1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kenyamanan dan keamanan menjadi kondisi yang sangat penting dalam
industri pariwisata. Aspek tersebut pada dua dekade terakhir telah menjadi isu yang semakin besar dan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan aktivitas perjalanan dan pariwisata (István Kövári dan Krisztina Zimányi, 2011). Ancaman kenyamanan dan keamanan wisatawan dapat dipengaruhi dan disebabkan oleh beragam faktor, seperti aksi teroris, konflik lokal, bencana alam, perilaku sosial masyarakat dan penyakit menular sehingga hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya rasa aman bagi wisatawan. Kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan merupakan salah satu faktor yang menentukan keputusan untuk melakukan suatu perjalanan ke suatu destinasi pariwisata. Pesatnya pertumbuhan industri pariwisata di Indonesia merupakan tantangan yang cukup kompleks dalam memberikan rasa nyaman dan rasa aman (comfort and safety) bagi wisatawan. Pada kenyataannya dalam suatu destinasi wisata, banyak wisatawan tidak mendapatkan rasa aman yang disebabkan oleh sikap dan perilaku tuan rumah atau host (pedagang asongan, pelayanan parkir, penawaran jasa pijat (massage) yang terlalu agresif, dan yang lainnya. Kasus seperti ini sering terjadi di kawasan pariwisata yang sedang berkembang.
2
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki daya tarik wisata yang tidak kalah indahnya dengan destinasi wisata yang ada di provinsi lain di Indonesia. Sebagai destinasi pariwisata yang sedang berkembang, pemerintah provinsi menekankan pada penataan objek wisata masing-masing kabupaten dalam acara Rapat Koordinasi (Rakor) Keterpaduan Program Provinsi dan Kabupaten/Kota di Hotel
Lombok
Raya,
pada
7
Februari
(http://www.portalkbr.com/nusantara/nusatenggara/2454763_4265.html).
2013 Dalam
RPJPD Kabupaten Lombok Tengah tahun 2011-2013, telah menganalisis isu-isu strategis pariwisata terkait pemberdayaan masyarakat dan desa yaitu: 1) Belum optimalnya peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan untuk turut berperan serta dalam proses pembangunan, dan 2) Masih terdapatnya kesenjangan gender adalah hal akses manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan dan penguasaan terhadap sumber daya belum optimal. Faktor kenyamanan dan keamanan pada suatu kawasan pariwisata merupakan nilai tambah dan perluang untuk dikunjungi oleh wisatawan. Sebagaimana yang dimaksudkan UNWTO (2004) bahwa destinasi wisata di negara berkembang sudah saatnya untuk memberikan alternatif berwisata dengan jaminan keselamatan dan rasa aman bagi wisatawan selama berwisata. Pada sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana pariwisata telah dibangun seperti Bandara Internasional Lombok (BIL) yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Oktober 2011, perbaikan infrastruktur jalan, peningkatan kualitas pelayanan pada pelabuhan, serta dibangunnya akomodasi yang bertaraf
3
internasional. Pembangunan bertaraf internasional tersebut
bertujuan untuk
memberikan kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan yang berkunjung ke Nusa Tenggara Barat, khususnya Pulau Lombok. Pesatnya pertumbuhan pariwisata di Indonesia dengan daya tarik wisata yang beragam membuat jumlah kunjungan wisatawan terus mengalami peningkatan. Berdasarkan jumlah tingkat kunjungan wisatawan ke kabupaten Lombok Tengah pada lima tahun terakhir, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara mengalami peningkatan yaitu tahun 2008-2012. Pada tahun 2008 tercatat kunjungan wisatawan sebanyak 42.294 orang, terdiri dari wisatawan mancanegara yang mencapai 30.326 orang dan 11.968 wisatawan nusantara. Tahun 2009 sebesar 50.028 wisatawan, tahun 2010 mengalami peningkatan yang tidak terlalu signifikan sebesar 50.266 wisatawan mancanegara dan nusantara. Pada tahun berikutnya (2011) jumlah kunjungan wisatawan terjadi peningkatan yaitu 66.798 dari jumlah wisatawan. Program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012 memberikan keuntungan bagi peningkatan jumlah wisatawan ke Lombok Tengah, hal tersebut terbukti jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 121.482 orang dan 218.991 wisatawan nusantara pada tahun 2012 (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah, 2013). Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah menyadari bahwa peningkatan yang terjadi tidak terlapas dari partisipasi para pelaku wisata (masyarakat lokal). Sehingga pemerintah melakukan pembinaan masyarakat dengan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan yang terkait dengan wisatawan baik terlibat secara perorangan maupun secara bersama-sama.
4
Pada sisi lain, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada Mei 2013 mencapai 700 ribu kunjungan atau naik 7,65% dibandingkan jumlah kunjungan wisman pada Mei 2012, yang sebanyak 650.900 kunjungan. Begitu pula jika dibandingkan April 2013 yang naik sebesar 8,45 persen. Kenaikan jumlah kunjungan wisman terjadi disebagian besar pintu masuk utama, dengan persentase tertinggi tercatat di pintu masuk Bandara Internasional Lombok (BIL), Nusa Tenggara Barat sebesar 66.64 persen yang kemudian diikuti Bandara Adi Sucipto DI Yogyakarta 42.21 persen. Sedangakan posisi ketiga menurut data resmi statistik nasional mencatat Bandara Minangkabau, Sumatera Barat sebesar 30,93 persen (BPS. Perkembangan pariwisata dan Transportasi Nasional Mei 2013: No. 43/07/Th.XVI, 1 Juli 2013). Peningkatan jumlah kunjungan yang terjadi merupakan cermin dari terus berkembangnya
kepariwisataan
Pulau
Lombok.
Dengan
demikian
untuk
mempertahankan dan menambah jumlah kunjungan wisatawan pada tahun berikutnya, hal tersebut tidak terlepas dari pentingnya faktor kenyamanan dan keamanan. Pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat, dalam Peraturan Daerah No 9 tahun 1989 menetapkan 15 kawasan pariwisata yang berada di dua pulau, yaitu Pulau Lombok Tengah 9 kawasan pariwisata dan Pulau Sumbawa dengan 6 kawasan pariwisata (RPJMD NTB 2009-2013), salah satu kawasan pariwisata tersebut adalah kawasan pariwisata Kuta Lombok yang memiliki keindahan alam sebagai daya tarik wisata. Penyusunan RPJPD bertujuan untuk memberikan pemerataan dalam sektor pariwisata yang memiliki potensi. Dalam perancanaan tersebut terdapat permasalahan
5
yang dapat mengancam pembangunan dalam sektor pariwisata. Parmasalahan seperti, kurangnya pemahaman masyarakat akan sadar wisata - sapta pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan), masih kurangnya penataan dan pengamanan objek wisata, dan belum terkaitnya sektor pariwisata dengan sektorsektor lainnya. Isu lain yang berkembang pada destinasi wisata (Kawasan Pariwisata Kuta adalah terjadinya tindakan asusila yang dilakukan salah seorang masyarakat lokal terhadap wisatawan asal Amerika “Michelle Elizabeth Gonzales” (Doc.Lombok Post28/Juli/2011). Pencurian motor, pedangang asongan yang agresif, pembuangan sampah di sembarang tempat juga menyebabkan suasana yang tidak nyaman pada kasawan pariwisa Kuta Lombok. Hasil observasi sementara yang dilakukan mendapatkan informasi dari salah seorang warga desa (Riun) yang bekerja sebagai satpam pantai menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat masih belum maksimal. “Keterlibatan masyarakat sementara ini yang terlihat hanya sebagai satpam” (Observasi, 12 Oktober2013). Partisipasi masyarakat secara langsung dapat dilihat dari penerimaan terhadap wisatawan, yang lebih berorientasi kepada keuntungan semata tanpa memikirkan dampak yang diakibatkan. Penentuan kawasan pariwisata Kuta sebagai lokasi penelitian dilatar belakangi perkembangan kepariwisataan yang begitu pesat. Keindahan alam yang belum ditata secara maksimal dan masyarakat lokal yang belum merasakan sepenuhnya dampak positif dari kagiatan kepariwisataan.
6
Pada fase pengembangan, kawasan pariwisata tersebut masih memerlukan beragam penelitian yang diambil dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan difokuskan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidak-keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok, tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata, dan partisipasi yang masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Dengan demikian, penelitian tentang kajian kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok dipandang sangat penting dan dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendapatkan jalan keluar permasalahan dari sudut kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan destinasi wisata selama ini.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang maka dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut: 1.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidakkeamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok?
2.
Bagimana tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok?
3.
Bagaimana partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok?
7
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui indikator yang menyebabkan
kurangnya rasa nyaman dan aman serta aspek-aspek yang berkaitan. 1.3.2 Tujuan Khusus Merujuk pada rumusan masalah yang dikemukakan maka tujuan dalam penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidak-keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
2.
Untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
3.
Untuk mengetahui partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
1.4
Manfaaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat
akademis maupun praktis sebagai berikut: 1.4.1 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan dan pembangunan keilmuan khususnya dalam Ilmu Kepariwisataan dimana informasi mengenai ketidaknyamanan dan ketidak-amanan wisatawan merupakan aspek yang sangat penting dalam kelangsungan aktivitas wisata pada suatu kawasan pariwisata. Serta penelitian
8
ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan penelitian pariwisata yang akan datang. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah: a.
Memberi masukan kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah terkait pentingnya kenyamanan dan keamanan bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan pariwisata yang telah ditentukan, khususnya kawasan pariwisata Kuta Lombok.
b.
Memberi masukan kepada Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah untuk dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai petunjuk praktis dalam menjaga dan mengembangkan kualitas kepariwisataan kabupaten.
c.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sadar wisata serta pentingnya kenyamanan dan keamanan di kawasan pariwisata Kuta Lombok, sehingga wisatawan berkinginan untuk datang kembali.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN
2.1
Kajian Pustaka Bagian ini menguraikan berbagai hasil penelitian sebelumnya dan
pendekatkan relevan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kenyamanan dan keamanan melalui mengelaborasikan metode, konsep, teori, dan pendekatan yang digunakan dengan penelitian yang dilakukan. Berikut uraian kajian pustaka dan pendekatan yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Nompumelelo Mthembu (2009). Penelitian dengan judul “Tourism Crime, Safety and Security in the Umhlathuze District Municipality, Kwazulu-Natal” bertujuan untuk mengetahui apakah wisatawan merasa aman dan terjamin keselamatannya di kawasana Umhlathuze, untuk mengetahui apakah masyarakat lokal memahami pentingnya kenyamanan dan keamanan di kawasan Umhlathuze, mengetahui tingkat pengimplementasian dan praktik di kawasan Umhlathuze. Metode penelitian yang digunakan melalui interview dan menyebarkan kuesioner yang berkaitan dengan kejahatan dalam pariwisata, kenyamanan dan keamanan, serta pengaruhnya terhadap pariwisata domestik dan internasional. Data yang didapat diolah menggunakan Statistical Package for the Social Science (SPSS) dengan alasan metode analisis informasi lebih efektif karena hasil yang didapatkan
10
dapat diterima. Temuan yang dihasilkan adalah terdapat aksi kriminal yang terjadi pada Umhlathuze dan sebagian dari aktivitas tersebut tidak dilaporkan dan aturan yang tidak diketahui oleh anggota masyarakat dan pejabat serta otoritas pariwisata. Relevansi dalam penelitian terdapat pada kajian dalam ilmu kepariwisataan tentang pentingnya kenyamanan dan keamanan pada suatu kawasan wisata. Sehingga hal tersebut dapat menjadi acuan dalam melakukan penelitian ini. Akan tetapi, dalam penelitian yang dilakukan ini, menfokuskan pada pengidenfikasian faktor-faktor yang memengaruhi, tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata dan partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Penelitian yang dilakukan oleh Mohamad Jumail (2011) tentang “Pencitraan Kawasan Wisata Kuta Lombok Tengah”. Penelitan tersebut mengemukakan tiga permasalahan yaitu bagaimanakah pencitraan wisatawan terhadap kawasan wisata Kuta Lombok Tengah, mengidentifikasi komponen pencitraan kawasan wisata Kuta Lombok Tengah, serta bagaimana proses terbentuknya (formasi) pencitraan kawasan wisata Kuta Lombok Tengah. Hasil atau temuan yang didapat bahwa pencitraan wisatawan menunjukkan bahwa adanya trend positif. Pencitraan positif tersebut dapat berpengaruh terhadapa penurunan pencitraan negatif. Komponen fungsionalpsiokologis pada penelitian tersebut lebih dominan di kawasan wisata Kuta yang diatributkan dengan unik holistik oleh sebagian wisatawan asing serta atribut yang sama juga diberikan oleh wisatawan nusantara. Temuan lain dalam pencitraan
11
kawasan wisata Kuta adalah aksesibilitas, fasilitas pendukung, kebersihan pantai dan perilaku agresif pedagang asongan. Metode analisis data yang digunakan berupa analisis data kualitatif dengan mengembangkan deskripsi dari data yang didapatkan dan kemudian dilanjutkan dengan mengklarifikasi data yang dideskripsikan. Jika dilihat dengan seksama, penelitian yang dilakukan memiliki relevansi dengan penelitian tentang kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok serta sama-sama meneliti fenomena kepariwisataan dalam era global. Salah satu hasil penelitian yang menjadi acuan adalah adanya rasa kurang aman bagi wisatawan akibat sikap pedagang asongan. Maka penelitian yang dilakukan mengangkat masalah tersebut yang terfokus dari sudut pandang kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Penelitian yang dilakukan Jumail (2011) lebih cenderung kepada pencitraan yang dilihat dari keseluruhan aspek yang mendukung kelangsungan hidup suatu kawasan wisata. Penelitian yang dilakukan tersebut tidak membahas secara mendalam terhadap aspek kenyamanan dan keamanan, akan tetapi memasukkan komponen keamanan kedalam pencitaraan yang diberikan wisatawan terhadap masyarakat lokal. Sedangkan penelitian yang dilakukan ini berkonsentrasi kepada penciptaan rasa nyaman dan aman kepada wisatawan (wisnus dan wisman) yang berkunjung dan menginap di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Penelitian ini menggunakan pendekatan partisipatoris untuk mengetahui keterlibatan masyarakat dalam keberlanjutan destinasi wisata.
12
Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Ira Resmayasari (2011) dengan topik “What is the Preception of French Tourists about “The Island of Paradise”?”. Penelitian tersebut menemukan bahwa persepsi yang diberikan wisatawan Perancis tentang The Island of Paradise mendapatkan respon positif. Respon tersebut memperlihatkan bahwa wisatawan Perancis memiliki karakteristik wisatawan yang sengan dengan keindahan budaya, alam, dan keunikan lainnya. Dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa tujuan penelitian adalah untuk mengetahui sejauh mana orang Perancis mengenal Bali, bagaimana persepsinya terhadap keindahan alam, lingkungan, masyarakat dan kondisi pariwisata di Bali. Metode yang digunakan berupa penyebaran kuesioner kepada wisatawan yang telah datang ke Bali, yang kemudian dianalisis dengan cara mendeskripsikan hasil kuesioner yang didapat. Penelitian tersebut dilakukan di Perancis terhadap wisatawan yang telah mengunjungi Bali. Perbedaan yang terdapat dalam penelitian ini dengan yang dilakukan oleh Ira Resmayasari (2011) sebagai berikut. Pertama, perbedaan terletak pada objek penelitian secara geografis. Kedua, terletak pada objek yang diteliti dan responden. Penelitian sebelumnya menitik beratkan pada wisatawan Perancis yang telah berkunjung ke Bali, sedangakan penelitian ini kepada wisatawan (sudah – sedang – akan) berkunjung ke kawasan pariwisata Kuta Lombok serta partisipasi masyarakat mengenai rasa nyaman dan aman bagi wisatawan. Secara garis besarnya persamaan terdapat pada keingintahuan persepsi atau pendapat dari wisatawan terhadap suatu kawasan wisata yang (sudah – sedang – akan) dikunjungi.
13
2.2
Konsep Bagian ini membatasi sejumlah konsep yang digunakan sebagai suatu istilah
teknis. Semua konsep itu merupakan subuah abstraksi dari aspek kenyamanan dan keamanan, wisatawan, kawasan pariwisata dan konsep partisipasi. Definisi operasional dari konsep-konsep tersebut sebagai berikut: 2.2.1 Konsep Kenyamanan dan Keamanan Keamanan (security) adalah keadaan bebas dari bahaya. Secara umum keamanan adalah status seseorang dalam keadaan aman, kondisi yang terlindungi secara fisik, sosial, spiritual, finansial, politik, emosi, pekerjaan, psikologis atau berbagai akibat dari sebuah kegagalan, kerusakan, kecelakaan, atau berbagai keadaan yang tidak diinginkan (http://.en.wikipedia.org/wiki/safety). Pasal 4 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Poin (a) dalam Sarsiti dan Taufik (2012: 35) menerangkan tentang hak seorang konsumen bahwa: “konsumen (wisatawan) berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. Menurut Craven (2000) dalam Widodi dan Indarto (2010) keamanan tidak hanya mencegah rasa sakit dan cedera tetapi juga membuat individu merasa aman dalam aktifitasnya serta dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesehatan umum. Potter dan Perry (2006) mendefinisikan keamanan sebagai kadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram. Perubahan kenyamanan adalah keadaan dimana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dan berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya.
14
Talbot dan Jakeman (2009: 64), Suryana (2013) menjelaskan bahwa konsep keamanan manusia sekarang ini banyak digunakan untuk menggambarkan ancaman kompleks yang terkait dengan perang sipil, pembunuhan atau pembantaian, serta intimidasi terhadap penduduk. Sedangkan nyaman adalah perasaan segar, nikmat, dan menyenangkan. Jika dihubungkan dengan zona nyaman maka pengartian tersebut berubah menjadi keadaan perilaku dimana seseorang berada dalam kondisi tanpa kecemasan, dengan perilaku yang dikondisikan untuk memberikan tingkat kinerja stabil, biasanya bebas dari resiko (http://suksesituindah.com/2012/11/21 /pengertianzona-nyaman/). Kenyamanan dari sudut pantang kesehatan (Setiawan, 2012) adalah suatu keadaan yang telah terpenuhi kebutuhan dasar klien. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan keterampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan yang terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi rasa nyeri). Kenyamanan sering diartikan sebagai suatu keadaan bebas dari nyeri (Kolcaba, 1992 dalam Potter & Perry, 2005). Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek yaitu: 1.
Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
2.
Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
3.
Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
4.
Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah lainnya.
15
Empat kemungkinan generator dari mengingat situasi keamanan yang mungkin akan menimpa pada sistem pariwisata yaitu terkait dengan insidenkejahatan, teroris, perang, dan sipil / kerusuhan politik. Seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, pembajakan, dan penculikan (Pizam and Mansfeld, 2005;3-4). Pengertian kenyamanan dan keamanan dalam penelitian ini adalah dimana wisatawan tidak terganggu dengan hal-hal yang dapat menyebabkan ketidak-nyamanan atas aktivitas wisata yang dilakukan. 2.2.2 Konsep Wisatawan Pariwisata ada karena adanya wisatawan (Pitana dan Gayatri, 2005; 53), wisatawan pada intinya adalah orang sedang tidak bekerja, atau sedang berlibur, dan secara sukarela mengunjungi daerah lain untuk mendapatkan sesuatu yang “lain” (Smith, 1977). K. Cage (2002) mendefinisikan wisatawan (tourist) sebagai berikut: “A tourist is defined as a person who travels away from his or her home for whatever reason, be it for holiday, to do business, to represent his country in sport, to attend a religious function or to attend a conference.” The United Nations Conference on International Travel and Tourism (Rome, 1963) merekomendasikan definisi wisatawan menggunakan istilah pengunjung (visitor) kepada setiap orang yang melakukan perjalanann ke suatu negara yang bukan tempat tinggalnya yang biasa untuk keperluan apa saja, selain melakukan perjalanan yang digaji (UNWTO, 1994: 7). Pendifinisian tersebut menjelaskan pengunjung yang dimaksud ke dalam dua katagori, yaitu:
16
1)
Wisatawan yaitu pengunjung yang datang ke suatu negara yang dikunjunginya dan tinggal selama 24 jam dan dengan tujuan untuk bersenang-senang, berlibur, kesehatan, belajar, keperluan agama dan olahraga, bisnis, keluarga, utusan dan pertemuan.
2)
Execurtion yaitu pengunjung yang hanya tinggal sehari di negara yang dikunjunginya tanpa bermalam. Menurut Cooper (1996: 16) seorang wisatawan melakukan perjalanan sendiri
dengan tujuan luar rumah tempat tinggal dan tempat biasa kerja. Di sisi lain Tourism White Paper (DEAT, 1996; 3) mendeskripsikan wisatawan sebagai seseorang yang melakukan perjalanan yang jauh dari rumah dan tinggal setidaknya selama satu malam. Contohnya, wisatawan domestik yang tinggal di Bali datang ke Lombok serta tinggal di sebuah hotel atau sejenisnya salama satu malam atau lebih serta wisatawan yang tinggal di Australia datang dan menginap di Lombok dalam jangka waktu lebih dari 24 jam. Berdasarkan pendefinisian konsep wisatawan yang dikemukakan, bahwa wisatawan yang berkunjung akan memberikan interpretasi terhadap destinasi wisata yang dikunjungi. Dengan demikian dalam penelitian ini, wisatawan merupakan objek penelitian yang ditujukan untuk mengetahui persepsi mereka tentang Kawasan Pariwisata Kuta Lombok yang akan diambil dari sudut pandang kenyamanan dan keamanan mereka selama tinggal. 2.2.3 Konsep Kawasan Pariwisata Kawasan diartikan sebagai daerah tertentu dengan ciri tertentu, yang dikenakan dengan peraturan khusus kepabean (KBBI, 2003: 518). Sedangkan
17
kawasan menurut Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia tentang Rencana Zonasi Kawasan Pesisir dan Laut (2004: 3) adalah suatu wilayah dengan luas
tertentu
yang
diperuntukkan
untuk
tujuan
tertentu.
Undang-undang
kepariwisataan R.I. No. 10/2009, Pasal 1 menetapkan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup serta pertahanan dan keamanan (Hadi Setia Tunggal, 2009: 3). Pendefinisian daerah tujuan wisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata sebagai kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan. Pengertian kawasan pariwisata juga diungkapan oleh Inskeep (1991: 77) sebagai area yang dikembangkan dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan lengkap (untuk rekreasi/relaksasi, pendalaman suatu pengalaman/kesehatan). Sedangkan pengertian kawasan pariwisata secara umum adalah suatu kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata dan jasa wisata. 2.2.4 Konsep Partisipasi Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa partisipasi artinya perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Secara umum, partisispasi
18
mempunyai pengertian sebagi salah satu usaha berkelanjutan yang memungkinkan masyarakat untuk terlibat dalam perbangunan baik secara aktif maupun pasif (2005). Participation in the development context is a process through which all members if a community or organization are involved in and have influence on decisions related to development activities thet will affect them. That implies that development projects will address those community or group needs ain which members have chosen to focus, and that all phases of the development pricess will be characterized by active involvement of community or organization mambers (www.usadf.gov/2011). Partisipasi dalam konteks pembangunan adalah proses dimana semua anggota masyarakat atau organisasi terlibat, memiliki pengaruh pada keputusan yang berkaitan dengan kegiatan pembangunan yang akan berdampak kepada mereka. Itu berarti bahwa proyek-proyek pembangunan akan memenuhi kebutuhan masyarakat atau kelompok yang anggotanya telah memiliki untuk fokus, dan semua tahapan proses pembangunan akan ditandai dengan aktif oleh anggota masyarakat atau organisasi (2011). Tikare, Youssef, et al (2001; 3) expend the scope of decision-making in their definition: participation is the process through which steakhorlders influence and share control over priority setting, policy-making, resources allocations and access to public goods and services. Brita Mikkelsen (2001), partisipasi yang sesungguhnya adalah partisipasi yang menghasilkan pemberdayaan, yaitu partisipasi yang merupakan sebuah tujuan dalam proses demokrasi. Berasal dari masyarakat dan dikelolah oleh
masyarakat.
Pelling
(1998;
469-486)
dan Tristan
(2013)
mengidentifikasi bahwa partisipasi merupakan perebutan konsep ideologi yang
19
menghasilkan berbagai persaingan makna dan penerapannya. Hasilnya adalah berbagai pandangan tentang bagaimana partisipasi didefinisikan, siapa yang diharapkan terlibat, apa yang diharapkan untuk dicapai, dan bagaimana cara penerapannya (Agarwal, 2001; 1623-1648). Konsep tersebut menggambarkan bahwa pelaku perubahan partisipasi masyarakat dalam pada suatu pembangunan yang dilakukan untuk mengikutsertakan masyarakat lokal. Lebih lanjut Oakley (1991: 9) memberikan pemahaman tentang konsep partisipasi dengan mengelompokkan ke dalam tiga pengertian pokok, yaitu partisipasi sebagai kontribusi, partisipasi sebagai organisasi, dan partisipasi sebagai pemberdayaan. Sebelumnya Oakley (1991: 6) menjelaskan: “Participation is considered a voluntary contribution by the people on one or another of the public programmers supposed to contribute to national development, but the people are not expected to take part in shaping the programme or criticizing its contents.” Definisi konseptual variabel partisipasi masyarakat adalah keterlibatan langsung masyarakat dalam penanganan masalah kenyaman dan keamanan lingkungan yang meliputi kontribusi masyarakat, pengorganisasian masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan definisi konseptual tersebut diperoleh tiga dimensi kajian, yaitu: 1) Dimensi kontribusi masyarakat dengan indikator; (a) kontribusi pemikiran, (b) kontribusi dana, (c) kontribusi tenaga, dan (d) kontribusi saran.
2)
Dimensi
pengorganisasian
masyarakat
meliputi;
(a)
model
pengorganisasian, (b) struktur pengorganisasian, (c) unsur-unsur pengorganisasian, dan (d) fungsi pengorganisasian. 3) Dimensi pemberdayaan masyarakat dijabarkan
20
dengan indikator; (a) peran masyarakat, (b) aksi masyarakat, (c) motivasi masyarakat, dan (d) tanggungjawab masyarakat (Anonim, 2011). Berdasarakan uraian tersebut, yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengindentifikasian masalah dan potensi yang ada dimasyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi (Adi, 2008). Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat adalah keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam penciptaan rasa nyamanan dan aman di kawasan Pariwisata Kuta Lombok.
2.3
Landasan Teori Penelitian ini dalam mengkaji masalah kenyamanan dan keamanan kawasan
pariwisata Kuta Lombok maka teori yang relevan sebagai alat dan dasar yang digunakan untuk pemetaan masalah adalah fungsionalisme struktural Talcott Parson dan teori motivasi dari Abraham Maslow. Berikut uraian, asumsi dasar dan cara kerja kedua teori tersebut: 2.3.1 Teori Fungsionalisme Struktural Teori fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgent dan sangat bemanfaat dalam suatu kejadian tentang analisa masalah sosial dan memiliki pengaruh yang besar dalam ilmu sosial di abad sekarang (Arina, 2012). Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan teori fungsionalisme yaitu August Comte (Perancis, 1798 – 1857),
21
Herbet Spencer (Inggris, 1820 – 1903), Emile Durkheim (Perancis, 1858 – 1917), Anthony Giddens (1938 – sekarang), dan Talcott Parsons (Amerika, 1950-an). Pemikiran structural functional sangat dipengruhi oleh pemikiran biologis seperti menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yang terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kotemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat. Menurut Parson terdapat empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem sosial, yaitu Adaptation (A), pencapaian tujuan atau Goal attainment (G), Integration (I), dan Latency (L) atau dengan singkatan AGIL (Sarif, 2009). Menurutnya, semua fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua sistem agar tetap bisa bertahan. Adaptation merupakan fungsi yang sangat penting, sistem harus dapat beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhannya. Goal attainment yaitu pencapaian tujuan yang sangat penting, dimana sistem harus bisa mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. Integration artinya sebuah sistem harus bisa mengatur dan menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya, selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGL). Latency yaitu sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara pola, subuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan kultural.
22
Parsons (1951: 5-6) mendefinisikan sistem sosial terdiri dari sejumlah aktoraktor individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti kecenderungan untuk mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya dengan situasi mereka didefinisikan dan dimediasi dalam term system simbol bersama yang terstruktur secara cultural (Trevi o, 2001). Hal yang paling penting dalam sistem sosial diantranya: 1.
Sistem sosial harus terstruktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lain.
2.
Untuk menjaga kelangsungan hidupnya sistem sosial harus mendapatkan dukungan dari sistem lain.
3.
Sistem sosial harus mampu memnuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi yang signifikan.
4.
Sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya.
5.
Sistem sosial harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi mengganggu.
6.
Bila konflik akan menimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan.
7.
Sistem sosial memerlukan bahasa. Para ahli seperti George Ritzer (1980), Margaret M. Poloma (1987), dan
Turner (1986) Soetomo (1995) yang telah banyak merumuskan dan mendiskusikan serta menuangkan berbagai ide dan gagasan dalam mencari paradigma tentang
23
struktural dengan mengatakan apabila ditelusuri dari paradigma yang digunakan, maka teori struktural fungsionalisme dikembangkan dari paradigma fakta sosial (Arina, 2012). Kondisi masyarakat yang dianggap telah berhasil adalah dapat menghindari perpecahan antar anggota masyarakat, ketidak-pastian dari anggota masyarakat, peperangan sosial (konflik), dan pemerasan masyarkat terhadap anggota masyarakat yang lain (Zeitlin, 1995). Hubungan dengan penelitian tentang partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan di kawasan pariwisata Kuta Lombok bahwa kenyamanan dan keamanan wisatawan dapat dilihat dari lingkungan maupun sosial masyarakat lokalnya. Menurut Garna (1996: 54) dalam Cahyo (2011) bahwa teori struktural fungsional yaitu: Pertama, bahwa fungsionalisme sebagai kaidah atau teori dapat menjelaskan gejala-gejala dan institusi sosial dengan memfokuskan kepada fungsi yang dibentuk dan disusun oleh gejala sosial dan institusi sosial tersebut. Dari sisi kaidah tersebut, maka fungsional memperhatikan sistem dan pola komunikasi sebagai fakta sosial (social facts). Kedua, struktur sosial merujuk pada pola hubungan dalam setiap satuan sosial yang mapan dan sudah memiliki identitas sendiri; sedangkan fungsi merujuk pada kegunaan atau manfaat dari tiap satuan sosial tadi. Berdasarkan teori fungsionalisme struktural,
rumusan masalahan dalam
penelitian ini dipandang tepat untuk mengidentifikasi faktor ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan serta mengindikasikan partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
24
2.3.2 Teori Motivasi (Teori Hirarki Kebutuhan – Abraham H. Maslow, 1943-1970) Motivasi merupakan satu penggerak dalam hati seseorang utuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan, dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistens dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik) (Sudrajat, 2008). Abraham Maslow mengembangkan teori tentang bagaimana semua motivasi saling berkaitan. Ia menyebut teorinya sebagai “hierarki kebutuhan” (Lianto, 2013: 26-27). Kebutuhan ini mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Ketika satu tingkat kebutuhan terpenuhi atau mendominasi, orang tidak akan lagi mendapat motivasi dari kebutuhan tersebut. Selanjutnya orang akan berusaha memenuhi kebutuhan tingkat berikutnya. Maslow menyebut teori kebutuhannya sebagai sintesis atau perpaduan teori yang holistik dinamis. Pernyataan terhadap teorinya mengikuti tradisi fungsional James dan Dewey yang dipadu dengan unsur-unsur kepercayaan Wertheimer, Goldstein, dan psikologi Gestalt, dan dengan dinamisme Freud, Fromm, Horney, Reich, Jung, dan Alder (Maslow, 1984: 39). Teori kebutuhan yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada lima tingkatan (hierarki) kebutuhan manusia yang menjdai dasar dalam penelitian ini untuk menganalisi tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok, lihat Gambar 2.1.
25
Self-actualisation personal growth and fulfilment Esteem needs acheivement, status, responsibility, reputation Belongingness and Love needs family, affection, relatiuonships, work groups, etc. Safety needs protection, security, order, law, limits, stability, etc. Biological and Phsycological needs basic life needs (air, food, drink, shelter, warmth, sex, sleep, etc.
Gambar 2.1 Maslow’s Hierarchy of Needs (original five-stage model) Sumber: Alan Chapman (2001: 4), based on Maslow’s Hierarchy Needs.
1.
Kebutuhan Fisiologis yakni kebutuhan yang dasariah seperti rasa lapar, haus, tempat berteduh, seks, tidur, oksigen, dan kebutuhan jasmani lainnya.
2.
Kebutuhan akan Rasa Aman yakni mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.
3.
Kebutuhan Sosial yakni mencakup kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki, kasih sayang, diterima-baik, dan persahabatan.
4.
Kebutuhan akan Penghargaan yakni mencakup faktor penghormatan seperti harga diri, otonomi, dan prestasi serta faktor eksternal seperti status, pengkuan, dan perhatian.
26
5.
Kebutuhan akan Aktualisasi Diri yakni mencakutp hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. Penggunaan toeri motivasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Dimana motivasi dalam penelitian ini diartikan sebagai kecenderungan dalam diri seseorang secara sadar atau tidak sadar melakukan tindakan dengan tujuan tertentu, atau usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok orang tergerak untuk melakukan sesuatu karena ingin mencapati tunuan yang dikehendaki. Berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan wisatawan, maka teori motivasi dijadikan sebagai penganalisa faktor sehingga terjadinya ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan wisatawan selama berada di kawasan pariwisata Kuta Lombok serta tingkat tingkat kesadaran wisata masyarakat yang diukur melalui unsur-unsur sapta pesona.
2.4
Model Penelitian Perbedaan antara budaya global dan budaya lokal pada daerah tujuan wisata
membawa berbagai dampak pada suatu kawasan wisata. Perbedaan tersebut menjadi latar belakang pengkajian terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Hal tersebut sebagai pemicu atau penarik untuk mendalami permasalahan tentang topik dalam penelitian ini yaitu faktor kenyamanan dan
27
keamanan wisatawan sehingga terbentuknya kawasan pariwisata Kuta Lombok yang nyaman dan aman, tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata, serta bagaimana partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Langkah pertama yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis
faktor-faktor
kenyamanan
dan
keamanan.
Kedua,
mengkaji
persmasalahan dengan teori struktural fungsionalisme. Pengkajian atas indikatorindikator dalam analisis yang dilakukan secara mendalam sehingga akan menghasilkan penemuan-penemuan yang berkaitan dengan kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Dengan demikian, penemuan dari penelitian ini akan dijadikan sebagai kesimpulan. Berikut bagan ilustrasi utuh model pada Gambar 2.2
:
28
Gambar 2.2 Model Penelitian
Penataan dan kemanan pada objek pariwisata
Keterkaitan sektor pariwisata dengan sektor-sektor yang lain
Pemahaman Sadar Wisata (Sapta Pesona)
Kajian Kenyamanan dan Keamanan Wisatawan di kawasan Pariwisata Kuta Lombok
Partisipasi Masyarakat
Faktor yang Memengaruhi Kenyamanan dan Keamanan di Kuta Lombok
Teori Struktural-Fungsional
Tingkat Pemahaman Masyarakat tentang Sadar Wisata
Teori Motivasi
Pembahasan Dan Temuan-temuan Kesimpulan dan Saran Keterangan:
: : Pengaruh : Unit Analisis
: Relasi
29
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Rancangan Penelitian Rancangan penelitian mengenai kajian kenyamanan dan keamanan wisatawan
di kawasan pariwisata Kuta Lombok dikerangakan berdasarkan rumasan masalah yaitu; Faktor-faktor apa yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok, bagaimana tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok, serta bagaimana partisipasi masyarakarat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan. Pendekatan
yang
digunakan
melalui
pendekatan
kualitatif
dengan
mendeskripsikan fenomena sosial yang terjadi mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
ketidak-nyamanan
dan
ketidak-amanan,
tingkat
pemahaman
masyarakat tentang sadar wisata, serta partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Sehingga dengan menggunakan pendekatan ini, diharapkan akan dapat membantu dalam mendapatkan variabel-variabel penelitian secara mendalam yang berkaitan dengan kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. 3.2
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di kawasan Pariwisata Kuta Lombok, destinasi
wisata tersebut berdasarkan Perda Provinsi Nusa Tenggara Barat No. 9 Tahun 1989
30
telah dijadikan sebagai kawasan pariwisata nasional. Dalam Perda tersebut ditetapkan 15 kawasan pariwisata, dimana 9 (sembilan) kawasan pariwisata terletak di Pulau Lombok dan 6 (enam) kawasan pariwisata lainnya terletak di Pulau Sumbawa. Berikut peta lokasi penelitian.
Gambar 3.1 Peta Pulau Lombok Sumber: Lombok Island (The Mandalika Resort Area) a BTDC Project (2010) Pemilihan kawasan pariwisata Kuta Lombok sebagai lokasi penelitian didasarkan isu dan kendala pengembangan pariwisata di Pulau Lombok khususnya Lombok Tengah, yaitu pada: 1.
Isu konflik yang terjadi antar desa di kawasan pariwisata.
2.
Perkembangan pariwisata yang begitu pesat pada lima tahun terakhir.
31
3.
Kurangnya penataan dan fasilitas keamanan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
4.
Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat lokal yang kurang menyadari pentingnya pariwisata.
Gambar 3.2 Peta Lokasi Penelitian: Kawasan Pariwisata Kuta, Seger, Aan dan sekitarnya (Kawasan Mandalika Resort) Sumber: Lombok Island (The Mandalika Resort Area) a BTDC Project (2010)
3.3
Jenis dan Sumber Data
3.3.1 Jenis Data Pada dasarnya, semua jenis penelitian mengacu pada dua kelompok yaitu jenis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat dan uraian. Sedangakan jenis data kuantitatif dicirikan dengan data yang berbentuk angka (Nawawi, 2007: 103). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka seperti data jumlah
32
kunjungan wisatawan ke destinasi wisata Lombok Tengah, data jumlah usaha akomodasi yang tersedia, serta data lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Data kualitatif diperoleh dari informasi responden yang tertuang dalam variabel penelitian. 3.3.2 Sumber Data Setiap penelitian tentu membutuhakan berbagai sumber yang digunakan sebagai objek yang dijadikan tempat pengambilan data. Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah data yang didapat dari sumber pertama yang dipergunakan sebagai sampel, seperti data hasil wawancara. Sumber data primer merupakan sumber data yang langsung diberikan kepada pengumpul data (Sugiyono, 2007: 62). Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi berwenang seperti Dinas Pariwisata Lombok Tengah, Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Lombok Tengah, dan dinas yang terkait dengan topik yang diteliti. 3.4
Teknik Penentuan Informan Koentjaraningrat
(1993:
130)
mengemukakan dua perbedaan dalam
menyeleksi individu yang dijadikan subjek wawancara dalam penetelitian kemasyarakatan, yaitu; 1) Informan, adalah subjek penelitian yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk memberikan informasi berkaitan dengan penelitian, dan 2) Responden, yaitu subjek wawancara yang dapat memberikan keterangan tentang diri pribadi, pendirian atau pandangan, yang penting untuk penyusunan sampel yang presentatif.
33
Pengambilan data mengenai partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan dilakukan dengan purposive sampling. Purvposive sampling dilakukan atas dasar pertimbangan unsur-unsur yang dikehendaki oleh peneliti (Nasution, 2003:5). Dalam hal ini peneliti menentukan sendiri informan dan responden dengan pertimbangan bahwa mereka mampu memberikan data yang berkaitan dengan topik yang diteliti. Penelitian dilakukan dengan mewawancara orang yang dipercaya dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Seperti Kepala Dinas Pariwisata Lombok Tengah dan 2 orang staff, Kepala Resor Kuta Lombok dan 1 orang Anggota, Kepala Desa Kuta Lombok dan 9 orang anggota masyarakat. Jumlah keseluruhan nara sumber yaitu 15 orang. Mereka dianggap mampu memberikan keterangan mengenai partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta, Lombok. 3.5
Instrumen Penelitian Arikunto (2000: 134) dalam Hasibuan (2007), instrumen pengumpulan data
adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data. Pada jenis penelitian kualitatif, yang menjadi instrument atau alat penelitan terpenting adalah peneliti sendiri (Sugiyono, 2007: 59). Sebagai instrument utama, peneliti kemudian menentukan alat pengambilan data lainnya, seperti pedoman wawancara mendalam, alat elektronik (kamera dan alat rekam suara), alat tulis, dan buku catatan (note book). Fungsi dan tujuan instrumen tersebut untuk memaksimalkan data yang dapat diambil ketika peneliti turun ke lokasi
34
penelitian tentang kajian kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. 3.6
Teknik Pengumpulan Data Selain menggunakan metode penelitian yang tepat, diperlukan pula
kemampuan untuk memilih dan teknik pengambilan data. Berikut uraian teknik pengambilan data yang dilakukan dalan penelitian ini: 3.6.1 Observasi Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Peneliti mengobservasi kegiatan kepariwisataan di kawasan pariwisata Kuta Lombok, gejala sosial serta interaksi masyarakat dengan wisatawan, serta bentuk partisipasi sementara masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok. 3.6.2 Wawancara Wawancara yaitu proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian (Emzir, 2010: 50). Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka,
yakni melalui media
telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian.
35
Menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Aziz (2013) terdapat beberapa tahapan yang harus diperhatikan dalam melakukan wawancara, setidaknya terdapat dua jenis wawancara, yakni: 1). wawancara mendalam (in-depth interview), di mana peneliti menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali-kali. 2). wawancara terarah (guided interview) di mana peneliti menanyakan kepada informan hal-hal yang telah disiapkan sebelumnya. Teknik penentuan responden melalui pusposive sampling. 3.6.3 Dokumen Pengambilan data melalui dokumentasi pada penelitian ini berupa surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi pada masa sebelumnya. Dalam pengambilan data melalui dokumentasi ini, peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna (Faisal, 1990: 77). 3.7
Analisis Data Langkah yang digunakan dalam menganalisis data yang telah didapatkan
melalui analisis data kualitatif. Miles dan Huberman (1992) memberikan tiga kesimpulan dalam proses analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dalam penelitian ini adalah proses pemilihan data yang didapat melalui observasi di kawasan pariwisata Kuta Lombok, hasil
36
pengumpulan dokumentasi dan wawancara yang dilakukan tentang kenyamanan dan keamanan wisatawan. Pemusatan perhatian dari hasil data yang didapat kemudian disederhanakan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatancatatan tertulis di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Penyajian data pada penelitian ini dilakukan setelah reduksi data dilakukan, yaitu penguraian atas data yang didapatkan di kawasan pariwisata Kuta Lombok mengenai kenyamanan dan keamanan, tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata, dan bentuk partisipasi masyarakat yang diuraikan berupa teks narasi atau pernyataan-pernyataan yang diperkuat dengan foto. Tahap terakhir adalah pengambilan kesimpulan dari hasil penyajian data yang dilakukan melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Moleong (1989) mengemukakan bahwa dalam analisis kualitatif terjadi tahapan yang dimulai dari tahap dimulainya penelitian, proses, pengumpulan data, penyederhanaan data kasar (reduksisasi data), penyajian dan pengolahan data, hingga pada akhir tahapan dengan pembuktian data (verifikasi data). 3.8
Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil merupakan tahap akhir dalam penelitian, penyajian hasil
dilakukan dengan cara formal dan informal. Penyajian formal merupakan teknik penyajian hasil menggunakan tabel, bagan, grafik, gambar foto, dan lainnya. Sedangkan penyajian informal, hasil penelitian disajikan dengan kata-kata atau kalimat verba sebagai sarana, dengan ragam bahasa ilmiah.
37
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1
Kondisi Fisik
4.1.1 Letak Geografis Secara geografis wilayah Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi 8o241 – 8o571 LS dan 116o051 – 116o241 BT dengan luas wilayah 1.208,39 km2, Kota Praya sebagai Ibu Kota Kabupaten dengan ketinggian 100 sampai dengan 200 meter dari permukaan laut (Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2012). Kondisi geografi Kabupaten Lombok Tengah cukup bervariasi, terdiri atas perbukitan yang daerahnya termasuk dalam kawasan Gunung Rinjani yang terletak di tengah-tengah Pulau Lombok. Kemudian daratan rendah yang merupakan pusat kegiatan pertanian yang tehampar di bagian tengah, membujur mulai dari utara ke selatan. Sedangkan garis pantai membentang mulai dari pantai Torok Aiq Beleq (Kecamatan Praya Barat Daya), pantai Selong Belanak (Kecamatan Praya Barat), sampai desa Bilelando (Kecamatan Praya Timur) (Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013). Batas administratif Kabupaten Lombok Tengah sebagai berikut seperti terlihat pada Gambar 4.1 di bawah ini: Batas Utara
: Kabupaten Lombok Utara dan Kabupaten Lombok Timur
Batas Selatan : Samudra Indonesia / Samudra Hindia
38
Batas Barat
: Kabupaten Lombok Barat
Batas Timur
: Kabupaten Lombok Timur
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah Sumber: Buku Putih Sanitasi (BPS) Kab. Lombok Tengah 2012. Kabupaten Lombok Tengah memiliki penduduk sebanyak 860.209 jiwa, dengan kepadatan penduduk 712 jiwa/km². Kecamatan yang terpadat adalah Kecamatan Praya dengan kepadatan penduduk 1.688 jiwa/km² dan kecamatan yang paling rendah tingkat kepadatannya adalah kecamatan Batukliang Utara dengan kepadatan penduduk 260 jiwa/km². Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten
39
Lombok Tengah pertahun periode 2000-2010 sebesar 1,45 persen, dimana angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk pertahun periode 1990-2000 yaitu sebesar 0,98% (Buku Putih Sanitasi (BPS) Kab. Lombok Tengah 2012). 4.1.2 Iklim dan Topografi Kabupaten Lombok Tengah memiliki iklim tropis dengan musim kemarau yang kering. Musim hujan mulai sekitar bulan April dengan curah hujan pada bulanbulan tersebut rata-rata diatas 100 mm, sementara curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember yang mencapai 382 mm. Curah hujan dengan rata-rata dibawah 100 mm bahkan 50 mm terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan September (Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013). Topografi Kabupaten Lombok Tengah pada bagian utara merupakan daerah pegunungan, termasuk kawasan Gunung Rinjani dengan ketinggian sekitar 1000 mdpl. kawasan ini sangat cocok untuk areal perkebunan seperti kopi, kayu, cengkih, dan lain-lain yang berpotensi untuk pengembangan kepariwisataan berbasis alam. Bagian tengah merupakan daerah daratan rendah yang diperuntukkan sebagai daerah pertanian dengan hasil utama padi, palawija, dan tembakau. Selain sebagai pusat pemerintahan kabupaten, juga memiliki potensi menjadi pusat wisata kuliner tradisional dan souvenir khas Lombok Tengah dan Pulau Lombok secara umum. bagian selatan adalah daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 sampai 355 mdpl serta kawasan pantai sebagai kawasan pariwisata. Sementara jenis tanah
40
dominan adalah Komfleks Mediteran Coklat 41.635 ha (34%), Gromusol Kelabu 34.306 ha (28%), serta Regusol Kelabu 20.387 (17%).
4.2
Konsep Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah
4.2.1 Visi Visi kepariwisataa
Kabupaten Lombok Tengah adalah terwujudnya
Kabupaten Lombok Tengah sebagai daerah tujuan wisata yang berdaya saing tinggi. 4.2.2 Misi Misi kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah yaitu meningkatkan penataan, penggalian, dan pengembangan objek daya tarik wisata, meningkatkan kunjungan wisata, meningkatkan kualitas sumber daya manusia kepariwisataan. 4.2.3 Konsep Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah Kabupaten Lombok Tengah merupakan salah satu destinasi wisata di Indonesia dengan karagaman potensi alam maupun budya yang unik dan kekhasan serta
kelokalannya,
dimana
kedua
unsur
tersebut
dikombinasikan
dalam
pengembangannya. Pariwisata merupakan industri alternative untuk mempercepat pertumbuhan perekonomian daerah dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Dengan demikian, industry pariwisata diharapkan mampu menjadi sumber pendapatan dan alat pemerataan pembangunan daerah dan masyarakat. Lebih lanjut melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mempaparkan visi pariwisata, yaitu:
41
“terwujudnya Kabupaten Lombok Tengah sebagai daerah tujuan wisata yang berdaya saing tinggi.” Berdasarkan visi dan misi tersebut, dapat dianalisis bahwa daya saing, berkelanjutan, posisi strategis, pembangunan dan kesejahteraan merupakan kata kunci yang harus dijadikan tolok ukur pengembangan pariwisata daerah. Omerzel (2006, 168) menyatakan bahwa untuk menciptakan daya saing, indicator seperti adanya visi yang jelas, menejemen yang profesional, kebijakan yang efisien, dan mampu memberikan nilai tambah harus diimplementasikan dan dibuktikan secara nyata dan konsisten. Pemerintah
Kabupaten
Lombok
Tengah
menerangkan
empat
misi
kepariwisataan dalam pembangunannya, yaitu: 1.
Mengembangkan industri pariwisata yang efisien, berdaya saing, kredibel, menyinergikan kemitraan usaha antar usaha, bertanggung jawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya dan mensejahterakan masyarakat.
2.
Mengembangkan destinasi pariwisata yang berdaya saing, berkelanjutan, memiliki posisi strategis nasional, mampu meningkatkan pembangunan daerah dan mensejahterakan masyarakat.
3.
Mengembangkan pemasaran pariwisata yang unggul, efektif dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kunjungan wisatawan.
4.
Mengembangkan kelembagaan dan tata kelola kepariwisataan yang mampu mendorong terwujudnya pengembangan industri pariwisata, pemasaran pariwisata yang bedaya saing dan berkelanjutan.
42
4.3
Potensi Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah Kabupaten Lombok Tengah memiliki potensi wisata yang cukup banyak dan
bervriasi. Potensi tersebut merupakan modal yang berharga dalam menunjang kepariwisataan di Lombok Tengah apalagi diberikan sentuhan teknologi sehingga akan memberikan nilai tambah yang cukup berarti dan sangat signifikan dalam mendongkrak pendapatan dan perekonomian daerah. Kesenian dalam konteks pariwisata merupakan sesuatu hal yang tidak terpisahkan dan merupakan dua kegiatan
yang komplementer yaitu saling
membutuhkan. Pariwisata akan memiliki daya tarik tersendiri jiaka didukung oleh kegiatan kesenia yang dapat dinikmati setiap saat. Secara umum dapat dipaparkan beberapa jenis kesenian tradisional utama yang ada di Lombok Tengah, seperti Gendang Beleq, Rudat, Kecimol, Jaran Kamput, Drama, Dilokaq, Macapat, Wayang Kulit, serta Meniting Melakaq. Pada tahun 2012, kelompok kesenian tradisional yang terbentuk di Kabupaten Lombok Tengah sekitar 274 kelompok kesenian yang hampir tersebar di setiap desa dan kelurahan (Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013). Zonasi pengembangan pariwisata Kabupaten Lombok tengah terbagi kedalam tiga zona sebagaimana yang dijelaskan Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah. “1. Pengembangan pariwisata wilayah selatan dengan potensi wisata bahari, desa tradisional, seni, dan kerajinan. 2. Pengembangan pariwisata wilayah tengah dengan potensi wisata kuliner tradisional, wisata tirta,
43
wisata belanja, dan lain-lain. dan 3. Pengembangan pariwisata wilayah Kabupaten Lombok Tengah bagian utara dengan potensi wisata seperti ekowisata, air terjun, dan trekking (H. Lalu Moh. Putria: wawancara 11 Maret 2014) Dengan demikian, pembagian zona pengembangan pariwisata di Kabupaten Lombok Tengah sudah terpapar jelas, seperti tampak pada Gambar 4.2 berikut”.
3 2
1 Gambar 4.2 Zona Pengembangan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah. Sumber: Dokumen Peneliti, 2014.
44
Pembagian zona pengembangan pariwisata pada Gambar 4.2 bertujuan untuk meratakan pembangunan pariwisata bagi masyarakat Lombok Tengah. Sebagaimana tujuan diselenggarakannya kepariwisataan dalam Undang-Undang Kepariwisataan No. 10 Tahun 2009 Bab II yaitu, a) Memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, b) Memperlutas dan meratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, dan c) Meningkatkan pendapatan nasioanl dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
4.4
Potensi Pariwisata di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok Desa Kuta merupakan salah satu desa yang berada di kawasan pantai sehingga
memiliki potensi yang besar dalam pengembangan aktivitas pariwisata. Luas desa Kuta yaitu 2.366 ha dengan ketinggian tanah 5-10 mdpl, memiliki curah hujan 125 mm pertahun sehingga rata-rata suhu udara berkisar antara 18oC-34oC. Jenis dari dataran rendah, tinggi, pengunungan dan pantai adalah datar dan bergelombang (Profil Desa Kuta Tahun 2012-2013). 4.4.1 Atraksi Pariwisata Pantai Kuta disebut juga sebagai Pantai Mandalika mempunyai potensi wisata yang sangat tinggi. Potensi yang dimiliki merupakan anugrah yang tidak ternilai, sehingga perlu penataan dan pengemasan untuk mendapatkan simpati wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Sebagai zona yang diperuntukkan untuk kawasan pariwisata, maka keindahan alam bahari perlu dijaga dengan baik. Berikut
45
objek dan atraksi wisata yang dapat dinikmati wisatawan di Kawasan Pariwisata Pantai Mandalika pada Tabel 4.1: Tabel 4.1 Objek dan Daya Tarik Wisata di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok Objek Wisata Daya Tarik Aktifitas Photography Pantai Kuta Pasir putih Pengamatan matahari terbit Sunrise Pengamatan matahari terbenam Sunset Sunbathing Terumbu karang Tour Kampung nelayan Wind surfing Fishing Parasailing Swimming Soft trekking Perbukitan Photography Pantai Seger Pasir putih Pengamatan matahari terbenam Sunset Soft trekking Perbukitan Sunbathing Terumbu karang Surfing, Wind surfing Parasailing Photography Pantai Aan Pasir putih Sunbathing Terumbu karang Pengamatan matahari terbenam Sunset Swimming Ombak Fishing Parasailing Pantai Pasir putih Photography Serenting Sunset Pengamatan matahari terbenam Fishing Sunbathing Swimming Festival Bau Nyale dan Photography Peresean Pengamatan acara tradisional Sumber: Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2008. Atraksi wisata sebagai potensi dominan pada kawasan pariwisata Kuta Lombok adalah kawasan pantai yang terbentang dengan hamparan pasir putih.
46
Sehingga aktivitas yang yang dilakukan sangat banyak, seperti mengambil gambar, berenang, menyelam, dan lain-lain. Sedangkan potensi wisata budaya disimbolkan dengan acara “Bau Nyale” dengan cerita kerajaan suku sasak yaitu Putri Mandalika sebagai acara annual event yang disemarakkan dengan adu tangkas yang disebut dengan “Peresean” dari partisipasi masyarakat lokal. 4.4.2 Akses Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah yang hanya memiliki luas keseluruhan sekitar 1.208,39 Km2 sangat kecil jika dibandingkan luas daerah lainnya. Sehingga untuk mencapai setiap Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) yang ada tidak memerlukan waktu lama, cukup meluangkan waktu sehari untuk mencapai hampir sebagian banyak ODTW. Akses
menjadi
salah
satu
aspek
terpenting
pada
pengembangan
kepariwisataan. Kondisi jalan menuju tiga lokasi pariwisata yaitu Pantai Kuta, Pantai Seger, dan Pantai Aan seperti pada Tabel 4.2 berikut:
Tabel 4.2 Kondisi Akses Menuju ODTW di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok dari Ibu Kota Kabupaten Lombok Tengah Lokasi Kelas Jalan Kondisi Jalan Waktu Tempuh Pantai Kuta
Jalan Provinsi
Baik
33-60 menit
Pantai Seger
Jalan Kabupaten
Rusak ringan
36-65 menit
Pantai Aan
Jalan Kabupaten
Rusak berat
35-90 menit
Sumber: Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013
47
Gambar 4.3 Kondisi Jalan Raya Menuju Kawasan Pariwisata Kuta Lombok Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Jalan sebagai akses untuk menjangkau kawasan wisata seharusnya lebih memadai sehingga potensi atraksi wisata mudah dijangkau. Kondisi di atas merupakan bukti bahwa syarat aksesibilitas belum dapat dipenuhi. Jika pemerintah daerah tidak segera mengambil sikap, maka kenyamanan wisatawan menuju lokasi wisata yang ada mengalami penurunan minat sehingga menyebabkan rendahnya daya saing dibandingkan dengan destinasi wisata di tempat lain. Akses menuju objek wisata Pantai Seger memiliki kondisi jalan yang cukup baik, akan tetapi membutuhkan perbaikan yang lebih serius. Begitu juga dengan kondisi jalan menuju Pantai Aan yang memberikan kesan tidak terurus. Kondisi jalan yang berlubang membuat wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara untuk memilih berkunjung ke objek wisata yang lain. Keberlangsungan aktivitas pariwisata dan laju pertumbuhannya tidak terlepas dari peran serta alat transportasi. Alat transportasi yang dapat digunakan untuk
48
mencapai ODTW adalah, 1) Transportasi Udara, yaitu terbukti dari beroperasinya Bandara Internasional Lombok (BIL) pada tahun 2011. 2) Transportasi Laut, yaitu menggunakan Ferry yang semakin banyak dan di gemari khususnya bagi wisatawan dengan tipe bagacker. Dan 3) Transportasi Darat, yang memegang peranan yang sangat penting untuk menjangkau ODTW yang ingin dituju. Seperti taksi, bus pariwisata, limosine, cidomo (alat transportasi tradisional masyarakat sasak/lombok). 4.4.3 Fasilitas Pendukung Pariwisata Salah satu unsur penting dalam upaya meningkatkan arus wisatawan terutama macanegara ke suatu daerah adalah tersedianya sarana dan parsarana akomodasi yang mamadai baik secara kualitas maupun kuantitas. Menyongsong Visit Lombok – Sumbawa 2011-2015, Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu daerah tujuan wisata (termasuk Lombok Tengah) telah melakukan berbagai aktivitas terkait dengan pariwisata. Perhotelan dan akomodasi sebagai bagian yang paling melekat dengan pariwisata, juga tidak ketinggalan. Kondisi ini diharapkan akan memberi pengaruh positif bagi peningkatan kunjungan wisatawan, yang pada gilirannya akan dapat merambat kepada kemajuan sektor lainnya. Namun demikian upaya perhotelan dan akomodasi yang ada belumlah cukup tanpa dukungan pihak lain yang dapat menciptakan rasa aman, juga diperlukan dukungan sarana dan prasarana terkait yang memadai (Lombok Tengah Dalam Angka Tahun 2012). Peranan akomodasi di kawasan pariwisata seperti hotel dan jenisnya sebagai penyedia jasa penginapan merupakan salah satu faktor penentu keamanan dan
49
kenyamanan yang diberikan kepada wisatawan. Medlick (1989:4) mengemukakan bahwa wisatawan biasanya tinggal lebih lama dan menhabiskan uang lebih banyak jika dibandingkan dengan menginap di rumah sendiri. Jumlah sarana akomodasi berupa hotel di Lombok Tengah dari tahun ke tahun terus
menunjukkan
peningkatan
yang
cukup
signifikan.
Terlebih
setelah
beroperasinya Bandara Internasional Lombok (BIL). Akan tetapi perkembangan jumlah akomodasi belum merata di setiap ODTW, pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan masih terfokus pada wilayah selatan, yaitu di sekitar kawasan pariwisata Kuta dan sekitarnya. Perkembangan akomodasi yang begitu pesat menimbulkan wacana yang sulit dalam mengklasifikasikan sarana akomodasi. Hal lain yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah faktor yang membedakan dalam pengklasifikasiannya, standar pelayanan yang diberikan, budaya tuan rumah (host culture) yang berbeda, standar fasilitas, dan menejemen yang digunakan (Gee, 1994). Berikut Tabel 4.3 yang menunjukkan perkembangan akomodasi di Kabupaten Lombok Tengah. Tabel 4.3 Perkembangan Jumlah Penginapan di Kabupaten Lombok Tengah dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 Tahun Hotel dan Lain-lain Jumlah Kamar Tempat Tidur 2008
24
359
413
2009
24
359
413
2010
40
416
481
2011
40
416
481
2012 46 540 605 Sumber: Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013
50
Berdasarkan tabel di atas, laju perkembangan pariwisata Lombok Tengah yang pesat diikuti dengan bertamhnya jumlah akomodasi dari tahun ke tahun. Pada lima tahun terakhir, jumlah pertumbuhan jumlah sarana akomodasi meningkat. Pada 2008, sebanyak 24 akomodasi (semua klasifikasi hotel) hingga pada tahun 2012 mengalami peningkatan dua kali lipat yaitu sebanyak 46 akomodasi dengan total kamar sebanyak 540 kamar dan 605 fasilitas tempat tidur. Pembangunan sarana akomodasi tidak lain bertujuan untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan selama tinggal di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok. Jumlah sarana akomodasi di Kabupaten Lombok Tengah seperti pada Lampiran 2 (Hal. 113). Diketahui bahwa sebagian besar sarana akomodasi berada di Desa Kuta yaitu pada Kawasan Pariwisata Kuta Lombok sebanyak 35 akomodasi. Ini menunjukkan bahwa saran vital industri pariwisata telah dibangun dengan kualitas dan kualifikasi dari masing-masing akomodasi. 4.4.4 Sarana dan Prasarana Lainnya 1.
Restoran dan Rumah Makan Selain fasilitas berupa penginapan, unsur lain yang tidak kalah pentingnya
dalam usaha jasar pariwisata adalaha ketersediaan restoran dan rumah makan, fasilitas tersebut diluar fasilitas yang diberikan oleh akomodasi tempat mereka tinggal. Ketersediaan restoran dan rumah makan terutama yang memiliki ciri khas tradisional (glokalisasi) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang senang berwisata kuliner dan senang mencoba sesuatu cita rasa makanan setiap daerah (Statistk Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013).
51
Jenis makanan khas Pulau Lombok yang terkenal, seperti Ayam Bakar Taliwang, Pelecing, Nasi Balap Puyung, dan masih banyak lainnya merupakan potensi daya tarik wisatawan yang telah dikenal oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Seiring dengan perkembangan pariwisata dan semakin digemari makanan tradisional tersebut, berkembang pula jumlah restoran dan rumah makan dengan tujuan memberikan cita rasa khas Pulau Lombok. Berikut jumlah restoran dan rumah makan di Kabupaten Lombok Tengah sebagai saran pendukung aktivitas kepariwisataan pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Jumlah Restoran dan Rumah Makan serta Tenaga Kerja di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2012 Jmlh Fasilitas Jmlh Tenaga Kerja Jenis Jumlah Meja Kursi Berugak Lokal Asing 179 425 110 13 Restoran 35 11 116 40 17 Rumah Makan 42 38 268 68 12 Lesehan 4 110 5 213 61 31 Cafe Jumlah Total
73
279
1.022
54
366
4
Sumber : Dinas Budpar Kabupaten Lombok Tengah, Tahun 2012 (Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013). Jika ditinjau dari sudut pandang perkembangan pariwisata, jumlah fasilitas tersebut belum memadai dari jumlah kunjungan wisatawan ke yang selalu mengalami peningkatan. Sehingga wisatawan mempunyai banyak pilihan untuk wisata kuliner yang tentu memiliki standar yang layak untuk diberikan kepada wisatawan nusantara maupun mancanegara.
52
2.
Listrik, Telepon, dan Air Ketersediaan fasilitas berupa jaringan listrik, telepon, dan air merupakan
prasyarat utama yang harus ada dan tersedia di setiap ODTW agar dapat memenuhi kebutuhan wisatawan. Kebutuhan fasilitas primer, tersedianya air bersih, jaringan listrik, dan telepon menjadi prasyarat pengembangan pariwisata. Ketergantungan destinasi terhadap air sangat besar, fakta membuktikan bahwa konsumsi air yang diminum wisatawan, 2 atau 3 kali lebih banyak dari pada konsumsi air yang diminum oleh penduduk lokal. Khususnya daerah yang perseidaan airnya terbatas, air seringkali menjadi kendala serius pengembangan pariwisata (UNWTO, 2004). 3.
Usaha Jasa Travel dan Biro Perjalanan Laju perkembangan pariwisata dan peningkatan jumlah kunjungan ke suatu
Objek Daya Tarik Wisata, tidak terlepas dari peran serta usaha travel dan biro perjalanan. Jumlah usaha travel dan biro perjalanan yang terdata di Lombok Tengah sebanyak sebanyak 54 buah, sebagaimana yang tertera pada Tabel 4.5 berikut:
Tabel 4.5 Usaha Jasa Pariwisata di Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2012 Jumlah Fasilitas No 1
Jenis Tour & Travel Jumlah Total
Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Mobil
Motor
Lokal
Asing
54
26
12
28
-
54
26
12
28
-
Sumber: Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, 2013
53
4.5
Karakteristik Masyarakat di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok Gee (1997: 144-145), pemahaman terhadap Karakteristik wisatawan
(masyarakat) berdasarkan negara dan atau daerah asal, jenis kelamin, usia, demografi, strata sosial, ekonomi, budaya, dan iklim adalah suatu keharusan. 4.5.1 Berdasarkan Usia Usia merupakan karakteristik penduduk yang pokok. Struktur ini mempunyai pengaruh yang penting baik terhadap tingkah laku demografis maupun sosial ekonomi. Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaaan saut benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Misalnya umur manusia dikatakan lima belas tahun diukur sejak dia lahir hingga waktu umur dihitung. Struktur umur atau usia penduduk dapat dilihat dalam unsur umur satu tahunan atau yang disebut juga umur tunggal (single age), dan yang dikelompokkan dalam lima tahunan (Statistik Indonesia, 2014). Adapun karakteristik penduduk Desa Kuta berdasarkan usia kerja di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok seperti pada Tabel 4.6 berikut. Tabel 4.6 Karakteristik Penduduk Berdasarakan Usia Kerja di Desa Kuta Lomok No
Kelompok Usia
Jumlah (orang)
1
20 – 26
1.005
2
27 – 40
1.100
3 40 – 60 Sumber: Profil Desa Kuta Tahun 2012-2013, 2014
310
54
Tabel 4.7 menunjukkan usia penduduk di Desa Kuta berada pada usia produktif. Kelompok usia 27 hingga usia 40 tahun dan usia kerja dua puluh tahun hingga dua puluh enam tahun merupakan usia kerja yang dijadikan sebagai pekerja pemula. Sedangkan kelompok usia kerja 40-60 tahun merupakan kelompok usia kerja yang masuk ke katagori masa pensiun. 4.5.2 Berdasarkan Mata Pencaharian Menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI (2004) dalam Pinoza (2011), lapangan pekerjaan adalah bidang kegiatan dari usaha/perusahaan, instansi, damana seseorang bekerja atau pernah bekerja. Lapangan pekerjaan/usaha dibagi kedalam sepuluh golongan, yaitu a) Pertanian, perburuan, kehutanan, dan perikanan, b) Pertambangan dan penggalian, c) Industri pengolahan, d) Listrik, gas, dan air, e) Bangunan, f) Perdagangan, rumah makan, dan hotel, g) Angkutan, penyimpanan, dan komunikasi, h) Keuangan, asuransi, dan perdagangan benda tak bergerak, i) Jasa-jasa kemasyarakatan, sosial, dan pribadi, j) Kegiatan yang tidak/belum jelas. Jenis pekerjaan dalam golongan lapangan pekerjaan tentu mempunyai tingkata sehingga dapat dibagi menjadi delapan kelompok orang yang bekerja, yaitu: 1. Tenaga profesional, teknisi dan tenaga lain. 2. Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan. 3. Tenaga administrasi dan tenaga tata usaha. 4. Tenaga penjualan. 5. Tenaga usaha jasa. 6. Tenaga usaha pertanian. 7. Tenaga produksi dan sejenisnya, dan operator alat-alat pengangkutan. 8. Lain-lain (termasuk ABRI dan Polisi). Adapun karakteristik dan jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok terdapat pada Tabel 4.7.
55
Tabel 4.7 Karakteristik Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Kuta Lombok Tengah No
Mata Pencaharian
Jumlah (orang)
Keterangan
1
Petani
2
Buruh Tani
3
PNS
36
4
Pedagang Keliling
15
5
Peternak
198
6
Nelayan
1.156
7
Montir
5
8
TNI
4
9
Polri
2
10
Pensiunan TNI, Polri, dan PNS
8
11
Usaha Kecil dan Menengah
12
Dukun Terlatih
8
13
Dukun Swasta
2
14
Karyawan Swasta
159
15
Pengusaha Besar
144
16 Lain-lain Sumber: Profil Desa Kuta Tahun 2012-2013, 2014
1.43
715 KK
1.065
354 KK
578 KK
612
4.068
4.5.4 Berdasarkan Jenis Kelamin Gender menjadi isu substansial dalam konteks perubahan segmentasi pasar wisata pada dua puluh tahun terakhir. Jenis kelamin adalah kelas atau kelompok yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai saran atau sebagai akibat digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan kelangsungan spesies itu. Jenis kelamin
56
adalah istilah yang membedakan antara laki-laki dan perempuan secara biologis, dan dibawa sejak lahir dengan sejumlah sifat yang diterima orang sebagai karakteristik laki-laki dan perempuan (Dian,2005) dalam Pinoza, 2011. Tabel 4.8 Karakteristik Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Kuta Lombok Jenis Kelamin
Jumlah (jiwa)
Prosentase (%)
Laki-laki
4.382
49
Perempuan 4.500 Sumber: Profil Desa Kuta Tahun 2012-2013, 2014
51
57
BAB V FAKTOR YANG MEMENGARUHI KETIDAK-NYAMANAN DAN KETIDAK-AMANAN WISATAWAN
Faktor keamanan dan kenyamanan merupakan faktor nyata pada suatu kawasan pariwisata. Aspek tersebut pada dua dekade terakhir telah menjadi isu yang semakin besar dan mempunyai dampak yang sangat besar terhadap keberlangsungan aktivitas perjalanan dan pariwisata (István Kövári dan Krisztina Zimányi, 2011). Hal yang umum dan dapat dilihat secara langsung pada suatu destinasi wisata adalah lingkungan dan sistemnya. Hasil penelitian lapangan yang terkait dengan faktor yang membuat wisatawan merasa tidak nyaman dan aman di kawasan pariwisata Kuta Lombok sebagai berikut. 5.1
Faktor Lingkungan
5.1.1 Sistem Pengelolaan Parkir Pengelolaan tempat parkir di kawasan pariwisata Kuta Lombok masih belum jelas, walaupun diketahui bahwa penjagaan dan pemungutan biaya parkir dilakukan oleh pihak satpam pantai. Pengelolaan tempat parkir dan besaran biaya parkir sering membuat pengunjung merasa tidak nyaman. Biaya parkir untuk roda dua sebesar Rp. 5.000, roda empat sebesar sepuluh ribu rupiah. Sedangkan untuk mini bus sebesar dua puluh ribu rupiah dan bus besar Rp. 25.000. Salah satu anggota satpam pantai Januardi yang masih berstatus sebagai tenaga sukarela memberikan keterangan bahwa pengelolaan tempat parkir sejauh ini masih teratur.
58
“…..pengelolaan tempat parkir ditangan oleh satpam pantai dan dibagi menjadi tiga pos, satu di Senek, kemudian di Seger satu, dan di pantai Aan. Tarifnya sama dan nanti hasil dari parkir itu kita setor ke ketua pos”. (Wawancara, tgl 2 April 2014). Pernyataan yang diutarakan tersebut mengindikasikan jelasnya pengelolaan area parkir pada daya tarik di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Lebih lanjut diselasela percakapan didapatkan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan hasil parkir. Pengelolaan hasil parkir yang disetor kepada ketua masih dan belum ada regulasi yang mengatur pengelolaan uang hasil parkir.
Gambar 5.1 Karcis Retribusi Masuk Wilayah Objek Wisata di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Sejauh ini belum ada kebijakan yang menegaskan tentang pengelolaan parkir pada objek wisata. Berdasarkan gambar 5.1 tersebut tidak dicantumkan keterangan regulasi atau undang-undang yang jelas tentang penentuan besaran retribusi ketika mengunjungi objek wisata. Besaran pungutan parkir sering menjadi aspek ketidaknyamanan wisatawan nusantara maupun mancanegara, terlebih pembatas dan
59
pengaturan parkir kendaraan pada objek wisata tidak teratur sehingga hal tersebut yang menyebabkan suasana yang kurang nyaman. Berdasarkan keterangan dari salah satu wisatawan asal Manado (Bapak Ferdi) mengenai besaran retribusi masuk pada objek wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok, disela kunjungan tugasnya ke Dinas Pendidikan dan Olahraga di Mataram. “….pantai Kuta bagus ya! tapi saya terkejut dengan retribusi yang terlalu tinggi. Tadi ketika saya ke toilet, diminta lagi”. (Wawancara, tgl 10 desember 2013). Pernyataan tersebut diutarakan ketika wisatawan tersebut merasakan suasana yang tidak ramah dari pedagang asongan. Beliau juga kemudian mengkritik masalah kebersihan di sekitar pantai. Hal
lain yang dapat menyebabkan ketidak-nyamanan adalah sikap dari
satpam pantai yang terlalu berlebihan seperti tampak pada Gambar 5.2 berikut.
Gambar 5.2 Satpam Pantai di Pantai Kuta Lombok Sumber: Dokumen Peneliti, 2014
60
Berdasarkan gambar 5.2 tersebut bahwa satpam pantai mendatangi kendaraan dan menunggu pemilik untuk memungut biaya retribusi masuk di objek wisata pantai Kuta. Kejadian tersebut terjadi karena pengunjung tersebut tidak melalui pintu masuk tempat pemungutan retribusi. Perilaku wisatawan tersebut disebabkan karena tidak ada pembatas areal parkir yang disediakan, sehingga pengunjung bisa parkir sesuai keinginan mereka. Sikap yang diberikan satpam pantai merupakan sikap yang dapat mengganggu kenyamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. 5.1.2 Kebersihan Lingkungan Kebersihan lingkungan sekitar kawasan pariwisata merupakan hal yang paling penting. Kurihara (2010) mengklasifikasikan bahwa keadaan lingkungan sekitar kawasan wisata bahwa lingkungan tersebut harut terjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan kebersihan pada fasilitas umum. Faktor kenyamanan fisik yang menjadi tolak ukur dan sorotan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok adalah sampah. Kondisi sampah yang demikian membuat kenyaman menjadi terganggu, hal demikian memerlukan kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Perilaku masyarakat yang membuang sampah khususnya masyarakat yang berada di sekitar kampung nelayan dianggap mengganggu kenyamanan wisatawan. Arwata (dalam Jumail, 2012:80) mengindikasikan bahwa adanya ketidakseimbangan pemanfaatan ruang yang berakibat pada permasalahan lingkungan seperti munculnya rumah kumuh, tumpukan sampah, dan limbah seperti yang tampak pada Gambar 5.3 di bawah ini.
61
Gambar 5.3 Muara Sapah di Depan Café Magic Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Melihat kondisi tersebut ditegaskan Witan salah seorang warga setempat menyatakan bahwa “….permasalahan yang masih paling menonjol dari masyarakat adalah membuang sampah sembarangan sehingga terlihat kotor. Akan tetapi kita tidak bisa terlalu menyalahkan masyarakat, karena tempat pembuangan sampah juga belum ada” (Wawancara, tgl 18 April 2014). Hasil observasi mengenai faktor kebersihan lingkungan di sepanjang pantai (Pantai Kuta, Seger, dan Aan) pada kawasan pariwisata Kuta Lombok memang masih belum ada tempat sampah yang disediakan oleh petugas satpam pantai. Lebih lanjut lagi diperjelas oleh pernyataan dari seorang satpam pantai berikut: “……edaq lainte neteh doro nini. Ye wah ntan dengan-dengan saq bedagang iku, laun muq tumpukn kun bawaq lulu terusn sedutn. Ite endah bingungte, kadang doro leman mare muqte taletn, anuq muqte anggepn bau loas”. (Wawancara, tanggal 2 April 2014).
62
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditinjau bahwa partisipasi masyarakat terhadap pemberian rasa nyaman dan aman bagi wisatawan masih kurang. Di satu sisi, terlihat kebingungan dari masyarakat terhadap kebersihan terutama mengenai tempat pembuangan akhir sampah yang tidak ditentukan. Jika ditinjau dari Perda Kabupaten Lombok Tengah no.7 tahun 2011 pasal 48 huruf (a) yang menerangkan bahwa Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah tidak diperkenankan terletak berdekatan dengan kawasan permukiman (RTRW Kab. Lombok Tengah 2011-2031). Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan kondisi sebenarnya (Gambar 5.3) yang terletak di depan salah satu fasilitas pendukung pariwisata pada akses menuju pantai tiga pantai di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
5.2
Faktor Kegiatan Ekonomi Mata pencaharian merupakan hal yang sangat pokok dan didefinisikan sebagai
pekerjaan utama yang dilakukan masyarakat. Frank Ellis menjelaskan bahwa, “the term livehood attempts to capture not just what people do in order to make a living, but the resources that provide them with the capacity to build a satisfactory living, the risk factors that they must consider in managing their resources, and the institutional and policy context the either helps or hinders them in their pursuit of a viable or improving living”. Istilah yang diungkapkan tentang mata pencaharian adalah tidak hanya apa yang dilakukan manusia untuk hidup, tetapi juga sumber daya yang menyediakan mereka dengan kapabilitas untuk membangun kehidupan ayang memuaskan, faktor yang beresiko adalah mereha harus memperhatikan dalam
63
mengurus sumber daya, dan lembaga serta hubungan politik yang juga membantu dan menghalangi dalam tujuan mereka agar dapat hidup dan meningkatkan tarap hidup. Berikut analisis faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. 5.2.1 Pedagang Asongan Sikap agresif pedagang asongan merupakan faktor yang menyebabkan ketidak-nyamanan dan amanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Pada umumnya di pusat keramaian pasti ada pedagang asongan, akan tetapi tingkat agresif tergantung pada tempat mereka berdagang, perihal tersebut digambarkan pada Gambar 5.4. Perilaku tersebut umum terjadi pada objek wisata, dalam penelitian yang dilakukan bahwa pedagang asongan adalah anak-anak yang masih sekolah. Kepala Desa Kuta menerangkan bahwa pedangang asongan yang berada di kawasan Pariwisata Mandalika (Kawasan Pariwisata Kuta, Seger, Aan) berasal dari desa tetangga, sebagian besar berasal dari Sade dan Rembitan. Ditambahkan pula bahwa pihak Desa Kuta telah memaksimalkan penertiban pedagang asongan dan pedagang kaki lima, akan tetapi mendapatkan perlawanan dari para pedagang. Kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok masih kurang. Faktor yang menyebabkan ketidak-nyamanan adalah sikap yang diberikan oleh pedagang asongan yang terlalu agresif dan selalu berorientasi pada keuntungan. Seorang pedangang asongan (Gunawan) asal desa Sade memberikan keterangan yang merupakan motivasi mereka untuk berjualan.
64
“….rate-rate baturte saq bedang leman Sade deit Rembitan, mun batur Kute jeq baunt titung. Piran wahkh kuliah kun Akpar, laguq kediq angenkh, kelebet nini kance bedagang ngere. Munseq jangke rame tamu, uli mauqte jangke lime ratus sejelo, pire laloq mun modalte jeq. Iku kanaq-kanaq keceq siku, saq njual gelang benang onos dengan bjait, bareh ye muqn pinaq. Edaq modaln iku jeq, anuq ngmbunen. Muq siqn betanje selae ribu kun wisatawan, lime ribu doang anuq untungn. (Wawancara, tgl 2 April 2014).
Gambar 5.4 Perilaku Agresif Pedangan Asongan di Pantai Kuta Lombok Sumber: Dokumen Peneliti, 2014. Berdasarkan keterangan tersebut bahwa keuntungan faktor ekonomi merupakan motivasi mereka untuk selalu berjualan jika ditinjau dari sudut pandang ekonomi. Akan tetapi dari sudut pandang kenyamanan wisatawan, hal tersebut dapat mengganggu karena wisatawan akan merasa tidak nyaman dan lambat laun mengurungkan diri untuk datang kembali. Teori motivasi (teori hirarki kebutuhan manusia) oleh Abraham Maslow (Chapman, 2001;4) memberikan alasan kepada wisatawan untuk mengunjungi suatu destinasi wisata. Salah satunya adalah
65
kebutuhan rasa aman yang berarti wisatawan tidak merasa terganggu dengan sikap yang diberikan masyarakat (host) sebagai penyedia jasa dan pelaku pariwisata. 5.2.2 Penyedia Jasa Transportasi Jasa transportasi merupakan salah satu jenis usaha yang menjadi kebutuhan wisatawan. Jasa penyewaan kendaraan dari segi fungsional bertujuan memberikan kemudahan bagi wisatawan untuk mencapai objek wisata yang diinginkan. Lalu Rian menjelaskan jenis jasa transportasi yang terdapat di kawasan pariwisata Kuta Lombok yaitu kendaraan roda empat (mobil) dan kendaraan roda dua (motor) (Wawancara, tgl 18 April 2014). Penyedia jasa transportasi khusus untuk jasa transportasi mobil di bagi tiga yaitu kelompok satu di Pantai Kuta yang disebut juga dengan sebutan Roy Pantai. Kedua, yaitu di Pantai Seger yang terletak di sebelah Novotel Kuta Lombok, dan ketiga di Pantai Aan yaitu pantai yang terletak si bagian timur kawasan pariwisata Kuta Lombok. Penawaran dan penyediaan jasa transportasi di Kuta Lombok ditinjau dari segi harga masih sangat mahal karena penyediaan jasa masih terbatas. Ketidak-nyamanan yang sering terjadi menurut Lalu Amanah terjadi ketika kendaraan yang disewakan kepada tamu mengalami kecelakaan, baik kecelakaan ringan seperti tergores, helm hilang, kaca spion rusak/hilang sedangkan kecelakaan berat seperti tabrakan dan kehilangan kendaraan. “….sistim penyewaan motor di sini adalah konter yang ada itu kadang tidak ada motor di tempat, sehingga harus mencari motor teman kemudian disewakan dengan harga yang mereka tentukan. Ketika terjadi kejadian
66
yang tidak diinginkan, si penyewa motor meminta ganti rugi dari tamu dengan harga yang bisa dua kali lipat, tentu saja tamu meras keberatan dan saling adu mulut, itu menurut kami membuat tamu tidak mau menyewa kembali”. (Wawancara, tgl 18 April 2014). Dari penggalan wawancara tersebut dapat diketahui sistem yang digunakan penyedia jasa transportasi yaitu pihak pertama meminjam kendaraan orang lain dan kemudian disewakan dengan persyaratan yang disetujui antara si pemilik dan yang menyewakan. Jika dianalisis lebih jauh bahwa sikap masyarakat tersebut dapat menyebabkan ketidak-nyamanan bagi wisatawan yang secara umum dapat berdampak negatif terhadap perkembangan kepariwisataan Kuta Lombok. Penciptaan rasa nyaman dan aman tentu tidak hanya berasal dari sikap tuan rumah (host) tetapi juga sikap wisatawan (guest). Greenwood (dalam Pitana, 2005:83) melihat bahwa hubungan antara wisatawan dan masyarakat lokal menyebabkan terjadinya proses komodititasi dan komersialisasi dari keramahan masyarakat lokal. Perspektif komodititasi dan komersialisasi tersebut menyebabkan kedua pihak bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Sehingga tercipta ketidakamanan dan nyamanan di kalangan masyarakat lokal sebagai tuan rumah (host) dan wisatawan sebagai (guest). Salah satu penyebab terjadinya komersialisasi yang diciptakan masyarakat sebagai pelaku wisata dengan mengambil kesempatan ketika terjadi hal yang tidak diinginkan pada waktu wisatawan menyewa kendaraan. Akan tetapi, sikap tersebut terjadi karena adanya kesempatan dari wisatawan yang memberikan peluang komersialisasi yang berlebihan, seperti Gambar 5.5.
67
Gambar 5.5 Wisatawan dengan Motor Sewaan Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Perilaku yang dilakukan wisatawan seperti pada Gambar 5.5 terlihat wisatawan sedang belajar menggunakan kendaraan. Perilaku tersebut merupakan bukti bahwa adanya pemberian peluang bagi masyarakat lokal khusunya penyedia jasa transportasi mengambil sikap dan meminta ganti rugi dari kerusakan yang disebabkan wisatawan. Hal tersebut merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya ketidak-nyamanan bagi wisatawan (guest) dan masyarakat lokal (host).
5.3
Faktor Akses Jalan Pariwisata Aspek kenyamanan dan keamanan tidak terlepas dari bagaimana cara untuk
mencapai suatu objek wisata. Jalan merupakan salah satu dari empat unsur yang harus ditemukan dalam pengembangan pariwisata sehingga wisatawan merasa aman dan nyaman dalam mencapai objek yang ingin dituju. Adapun kondisi jalan menuju pantai yang merupakan faktor kenyamanan seperti pada Gambar 5.6.
68
Gambar 5.6 Kondisi Jalan Menuju Pantai Aan di Sebelah Timur Pantai Seger Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Kebutuhan akan rasa nyaman yang mencakup keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional merupakan hal yang sangat mendasar dalam manusia (Chapman, 2001:4). Perspektif tersebut terwujud atas kebutuhan manusia untuk mendapatkan ketenangan dengan berwisata mengunjungi daerah yang mereka anggap dapat membuat perasaan mereka nyaman. Faktor lain terkait kenyamanan dan keamanan yaitu sarana penunjang dan pelangkap kepariwisataan adalah akomodasi, listrik, telepon, artshop, dan air. Ditinjau dari tingkat aktivitas pariwisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok, diharapkan fasilitas yang tersedia dapat memberikan kemudahan bagi wisatawan. Salah satu faktor yang paling penting adalah air, dari hasil wawancara terdapat bahwa air merupakan hal yang peling penting dari faktor kenyamanan pada objek wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
69
BAB VI TINGKAT PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG SADAR WISATA DI KAWASAN PARIWISATA KUTA LOMBOK
Sapta Pesona merupakan jabaran konsep sadar wisata khususnya terkait dukungan dan peran masyarakat sebagai tuan rumah (host) dalam upaya kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Sapta pesona adalah unsur yang penting dalam mengembangkan suatu objek wisata. Citra dan mutu pariwisata di suatu daerah atau objek wisata pada dasarnya ditentukan oleh keberhasilan dalam perwujudan sapta pesona daerah tersebut. Sapta pesona merupakan tujuh kondisi yang harus diwujudkan dan dibudayakan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sebagai salah satu upaya untuk memperbesar daya tarik dan daya saing pariwisata Indonesia khususnya Kabupaten Lombok Tengah. Keberadaan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Lombok Tengah merupakan wujud kepedulian dan partisipasi masyarakat untuk turut serta mensukseskan pengembangan pariwisata. Pada tahun 2008 jumlah pokdarwis tercatat sebanyak delapan kelompok, kemudian pada tahun 2013 meningkat menjadi tiga puluh kelompok dengan 967 orang anggota (Statistik Kepariwisataan Kabupaten Lombok Tengah, Tahun 2013). Selain pokdarwis yang dibangun atas dasar kesadaran dari masyarakat, pemerintah Kabupaten Lombok Tengah membentuk kelompok Pengamanan Pariwisata (PAM Wisata/Satpam Pantai).
70
Pemerintah ataupun pelaku usaha pariwisata harus menjadikan sapta pesona sebagai tolak ukur untuk menilai apakah potensi wisata tersebut layak atau tidak dijadikan sebagai objek wisata tetapi juga sebagai dasar membentuk dan menjalankan manajemen pariwisata serta masyarakat di sekitar kawasan melakasankan unsur sapta pesona dalam kegiatan sehari-hari (A. Rudolf Smit, 2013). Tujuan dasar pemahaman terhadap unsur sapta pesona adalah untuk cara berpikir masyarkat, paradigma, serta pola pikir masyarkat. Sehingga untuk menganalisis tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok, maka digunakan unsur sapta pesona sebagai tolak ukur terhadap pemahaman masayarakat.
6.1
Aman (Keamanan) dan Tertib (Ketertiban) Kenyamanan dan keamanan merupakan faktor yang dominan bagi wisatawan
untuk berkunjung ke suatu destinasi pariwisata (Othman, et. al. 2012:93). Keamanan adalah keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis atau bisa juga keadaan aman dan tentram (Potter & Perry, 2005). Partisipasi masyarakat terhadap rasa aman di kawasan pariwisata Kuta Lombok sangat diperlukan, sehingga masyarakat mampu memahami arti keamanan secara utuh. Indikator keamanan secara umum pada objek wisata, yaitu sikap tidak mengganggu wisatawan, menjaga keamanan lingkungan, tidak ada premanisme dan hal yang berkaitan dengan keamanan fisik.
Hasil
penelitian mengenai pemberian rasa aman dari wawancara yang dilakukan seperti pernyataan berikut dan dipaparkan pada Gambar 6.1.
71
“……masalah parkir saq muqte tangani jeq langsung kance karcis (kartu retribusi) saq muqte beng terus mun wah majah tame, mbe-mbe taoqn pade mele parkir montorn. Araqn batur (preman) mungutn kepeng parkir, laguq tedoq-tedoq ntan, pengereqn mun arak tamu saq tamu ojoq pante ndeq langan gate, halisn siqn pade ngenem demen malem. Ndeqte tao balaqn, anuq batur (preman) nini”. (Wawancara, tgl 2 April 2014).
Gambar 6.1 Kondisi Penjagaan Pintu Masuk ke Pantai Sumber: Peneliti, 2013 Penciptaan rasa aman dari segi pengelolaan parkir serta pedagang asong di kawasan pariwisata Kuta Lombok belum maksimal. Berdasar pada Gambar 6.1 bahwa penempatan tempat pengambilan tiket sebagai wujud retribusi terhadap objek wisata hanya dibuat ala kadar. Kondisi tersebut dibenarkan petugas satpam pantai yang menyatakan bahwa areal parkir di setiap pintu masuk objek wisata hanya diberikan penghalang yang terbuat dari bambu, kemudian wisatawan atau pengunjung bebas mengambil parkir dimana mereka inginkan. Masalah pemberian rasa aman
72
kepada wisatawan tentu tidak sebatas pemberian tiket dan pungutan retribusi. Akan tetapi, wisatawan mengharapkan areal yang lebih tertib dalam penentuan areal parkir. Pengelolaan areal parkir, pemberian tanda informasi seperti toilet umum, pemberian tanda atau pembatas keamanan ketika wisatawan berenang serta penertiban pedagang asongan merupakan indikator penting dalam penciptaan rasa aman. Indikator tersebut memerlukan pemahaman dari pelaku pariwisata dan khususnya masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Upaya penertiban terhadap pedagang asongan yang dilakukan adalah merelokasi dengan membuat pasar seni yang berada di samping jalan raya Kuta. Akan tetapi, menurut seorang pelaku pariwisata selaku anggota masyarakat Kuta bahwa tempat tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan para pedagang.
Gambar 6.2 Pasar Seni Mandalika Resort sebagai Tempat Relokasi Pedagang di Pantai Kuta Sumber: Peneliti, 2013 “……..araqn tesediaaq ang taoq relokasi saq bedagang-bedagang kun pante iku, laguq ye wah mereto’ ruen, iniq laloqn tinggangan
73
rurung siq taoqn saq bdaagang? Edaq taon yeqn uni bbalaq, anuq ndeqn sesuai ruen. Dait endah eto taoqn, edaq tamu dateng,,”. (Wawancara, tgl 18 April 2014). Keterangan yang diberikan tersebut menjelaskan bahwa tempat relokasi yang disediakan dengan tujuan untuk penertiban pedagang asongan yang ada pada tiga pantai di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Akan tetapi, dilihat pada Gambar 6.2 dapat dipahami kesulitan dalam mengatur dan menertibkan pelaku pariwisata yang dapat mengganggu kenyamanan dan keamanan wisatawan karena kebutuhan akan rasa aman merupakan aspek dalam pertahanan jangka panjang.
6.2
Bersih (Kebersihan) Sorotan lain pada suatu destinasi wisata yang menjadi daya saing adalah
masalah kebersihan lingkungan. Disamping masyarakat sebagai objek wisata, lingkungan alam sekitar perlu diperhatikan agar tidak rusak dan tercemar (Agustini, dkk. 2013;20-21). Lalu lintas dan aktivitas manusia yang terus meningkat dari tahun ke tahun dapat mengakibatkan rusaknya ekosistem fauna dan flora di sekitar objek wisata. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya menjaga kelestarian lingkungan melalui penegakan berbagai aturan dan persyaratan dalam pengelolaan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Faktanya, berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, tingkat kesadaran masyarakat serta pemahaman masyarakat terhadap kebersihan masih kurang. Kurangnya pemahaman tentang arti kebersihan jika dipandang dari sudut pandang
74
kesehatan lingkungan bahwa membuang sampah sembarangan dapat menyebabkan penyakit dan dapat merusak ekosistem yang ada di sekitar. Masalah kebersihan lingkungan menjadi hal yang sangat serius pada suatu objek wisata seperti ditemukannya banyak sampah yang terdapat di sepanjang pantai, di pinggir jalan bahkan di tempat umum seperti yang tampak pada Gambar 6.3.
Gambar 6.3 Perilaku Masyarakat dan Kondisi Sampah di Sepanjang Pantai Sumber: Peneliti, 2014 Dalam konteks tersebut sangat diperlukan kesadaran masyarakat selaku tuan rumah (host) untuk selalu menjaga lingkungan agar tetap bersih. Dalam ranah tersebut tidak hanya kesadaran dari masyarakat lokal setempat, tetapi juga pelaku wisata yang berasal dari luar kawasan, wisatawan serta pemerintah Kabupaten Lombok Tengah yang mempunyai peranan yang besar dalam menentukan kebijakan untuk mengatur dan mengelola Kawasan Pariwisata Kuta Lombok.
75
Perihal masyarakat membuang sampah sembarangan dan sebagai tanggung jawab petugas satpam pantai untuk menjaga kebersihan menegaskan. “…..perilaku masyarakat mengenai membuang sampah dikarenakan kebiasaan dan juga kami menimbun sampah yang datang dari laut dengan menimbunnya dengan pasir karena tidak ada tempat pembuangan sampah yang telah ditetapkan”. (Wawancara, tgl 6 April 2014).
Dari penjelasan yang diberikan mengindikasikan perlunya pemahaman dari masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan. Kebersihan di kawasan pariwisata Kuta Lombok, kepala desa mengakui bahwa masalah kebersihan masih menjadi tanggungjawab pihak desa dan bekerjasama dengan dinas kesehatan disela penjelasan mengenai perkembangan pariwisata di Kuta Lombok. “……masalah kebersihan memang masih menjadi kendala yang membutuhkan dukungan dan kesadaran masyarakat terutama di sekitar kampung nelayan. Kemarin kantor desa terletak di sekitar kampung nelayan dan pasar tradisional, terkait dengan berbagai pertimbangan termasuk masalah kebersihan sehingga kami sepakat untuk memindahan kantor desa di dekat jalan raya dan bersebelahan dengan sektor Kuta. Kami berharap masalah kebersihan datang dari kesadaran masyarakat sendiri”. (Wawancara, tgl 10 Maret 2014).
Dengan demikian, kesadaran masyarakat lokal merupakan faktor kunci dari keberhasilan dalam menjaga lingkungan. Masyarakat secara empiris mempunyai peranan penting dalam menjaga lingkungan dan menjadi subjek aktif dari upaya pembangunan yang dijadikan sebagai tujuan utama dari strategi partisipatif (The Mountain Institute, 2000;19). Hal ini memberikan kejelasan bahwa masyarakat
76
mempunyai peranan dalam menciptakan kondisi nyaman dan aman terkait dengan keberlangsungan pariwisata yang secara umum di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Pada sisi lain, permasalahan kebersihan tidak bisa diserahkan sepenuhanya kepada masyarakat. Perananan pemerintah sebagai pemegang kendali sangat dibutuhkan untuk membuat kebijakan dan program yang dapat menjadi acuan sehingga masyarakat dapat memahami lingkungan mereka. Lebih lanjut, kerjasama dan dukungan steakholder merupakan bentuk kerjasama yang maksimal dalam menjaga lingkungan dengan mengetahui fungsi masing-masing sosial masyarakat untuk menciptakan kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
6.3
Sejuk (Kesejukan) dan Indah (Keindahan) Lingkungan yang serba hijau memberikan suasana atau keadaan yang sejuk,
nyaman dan tentram. Bentuk perwujudan dalam menciptakan suasana sejuk adalah dengan memelihara kelestarian lingkungan dan penghijauan. Kesadaran masyarakat untuk mempelopori kegiatan penghijauan dan memelihara kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal merupakan bentuk dari pemahaman pada diri sebagai insan pariwisata. Hal ini berkaitan erat dengan terwujudnya keindahan lingkungan yang dapat menarik perhatian wisatawan pada objek wisata. Kawasan pariwisata Kuta Lombok sebagai destinasi pariwisata di Kabupaten Lombok Tengah bagian selatan, secara geografis memiliki ketinggian 5–30 dpl, dengan topografi daratan yang datar dan bergelombang serta suhu udara rata 180C –
77
340C dengan curah hujan 125 mm/thn tipe D (Profil Desa Kuta, 2012-2013) yang berarti memiliki musim kemarau kering (hujan tropis). Oleh sebab itu, suasana yang didapat pada kawasan pariwisata Kuta Lombok sangat kering. Berdasarkan hasil survey di lapangan, pada musim kemarau persediaan air terbatas sehingga pihak penyedia akomodasi berupaya memenuhi kebutuhan tamu dengan mengambil dari bendungan Batu Jai (salah satu DAM di kabupaten Lombok Tengah), sehingga memerlukan persediaan air yang banyak. Perbedaan kontras musim kemarau dan musim hujan tampak pada Gambar 6.4. “…..mun musim kering, edaq ngalir aiq pam, mun araq dengan mele ndaus ato ngulu (untuk shalat) jeq, muqte timbaq ang siqte ngisiq jeding. Mun yaq maraq Tasturan, Novotel jeq ye saq te angsuhan aiq jangke telu empat tengki saq sejelo, lumayan munte yaq itung biayen jeq. Meriku juaq sumur batur nini, anuq nsat. Mun lulo saq bau tahen panas jeq saq beleq-beleq maraq banten, nyiur. Lulo saq keceq-keceq jaq mate n”. (Wawancara, tgl 2 April 2014).
Gambar 6.4 Kondisi Musim Kemarau dan Musim Hujan Sumber: Peneliti, 2014
78
Dalam konteks ini, hal yang ditekankan adalah pemahaman masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian lingkungan agar tetap sejuk dan indah untuk mencapai pariwisata yang berkelanjutan. Istilah Green Tourism berkembang atas dasar dampak aktivitas manusia yang semakin meningkat terhadap ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan (Furqan et al, 2010). Sehingga diharapkan masyarakat memiliki kesadaran dalam menjaga kelestarian lingkungan untuk mempertahankan kesejukan dan keindahan secara berkelanjutan. Hasil observasi di lapangan memberikan gambaran bahwa masyarakat lokal setempat masih kurang sadar dalam hal pelestarian lingkungan. Akan tetapi berbeda dengan hasil wawancara yang didapat bahwa terdapat beberapa alasan yang diungkapkan. “…..di sini kan daerah kering, masyarakat sebenarnya berharap pemerintah mengadakan program penghijauan. Kalau masyarakat sendiri, mungkin hanya sekedar di rumah saja, itu juga kadang-kadang tidak diurus. Dalam jumlah besar, kan perlu perawatan dan tau sediri keadaan air seperti apa di daerah selatan”. (Wawancara, tgl 18 April 2014). Analisis hasil wawancara kepada Lalu Amanah bahwa masyarakat berharap pemerintah membuat suatu program yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Di samping itu, masyarakat memerlukan antusiasme dari steakholer yang lain untuk turut serta dalam program pelestarian secara berkelanjutan. Pegembangan pariwisata berkelanjutan membutuhkan paritisipasi informasi dari semua pihak terkait agar prosesnya berkesinambungan dan memerlukan pemantauan konstan terhadap dampak yang ditimbulkan (UNEP and UNWTO, 2005, p.11-12). Dengan demikian tingkat
79
kepuasan wisata akan terjamin dan menjadikan wisatawan sebagai media promosi terhadap kenyamanan yang didapatkan.
6.4
Ramah (Keramah tamahan) Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan
melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat (Pitana dan Gayatri, 2005:109). Hal tersebut menimbulkan hubungan antara masyarakat lokal dan wisatawan terjadi proses komoditisasi dan komersialisasi keramahtamahan masyarakat lokal secar evolutif (Greenwood, 1977). Akan tetapi, pada hakikatnya ramah tamah yaitu sikap dan perilaku masyarakat yang ramah dan sopan dalam berkomunikasi, memberikan pelayanan serta ringan tangan untuk membantu tanpa pamrih. Ramah tamah merupakan watak dan budaya bangsa Indonesia pada umumnya, selalu menghormati tamunya dan dapat menjadi tuan rumah yang baik. Sikap ramah tamah ini merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi destinasi wisata. Faktanya, dalam hubungan evolusi sikap masyarakat terhadap wisatawan, terjadi perubahan sikap yang mula-mula positif menjadi negatif seiring dengan pertambahan jumlah wisatawan (Pitana, 2005). Perkembangan pariwisata yang diiringi meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan menyebabkan terjadinya sikap ramah mulai memudar sehingga membuat wisatawan merasa tidak nyaman dan aman. Hasil yang ditemukan dari observasi lapangan yang dilakukan memberikan kejelasan bahwa masyarakat telah mengalami perubahan pola fikir sehingga secara tidak
80
langsung dapat mengganggu kenyamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. “……iku (seraya menunjuk dua orang wisatawan asal Jerman) masih keceq-kecek. Aluh rayun iraqn “?????”, nyerang iraqn kelining-kelining melen wah”. (Observasi, 12 Oktober 2014). Pernyataan di atas dilontarkan kepada salah seorang temannya yang juga sebagai salah satu pedagang asongan di pantai Aan. Analisis pernyataan tersebut memberikan makna bahwa sikap masayarakat telah mulai berubah dengan memandang wisatawan sebagai subjek untuk mendapatkan keuntungan tanpa memikirkan keberlanjutan pariwisata seperti pada Gambar 6.5.
Gambar 6.5 Tampak Pedagang Asongan Menawarkan Barang Sumber: Peneliti, 2014 Perilaku masyarakat lokal tersebut ditinjau dari intensitas interaksi menyebabkan hilangnya nilai keramah-tamahan. Teori indeks iritasi dari Doxey menjelaskan bawah masyarakat pada konteks ini menerima wisatawan sebagai
81
sesuatu yang lumrah, dan hubungan antara masyarakat (host) dengan wisatawan (guest) didominasi oleh hubungan komersial atau disebut dengan istilah Apathy (Doxey, 1976). Dengan demikian, diperlukan pelatihan sadar wisata terutama bagi pedagang asongan sebagai pelaku pariwisata yang memiliki kontak langsung dengan wisatawan. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan dan menciptakan sikap ramah tamah dan tidak selalu berorientasi pada keuntungan materi. Perilaku ramah merupakan sifat mendasar yang harus diberikan kepada wisatawan yang kemudian dapat meningkatkan loyalitas wisatawan untuk datang kembali.
6.5
Kenangan Setiap daerah tujuan wisata mempunyai image tertentu, yaitu mental maps
seseorang terhadap suatu destinasi yang mengandung keyakinan, kesan, dan persepsi. Gambaran yang terbentuk di pasar merupakan kombinasi antara berbagai faktor yang ada pada destinasi yang bersangkutan seperti cuaca, pemandangan alam, keamanan, kesehatan dan situasi, keramahtamahan dan lain-lain (Pitana, 2005;64). Kenangan merupakan unsur sapta pesona yang dijadikan sebagai penentu terhadap keberlangsungan suatu objek wisata. Artinya, evaluasi atau persepsi dari enam unsur sebelumnya yang menjadi gambaran kondisi objek wisata selama wisatawan tersebut tinggal. Jika ditinjau kembali terhadap pembahasan pada bab sebelumnya tentang faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan amanan, maka dapat digambarkan bahwa kenangan yang didapat wisatawan mengenai objek wisata
82
di Kuta Lombok menjadi kurang baik dan dapat menyebabkan turunnya tingkat kunjungan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Keterlibatan masyarakat lokal secara langsung dengan wisatawan sebagai dampak perkembangan pariwisata Kuta Lombok menyebabkan dua katagori kenangan yang didapat, yaitu kenangan yang bersifat positif dan negatif. Wawancara dengan Lalu Rian yang berprofesi sebagai freeland driver sering mendapatkan keluahan dari tamu ketika check-out ke bandara, salah satunya seperti pada penggalan hasil wawancara berikut. “…..pernah dulu saya antar tamu ke bandara, kemudian saya bertanya bagaimana Lombok menurut dia. Ternyata jawabannya sangat mengejutkan saya, dia bilang orang Lombok tidak ramah (kesan memaksa) apalagi di Lembar. Kalau masalah pemandangan alam, katanya Lombok masih alami dan tenang. dia tamu dari Amerika”. (Wawancara, tgl 18 April 2014).
Dilihat makna dari hasil wawancara yang dilakukan tersebut, persepsi yang diberikan oleh wisatawan asal Amerika tersebut mendapatkan pengalaman yang kurang berkenan dari masyarakat lokal. Sebaliknya, wisatawan tersebut memandang bahwa faktor keindahan alam yang dimiliki merupakan potensi yang besar untuk menarik minat wisatawan. Analisis isi pada pernyataan di atas terdapat dua jenis respon yang diberikan selama berada di Lombok secara umum. Pernyataan tentang sikap masyarakat lokal mendapatkan respon negatif (kenangan yang bersifat negatif). Sedangkan aspek potensi wisata alam, mendapatkan antusiasme yang tinggi dan tamu tersebut memiliki keinginan untuk datang kembali (kenangan yang bersifat positif) bagi keberlangsungan pariwisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok.
83
Pernyataan yang diberikan merupakan (Robins, 1999;124) persepsi dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan-kesan indra mereka untuk memberikan makna terhadap lingkunanannya. Respon positif terhadap keindahan alam di kawasan pariwisata Kuta Lombok merupakan kenangan yang mampu memberikan kenyamanan psikologis sehingga wisatawan dapat mengabadikannya sebagai kenangan yang indah. Potensi alam tersebut merupakan aset yang sangat berharga bagi Kabupaten Lombok Tengah khususnya mayarakat lokal yang berada di desa Kuta Lombok, keindahan alam seperti tampak pada Gambar 6.6. menjadi pengalaman positif yang dapat membuat wiatawan untuk kembali dan berpotensi menjaring wisatawan potensial yang berimplikasi positif pada publisitas mulut ke mulut (Machado, et al., 2009:86).
Gambar 6.6 Kenangan yang Bersifat Positif Sumber: Dokumen Peneliti, 2013 Gambar 6.6 adalah potensi wisata alam yang menjadi potensi utama pariwisata di Kuta Lombok. Setiap orang (masyarakat) berkewajiban menjaga dan
84
melestarikan daya tarik wisata dan membantu terciptanya suasana aman, tertib, bersih dan berperilaku santun dan menjaga kelestarian lingkungan destinasi wisata (UndangUndang Kepariwisataan RI No.10 tahun 2009). Komponen tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok sehingga tercipta kesan yang baik sehingga membuat wisatawan datang kembali. Tampak pada Gambar 6.6 potensi wisata pantai dengan pasir putih yang serupa dengan biji merica, bentang pantai dengan pasir putih dan keunikan pemandangan matahari terbenam dari atas bukit di Pantai Aan. Disisi lain, yang menjadi sorotan adalah perilaku pelaku pariwisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok yang terkesan agresif dan hanya mementingkan keuntungan sepihak, hal tersebut tampak pada Gambar 6.7.
Gambar 6.7 Kenangan yang Bersifat Negatif Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Tampak pada gambar 6.7 sikap pedagang asongan yang menjajakan barangnya dan ada yang sedang menunggu jemputan untuk pulang. Hal yang paling unik disini adalah bahwa pedagang asongan tidak kalah dengan wisatawan yang
85
datang. Mereka dijemput menggunakan mobil (sejenis inova), lebih lanjut hasil penelitian yang dilakukan mendapatkan bahwa jenis barang yang dijual seperti kain dan baju kaos mereka ambil dengan modal (budget) yang sangat rendah. Jenis baranya yang ditawarakan seperti tampak pada Gambar 6.7 yaitu pasir putih yang dimasukkan kendalam botol mineral dan karang yang dapat diambil di pantai. Seperti petikan penuturan salah seorang pedagang asongan. “....mun model barang saq muqte dagang iku jeq mbait kun cakre, ajin muraq munte itung skitar due pulu telung dase paling mahel mun tangkong dait kereng, mun songket sesek jaq mahel. Kadang njauq laun laguq jarangn laku. Andente mauq bedagang maksimaln lime sejelo, wah tulak stenge modal. Ape lagi demen musim libur, munte rate-rateang jeq selame sebulan mauqte kurang lebihn sejute sejelo.” (Wawancara, tgl 13 Oktober 2013). Pernyataan di atas menjelaskan tentang barang daganga yang dijual diambil dari toko di Cakra. Harga pengambilan barang berupa baju dan kain jika dihitung antara dua puluh hingga tiga puluh ribu. Sedangkan kain tenun (kain sesek) sangat mahal, dan jarang dibawa karena alasan mahal. Pedagang tersebut menambahkan jika dapat menjual lima barang perhari, bisa dibilang setengah modal sudah kembali. Apalagi pada hari libur, jika dirata-ratakan hasil satu hari kurang lebih satu juta. Berdasarkan pernyataan tersebut jika di analisis dari sudut pandang ekonomi, tentu saja dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal. Analisis dalam pernyataan yang diberikan mengindikasikan prinsip ekonomi yang secara teoritis dampak pariwisata terhadap ekonomi masyarakat. Pada bagian ini terdapat dua kemungkinan yang terjadi ketika wisatawan kembali ke tempat asal. Pemberian
86
persepsi tersebut dapat berdampak bagi kelangsungan objek wisata tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut dibutuhkan pemahaman masyarakat terhadap unsur sapta pesona. Dengan demikian, Tefler (2000) menjelaskan bahwa sikap tersebut akan menimbulkan efek timbal balik, yang diartikan bahwa wisatawan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat lokal serta komunitas setempat mendapatkan dampak dari pelayanan dalam berbagai konteks secara berkelanjutan.
87
BAB VII BENTUK PARTISIPASI MASYARAKAT TERHADAP KENYAMANAN DAN KEAMANAN WISATAWAN
Masyarakat Kuta Lombok yang terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan dan mata pencaharian memiliki bentuk tersendiri untuk berpartisipasi terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di Kawasan Pariwisata Kuta Lombok. Masyarakat yang antusias mendukung perkembangan pariwisata Kuta harus turut serta dalam keberlangsungan aktivitas pariwisata. Dimana kunci keberhasilan pada suatu kawasan pariwisata sangat ditentukan dari peran aktif atau partisipasi masyarakat tersebut. Ryan (2005) menyatakan bahwa kunci dalam pengembangan pariwisata adalah masyarakat lokal. Interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan yang terjadi di destinasi menyebabkan adanya pertukaran sosial di antara keduanya (Moyle, et al., 2010). Pengembangan pariwisata berbasiskan masyarakat lokal berpotensi dapat memperbaiki kondisi hidup khususnya pada dampak positif ekonomi, dengan suatu prinsip dan manajemen partisipasi masyarakat harus diutamakan (Jamieson, 2001). Kenyamanan dan keamanan wisatawan merupakan faktor yang sangat penting dalam industri pariwisata sebagiamana yang diterangkan Maslow dalam teori Hirarki Kebutuhan Manusia yaitu kebutuhan akan rasa aman yang mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional (Chapman 2001: 4). Partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di
88
Kawasan Pariwisata Kuta Lombok berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diuraikan sebagai berikut.
7.1
Bentuk Partisipasi Masyarakat Bentuk partisipasi masyarakat secara tidak langsung untuk menjaga
kenyamanan dan keamanan di kawasan pariwisata Kuta Lombok berupa pendelegasian atas partisipasi masyarakat melalui organisasi yang dibentuk. 7.1.1 Satuan Pengamanan Pantai (Satpam Pantai) Organisasi kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk perwakilan dari suatu masyarakat dalam menyampaikan harapan masyarakat. Permasalahan kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok merupakan hal vital untuk dikaji. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, di kawasan pariwisata Kuta Lombok telah dibentuk kelompok Pengamanan Pariwisata (Satpam Pantai) yang berkewajiban untuk menjaga ketertiban aktivitas pariwisata. “Demi keamanan di Pantai Kuta, kami telah membentuk kelompok pengamanan dan memberikan kewenangan kepada mereka untuk mengatur ketertiban pantai”. (Wawancara, H. Lalu Moh. Putria, S.Pd.,M.Pd., tgl 11 Maret 2014)”. Hal tersebut disampaikan Kepala disbudpar kabupaten Lombok Tengah yang kerap disapa Mamiq Putria dari hasil wawancara di Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah dan menegaskan bahwa tanggung jawab yang diberikan kepada Satpam Pantai berupa wewenang untuk mengatur ketertiban pada kawasan pariwisata. Tenaga kerja atau anggota direkrut dari masyarakat setempat yang
89
diterangkan dengan pemberian SK pengangkatan sebagai PNS daerah sebanyak 32 orang dan enam puluh satu orang berstatus non-PNS atau sukarela. Hasil wawancara dengan anggota satpam pantai (L. Amanan) di pos penjagaan Pantai Kuta memberikan keterangan tentang tugas dan tanggung jawab terhadap keamanan dan kenyamanan wisatawan sebagai berikut. “Tugaste jeq jagaq ketertiban kun Kute sengker Aan, araq posth leq setiepn tame pante, anuq ngawihn karcis tame. Tebagiqth jari 2 (due) sif, kelemaq dait kembian. Saq kelemaq jeq eleq jam 7 (pituq) sampe jam 1 (sekeq), trus saq kembian jeq jam sekeq sampen sepi wisatawan”. (Wawancara, tgl 2 April 2014).
Gambar 7.1 Wawancara dengan Anggota Satpam Pantai Kuta Lombok Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Berdasarkan keterangan yang diberikan bahwa pembagian jadwal kerja ke dalam dua shif yaitu pagi dan sore, dengan jam kerja pagi dari jam 7 (tujuh) sampai jam 13, kemudian dilanjutkan oleh petugas berikutnya sampai wisatawan sepi. Tugas
90
dan tanggung jawab satpam pantai tidak hanya menjaga ketertiban, tetapi juga menjaga kebersihan areal pantai sebagaimana yang terlihat pada Gambar 7.2.
Gambar 7.2 Anggota Satpam Pantai sedang Membersihkan Sampah di Sekitar Pantai Kuta Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 “Tugas saq lain sambilante bejage jeq mersiq-mersiq kun pante, laun girangn saq pade teteh doron macem taoqn. Pengereq saq bdagangdagang iyaq, semeleq-meleqn. Doro leman mare endah, onosn saq pade madaq muq tejauk taek siq umbak”. (Wawancara, tgl 2 April 2014).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, tugas dan tanggungjawab tambahan lain dari satpam pantai adalah menjaga kebersihan dan menertibkan pedangan asongan serta pedagang yang membuang sampah sembarangan pada tiga pantai di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Dari segi keamanan dan kenyamanan di areal pantai, masih terlihat tempat parkir wisatawan yang tidak teratur.
91
7.1.2 Organisasi Masyarakat Organisasi kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat yang dibentuk secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila (Undang-Undang RI No. 17 Tahun 2013) tentang Organisasi Kemasyarakatan. Hasil survey yang dilakukan tentang pembentukan organisasi masyarakat oleh masyarakat di Desa Kuta Lombok khususnya yang berkaitan dengan aspek keamanan dan kenyamanan adalah sebagai berikut (Profil Desa Kuta Tahun 20122013). 1.
Jumlah anggota hansip
: 70 orang
2.
Jumlah hansip terlatih
: 41 orang
3.
Alat pemadam kebakaran
:-
4.
Pam swakarsa
: 5 kelompok
a.
Jejak Kumpul
b.
Bumi Gora
c.
Amphibie
d.
BMW (Bina Masyarakat Wisata)
e.
Putra Angkasa
Organisasi masyarakat yang memiliki hubungan dengan aktivitas pariwisata secara langsung di kawasan pariwisata Kuta Lombok adalah Bina Masyarakat Wisata
92
(BMW). Bina Masyarakat Wisata pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat untuk memberikan pemahaman tentang pariwisata dan untuk mempersiapkan mental masyarakat terhadap perkembangan pariwisata di Kuta Lombok. Sebagaimana yang dinyatakan oleh pelopor ormas tersebut (Lalu Sungkul) Kabag Pengembangan di Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah melalui wawancara yang dilakukan di Praya, bahwa: “…….pembentukan Lembaga Bina Masyarakat Wisata atau BMW niki dilatarbelakangi dari perkembangan pariwisata dan supaya masyarakat di sekitarnya dapat mengerti dan ikut di kegiatan pariwisata”. (Wawancara, tgl 16 Februari 2014). Disela-sela perbincangan, beliau juga mengatakan tentang tingkat keamanan dan kenyamanan wisatawan merupakan salah satu yang melatar-belakangi terbentuknya lembaga BMW tersebut. Pemahaman masyarakat tentang pariwisata khususnya di Kuta Lombok masih kurang sehingga sebagian masyarakat berperilaku sensitif terhadap wisatawan. Teori Irrindex dari Doxey (dalam Yasong Wang, 2006) memberikan pengertian tentang sikap tuan rumah terhadap hal baru yaitu, euphoria, apathy, annoyance, antagonism. Salah satu anggota masyarakat Lalu Arian Wiryadi yang berprofesi sebagai freelands driver di bagian timur kawasan pariwisata Kuta Lombok mengakui bahwa semenjak didirikannya organisasi BMW, aktivitas wisata terasa aman dan nyaman. “Eleqn saq araq BMW iku, baunte beridap aman munte jeq gaweq ape-ape ndeqte was-was, dait saq jari anggoten batur nini doang. Ketika ditanya mengenai golongan anggota: baunte kene batur saq tengal-tengal iku ye
93
terekrut jari anggote. Mun saq meriku edaq jarin yaq minaq ribut, anuq ketue geng ye milu kun BMW”. (Dokumen Wawancara, tgl 17 April 2014).
Keterangan yang diberikan Rian berdasarkan hasil wawancara di atas menjelaskan bahwa sejak terbentuknya organisasi BMW, masyarakat merasa aman dan tidak merasa was-was jika melakukan sesuatu, dan yang menjadi anggota adalah warga setempat. Serta warga yang dijadikan adalah anggota masyarakat yang bisa dikatakan orang dulunya sering membuat keributan. Pembentukan Pam Swakarsa seperti Jejak Kumpul, Bumi Gora, Amphibie, dan Putra Angkasa merupakan organisasi kemasyarakatan yang berperan dalam menjaga perangkat kemasyarakatan. Desa Kuta merupakan salah satu desa yang masyarakatnya menjadi anggota dari organisasi kemasyarakatan tersebut, sehingga masyarakat memiliki kewajiban dalam berperan serta terhadap keamanan dan kenyaman. Trevino (2001) menjelaskan yang paling penting dalam sistem sosial bahwa sistem sosial harus terstruktur sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lain. Parson dalam teori fungisonalnya memandang masyarakat sebagai suatu sistem dimana sistem tersebut berjalan sesuai fungsi. kemudian Parson (dalam Sarif, 2009) menjelaskan empat fungsi yang harus dimiliki dalam sistem sosial sebagaimana sistem sosial masyarakat yang berada di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Yaitu, adaptasi masyarakat terhadap gejala luar yang dapat mengancam kenyamanan dan keamanan di Desa Kuta. Akan tetapi, pada ruang lingkup pariwisata organisasi masyarakat tersebut tidak terlalu berpengaruh karena ormas tersebut hanya pada intern masyarakat. Lalu
94
Amanah Gare sebagai tokoh pemuda menjelaskan tentang keterlibatan masyarakat dalam ormas tersebut: “Loeqn masyarakat Kuta saq milu kun ormas, maraq ntan amphibie, kumpul jejak, dait saq lain ye bertujuan jari jagaq keamanan masyarakat. Laguq araq bae ntan batur, laun skedarn pade jagaq anggoten mesaq doank. Contohn, lamun kehilangan anggote saq lain, ndeqn mele belen, ye pade bele doe bande mesaq doang” (Dokumen Wawancara, tgl 17 April 2014). Dari pernyataan yang diberikan bahwa setiap ormas memiliki anggota di dalam masyarakat. Jika dilihat dari pembagiannya, kelompok masyarakat cenderung menjadi anggota jejak kumpul yang basisnya berada di Kecamatan Pujut. Kemudian diikuti kedalam ormas Bumi Gora. Ormas-ormas tersebut cenderung lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kepentingan masyarakat. Jika dilihat pada Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian di sebutkan bahwa ketertiban masyarkatat merupakan kondisi keamanan yang dinamis dengan ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran yang dapat meresahkan masyarakat. “……kalo kita lihat dari fungsi yang sebenarnya dari pam swakaras seperti jejak kumpul dan yang lainnya, iya untuk menjaga keamanan dan membantu masyarakat. Akan tetapi, kita lihat disini masyarkat kadangkadang tidak mau membantu anggota yang lain ketika mengalami kehilangan karena mereka beralasan itu dari kelompok lain, ungkap Sudiwarta”. (Wawancara, tgl 10 Maret 2014).
95
Faktanya, dalam intern masyarakat di desa Kuta masih terpaku pada kepentingan kelompok. Kondisi masyarakat yang dianggap telah berhasil adalah dapat menghindari perpecahan antar anggota masyarakat, ketidak-pastian dari anggota masyarakat, peperangan sosial (konflik), dan pemerasan masyarkat terhadap anggota masyarakat yang lain (Zeitlin, 1995). Analisis perilaku tersebut dapat dimaknai bahwa keamanan dan kenyamanan pada intern masyarakat masih belum berfungsi dengan maksimal.
7.2
Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat yang efektif membuat masyarakat menjadi
berdaya, yaitu masyarakat menjadi lebih dinamis, lebih adaptif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya, lebih mampu akses teknologi tepat guna, luas wawasan, kosmopolit, dan empati terhadap pihak luar (Sumardjo, 2011). Perubahan dari sistem sosial tradisional tersebut terjadi melalui proses penyadaran dan partisipatif (Sumardjo, 2010). Pemberdayaan masyarakat sebagaimana yang diterangkan pada teori heirarki kebutuhan dari Abraham Maslow yaitu (Chapman, 2001) kebutuhan akan aktualisasi diri yang mencakup hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. Upaya partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat yang pada prinsipnya bukan proses langsung jadi (singkat) namun perlu melalui tiga tahapan, yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pandayaan (Dubois dan Miley, 1997:211). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, masyarakat yang
96
berada di Kawasan Pariwisata diberdayakan dalam kegiatan yang berkaitan dengan Even Tahunan “Bau Nyale” untuk menjaga keamanan dan kenyamanan wisatawan, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 7.3 berikut.
Gambar 7.3 Pemberdayaan Masyarakat terhadap Keamanan dan Kenyamanan pada Festival Putri Mandalika di Pantai Seger Sumber: Dokumen Peneliti, 2014. Pemberdayaan masyarakat pada Festival Putri Mandalika dalam menjaga keamanan dan kenyamanan wisatawan dimaknai sebagai pencerminkan hak-hak demokrasi individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri (Muslim, 2010:97). Keterlibatan masyarakat pada festival tersebut memberikan gambaran pemberdayaan terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan. Hasil wawancara di lapangan dengan Rede yang kerap disapa Bapak Nep mengindikasikan bahwa masyarakat kurang dilibatkan dalam kegiatan tersebut. “Soal pembagian sai saq urus parkir kun acare Bau Nyale iku jeq, wah tebait siq BMW. Dait batur nini endah endeqn mele, ndeqn sepadan dait mauqn. Sengaqn hasil parkir iku endeq jelas lain pade bekeqn”. (Wawancara, tgl 2 April 2014).
97
Pemberdayaan masyarakat menurut Bapak Nep tidak maksimal, karena masyarakat merasa hanya dimanfaatkan untuk keberlangsungan program tersebut. Ditambahkan pula, alasan bahwa masyarakat merasa tidak mendapatkan keuntungan dari keikutsertaannya dalam hal penjagaan parkir karena hasil parkir yang tidak jelas. Hal tersebut yang menyebabkan rendahnya motivasi masyarakat untuk ikut serta dalam pembagian lahan parkir. Tipologi paritisipasi masyarakat seperti ini diterangkan Jules Pretty (dalam Mowforht & Munt, 2000; 245) sebagai partisipasi fungsional. Artinya, partisipasi tersebut diawasi oleh kelompok luar sebagai sarana untuk mencapai tujuan, terutama untuk mengurangi pembiayaan. Masyarakat dapat berpartisipasi dengan cara membentuk kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan proyek. Keterlibatan masyarakat dalam partisipasi ini dapat secara aktif dan terlibat dalam pengambilan keputusan, namun cenderung setelah keputusan utama dibuat oleh kelompok luar. Riyastiti (2010:132) menerangkan bahwa masyarakat setempat harus terlibat aktif dalam proses pembangunan, yang pada hakikatnya membangun dirinya sendiri. Di sisi lain, pemberdayaan masyarakat pada kampung nelayan menurut Abidin (pelaku pariwisata) anggota masyarakat memberikan keterangan bahwa masyarakat diberdayakan pada aktivitas pariwisata.
“Batur nelayan nini muqth kawihn jari atong tamu saq mele lalo surfing, hasiln lumayan peromboq pendapetan. Laun demen lalo atong tamu, taon mare sambil antih tamu ngkah beselancar”. (Wawancara, 18 April 2014).
98
Gambar 7.4 Aktivitas Nelayan sebelum Melaut Sumber: Dokumen Peneliti, 2014 Menurut Abidin yang berprofesi sebagai koordinator penyedia jasa perahu kepada wisatawan, bentuk pemberdayaan masyarakat nelayan adalah dengan mengantar tamu yang ingin berselancar. Fakta yang ditemukan dilapangan dari hasil penelitian yang dilakukan, masyarakat khususnya di kampung nelayan memiliki kapasitas pemberdayaan yang kurang terhadap aktivitas pariwisata. Perihal tersebut menurut teori pemberdayaan dari Dubois dan Miley (1997: 211) yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan masyarakat memerlukan tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Pada tahap pemberdayaan masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok, diperlukan kesadaran masyarakat khusunnya pada kampung nelayan untuk memahami bahwa aktivitas pariwisata yang belangsung dapat memberikan keuntungan yang lebih disamping mata pencaharian sehari-hari sebagai nelayan. Pemberdayaan masyarakat menurut Teori Pemberdayaan yang dikemukakan oleh
99
Dubois dan Miley (dalam Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2007; 117) adalah proses menyeluruh, proses aktif antara motivator, fasilitator, dan kelompok masyarakat yang perlu diberdayakan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, pemberian berbagai kemudahan, serta peluang untuk mencapai akses sistem sumber daya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan analisis teori Fungsional Strukural, dapat diketahui bahwa pada tahapan pemberdayaan diharapkan setiap lapisan masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok untuk mengetahui potensi yang dimiliki sehingga aktivitas pariwisata dapat berjalan dengan baik dan dapat menguntungkan masyarakat di kawasan pariwisata Kuta Lombok secara keseluruhan.
100
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN
Hasil dan anlisis data penelitian, pada bab ini akan diuraikan simpulan dan saran terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidakamanan wisatawan, tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata, serta partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. 8.1
Simpulan Berdasarkan permasalahan, hasil dan pembahasan tentang kajian kenyamanan
dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat tentang sadar wisata dengan tolok ukur unsur sapta pesona masih rendah. Ini membuktikan bahwa fungsi sosial masyarakat dalam menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan dan kenangan tidak berfungsi dengan baik secara sistem untuk mencapai tujuan pariwisata yang berdaya saing tinggi. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang sadar wisata menimbulkan beberapa faktor yang berimplikasi terhadap ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan wisatwan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Pertama, faktor lingkungan dari aspek pengelolaan parkir yang tidak teratur dan kebersihan lingkungan di sekitar kawasan pariwisata Kuta Lombok. Kedua, faktor kegiatan ekonomi yang dilihat dari aspek yang paling dirasakan wisatawan sebagai aspek ketidak-nyamanan adalah pedagang
101
asongan yang terlalu agresif serta penyedia jasa transportasi yang masih beorientasi pada keuntungan sepihak. Ketiga adalah faktor askses menuju objek wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok, yaitu dari aspek jalan yang memiliki kondisi yang masih rusak. Bentuk partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan berupa keikut-sertaan masyarakat pada beberapa organisasi masyarakat seperti Jejak Kumpul, Amphibie, Putra Angkasa, Bumi Gora, dan Bina Masyarakat Wisata serta Satpam Pantai. Organisasi masyarakat yang berkaitan langsung dengan pariwisata adalah satpam pantai yang bertanggungjawab menjaga kenyaman dan keamanan di pantai dan Bina Masyarakat Wisata yang bertujuan untuk membina, memberdayakan, serta memberikan pemahaman pariwisata kepada masyarakat. Kemudian, empat organisasi masyarakat yang lain belum berfungsi optimal terhadap kenyamanan dan keamanan. Hal tersebut menegaskan bahwa partisipasi masyarakat terhadap kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok masih rendah.
8.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh steakholder terkait dengan kajian kenyamanan dan keamanan wisatawan di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Pertama. berdasarkan faktor lingkungan yang memengaruhi ketidak-nyamanan dan ketidak-amanan wisatawan seperti pengelolaan parkir, diharapkan Dinas Budaya dan Pariwisata diharapkan berkoordinasi dengan dinas terkait guna untuk mengatur penglolaan areal parkir baik
102
berupa penataan sehingga wisatawan tidak parkir sembarangan.
Kemudian
diharapkan pihak Desa Kuta untuk berkoordinasi dengan dinas terkait untuk menyediakan dan menentukan tempat pembuangan akhir dan tempat sampah di Pantai Kuta, Seger, dan Aan untuk menjaga kebersihan lingkungan serta memberikan pemahaman kebersihan kepada masyarakat. Faktor kegiatan ekonomi baik berupa pedangan asongan dan penyedia jasa transportasi diperlukan pihak Desa Kuta dan Pemkab Lombok Tengah untuk terus mengawasi sikap agresif mereka sehingga tidak menggangu kenyamanan dan keamanan wisatawan. Sedangkan diharapkan kepada Pemkab Lombok Tengah untuk memperhatikan akses jalan pariwisata menuju objek wisata di kawasan pariwisata Kuta Lombok. Kedua, dalam menerapkan unsur sapta pesona pariwisata (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan) diperlukan pembentukan kelompok sadar wisata dari Desa Kuta, dan memberikan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, diharapkan masyarakat lokal untuk menumbuhkan kesadaran dari dalam diri (intern) masyarakat sebagai dasar pemahaman awal mengenai sapta pesona. Ketiga, berdasarkan hasil penelitian mengenai kajian kenyamanan dan keamanan wisatawan, hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pihak Desa Kuta adalah pembentukan kelompok sadar wisata dengan tidak memandang masyarakat dari anggota pam swakarsa manapun sehingga tercapai tujuan bersama yaitu menciptakan suasana nyaman dan aman bagi wisatawan. Pihak Desa Kuta diharapkan membentuk sebuah koperasi bersama terkait dengan penyediaan jasa pariwisata melalui
103
pengelolaan yang transparan dengan tujuan meratakan pendapatan masyarakat dari sektor pariwisata. Satpam pantai diharapkan ketegasan dalam menjalankan aturan demi keamanan dan ketertiban serta kenyamanan wisatawan. Diharapkan hasil temuan dalam penelitian ini dapat menjadi acuan kepada Pemkab Lombok Tengah dan pihak terkait dalam memperhatikan kenyamanan dan keamanan dalam pengelolaan kawasan pariwisata agar tercipta suasana yang nyaman dan aman demi keberlangsungan pariwisata Kuta Lombok.
104
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, B. 2001. Participatory Exclitions, Community Forestry, and Gender (An Analisys for South Asia and a Conceptual Framework). World Development, 29. Agustini, Fauzia., dkk. 2013. Tinjauan tentang Kebijakan Pemerintah Daerah terkait Pengembangan Kepariwisataan di Sumatera Utara (Laporan Akhir). Pemerintah Provinsi Sumatera Utara: Badan Penelitian dan Pengembangan. Anonim. 2011. Konseptual, Operasional, Dimensi dan Indikator Partisipasi Masyarakat. Diakses: 25 November 2013. Tersedia pada: http:// tesisdisertasi.blogspot.com/2011/04/definisi-konseptual-operasionaldimensi.html Anonim. 2011. Participatory Develompent Handout_Definition. Accessed: 18 November 2013. Available on: http://www.usadf.gov/Training/documents/ParticipatoryDevelopment_Hando ut.pdf Anonim. 2008. Karakteristik Wisatawan yang Berkunjung ke NTB. Mataram: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Anonim, 2005. Kamus Besar Bahasan Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka. Anonim. 2004. Rencana Zonasi Kawasan Pesisir dan Laut. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Anonim. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Arina, Apri. 2012. Sosiologi: Latar Belakang Teori Fungsional-Struktural. Diakses: 26 September 2013. Tersedia pada: http://rhyenaaprii.blogspot.com/2012/11/makalah-sosiologi.html
105
Arwata, Ngurah, A.A. 2004. Ajeg Bali sebuah Cita-Cita: Bali ibarat kapal oleng: Ketidakseimbangan Pemanfaatan Ruang. Denpasar: Bali Post. Aziz, Moh Rachmatul. 2013. Teknik Pengumpulan Data dalam Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Diakses: 26 September 2013. Tersedia pada: http://rachmatul4212.wordpress.com/2013/01/28/teknik-pengumpulan-datadalam-penelitian-kuantitatif-dan-kualitatif/ Bathia, Arjun Kumar. 2001. International Tourism Management. India: Sterling Publishers Pvt. Ltd. BPS Indoneisa. 2014. Karakteristik Penduduk (Konsep dan Definisi Karakteristik Penduduk). Diakses: 8 April 2014. Tersedia pada: http://www.datastatistikindonesia.com/ Cage, K. et al. 2002. Focus on Tourism – Grade 10. Ltd. (in co-operation with National Business Initiative, SATI, T&T Partnership). Cape Town: Maskew Miller Longman Publisher. Cahyo, Sandi Tri. 2011. Teori Struktural-Fungsional dan Teori Konflik. Diakses: 26 September 2013. Tersedia pada: http://sanditricahyo.blogdetik.com/2011/03/20/teori-struktural-fungsionaldan-teori-konflik/ Claridge, Tristan. 2013. Designing Sosial Capital Sensitive Participation Methodologies. Accessed: 18 November 2013. Available on: www.socialcapitalresearch.com. Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.UGM Press. Cooper, C., Shepherd, R. & Westlake, J. 1996. Educating the Educators in Tourism: A Manual of Tourism and Hospitality Education. World Tourism Organisation (WTO). University of Surrey.
106
DEAT (Departement of Environmental Affairs and Tourism). 1996. White Paper: The Development and Promotion of Tourism in South Africa. Pretoria: Goverment of South Africa. Depbudpar. 2006. Buku Saku Sadar Wisata dan Sapta Pesona (Pengertian, Penerapan, dan Manfaatnya). Jakarta: Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata. Emzir. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Faisal, Sanafiah. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi. Malang: YA3. Felrisa, Ranty. 2008. Persepsi Pekerja. Universitas Indonesia: FKM. Furqan, Alhilal., et al. 2010. Promoting Green Tourism for Future Sustainability – Theoritical and Empirical Researches in Urban Management No.8(17). Malaysia. Penang: University Sains: School of Housing, Building and Planning. Greenwood, D.J. 1997. Culture by the Pound. Dalam Sosiologi Pariwisata: Persepsi Masyarakat terhadap Wisatawan (Pitana dan Gayatri). Yogyakarta: Andi. Hasibuan, Zainal A. 2007. Metodologi Penelitian pada Bidang Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (Konsep, Teknik, dan Aplikasi). Jakarta: Universitas Indonesia – Fakultas Ilmu Komputer. Holil, Sulaiman. 1980. Partisipasi Sosial dalam Usaha Kesejahteraan Sosial. Bandung. Inskeep, Edward. 1991. Tourism Planning: An integrated and sustainable development approach. New York: Van Nostrand Reinhold. Jumail, Mohamad. 2011. Pencitraan Kawasan Wisata Kuta Lombok Tengah. Universitas Udayana: Program Magister Kajian Pariwisata.
107
Kövári, István dan Zimányi, Krisztina. 2011. Safety and Security in the Age of Global Tourism (The changing role and conception of Safety and Security in Tourism). Budapest. Agroinform Publishing House. Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kurihara, Takeshi. 2010. Foreign Visitor’s Evaluation on Tourism Environment. Japan: University of Tsukuba, Journal of the Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 8. Lianto. 2013. Aktualisasi Teori Hierarki Kebutuhan Abraham H. Maslow bagi Peningkatan Kinerja Individu dalam Organisasi. Kalimantan: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Widya Darma. Machado, P.L., Carlos M. Santos., Manuela Sarmento. 2009. Madeira Island – Destination Image and Tourist Loyality. European Journal of Tourism Research. Vol.1 No.1, 70-90. Tersedia pada: www.http://ejtr.vumk.eu. Maslow, Abraham H. 1984. Motivasi dan Kepribadian: Teori Motivasi dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan Manusia (judul asli: Motivation and Personality). Diterjemahkan oleh Nurul Iman. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. Medlick, R. 1989. Product Functioning in Tourism. Berne: AIEST. Mikkelsen, Brita. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Miles, MB dan Huberman, AM. 1992. Qualitatif Data Analysis: A Sourcebook of New Methodes. Beverly Hills: SAGE. Moleong, LJ. 1989. Rosadakarya.
Metodologi
Penelitian
Kualitatif.
Bandung:
Remaja
Mthembu, Nompumelelo. 2009. Tourism Crime, Safety and Security in the Umhlathuze District Municipality, Kwazulu – Natal. Kwadlangezwa:
108
Universitas of Zululand – Faculty of Arts in Partial Fulfilment of the Requirements fot the Master’s in Recreation and Tourism at the Department of Recreation and Tourism. Muslim, Aziz. 2007. Pendekatan Partisipatif dalam Pemberdayaan Masyarakat (jurnal). Aplikasi llmu-ilmu Agama, Vol. VIII, No. 2. Nawawi, Hadari. 2007. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Sumatera Utara: USU – Fakultas Kesehatan Masyarakat. USU Digital Library. Diakses: 26 September 2013. Tersedia pada: library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-rozaini.pdf Noraini, dkk. 2011. Decentralization and Participatory Rural Development: A Literature Review. Malaysia: Technology University of Malaysia. Vol. 5 | Issue 4 | 2011 | 58-67 Othman, Norasmah. et. al. 2012. Tourism Activities and Its Impact on Environmental Sustainability in Coastal Areas. Selangor. Bangi: Faculty of Education, UKM. 2012 2nd International Conference on Economics, Trade and Development IPEDR vol.36 (2012) © (2012) IACSIT Press, SingaporePelling, M., 1998. Participation, Social Capital and bulnerability to urban Flooding in Guyana. Journal of International Development, 10. Pitana, I Gde., Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata (Aspek Sosiologis Wisatawan). Yogyakarta: Andi. Pizam, Abraham and Mansfeld, Yoel. 2005. Toward a Theory of Tourism Security (Tourism, Security and Safety: From Theory to Practice). Resmayasari, Ira. 2011. What is the Perception of French Tourist about “The Island of Paradise?”. Udayana University – Universite Angers: Indonesia – France Double Degree Program. Master Program of Tourism Studies.
109
Riyastiti, Ni Luh Putu. 2010. Partisipasi Masyarakat dalam Festival Gajah Mada sebagai Implementasi Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kota Denpasar (tesis). Denpasar. Universtas Udayana; Kajian Pariwisata. Saripuddin. 2009. Sosiologi Kritis: Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons. Diakses: 23 November 2013. Tesedia pada: http://saripuddin.wordpress.com/fungsionalisme-struktural-talcott-parsons/ Sarsiti dan Taufiq, Muhammad. 2012. Penerapan Perlindungan Hukum terhadap Wisatawan yang Mengalami Kerugian di Obyek Wisata: Studi di Kabupaten Purbalingga. Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto. Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 1 Januari 2012. Sarwono, Sarlito Wirawan. 1991. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang (Hal. 89). Setiawan, Kadek. 2012. Pendahuluan Laporan Kenyamanan (artikel). Diakses tanggal: 21 Januari 2014. Tersedia pada: http://kadeksetiawan.blogspot.com/2012/09/laporan-pendahuluankenyamanan.html Siagian, Sondang P. 2008. Managemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara. Smith. V. (1977). Host and Guest (The Anthropology of Tourism. Philadelphia: University of Pennsylvania Press Sudrajat, Akhmad. 2008. Teori Motivasi (Pendidikan). Diakses: 05 Desember 2013. Tersedia pada: akhmadsurdajat.wordpress.com/2008/02/06/teori-teorimotivasi/ Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta. Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta
110
Sumardjo, 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat dan Pengelolaan Konflik Sosial pada Perkebunan Kelapa Sawit di Propinsi Riau (makalah). Riau: Semiloka Pengelolaan Terpadu Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Propinsi Riau. Sumardjo. 2010. Revitalisasi Peran Penyuluh Sosial dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (makalah). Jakarta: Konggres I Penyuluh Sosial pembinaan pejabat fungsional penyuluh sosial. Supardan, H. Lalu. 2012. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Lombok Tengah (2012) – Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP). Praya: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Talbot dan Jakeman. 2009. At Suryana, Cahya. 2013. Keamanan Nasional, Polisi, dan Intelijen Keamanan (Intelkam): Literature Review. Akses: 26 September 2013. Tesedia pada: http://csuryana.wordpress.com/2013/04/15/keamanannasional-polisi-dan-intelijen-keamanan-intelkam-literature-review/ Teffler, E. 2000. The Hospitality of Hospitableness (Journal of Hospitality Management). Diakses: 12 Mei 2014. Tersdia pada: url:http://proquest.umi.com/pqdweb?did=239755351&sid=4&Fmt=2&clientI d=74186&RQT=309&VName=PQD The Mountain Institute. 2000. Community Based Tourism for Conservation and Development: A Resource Kit (Regional Community Forestry Training Centre). Washington: 1828 L St, NW, Suite 725. Tikare S., Youssef D., Donnelly-Roark., dan Shah P. (2001). Organising Participatory Processes in the PRSP. Trevi o, A. Javier. 2001. His Theory and Legacy in Contemporary Sociology. America: Rowman and Littlefield Publishers. Tunggal, Hadi Setia. 2009. Undang-Undang Kepariwisataan (Undang-undang R.I. No. 10/2009). Jakarta: Harvarindo.
111
UNEP and UNWTO. 2005. Making Tourism More Sustainable - A Guide for Policy Makers, p.11-12. UNWTO. 1994. United Nations and WTO (Recommendation on Tourism Statistics) Series M No.83. New York: Department for Economic and Social Information and Policy Analysis Statistical Division and World Tourism Organization. Wang, Yasong. 2006. Residents’ Attitudes Toward Tourism Development: A Case Study of Washington, NC. The Pennsylvania State University: Department of Park, Recreation, and Tourism Management. Widhy, Willy. 2010. Objek dan Metode Penelitian. Diakses: 27 September 2013. Tersedia pada: http://willyzwidhytabatabai.wordpress.com/2010/03/26/ Widodo, Seti dan Indarto. 2010. Pengertian Keamanan Fisik (Biologic Safety). Akses: 25 September 2013. Tersedia pada: http://www.totalsecurity.co.id/news/read/9-pengertian-keamanan-fisikbiologic-safety.htm. www.totalsecurity.co.id Wrihatnolo, Randy R. dan Dwidjowojoto, Riant Nugroho. 2007. Manajemen Pemberdayaan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Zeitlin, Irving M. 1995. Rethinking Sociology - Memahami Kembali Sosiologi: Kritik terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gajah Mada Universty Press. Diakses: 26 September 2013. Tersedia pada: http://www.perpustakaanstftwidyasasana.org/index.php?p=show_detail&id=7 045