oleh hasil pertanian. Padahal, diketahui bahwa dalam peradaban dunia tidak ada satu pun daerah yang berhasil berkembang dan maju dengan mengesampingkan sektor pertanian. Dalam perspektif negara maju, pertanian diposisikan sebagai food security yang langsung berhubungan dengan keamanan negara. Perubahan sosial ini terjadi, dan terlihat nyata sekali, yaitu petani di subak Saba saat ini lebih banyak beralih profesi, seperti terungkap dalam wawancara berikut. Petani yang tanahnya terjual banyak yang beralih profesi dan mencari alternatif pekerjaan tambahan Suki, wawancara 14 Desember 2013). Dampak sosial budaya lainnya juga tampak dalam hal pengalihan tugas/pekerjaan tertentu kepada tenaga upahan yang umumnya berasal dari buruh tani di luar Bali. Belakangan ada kecenderungan petani di subak Saba untuk mengalihkan sebagian bahkan seluruh fase kegiatan pertaniannya kepada buruh tani luar itu.Hal itu dilakukan akibat para petani setempat banyak yang bekerja di sector lain, seperti buruh bangunan, tenaga DKP, dan pelayan toko. Hal ini dipertegas lewat wawancara berikut. Petani yang tanahnya terjual banyak yang beralih pekerjaan menjadi buruh bangunan, bekerja di Dinas Kebersihan Kota Denpasar, sebagai karyawan toko (Suki, wawancara 14 Desember 2013). Peralihan profesi
ini sebagai dampak sosial terjadinya marginalisasi
petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan. Sesungguhnya alih fungsi lahan sudah direncanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pengusaha dan
135
penguasa. Pengusaha (pemodal) yang memengaruhi kebijakan pemerintah sehingga masyarakat menjadi korban rekondisi dari keadaan modernisasi yang berwajah pariwisata budaya Bali.
Pada kenyataanya petani terus mengalami
keterpingiran dan hanya sebatas pesuruh. Petani tidak lagi menjadi tuan di daerahnya sendiri, tetapi menjadi koloni tragis dari keadaan globalisasi saat ini, dan bahkan belakanga telah terjadi proses kemiskinan struktural.
7.2
Makna Marginalisasi Petani
7.2.1 Ketidakberpihakan Pemerintah Ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani di subak Saba, Kelurahan Penatih,
Kecamatan
Denpasar
Timur
adalah
dengan
diwujudkan
atau
dijalankannya perintah pemerintah pusat yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Hal ini terungkap lewat wawancara berikut. Peringatan dari pemerintah setempat bahwa kalau ada yang membangun di jalur hijau jangan dilarang, biar jangan punya musuh karena semua kebijakan itu sudah diatur dari pemerintah pusat (Kerta, wawancara 15 Januari 2014). Dalam wawancara di atas diungkapkan oleh warga subak Saba bahwa sebenarnya sebagian besar areal subak Saba berada di jalur hijau yang notabene tidak boleh dibangun. Namun, ketika
investor dapat membangun dicurigai
sebagai kaki tangan pihak penguasa atau pemerintah. Dalam kasus seperti ini warga subak Saba tidak dapat berbuat apa-apa karena posisi tawar warga subak Saba telah dihegemoni lebih dulu dengan citra keasyikan dunia berupa kemajuan teknologi dan penawaran harga tanah yang selangit. Ketika tanah-tanah sawah
136
telah diambil alih oleh investor dan dengan mudah dialihfungsikan dari lahan pertanian menjadi perumahan dan perkantoran serta mudah pula mendapat izin mendirikan bagunan (IMB),
padahal merupakan jalur hijau, maka
dengan
sendirinya dapat disimpulkan bahwa secara tidak langsung terjadi perselingkuhan antara investor (pemodal ) dan pihak penguasa (pemerintah). Dengan demikian, benar apa yang dikatakan oleh Kerta bahwa “kalau ada yang membangun di jalur hijau jangan digangu, kalau tidak ingin punya musuh”, dengan kata lain petani diancam jika petani ingin mencoba-coba mengganggu pihak pengembang (investor, pemodal). Dari kutipan di atas jelas terlihat ketidakberpihakan pemerintah terhadap petani dari segi penerapan hukum yang adil dan merata. Ketidakberpihakan pemerintah ini juga diungkapkan oleh warga subak Saba lewat wawancara berikut. Tekanan pemerintah pada masa Pak Harto, yang kemudian pemerintah Bali dalam hal ini Gubernur Ida Bagus Oka pun juga ikut menekan kaum petani di Penatih untuk mau mengalihfungsikan lahannya yang digunakan untuk kegiatan SPBU. (Gedoran, wawancara 20 Januari 2014). Dari wawancara di atas,
diketahui bahwa sesungguhnya tekanan dan
ketidakberpihakan pemerintah sudah dimulai sejak pemerintahan Suharto sebagai pemerintah pusat, yang diteruskan dengan kebijakan pemerintah daerah dalam hal ini Gurbernur Bali saat itu, Ida Bagus Oka. Sesunguhnya ungkapan wawancara Bapak Gedoran mengisyaratkan bahwa lahan- lahan sawah di subak Saba yang masuk jalur hijau itu tidak bisa dibangun jika tidak ada persetujuan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Hal ini dapat dilaksanakan jika pemerintah membuat
137
kebijakan atas kepentingan rakyat dalam wujud pembangunan SPBU yang sebenarnya adalah hasil dari hegemoni investor (pemodal) yang bekerja sama dengan penguasa (pemerintah) dalam wujud kebijakan pemerintah yang sesungguhnya tidak berpihak pada rakyatnya. Dengan kebijakan secara langsung pemerinytah telah mempersempit wilayah subak Saba. Artinya, penyempitan wilayah subak akan membuat sawah yang digarap petani semakin kecil sehingga pendapatan petani pun menurun. Dengan demikian, petani akan berada pada posisi makin terpinggirkan. Sektor pertanian adalah sektor yang cukup dominan di Indonesia. Setidaknya ada 38 juta jiwa penduduk yang berusia produktif adalah berprofesi sebagai petani, demikian data yang dilansir oleh Kementerian Pertanian. Tidak kurang dari 57 persen penduduk Indonesia yang menggantungkan kahidupannya pada sektor ini. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa kesejahteraan petani masih jauh dari yang diharapkan. Naiknya harga beras di pasaran tidak serta merta membuat petani meningkat kesejahteraannya. Sungguh ironis memang, jika ditinjau bahwa sektor pertanian adalah sektor penyumbang Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terkecil dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya, yakni sebesar 6,58%, sebagaimana data yang dilansir BPS pada triwulan pertama 2012 ini (Produk Domestik Regional Bruto Kota Denpasar, 2012: 75). Sektor pertanian sebenarnya merupakan sektor paling prospektif dalam menopang perekonomian nasional. Sektor ini tidak mendapatkan efek domino secara signifikan dari gejolak ekonomi (krisis) global. Bahwa sektor pertanian
138
memang sektor yang cukup bergantung pada iklim dan cuaca adalah benar adanya. Akan tetapi sebenarnya bukan sekedar itu saja. Ada banyak faktor yang memengaruhinya. Salah satu faktor yang tak kalah penting adalah berkenaan dengan kebijakan atau regulasi. Ketidaktepatan kebijakan yang dibuat akan membuat sektor ini menjadi sektor yang tidak prospektif. Bukti bahwa sektor pertanian adalah sektor yang prospektif adalah bahwa sebenarnya kebutuhan akan pangan di dalam negeri semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring peningkatan jumlah penduduk. Sejatinya, sebagian besar kebutuhan pangan tersebut dapat ditopang oleh produk pertanian. Namun, yang kebutuhan terjadi adalah hasil pertanian kalah bersaing dengan produk-produk negara lain baik secara kualitas, produktivitas, kuantitas maupun harga. Langkah kebijakan yang diambil pemerintah kemudian lebih memilih melakukan impor produk pertanian untuk dapat memenuhi seluruh pangan bagi masyarakat di dalam negeri adalah salah satu contoh konkret ketidakberpihakan kebijakan pemerintah pada sektor pertanian. Akibatnya, banyak petani yang mengalihfungsikan lahan yang dimilikinya dengan menjual pada para pemodal untuk diubah menjadi perumahan ataupun pabrik. Sehingga, para petani tersebut akhirnya hanya menjadi buruh tani di lahan orang lain atau beralih profesi menjadi pedagang, kuli bangunan bahkan pindah ke kota untuk mencari pekerjaan lain yang sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Itulah potret kebijakan pertanian yang ambigu atau berstandar ganda dimana tidak menjadikan petani dan sektor pertanian sebagai landasan pijak dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu, implementasi kebijakan yang
139
digulirkan juga cenderung masih jauh dari harapan regulasi yang ada, khususnya dalam pelaksanaan perda tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar Tahun 2011 – 2031. Rencana Detail Tata Ruang Kota Denpasar (RDTR) merupakan operasionalisasi RTRW yang menjadi pedoman dalam pemanfaatan
ruang meliputi penetapan blok-blok peruntukan pusat-pusat
pelayanan kota, lokasi kawasan yang harus dilindungi, lokasi pengembangan kawasan budidaya perkotaan, jaringan prasarana dan utilitas di wilayah kota Denpasar, semestinya menjadi dasar dalam penyusunan program pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota dan menjadi dasar bagi penyusunan peraturan zonasi (Pemerintah Kota Denpasar, 2011: 7). Hal ini diperparah lagi dengan semakin tingginya beban pajak dari tahun ke tahun merupakan satu bukti kurang berpihaknya pemerintah pada petani. Kebijakan pemberian subsidi pada pupuk digulirkan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil pertanian. Secara filosofis, subsidi pupuk dilakukan untuk meringankan beban petani dalam pembiayaan usaha taninya. Meskipun kebijakan subsidi pupuk mengalami reorientasi pada tahun 2003, namun konsep dasar pemberian subsidi terhadap pupuk yang digunakan oleh petani sebenarnya telah digagas sejak dekade 1970 an melalui program revolusi hijau (green revolution). Generasi muda belakangan ini kurang tertarik bekerja sebagai petani karena bekerja sebagai petani dianggap kurang bermartabat dan merasa malu bekerja sebagai petani. Sudah menjadi wacana umum dalam masyarakat bahwa
140
setiap orang tua tidak menginginkan anaknya menjadi petani karena bekerja sebagai petani kurang menjanjikan kehidupan masa depan yang lebih baik. 7.2.2 Fatalisme di Kalangan Petani Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia fatalisme diartikan sebagai ajaran atau kepercayaan bahwa manusia dikuasai nasib (Depdiknas, 2008:405). Namun, fatalisme juga dikenal dengan kata sifat fatalistik yang diartikan sebagai tidak adanya perlawanan dan menganggap keaadaan yang menimpanya adalah suratan takdir (Priambodo, 2009:21). Apabila fatalisme dikaitkan dengan penelitian ini, maka sikap fatalistik atau fatalisme ini merupakan ketidakberdayaan petani terhadap hegemoni dan kekuasaan investor (pemodal) yang bekerja sama dengan penguasa. Hal ini terungkap lewat wawancara berikut. Ada petani yang menjual tiga hektare sawah, punya rumah, mobil, motor, setelah jual sawahnya, sekarang sepeda ontel aja nga punya, (Gedoran, wawancara 7 Maret 2014). Selanjutnya Pak Gedoran mengungkapakan seperti di bawah ini. Untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup sesuai dengan tuntutan zaman, maka banyak sawah di subak Saba dijual, lebih-lebih petani tergiur dengan harga tanah yang begitu melambung tinggi (Gedoran, wawancara 14 Desember 2013). Dari wawancara di atas, diketahui bahwa fatalisme yang dialami petani adalah fatalisme yang diakibatkan oleh gaya hidup. Gaya hidup di sini sebagai sarana yang digunakan kaum kapitalisme yang berwujud hegemoni teknologi dan hegemoni harga sawah yang selangit. Petani disuguhi kehidupan-kehidupan yang instan dan citra keasyikan dunia modern saat ini (Barker, 2009:143). Ketika petani telah masuk perangkap hegemoni kapitalis, maka secara tidak langsung petani
141
akan menerima apa yang dihegemonikan tersebut seperti teknologi dan harga tanah yang tinggi. Ketika ingin memiliki teknologi berupa kendaraan, rumah, dan teknologi lainnya petani harus memerolehnya dengan uang. Petani tidak memiliki uang yang cukup untuk memenuhi segala keinginannya. Sehubungan dengan itu, modal tanah sawanyalah yang bisa menjadi uang. Di tengah kebimbangan dan keinginan kuat untuk memiliki gaya hidup itu, petani ditawari dengan hegemoni harga tanah yang sepintas dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan demikian,
petani merelakan tanahnya diambil oleh investor lewat transaksi
keuangan dan tanpa ada perlawanan. Sikap petani seperti ini dapat dikatakan sebagai sikap fatalisme terhadap keaadaan akibat dari modernisasi zaman yang menjanjikan keasyikan dunia. Fatalisme juga terjadi lewat hegemoni investor dalam menjanjikan pekerjaan yang layak apabila petani mau meninggalkan lahan sawahnya, yang diakibatkan proses alih fungsi lahan. Hal ini terungkap pada wawancara berikut. Para pengembang datang ke warga dan menawarkan harga yang bagus dengan janji-janji akan mempekerjakan warga di sini (warga subak Saba) di sana (proyek). Kalau ada warga yang tidak mau, biasanya akan di datangi oleh oknum pemerintah untuk merayu warga tersebut (Kerta, wawancara 27 Februari 2014). Dari wawancara di atas, diketahui bahwa hegemoni investor terhadap petani lewat pembelian tanah sawah dengan harga tinggi membuat warga rela menjualnya. Akibat dari terjadinya proses peralihan
hak atas tanah dengan
otomatis petani kehilangan pekerjaan, sehingga harus berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Namun, lebih dari itu pemilihan pekerjaan lain oleh petani karena pada awal proses transaksi perpindahan hak kepemilikan tanah, petani
142
dijanjikan pekerjaan oleh investor atau pengembang. Namun, pada kenyaataanya itu tidak terjadi. Secara hukum petani tidak lagi memiliki hak atas tanahnya akibat proses jual beli sudah terjadi. Di sini tak dapat berbuat apa-apa sehingga hanya bisa meratapi nasibnya akibat terjebak pada hegemoni investor dan ketidaktahuannya. Apabila dalam proses penawaran ataupun proses alih fungsi lahan ada warga atau petani tidak setuju untuk menjual tanahnya, maka biasanya investor memanfaatkan pihak penguasa lewat kesepakatan-kesepakatan yang terselubung kepentingan bersama untuk menekan masyarakat petani subak Saba agar mau menjual tanahnya. Dalam hal ini penguasa atau pihak pemerintah menghegemoni
petani lewat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro
petani, yang pada akhirnya petani termarginalkan dan menerima nasibnya atau lebih dikenal dengan sikap fatalisme atau fatalistik.
143
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Bertolak dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Marginalisasi petani subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur menyangkut keterpinggiran ekonomi (modal), ketidakberdayaan petani, dan keterdesakan
dalam mempertahankan
lahan sawahnya sebagai akibat masuknya dunia kapitalis secara hegemonik. Keterpinggiran ekonomi terjadi karena semakin sempitnya peluang ekonomi sebagai akibat berkurangnya lahan persawahan dan rendahnya pendapatan yang diperoleh dari mata pencaharian bertani, jika dibandingkan dengan kondisi yang dirasakan sebelum adanya alih fungsi lahan secara besar-besaran di Subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur. Akibat langsung yang dialami petani subak Saba adalah berkurangnya sumber garapan lahan sawah secara signifikan baik berupa hasil pertanian padi maupun hasil ikutanlainnya berupa palawija. Ketidakberdayaan petani subak Saba terjadi karena belum dapat mengatasi permasalahan hidup yang selama ini membelit kehidupan rumah tangganya. Keberadaan petani subak Saba hingga kini belum mampu menaikkan posisi tawar (bargaining position) yang dapat mengubah nasibnya karena sumber daya manusia yang dimiliki masih rendah. Dari hasil penelitian ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat petani subak Saba mengalami marginalisasi. Pertama, peran negara (penguasa) dan keterlibatan investor. Kolaborasi antara negara (penguasa) dan
144
investor yang bermain dalam praktik hegemoni telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan di subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur. Kedua, globalisasi dalam bentuk kapitalisme pasar telah memengaruhi petani subak Saba sebagaimana tampak dari sikap konsumerisme yang dilakukan masyarakat petani di subak Saba. Gaya hidup petani tampak dalam pemilikan rumah mewah, mobil dan peralatan rumah tangga. Gaya hidup itu terkesan agak dipaksakan
karena belum tepat di tengah kehidupannya yang masih belum
mapan sehingga hanya akan menambah kesengsaraan saja. Begitu juga masuknya sistem kredit dalam pembelian barang untuk memenuhi selera gaya hidup kontemporer. Gaya hidup telah mengubah watak kerja keras dan pada akhirnya menjerat petani ke dalam kehidupan yang kurang menguntungkan jika tidak dipikirkan secara lebih dini. Ketiga, rendahnya tingkat pendidkan masyarakat petani subak Saba banyak berpengaruh dalam upaya meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik di tengah kebutuhan hidup yang semakin meningkat (hedonisme). Perkembangan globalisasi yang tidak didukung oleh sumber daya manusia yang memadai mengakibatkan masyarakat petani subak Saba hanya mampu berjalan di tempat meskipun telah memiliki etos kerja keras dalam beraktivitas. Marginalisasi petani subak Saba mempunyai implikasi dan memberikan pemaknaan tertentu dalam kehidupannya. Implikasi yang ditimbulkan adalah (1) Adanya kemiskinan yang masih dirasakan oleh petani subak Saba dengan pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, (2) terjadi pergeseran nilai sosial budaya yang berpengaruh terhadap etos kerja para petani di
145
subak Saba, (3) telah terjadi degradasi lingkungan fisik (ekotipe) sebagai akibat adanya alih fungsi lahan, yang dilakukan secara eksploitatif oleh para investor pengembang perumahan yang kurang menguntungkan bagi petani subak Saba di Kelurahan Penatih, Denpasar Timur. Makna
termarginalnya
petani
subak
Saba
menyangkut
makna
ketidakberpihakan pemerintah yang dilakukan melalui tindakan penyesuaian terhadap gerak pembangunan yang tidak sesuai dengan cara-cara yang arif. Oleh karena itu, lahan-lahan sawah yang berada di jalur hijau kian hari kian menyempit. Demikian juga penegakan hukum yang terkesan tumpul ke atas,tetapi tajam ke bawah, dalam hal ini pemerintah lebih berpihak pada investor (pemodal) daripada petani. Makna fatalisme di kalangan petani tampak dalam hal petani menerima nasib yang menimpanya yang diakibatkan oleh hegemoni peguasa dan pengusaha lewat janji-janji manis yang tak pernak terbukti. Dengan demikian, petani tak mampu lagi berbuat apa-apa dan hanya bisa menerima keadaan yang telah terjadi saat ini, sebagai bagian dari konstruksi kaum kapitalis.
8.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,
dapat disampaikan beberapa saran seperti berikut. 1.
Bagi peneliti lain yang tertarik melakukan penelitian secara lebih komprehensif terhadap masalah marginalisasi petani diharapkan dapat lebih
146
memperdalam upaya menelusuri praktik-praktik yang dilaksanakan oleh pihak-pihak tertentu yang dapat merugikan masyarakat petani. 2.
Sebagai akibat dari dampak marginalisasi dengan berbagai problematika yang ditimbulkan, maka masyarakat petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Denpasar Timur, harus bisa bersatu padu dalam meningkatkan sumber daya yang dimiliki. Di samping itu, mampu bersikap kritis terhadap jebakan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan sehingga tidak merugikan petani subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur, baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.
3.
Penguasa dalam hal ini pemerintah Kota Denpasar diharapkan dapat memberikan perhatian secara lebih serius untuk melakukan perlindungan terhadap kelestarian pertanian di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur khususnya dalam upaya mengembangkan pertanian. Dengan demikian, masyarakat tertarik untuk menekuni pekerjaan sebagai petani. Dengan cara seperti ini diharapkan ke depan petani subak Saba dapat hidup secara lebih layak, di tengah kehidupan yang semakin terimpit oleh perkembangan ekonomi yang mengglobal saat ini.
147
DAFTAR PUSTAKA Anonim, “Ketahanan Pangan Bali Makin Rapuh” dalam harian Bali Post, Selasa Paing, 24 Desember 2013. Anonim. “Harga Lahan untuk Perumahan Terus Melambung” dalam Bisnis Bali, 8 Februari 2014. Anonim. “Rumah Tangga Petani Menyusut 18 Persen”, dalam harian Bali Post Rabu Pon, 27 Agustus 2014, hal. 15, kol. 2-3. Anonim,2013 Data Luas Sawah di Subak Saba. Denpasar: Arsip Pekaseh.
Antara, Made. 2009. Pertanian Bangkit atau Bangkrut. Denpasar: Arti Foundation. Ahimsa-Putra, Heddy Shri et.al. 2003. Ekonomi Moral, Rasional dan Politik dalam Industri Kecil di Jawa: Esei-esei Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Kepel Press. Albornaz, Marco Antonio. 2007. Menuju Kesejahteraan dalam Masyarakat Hutan. Bogor: Center for International Foresstry Research. Amaluddin, Moh. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial: Studi Kasus di Desa Bulugede, Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Jakarta: UI Press. Barker, Chris. 2005. Agung, A. M. Cilik. 2010. Ketika Nurani Ikut Berbisnis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang. Darminto, Priyo. 2011. Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Indonesia Inggris. Surabaya : Arkola. Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Pusat Bahasa. Dwidjowijoto, Nugroho. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang. Model, Rumusan, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
148
Fakih, Mansour. 2004. Pembangunan Agraria antara Negara dan Pasar. Jakarta: Akartiga Fakih, Mansour. 2008. Analisis Gender Transformasi Sosial. Yogyakarta: Insist Press.
Fauzi, Noer. 1999. Petani & Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST. Foucault, Michel. 2009. Power/ Knowledge. London: The Harvester Press. Geertz, Clifford. 1980. “Organization of the Balinese Subak”, in Coward, Jr. E. Walter (ed.), Irigation and Agricultural Development in Asia: Perspective from the Social Sciences. Ithaca-New York: Cornell University Press. Hasan, Sandi Suwardi. 2011. Pengantar Cultural Studies. Jogjakarta: Ar-ruzz Media. Koentjaraningrat. Gramedia
1923.
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Hayami, Yujiro dan Kikuchi, Masao. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. (terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hisyam, Muhamad. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Kaiwai, Hans Z. 2011. Lembaga Keuangan Mikro dalam Permodalan Pertanian. http://inspirasitabloid.wordpress.com/2011/07/01/lembaga-keuanganmikro-dalam-permodalan-pertanian/, diakses 12 Mei 2014. Landsberger, Hendry A., dan Alexandrov, YU.G. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial.(tej.). Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelgensia Muslim Indonesia Ke-20. Jakarta : Mizan. Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme Pascakolonialisme. Yogyakarta Bentang. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Dari Posmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu.
149
Milles B. Mattew dan Michel Haberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Minawati, Rosta. 2009. “Keterpinggiran Komunitas Hindu dalam Pluralitas Agama di Kabupaten Karo, Sumatera Utara”. Disertasi: Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Moleong, J. Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya. Naja, Daeng. 2007. Bank Hijau. Yogyakarta : Medpress. O’Donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Yogyakarta : Kanisius. Pelzer, Kar J. 1991. Sengketa Agraria Pengusaha Perkebunan Melawan Petani.(terj.) Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Pemkot Denpasar. 2013. Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar. Pitana, I Gde. (ed.) 2005. Revitalisasi Subak dalam Memasukui Era Globalisasi. Yogyakarta: Andi Offset. Priambodo, S. Arie. 2009. Panduan Praktis Menghadapi Bencana. Yogyakarta: Kanisius. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Glosarium 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, Dan Sosial Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Santoso, Listiyono, dkk. RUZZMEDIA.
2009.
Epistemologi
Kiri.
Yogyakarta:
AR-
Sajogya. 2005. Kebijakan Pengembangan Ekonomi Daerah dalam Era Otonom. Jakarta: Pusat Penelitian. Scott, James C.1981. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. (tej.). Jakarta: LP3ES. Scott, James C. 1993. Perlawanan Kaum Tani (terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
150
Scott, James C. 2000. Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. (terj.) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Soemardjan, Selo (eds.). 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial bekerjasama dengan Pulsar. Sulastra. 2010. “Kehidupan Petani Subak Abian sebagai Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian di Desa Adat Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung: Suatu Kajian Budaya”, Tesis S2. Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Suparlan, Parsudi (ed.). 1984. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan. Subroto, S.R Bambang. 2005. Praktek Terbalik Good Corporate Governance. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. Smit, Linda Tuhiwai. 2005. Dekolonisasi Metodologi. Yogyakarta: Insist Press. Surpa. 2011. “Implikasi Alih Fungsi Lahan terhadap Eksistensi Pura Subak dan Sosial Budaya Masyarakat di Kecamatan Denpasar Barat”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Suparta, N. 2005. Pendekatan Holistik Membangun Agribisnis. Denpasar: Bali Media Adhikarsa. Suryawan, Ngurah. 2008. “Bara Suara di Tepi Kuasa: Geneologi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern di Desa Petandakan, Buleleng, Bali” Tesis S 2. Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Suryawan, Nyoman. 2013. “Marginalisasi Masyarakat Nelayan Pascareklamasi di Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan”. Disertasi. Denpasar:Program Pascasarjana Universitas Udayana. Sutawan, Nyoman. 2004. “Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi” dalam Pitana (ed.). Eksistensi Subak di Bali: Perlukah Dipertahankan?. Denpasar: Upada Sastra. Thoha, Miftah 2009. Birokrasi Pemerintahan Indonesia di Era Reformasi. Jakarta : Kencana. Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan & Pendidikan. Magelang : Indonesia Tera. Vries, Egbert de. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
151
Wiasti. Ni Made, dkk. 2012. Peran Sekaa Untuk Mendukung Banjar Sebagai Pusat Pengembangan Kebudayaan Kota Denpasar. Denpasar: Kerjasama Bappeda Kota Denpasar dengan Universitas Udayana. Windia, Wayan. 2006. Transformasi Sistem Irigasi Subak yang Berlandaskan Tri Hita Karana. Denpasar: Pustaka Bali Post. Windia, Wayan; Wayan Alit Artha Wiguna, 2013. Subak Warisan Budaya Dunia. Denpasar: Udayana Press.
152
Lampiran 1 DAFTAR INFORMAN
1. Nama
: I Nyoman Astawa
Umur
: 54 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Br. Saba
2. Nama
: I Nyoman Gedoran
Umur
: 65 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SR
Alamat
: Br. Saba
3. Nama
: I Wayan Gredeg
Umur
: 55 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Br. Saba
4. Nama
: I Wayan Grinjit
Umur
: 55 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Br. Saba
153
5. Nama
: I Wayan Kerta
Umur
: 72 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SR
Alamat
: Br. Saba
6. Nama
: I Wayan Limun
Umur
: 65 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Saba
7. Nama
: I Wayan Lotra
Umur
: 48 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Br. Saba
8. Nama
: Pan Madri
Umur
: 65 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Br. Saba
9. Nama
: I Wayan Madya
Umur
: 49 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Br. Saba
154
10. Nama
: Pan Mara
Umur
: 67 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Paang Kelod
11. Nama
: I Wayan Nadi
Umur
: 57 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Br. Saba
12. Nama
: Pan Nadri
Umur
: 58 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Saba
13. Nama
: Pan Nugra
Umur
: 55 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Tembau Kaja
14. Nama
: I Nyoman Patra
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Tembau Kaja
155
15. Nama
: I Nyoman Pinjer
Umur
: 55 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Tembau Kaja
16. Nama
: I Gusti Made Raka
Umur
: 74 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Saba
17. Nama
: I Nyoman Rena
Umur
: 40 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Tembau Kaja
18. Nama
: I Wayan Rudita
Umur
: 55 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Saba
19. Nama
: I Wayan Suka
Umur
: 60 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Saba
156
20. Nama
: I Made Suki
Umur
: 52 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Tembau Kaja
21. Nama
: I Nyoman Sukra
Umur
: 45 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTA
Alamat
: Br. Saba
22. Nama
: Suradnya
Umur
: 59 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SLTA tidak tamat
Alamat
: Br. Saba
23. Nama
: I Wayan Tunas
Umur
: 50 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
:SD
Alamat
: Br. Saba
24. Nama
: I Nyoman Weda
Umur
: 57 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Paang Kelod
157
25. Nama
: I Wayan Wedi
Umur
: 50 tahun
Pekerjaan
: Petani
Pendidikan
: SD
Alamat
: Br. Saba
158
Lampiran 2 PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara untuk penelitian mengenai “Marginalisasi Petani di subak Saba, Kelurahan Penatih, Kecamatan Denpasar Timur” diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah yang dibuat. Klasifikasi A terkait dengan masalah gambaran umum daerah penelitian, B berkenaan dengan bentuk-bentuk marginalisasi petani subak Susuan, C terkait dengan faktor-faktor penyebab terjadinya marginalisasi petani di subak Saba, dan D berkenaan dengan makna dan implikasi marginalisasi bagi masyarakat petanidi subak Susuan. Pedoman wawancara yang dibuat terdiri atas pertanyaan-pertanyaan pokok terkait dengan problema penelitian dan akan dikembangkan pada saat wawancara dilokasi penelitian. A. Gambaran Umum Daerah Penelitian 1. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Kelurahan Penatih? 2. Apakah ada pergeseran pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat Penatih dilihat dari mata pencaharian yang digeluti setelah adanya alihfungsi lahan? 3. Bagaimanakah sumber daya manusia dilihat dari tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Penatih? 4. Bagaimanakah sistem kepercayaan dan kehidupan beragama yangdianut oleh masyarakat diKelurahan Penatih?
159
5. Bagaimanakah interaksi masyarakat di Kelurahan Penatih dalam hal kegiatan sosial?
B. Bentuk-Bentuk Marginalisasi Petani di subak Saba. 1. Jenis-jenis peralatan pertanian apa saja yang biasa dipergunakan dalam keseharian sebagai petani di subak Saba? 2. Berapakah rata-rata luas garapan petani di subak Saba saat ini? 3. Bagaimanakah bentuk sistem pembagian kerja antara pemilik lahan dengan penggarap? 4. Bagaimanakah hubungan relasi yang terja di antara pemilik lahan dengan penyakap di subak Saba? 5. Selain masalah lahan garapan, modal keuangan, adakah masalah lain yang membelit masyarakat petanidi subak Saba sehingga posisinya menjadi termarginalkan? C. Faktor-Faktor Penyebab Marginalisasi Petani Subak Saba 1. Dapatkah dijelaskan keadaan geografis subak Saba sebelum dan sesudah terjadinya alih fungsi lahan sehingga menimbulkan marginalisasi bagi masyarakat subak Saba? 2. Strategi apa yang dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha untuk merangkul masyarakat petani di subak Saba untuk menyetujui terjadinya alih fungsi lahan? 3. Bagaimanakah reaksi masyarakat petani di subak Saba terhadap pelaksanaan alih fungsi lahan oleh investor dan penguasa?
160
4. Pernahkah terjadi konflik kepentingan terkait dengan pemanfaatan areal subak Saba untuk berbagai kepentingan seperti perumahan, perkantoran, dan usaha-usaha lainnya? 5. Bagaimanakah pandangan bapak terkait dengan maraknya alih fungsi lahan di subak Saba? D. Dampak dan Makna Marginalisasi Petani Subak Saba 1. Apakah profesi petani yang bapak geluti merupakan pekerjaan utama atau hanya merupakan pekerjaan sambilan, mohon dijelaskan! 2. Dapatkah dijelaskan perkembangan jumlah petani yang ada di subak Saba sebelum dan sesudah terjadinya alih fungsi lahan? 3. Apakah hasil pekerjaan bertani mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga bapak? 4. Adakah perubahan nilai sosial budaya yang terjadi dengan adanya alih fungsi lahan di subak Saba? 5. Masih adakah kearifan lokal yang dimiliki petani subak Saba dalam hubungannya dengan lingkungan fisik dan sosial, serta bagaimana cara yang dilakukan oleh petani selamaini untuk menyesuaikan perubahan lingkungan fisik yang terjadi di subak Saba?