BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas bersastra di Yogyakarta kerap kali melahirkan nama-nama besar yang kemudian menjadi tonggak penting bagi perkembangan sastra Indonesia, misalnya W.S. Rendra, Subagio Sastrowardoyo dan Umbu Landu Paranggi. Ashadi Siregar (2010) menyebut Yogyakarta dan Malioboro sebagai periuk yang “menggodok” sejumlah orang muda pada era 60-an. Pada awal abad ke-21, salah satu yang mencolok di Arena Sastra Yogyakarta ialah merebaknya para penulis muda berlatar belakang Madura. Hal ini bisa diketahui dari pergulatan para penulis muda Madura—melalui karyakarya mereka yang rutin terbit di berbagai media massa (terutama di koran Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dan Minggu Pagi), termuat di antologi-antologi bersama, dibacakan di acara-acara perayaan sastra, terseleksi lewat festivalfestival perlombaan sastra, dan dibahas dalam diskusi-diskusi sastra di Yogyakarta. Uniknya, fenomena kemunculan (karya) para penulis muda Madura tersebut tidak dibarengi dengan tawaran estetika yang “segar”. Bahkan, karyakarya yang mereka hasilkan cenderung homogen. Dengan memakai estetika yang serupa, mereka mengusung tema-tema lokalitas dan religiositas, atau (kalau tidak disebut tema) setidaknya karya-karya mereka mengandung idiom-idiom yang lekat dengan budaya Madura dan disposisi mereka sebagai santri.
1
Sebelum memasuki Arena Sastra Yogyakarta, para pemuda Madura tersebut umumnya menempuh pendidikan pondok pesantren. Di pesantren (tradisional), sastra hanya menjadi semacam kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan pada malam-malam tertentu. Karena sastra tidak dianggap bagian dari pengajaran pondok pesantren, maka pengurus tidak mengizinkan santri keluar pondok untuk mengikuti kegiatan atau perlombaan sastra. Bahkan, di Madura sendiri, di mata masyarakat awam, citra seorang sastrawan tidak jauh beda dengan pemain gambus yang fungsinya menghibur semata. Sastrawan hanya akan dipandang “tinggi” jika sekaligus merangkap sebagai kiai. Dengan demikian, sastra kurang mendapat apresiasi dari pondok pesantren dan masyarakat Madura. Lantas, mengapa justru muncul banyak penulis muda dari sana? Ketika di Yogyakarta, keterampilan bersastra para penulis muda Madura cenderung lebih banyak diperoleh dari luar institusi, yakni kombinasi antara proses individual dan komunitas. Komunitas yang banyak dihuni para penulis muda Madura di Yogyakarta misalnya komunitas Sastra Kutub dan komunitas Masyarakat Bawah Pohon. Mereka cukup rutin menghadiri diskusi-diskusi di berbagai kantong sastra di Yogyakarta. Kegiatan tersebut, selain menambah modal kultural mereka berupa pengetahuan sastra, juga memungkinkan peningkatan modal sosial berupa relasi dengan sesama penulis muda, dengan penulis senior, atau bahkan dengan kritikus, penerbit, hingga “sponsor” sastra. Kemunculan para penulis muda Madura, terutama kemunculan mereka secara berkelompok (misalnya melalui antologi-antologi), sering kali diiringi oleh kemunculan nama-nama penulis senior yang memiliki posisi strategis di arena
2
sastra seperti; Iman Budhi Santosa, D. Zawawi Imron, Abdul Hadi W.M., Jamal D. Rahman, dan M. Faizi. Empat orang yang disebutkan terakhir—merupakan penulis yang juga berasal dari Madura. Jamal, misalnya, ia memiliki posisi strategis di Arena Sastra Nasional sebagai salah satu redaktur majalah sastra Horison dan Jurnal Sajak. Di majalah sastra Horison, ia menggawangi rubrik “Kaki Langit” yang khusus ditujukan untuk para pelajar, yang kemudian banyak diisi oleh nama-nama remaja pesantren asal Madura. Pada tahun 2014, dalam agenda acara Festival Kesenian Yogyakarta #26 yang bertajuk “Puisi di Jantung Tamansari”, justru yang paling banyak muncul adalah penulis muda asal Madura, bukan penulis muda dari Yogyakarta atau daerah lain. Di sana, dari lima belas penyair muda, tampil empat nama penulis muda Madura, yakni; Kekal Hamdani, Raedu Basha, Shohifur Ridho Ilahi, dan Badrul Munir Chair. Melalui festival tersebut, kemudian terbit buku antologi puisi Puisi di Jantung Tamansari yang diseleksi oleh Gunawan Maryanto. Baru-baru ini, pada awal tahun 2016, terbit himpunan puisi 41 penyair muda Madura (dari 131 pengirim) yang berjudul Ketam Ladam Rumah Ingatan. Antologi puisi tersebut dikuratori oleh M. Faizi dan Syaf Anton Wr., sedangkan Jamal D. Rahman berposisi sebagai editor. Nama lain yang turut mendukung terbitnya antologi tersebut ialah Nana Ernawati (penyokong dana). Sebelumnya (2013), Nana juga membuat event perlombaan puisi “Ernawati Literary Foundation” di UGM—yang beberapa pemenang dan nominatornya diisi oleh nama-nama penulis muda Madura.
3
Perjumpaan berbagai pihak melalui perantara Horison (produk Taman Ismail Marzuki), Festival Kesenian Yogyakarta (program Taman Budaya Yogyakarta), dan Ernawati Literary Foundation (Reboeng) memungkinkan terjadinya pertukaran-pertukaran di dalamnya; baik berupa pertukaran modal sosial, modal kultural, dan modal simbolis. Peran perantara-perantara tersebut serupa dengan peran salon-salon sastra di Prancis—yang bertindak sebagai perantara sekaligus pencari bakat, yang berusaha meyakinkan para penulis dengan kontrol mediasi imbalan simbolis.1 Kemudian yang menjadi persoalan ialah, bagaimana menempatkan konsep salon tersebut di Arena Sastra Indonesia, khususnya di Arena Sastra Yogyakarta. Pemaparan di atas menunjukkan adanya persoalan pergulatan para penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta terkait latar belakang sosial mereka, homogenitas karya-karya mereka, relasi mereka (dengan penulis lain, komunitas dan salon sastra), hingga kemunculan mereka yang serentak. Untuk menjelaskan dan memecahkan persoalan tersebut, maka perlu diteliti: bagaimana struktur Arena Sastra Yogyakarta tempat pergulatan mereka; bagaimana disposisi, strategi, dan pemerolehan legitimasi mereka; dan mengapa mereka serentak muncul di Arena Sastra Yogyakarta. Mengingat penelitian mengenai hal tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya dan fenomena tersebut terbilang masih segar, maka penelitian ini 1
Boudieu, dalam The Rules of Art (1996: 51) mengatakan bahwa: The salons are also, through the exchanges that take place there, genuine articulations between the fields: those who hold political power aim to impose their vision on artists and to appropriate for themselves the power of consecration and of legitimation which they hold, notably by means of what Sainte-Beuve calls the 'literary press’; for their part, the writers and artists, acting as solicitors. and intercessors, or even sometimes as true pressure groups, endeavour to assure for themselves a mediating control of the different material or symbolic rewards distributed by the state.
4
perlu dilakukan. Peneliti akan menggunakan Arena Produksi Kultural Bourdieu untuk menjawab permasalahan di atas. 1.2 Rumusan Masalah a. Bagaimana struktur Arena Sastra Yogyakarta? b. Bagaimana disposisi, strategi, dan pemerolehan legitimasi penulis muda Madura? c. Mengapa penulis muda Madura serentak muncul di Arena Sastra Yogyakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan teoritis penelitian ini adalah 1) untuk menguraikan struktur Arena Sastra Yogyakarta, 2) untuk mendeskripsikan asal-usul disposisi, strategi, dan pemerolehan legitimasi penulis muda Madura yang bergulat di Arena Sastra Yogyakarta, dan 3) untuk menemukan sebab merebaknya penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta. Tujuan praktis penelitian ini adalah 1) untuk menunjukkan produktivitas penulis muda Madura pada kurun waktu 2011—2015, dan 2) untuk menghadirkan konsep salon sastra dalam konteks sastra Indonesia. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pergulatan penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta, sejauh yang peneliti ketahui, belum pernah dilakukan sebelumnya. Mawaidi (2016) dalam penelitiannya “Identitas Budaya Madura dalam Cerpen Indonesia”, membahas tentang bagaimana budaya Madura dihadirkan penulis di dalam cerpen. Hasil dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa identitas budaya
5
Madura yang muncul pada empat cerpen yang diteliti ialah mengenai “harga diri laki-laki yang dibela”, “emansipasi terhadap perempuan” dan “spirit religiositas”. Berbeda dengan penelitian Mawaidi, dalam tesis ini Madura tidak sekadar dilihat sebagai identitas, melainkan sebagai ruang sosial yang turut membentuk persepsi, selera, dan kecenderungan-kecenderungan para penulis muda Madura yang terwujud dalam praktik mereka di arena sastra. Penelitian mengenai arena sastra yang berkaitan dengan Yogyakarta pernah dilakukan oleh Saeful Anwar, yakni “Persada Studi Klub: Disposisi dan Pecapaiannya dalam Arena Sastra Nasional”. Hasil penelitian tesis Saeful Anwar, menunjukkan bahwa 1) komunitas PSK menempati posisi terdominasi oleh kekuasaan Orde Baru sehingga PSK melakukan resistensi terhadap Orde Baru, 2) para personil PSK menjadi penurut estetika neo-romantisisme dan pengikut eksperimen-eksperimen persajakan untuk memperoleh predikat penulis, dan 3) pasca bubarnya PSK, sejumlah anggotanya kemudian memperoleh posisi terkonsekrasi, menciptakan posisi “pengasuh sastrawan” di arena sastra, dan mulai mengonversi modal-modal simbolis mereka menjadi modal ekonomi. Saeful Anwar menggunakan analisis Arena Produksi Kultural Bourdieu untuk mendedah PSK sebagai komunitas sastra, namun penelitian tersebut belum membedakan antara komunitas sastra dengan salon sastra. Karena itu, dalam penelitian “Pergulatan Penulis Muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta” ini, peneliti akan memunculkan konsep salon sastra tersebut guna mendeskripsikan mediasimediasi yang terjadi antara arena kekuasaan dengan arena sastra, termasuk bagaimana proses legitimasi di dalamnya.
6
Penelitian mengenai pergulatan penulis di Arena Sastra Yogyakarta pernah ditulis oleh Anggun Nirmala Safitri, yakni “Pergulatan Iman Budhi Santosa untuk Mencapai Posisi Terkonsentrasi dalam Arena Sastra Yogyakarta” yang terbit di Jurnal Poetika (Edisi Desember 2015). Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa posisi terkonsekrasi Iman di Arena Sastra Yogyakarta dicapai melalui strategi akumulasi modal-modal yang diperolehnya sejak kecil dan lintasan Iman dari satu posisi ke posisi lain di dalam Arena Sastra Yogyakarta. Penelitian Anggun belum menjelaskan bagaimana karakteristik Arena Sastra Yogyakarta yang menjadi ruang pergulatan Iman, padahal dalam konsep Bourdieu, pemahaman agen terhadap karakteristik (logika/aturan permainan) suatu arena menentukan bagaimana strategi-strategi yang dipilih agen, apakah akan mengikuti karakteristik arena atau justru menentangnya dengan menciptakan karakteristik yang baru. Oleh karena itu, melalui penelitian “Pergulatan Penulis Muda di Arena Sastra Yogyakarta” ini, peneliti akan berusaha menjelaskan bagaimana logika permainan Arena Sastra Yogyakarta, sehingga dapat melihat bagaimana strategi-strategi yang dilakukan oleh penulis muda Madura dalam pergulatannya di Arena Sastra Yogyakarta. 1.5 Kerangka Teoritik 1.5.1
Posisi dan Struktur Arena Sastra Arena, dalam konsep Bourdieu, bukan merupakan ruang kongkret,
melainkan suatu metafora bagi semesta sosial yang hanya eksis secara relasional, yakni terkait hubungan antarindividu dan hubungan antara individu dengan kelompok atau institusi-institusi dalam aktivitas tertentu. Secara terperinci,
7
Bourdieu (2012: 215) mendefinisikan arena sebagai sebuah semesta sosial yang sesungguhnya, tempat terjadinya akumulasi bentuk-bentuk modal tertentu (sesuai logika permainan tertentu) sekaligus tempat relasi-relasi kekuasaan berlangsung. Semesta ini adalah wadah bagi pergulatan yang sepenuhnya spesifik. Setiap jenis arena memiliki karakteristik atau logika permainannya masing-masing, demikian pula arena sastra. Bourdieu menggunakan konsep lama “Republic of Letters” untuk menyediakan gagasan awal arena sastra. Bourdieu mengutip pengumuman Bayle di dalam Dictionaire Historique et Critique mengenai hukum dasar Republic of Letters, “Liberty is what reigns in the Republic of Letters. This Republic is an extremely free state. In it the only empire is that of truth and reason; and under their auspices, war is naively waged against just about anybody. Friends must be on their guard against friends, fathers against children, fathers-in-law against sons-in-law: it is a century of iron […]. In it everyone is both sovereign and accountable to everyone else.” (Bayle dalam Bourdieu, 1996: 204). Dari hukum dasar Republic of Letters tersebut, Bourdieu (2012: 214— 215) kemudian mendefinisikan arena sastra sebagai semesta sosial independen yang punya logika permainan sendiri—terkait dengan keberfungsian agen-agen anggotanya, hubungan-hubungan kekuasaannya yang spesifik, yang mendominasi dan yang didominasi. Di dalam arena sastra, seorang agen dapat menjadi “majikan” sekaligus “bawahan”. Prinsip pemersatu sistem arena sastra, menurut Bourdieu (2012: 11), adalah adanya pergulatan dan pertentangan-pertentangan yang menyertainya. Di sini, karya sastra menjadi bagian dari ruang pengambilan posisi, sedangkan agenagen di dalamnya merupakan bagian dari ruang posisi-posisi. Relasi-relasi di
8
antara posisi-posisi yang ditempati agen-agen tersebut membentuk struktur arena sastra. Agen, sebagaimana konsep Bourdieu yang didefinisikan Webb (2002: ix), adalah individu-individu yang memiliki kemampuan untuk memahami dan mengontrol tindakan-tindakan mereka. Agen-agen yang terlibat di arena sastra tidak hanya penulis, melainkan semua individu yang memiliki relasi dan kepentingan di sana—termasuk kritikus, akademisi, penerbit, redaktur, editor, dan kurator. Memahami struktur arena juga berarti harus memahami relasi antara penulis dengan penulis lain dan relasi antara penulis dengan agen-agen/institusiinstitusi/salon-salon pengonsekrasi. Posisi arena sastra, sebagaimana arena produksi kultural lainnya, sepenuhnya berada di dalam arena kekuasaan. Baik arena sastra maupun arena kekuasaan, posisi keduanya berada di dalam ruang yang lebih luas, yakni ruang sosial—tempat relasi-relasi kelas terjalin (Bourdieu, 1996: 124). Arena kekuasaan didefinisikan Bourdieu (2010: 193—194) sebagai arena kekuatan-kekuatan potensial yang laten, memengaruhi setiap partikel yang berada di dalamnya, namun juga merupakan sebuah arena pertempuran yang dilihat sebagai sebuah permainan. Di dalam arena kekuasaan, yang menjadi taruhannya adalah kekuasaan itu sendiri, apakah akan diraih atau dirampas. Bourdieu (1996: 10) menyebutkan bahwa modal utama untuk memperoleh kesuksesan dalam arena kekuasaan adalah modal ekonomi dan modal kultural. Arena sastra, disebut Bourdieu (2012: 16), menempati posisi terdominasi dalam arena kekuasaan, namun juga berada di posisi dominan dalam relasi-relasi
9
kelas. Meskipun arena sastra berada dalam posisi terdominasi dalam arena kekuasaan yang salah satu prinsip legitimasinya berdasarkan kepemilikan modal ekonomi dan kultural, namun arena sastra tetap memiliki otonomi yang relatif kuat untuk menepis determinasi ekonomi. Arena sastra tidak serta-merta menerima pengaruh yang masuk dari luar, melainkan membiaskannya sesuai logika permainan arena sastra itu sendiri. Arena sastra disebut „menempati posisi terdominasi‟ karena minimnya modal ekonomi, sedangkan disebut „menempati posisi dominan‟ karena tingginya modal simbolis. Dengan demikian, arena sastra merupakan tempat bagi hierarki ganda, yakni 1) prinsip hierarki otonom (konsekrasi dari sesama produsen/penulis, tidak mengikuti hukum pasar atau hukum arena lain) dan 2) prinsip hierarki heteronom (tunduk terhadap hukum yang berlaku di arena kekuasaan dan arena ekonomi, kesuksesan diukur dengan angka penjualan atau pasar). Prinsip hierarki otonom berada di sub-arena produksi skala terbatas, sedangkan prinsip hierarki heteronom berada di sub-arena produksi skala besar (Bourdieu, 2012: 16—17). Arena produksi skala terbatas memiliki kriteria tersendiri dalam mengevaluasi produk-produknya untuk memperoleh pengakuan kultural dari sesama produsen, baik rekan maupun pesaing. Dengan kata lain, konsumen spesifik yang disasar produk-produk arena produksi skala terbatas adalah produsen lain atau sesama penulis di dalam arena ini. Bourdieu (2012: 150) mengatakan bahwa arena produksi skala terbatas hanya bisa menjadi sebuah sistem yang secara objektif berproduksi bagi produsen dengan menghindari publik yang bukan produsen, misalnya fraksi-fraksi non-intelektual kelas dominan. Segi
10
keotonoman
arena
ini
dapat
diketahui
dari
penyangkalan-penyangkalan
produsennnya terhadap faktor eksternal seperti penyangkalan terhadap motif memperoleh laba ekonomi, terhadap keagungan yang sementara, dan terhadap tuntutan pasar. Persediaan produk-produk di arena produksi kultural tidak mengikuti selera atau permintaan massal, melainkan (dalam jangka panjang) kelangkaannya justru menciptakan permintaan. Bourdieu (2012: 214—215) menegaskan bahwa arena sastra adalah dunia ekonomi yang terbalik. Ketidakberkepentingan (finansial) merupakan logika dasar arena sastra yang berkebalikan dengan hukum pertukaran ekonomi. Semakin kuat penolakan seorang penulis terhadap laba ekonomi (jangka pendek), semakin tinggi tingkat otonominya sebagai sastrawan. Arena sastra yang dimaksud Bourdieu di sini, lebih dekat dengan arena produksi skala terbatas daripada arena produksi skala besar. Berkebalikan dengan arena produksi skala terbatas, menurut Bourdieu (2012: 142), arena produksi skala besar tunduk terhadap hukum persaingan untuk menaklukkan pasar. Prinsip hierarki arena produksi skala besar—yang dominan— melibatkan modal ekonomi atau laba finansial. Konsumen yang dituju arena ini berbasis massa, sehingga persediaan produk-produknya mengikuti permintaan pasar. Karena selera massa selalu berubah seiring waktu, maka kesuksesan yang diperoleh di arena ini pun berjangka pendek atau bersifat sementara. Ketundukan terhadap determinasi eksternal (seperti massa, laba ekonomi dan kesuksesan sementara) menunjukkan lemahnya tingkat otonomi arena produksi skala besar.
11
Di arena sastra, rute otonomi sama kompleksnya dengan rute dominasi. Bourdieu (1996: 55) menyebut perubahan morfologis sebagai determinan atau prasyarat utama proses otonomisasi arena sastra dan transformasi korelatif mengenai relasi arena sastra dengan arena kekuasaan. Perubahan morfologis tersebut dilatarbelakangi oleh kesenjangan antara persediaan dan permintaan terkait posisi-posisi dominan di ruang sosial. Bourdieu (1996: 54) mengatakan bahwa terdapat kesenjangan antara banyaknya pemuda lulusan sastra dengan minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan (bisnis dan birokrasi) yang dapat menampung mereka. Akibatnya, banyak di antara pemuda-pemuda kelas menengah-bawah (yang memiliki bekal pengetahuan humaniora) kemudian terdorong untuk memasuki profesi-profesi sastra dan penerbitan yang (berkebalikan dengan profesi birokrasi) tidak mensyaratkan kualifikasi akademik apa pun. Seiring peningkatan jumlah lulusan sastra yang mengadu nasib ke arah profesi-profesi sastra, meningkat pula kemungkinan pekerjaan-pekerjaan baru serta posisi-posisi baru yang diciptakan di dunia sastra. Perubahan morfologis ini kemudian menghasilkan efek subordinasi sekaligus membebaskan bagi para penghuni posisi-posisi baru di dunia sastra. Di sinilah proses otonomisasi arena sastra terjadi. Di samping itu, perubahan morfologis juga turut membentuk habitus baru para agen di dalamnya. Hubungan-hubungan yang mengikat para penulis dengan kelas dominan, atau antara arena sastra dengan arena kekuasaan, sering kali memunculkan adanya ketergantungan langsung [direct dependence]. Bourdieu (2012: 258) menyebut bahwa ketergantungan tersebut dapat terjadi antara penulis dengan penyokong
12
dana, penulis dengan patronnya, penulis dengan lembaga seni, juga antara penulis dengan salon. Akibatnya, muncul semacam subordinasi struktural yang dialami tidak setara oleh setiap penulis, tergantung posisi mereka di arena. Subordinasi ini utamanya, menurut Bourdieu (1996: 49), dibangun oleh dua perantara, yakni kerja pasar (secara langsung melalui penjualan dan secara tidak langsung melalui posisi-posisi baru yang ditawarkan industri sastra) dan jaringan yang bertahan lama (melalui kesamaan gaya hidup dan nilai, juga melalui salon-salon sastra). Salon-salon sastra bukan sekadar ruang berkumpulnya para penulis atas nama semangat yang sama, bukan pula sekadar tempat pertemuan antara para penulis dengan agen-agen dari arena kekuasaan. Salon-salon sastra lebih merupakan artikulasi/koneksi sejati antara arena-arena. Mereka yang memegang kekuasaan politik bertujuan memaksakan visi mereka kepada para penulis, menyediakan kekuasaan bagi diri mereka sendiri melalui konsekrasi dan legitimasi yang mereka kendalikan. Mereka bertindak sebagai perantara sekaligus pencari bakat. Mereka berusaha meyakinkan para penulis dengan kontrol mediasi imbalan simbolis (Bourdieu, 1996: 51). Salon-salon sastra, disebut Bourdieu (1996: 53) turut menstrukturkan arena sastra di antara oposisi-oposisi fundamental. Di satu sisi, ada penulis mediocre dengan selera dan gaya yang terbentuk di dalam salon. Di sisi lain, ada para penulis elit yang agung. Hierarki halus dunia salon tersebut menjamin pertukaran-pertukaran antara mereka yang memegang kekuasaan dan para penulis yang paling kompromistis dan paling prestisius.
13
Bourdieu (1996: 205) menegaskan bahwa salon merupakan institusi mediator—antara arena kekuasaan, arena intelektual, dan arena sastra—yang paling penting. Efeknya, salon itu sendiri menciptakan sebuah arena kompetisi akumulasi modal sosial dan modal simbolis. Kuantitas dan kualitas habitus (politisi-politisi, para seniman, para penulis, kritikus, jurnalis, dan sebagainya) menjadi tolok ukur bagi daya tarik tiap-tiap tempat pertemuan ini dalam merekrut pesertanya dan menjadi tolok ukur kekuasaan yang mungkin dimainkan melaluinya. Kekuasaan tersebut dapat mencakup arena produksi kultural dan berbagai instansi konsekrasi seperti akademi-akademi. Sementara para tamu salon berperan sebagai lobi-lobi, untuk mengontrol pengeluaran beragam ganjaran penghargaan simbolis atau material. 1.5.2
Habitus dan Modal Agen di Arena Sastra Setiap agen harus mengetahui logika permainan atau hukum-hukum dasar
arena sastra jika mereka ingin memasuki atau terlibat di dalamnya. Dengan demikian, seorang agen perlu memiliki habitus yang sesuai dengan logika permainan arena sastra yang akan dimasukinya. Bourdieu (1992: 52—53) menjelaskan bahwa habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah. Habitus merupakan struktur yang distrukturkan—yang kemudian berfungsi sebagai struktur yang menstrukturkan, yakni sebagai prinsip yang menghasilkan serta mengatur praktik dan representasi tanpa mengandaikan adanya pengarahan sadar tujuan atau penguasaan terhadap aturan. Habitus secara kolektif dapat diselaraskan tanpa pengaturan seorang konduktor. Habitus, dalam
14
konsep Bourdieu ini, tetap memberikan peran kreatif agen untuk berimprovisasi, bebas, dan otonom. Bourdieu (1996: 257) mengatakan bahwa disposisi-disposisi para agen berperan penting dalam memediasi posisi dan pengambilan posisi mereka di dalam arena sastra. Sistem disposisi, yang merupakan habitus setiap penulis, sangat menentukan persepsi penulis terhadap karya sastra, penilaiannya, kecenderungan gaya yang digunakannya, juga strategi-strategi mereka—sesuai dengan pengalaman dan proses internalisasi penulis dalam berinteraksi dengan agen-agen lain maupun dengan struktur objektif tempat ia berada. Disposisi menjadi dasar bagi persepsi, pemilihan dan penafsiran atas semua tanda dan indeks yang mencirikan berbagai macam situasi. Disposisi yang paling tidak disadari, seperti disposisi-disposisi yang membentuk habitus kelas primer, terbangun melalui internalisasi sistem tanda, indeks, dan sanksi-sanksi yang terseleksi secara objektif, yang tak lain adalah proses materialisasi struktur objektif partikular dalam objek, kata, atau tingkah laku (Bourdieu, 2012: 170). Di setiap kondisi arena, disposisi-disposisi tersebut berkaitan dengan asalusul praktik sosial tertentu bagi kemungkinan tertentu, ditawarkan sebagai sebuah fungsi posisi yang ditempati dengan perasaan sukses atau gagal yang kurang lebih mengikutinya (Bourdieu, 2012: 252). Singkatnya, terdapat korelasi yang erat antara hierarki posisi-posisi yang ditempati agen di arena sastra, dengan hierarki asal-usul sosial disposisi-disposisinya. Agen sosial melakukan praktik dan bersosialisasi dengan struktur sosialnya melalui habitus. Habitus juga disebut Bourdieu (1992: 54—55) sebagai
15
sistem disposisi yang merupakan konstruksi perantara, bukan konstruksi pendeterminasi. Habitus berada pada struktur subjektif yang diperoleh dari hasil pembelajaran atau internalisasi struktur objektif. Habitus mengambil skema pembentukannya dari struktur objektif, namun tidak berarti mereproduksi total skema yang membentuknya, melainkan berdialektika dengan skema-skema yang lebih dulu terinternalisasi. Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas praktik. Bourdieu (2012: 73—74) menjelaskan bahwa praktik-praktik di dalam arena sastra (atau secara umum: seni) sebagai praktik yang memiliki logika ekonomi pra-kapitalis atau logika ekonomi berbasis penyangkalan „ekonomi‟. Di dalam semesta ekonomi jenis ini, perilaku paling „anti-ekonomi‟ dan paling „tak berkepentingan‟ tetap mengandung satu bentuk rasionalitas ekonomi yang sebenarnya tidak pernah menyingkirkan para penulis dari keuntungan „ekonomi‟. Di dalam usaha mengejar laba „ekonomi‟ tersebut, terdapat ruang untuk akumulasi modal simbolis. Bourdieu (1996: 124) menggunakan istilah modal untuk memetakan hierarki posisi-posisi di dalam ruang sosial, terkait arena kekuasaan dan arena produksi kultural. Dalam pembahasannya mengenai arena produksi kultural, Bourdieu menyebutkan empat jenis modal, yakni modal ekonomi, modal sosial, modal kultural dan modal simbolis. Modal bisa dipertukarkan, bisa diakumulasi, bisa kedua-duanya. Bagi seorang penulis yang bergulat di arena sastra, dua modal utama yang harus dimilikinya adalah modal simbolis dan modal kultural.
16
Modal simbolis, menurut Bourdieu (2012: 74), harus dipahami sebagai modal ekonomi yang disangkal dan disalahkenali—yang sebenarnya dalam kondisi tertentu dan dalam waktu jangka panjang dapat menjamin laba „ekonomi‟. Penyangkalan terhadap „ekonomi‟ ini tidak akan mendatangkan laba jika seorang agen tidak memiliki habitus yang sesuai karakteristik arena sastra atau tidak mengetahui logika permainan arena sastra. Bourdieu (1990: 22) juga menyebutkan bahwa modal simbolis dapat berupa „prestise‟, „ketenaran‟, „otoritas‟ yang diraih dari dialektika pengetahuan dan pengenalan. Bagi penulis, kritikus, penerbit, dan agen-agen lain di dalam arena sastra; akumulasi legitimasi atau modal simbolis ini berlangsung dalam pencetakan nama untuk diri sendiri, nama yang diketahui dan dikenal, yang mengimplikasikan kekuatan dan kuasa untuk mengonsekrasi objek-objek atau agen lain. Karena memiliki kuasa atas pemberian nilai, maka agen yang memiliki modal simbolis dapat memperoleh laba dari cara ini. Seorang agen mustahil memperoleh kuasa atas pemberian nilai jika ia tidak memiliki kompetensi artistik yang memadai. Kompetensi artistik ini merupakan hasil proses panjang „penanaman‟ pengetahuan sastra yang bermula (atau tidak) dari keluarga, diperkuat melalui institusi pendidikan sastra, juga persentuhan seorang agen dengan karya sastra. Bourdieu (2012: 369) menyebut bahwa kompetensi artistik atau disposisi estetis merupakan salah satu bentuk modal kultural yang diperlukan agen untuk memahami kode dan kepentingan dalam suatu karya sastra. Modal kultural merupakan suatu bentuk nilai yang
17
terkait selera, pola-pola konsumsi, atribut-atribut, kompetensi dan penghargaan yang disahkan secara kultural (Webb, 2002: x). 1.5.3
Strategi dan Posisi di Dalam Arena Sastra "Deviasi diferensial” atau „perbedaan‟ disebut Bourdieu (2012: 246)
sebagai prinsip utama struktur dan proses perubahan arena sastra. Prinsip tersebut lahir akibat pergulatan memperebutkan taruhan-taruhan spesifik (legitimasi, konsekrasi, ketenaran), terwujud dalam konflik, dinamikanya termanifestasikan sebagai pengambilan-posisi. Para penulis menegaskan “deviasi diferensial” yang mendasari sudut pandang mereka dengan menerima salah satu posisi estetis yang ada di dalam arena. Dengan menempati posisi tertentu, mereka membedakan dirinya sendiri, bahkan meski mereka tidak menyengajakan diri untuk menciptakan „perbedaan‟. Dengan memasuki permainan di dalam arena sastra, diam-diam para penulis menerima batasan-batasan dan kemungkinan-kemungkinan yang dihadirkan sebagai strategi-strategi yang mungkin untuk mencapai kemenangan, bukan sebagai aturan-aturan (Bourdieu, 2012: 245). Strategi dapat dipahami sebagai orientasi spesifik praktik. Strategi para agen dan institusi-institusi yang terlibat dalam pergulatan di arena sastra berbedabeda, sesuai 1) kepentingan, terkait posisi-posisi yang mereka tempati di struktur arena sastra atau struktur distribusi modal simbolis [apa yang memengaruhi persepsi mereka terhadap kemungkinan-kemungkinan posisi yang ditawarkan oleh arena sastra], 2) modal-modal yang mereka miliki, 3) pengakuan dari pesaingpendukung mereka maupun dari masyarakat umum, 4) mediasi disposisi-disposisi
18
yang membentuk habitus mereka yang tercermin dari pilihan mereka (Bourdieu, 1996: 206). Pilihan yang dimaksud di sini, terutama, terkait apakah mereka akan mempertahankan logika permainan arena sastra yang sudah ada atau mentransformasikannya. Strategi juga dapat menjelaskan trajectory atau lintasan yang ditempuh agen. Lintasan turut berperan dalam membentuk habitus seorang agen. Lintasan dapat dipahami melalui dua penjelasan. Pertama, lintasan merupakan suatu cara pengobjektivasian antara agen dengan arena, mendeskripsikan serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang agen di dalam struktur sebuah arena (Bourdieu, 2012: 252). Kedua, lintasan merupakan sejarah individual, mendeskripsikan pergerakan seorang agen di berbagai macam arena (Bourdieu, 2012: 277—278). Bourdieu (1996: 224) menekankan bahwa taruhan utama pergulatan di arena sastra adalah monopoli legitimasi sastra. Monopoli legitimasi tersebut, di antaranya, terkait dengan persoalan siapa atau kelompok mana yang berhak memberi sebutan „sastrawan‟ kepada agen-agen atau produsen lain serta berkuasa atas pemberian nilai produk-produk mereka. Monopoli tersebut dapat diketahui, misalnya; melalui pemberian kata pengantar, komentar, dan penghargaan. Dalam hal ini, penulis tidak hanya berperan sebagai pencipta karya sastra, melainkan juga sebagai pencipta nilai. Di arena sastra, menurut Bourdieu (2012: 35), terdapat tiga prinsip legitimasi yang saling bersaing. Pertama, prinsip legitimasi spesifik (seni untuk seni), yaitu pengakuan yang diberikan oleh sekelompok produsen kepada
19
produsen lain. Kedua, prinsip legitimasi borjuis, yaitu pengakuan yang diberikan oleh fraksi-fraksi dominan kelas yang sanggup memberikan ganjaran etis dan estetis yang sesuai selera fraksi dominan itu sendiri, sehingga sifatnya menjadi politis. Ketiga, prinsip legitimasi populer, yaitu pengakuan yang diberikan oleh konsumen umum atau massal. Oposisi di antara tiga prinsip tersebut dapat diketahui mulai dari penjelasan Bourdieu (2012: 54) tentang identitas „penulis murni‟ yang membedakan diri dengan penulis borjuis maupun penulis populer— yakni, bahwa „penulis murni‟ merupakan „institusi kebebasan‟ yang otonom, yang dikonstruksi untuk melawan „kelas borjuis‟ dan institusi-institusi seperti birokrasi, akademi, pendidikan, dan salon. Bourdieu (2012: 152—153) menegaskan bahwa untuk memahami sepenuhnya fungsi arena sastra (produksi skala terbatas) sebagai wilayah perebutan legitimasi, harus dianalisis hubungan antara produsen dengan berbagai agen maupun instansi konsekrasi. Usaha mengonsekrasi dapat dilakukan melalui sanksi-sanksi simbolis yang dilakukan agen-agen pengonsekrasi, khususnya dengan mempraktikkan segala bentuk kooptasi seperti; hadiah, penghargaan, gelar kehormatan, undangan kongres, publikasi jurnal ilmiah atau lewat penerbit terkonsekrasi dan antologi-antologi. Agen-agen pengonsekrasi tidak selalu merupakan organisasi-organisasi yang terlembagakan, namun dapat juga diperankan oleh lingkaran komunitas sastra, kritikus, dan jurnal kajian sastra. Perubahan struktur arena sastra ditentukan oleh perubahan posisi-posisi yang ditempati agen-agen di dalamnya. Struktur temporer arena sastra ini juga dapat dipahami sebagai status temporer selera. Setiap transformasi struktur arena
20
akan bermuara pada penggantian struktur selera, yaitu sistem distingsi simbolis antarkelompok. Menurut Bourdieu (2012: 46), inisiatif perubahan memang hampir selalu diawali oleh pendatang baru, yaitu generasi muda yang justru paling sedikit memiliki modal simbolis. Mereka mengupayakan doksa baru dengan mengkritisi ketidaktepatan ortodoksi. Dengan demikian, setiap posisi baru, menentukan pergantian seluruh struktur yang bermuara pada semua jenis perubahan cara pengambilan posisi para penghuni posisi-posisi yang lain. Di arena sastra, ketika „eksis‟ berarti „menjadi berbeda‟, maka para penulis muda harus mampu menegaskan keberadaan mereka dengan cara-cara distingtif, berjuang untuk diketahui dan diakui, mencetak nama untuk diri mereka sendiri. Hukum „pencarian distingsi‟ ini menjelaskan paradoks yang sangat kentara: bahwa konflik paling fundamental, justru mengoposisikan suatu agen/kelompok dengan agen/kelompok yang paling dekat dengannya, karena agen/kelompok terdekat tersebut adalah yang akan paling terancam identitasnya, distingsi-nya, bahkan eksistensi kulturalnya yang spesifik (Bourdieu, 2012: 177—178). Setiap posisi selalu memerlukan cara pengambilan posisi tertentu. Menurut Bourdieu (2012: 242), pengambilan posisi di arena sastra secara khusus dijembatani oleh karya sastra (gaya, bentuk, konsep, dan instrumen-instrumen). Dalam hal ini, logika distingsi kultural berperan mengarahkan penulis untuk mengembangkan cara-cara orisinal dalam berekspresi, membedakan diri dari stilistika-stilistika para pendahulu, bahkan melampaui prosedur-prosedur estetis yang pernah digunakan sebelum-sebelumnya. Semua ini dilakukan seorang
21
penulis untuk menunjukkan ekspresi yang paling spesifik, ekspresi yang tidak bisa lagi direduksi menjadi bentuk ekspresi lain (Bourdieu, 2012: 147). 1.6 Hipotesis Arena Sastra Yogyakarta distrukturkan oleh relasi posisi-posisi yang ditempati para agen-agen di dalamnya. Posisi dan praktik pengambilan posisi penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta dimediasi oleh disposisi mereka. Derajat posisi para penulis muda Madura ditentukan oleh tingkat legitimasi yang mereka peroleh. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1
Data Penelitian Peneliti memfokuskan penelitian terhadap penulis muda Madura di Arena
Sastra Yogyakarta. Istilah “penulis muda Madura” yang digunakan di penelitian ini merujuk pada penulis keturunan Madura kelahiran tahun 1985—1997 (baik lahir di Madura maupun di luar Madura) yang pernah/sedang berproses kreatif di Yogyakarta. Peneliti mendata 43 penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta, namun tidak semua penulis dibahas dalam penelitian ini.2 Data umum 43 penulis muda Madura dalam penelitian ini mencakup 1) tahun kelahiran, 2) latar belakang sosial dan geografis (tempat lahir, lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal, pendidikan), 3) sample publikasi karya, 4) keterlibatan dalam komunitas, dan 5) tahun memasuki Yogyakarta. Data-data
2
Masih ada beberapa penulis muda Madura yang belum tercatat di sini. Namun, karena keterbatasan akses pemerolehan data-data mereka, akhirnya peneliti hanya mengambil data 43 penulis muda Madura. Data 43 penulis muda Madura tersebut dianggap sudah cukup untuk menunjukkan bahwa, secara jumlah, mereka menonjol di Arena Sastra Yogyakarta.
22
tersebut akan diolah menjadi data statistik untuk melihat kecenderungankecenderungan para penulis muda Madura. 1.7.2
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan pengamatan, studi
kepustakaan, dan wawancara. Pengamatan dilakukan pada sejumlah acara sastra yang berlangsung di Yogyakarta; baik berupa festival, perlombaan, pertunjukan, maupun diskusi sastra. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh; 1) data hubungan arena sastra dengan arena kekuasaan, 2) data struktur Arena Sastra Yogyakarta terkait relasi para penulis muda Madura dengan penulis muda yang lain, penulis senior, kritikus, salon-salon, dan institusi-institusi, 3) data mengenai disposisi dan lintasan para penulis muda Madura yang terbentuk di dalam Arena Sastra Yogyakarta, juga 4) data intensitas kemunculan penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta. Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah tulisan (buku, esai, jurnal) yang berkenaan dengan Arena Sastra Yogyakarta dan penulis muda Madura yang berproses di Yogyakarta, baik melalui buku maupun media massa. Studi kepustakaan juga dilakukan dengan membaca dan mencatat poin-poin penting yang berkaitan dengan agen/institusi pengonsekrasi dan karya penulis muda Madura—baik melalui antologi bersama (Puisi di Jantung Tamansari dan Ketam Ladam Rumah Ingatan), maupun melalui majalah Horison, Kedaulatan Rakyat, dan Minggu Pagi (2013—2015). Studi kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh 1) data posisi-posisi agen di Arena Sastra Yogyakarta, 2) data agen/institusi pengonsekrasi, 3) data praktik para penulis muda Madura dalam
23
mendapatkan legitimasi, dan 4) data penunjang terkait intensitas serta kuantitas kemunculan penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta. Wawancara dilakukan kepada Raudal Tanjung Banua dan Iman Budhi Santosa, sebagai sastrawan domisili Yogyakarta yang dianggap mengetahui selukbeluk perkembangan sastra di Yogyakarta. Wawancara tersebut dilakukan untuk memperoleh 1) data mengenai logika permainan Arena Sastra Yogyakarta, 2) data mengenai respon penulis senior terhadap kemunculan para penulis muda Madura di Yogyakarta, dan 3) data pelengkap bagi data-data lain yang tidak ditemukan peneliti melalui pengamatan dan studi pustaka mengenai Arena Sastra Yogyakarta. Wawancara juga dilakukan terhadap beberapa penulis muda Madura yang bergulat di Arena Sastra Yogyakarta, yakni; Raedu Basha, Sohifur Ridho Ilahi, Selendang Sulaiman, Achmad Faqih Mahfudz, Royyan Julian, Mawaidi, Kekal Hamdani, dan Rusydi Firdaus. Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh 1) data asal-usul disposisi para penulis muda Madura, 2) data modal para penulis muda Madura, dan 3) data lintasan para penulis muda Madura. 1.7.3
Metode Analisis Data
a. Menganalisis posisi dan struktur Arena Sastra Yogyakarta di dalam Arena Kekuasaan b. Menganalisis disposisi, modal, dan strategi para penulis muda Madura c. Menganalisis peran agen pengonsekrasi terkait posisi para penulis muda Madura di Arena Sastra Yogyakarta d. Merelasikan tiga tahapan di atas e. Pengambilan kesimpulan
24