BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kejahatan terhadap anak kerap kali terjadi di Indonesia. Kondisi ini begitu memprihatinkan. Menurut Komisioner KPAI Maria Ulfah bentuk kekerasan pada anak adalah kekerasan seksual, kekerasan fisik, pembunuhan, perdagangan manusia (human traficking), narkoba, dan anak jalanan. Salah satu kekerasan terhadap anak yang melatar belakangi penelitian ini adalah pelecehan seksual pada anak. Kasus pelecehan seksual telah ditemukan di lingkungan sekolah. Contoh kasus pelecehan seksual tersebut adalah peristiwa yang terjadi di JIS (Jakarta International School) kasus ini terjadi pada tahun 2014 lalu (www.rri.co.id: 2014). Pelaku kejahatan seksual pada anak juga dilakukan oleh Emon di Sukabumi Jawa Barat. Emon adalah pelaku sodomi yang melibatkan ratusan korban anak-anak. Ada juga kasus anak SD berusia 13 tahun mencabuli anak balita tetangganya sendiri yang berusia 4,5 tahun Jatimulyo, Girimulyo Kulonprogo Tribun Jogja Kulonprogo, Jum’at (06/06/2014). Mahasiswa di Yogyakarta mencabuli anak SD, pelecehan tersebut ia lakukan di kamar kosnya yang berada di Dusun Ngijo RT 3, Sewon, Bantul Tribun Jogja, Minggu (12/10/2014). Pada 15 Maret 2015 di Bantul Yogyakrta seorang kakek berusia 80 tahun tega mencabuli anak berusia 5 tahun dengan memberikan iming-iming uang seribu rupiah sedangkan pelaku tidak dijatuhi hukuman karena usia yang telah lanjut Tribun Jogja, Jum’at (15/03/2015).
1
2 Penjual es krim berinisial H, ditangkap karena telah melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap HZT (3,5), balita Dusun Pandes II, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret. Pelaku melakukan perbuatan pencabulan tersebut ketika berkeliling kampung untuk berjualan. Pemberitaan media di atas membuat peneliti berpendapat bahwa pelecehan seksual terhadap anak, berpotensi dilakukan oleh siapapun. Pelaku kejahatan seksual dapat dilakukan oleh orang dengan usia lanjut, bahkan anak di bawah umur. Greenberg (1981) menyebutkan bahwa peristiwa yang dialami oleh anak korban pelecehan seksual akan berpengaruh pada masa perkembangan anak di fase selanjutnya sampai anak tersebut beranjak dewasa. Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia dari tahun 2010 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 21.869.797 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 provinsi, dan 179 kabupaten dan kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak adalah kejahatan seksual terhadap anak. Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran anak. Data dan korban kejahatan seksual terhadap anak setiap tahun mengalami peningkatan. Pada 2010, ada 2.046 kasus, diantaranya 42% kejahatan seksual. Pada 2011 terjadi 2.426 kasus (58% kejahatan seksual), dan 2012 ada 2.637 kasus (62% kejahatan seksual). Pada 2013, terjadi peningkatan yang cukup besar yaitu 3.339 kasus, dengan kejahatan seksual sebesar 62%. Sedangkan pada 2014 (Januari-April), terjadi sebanyak 600 kasus atau 876 korban. Dapat disimpulkan bahwa 276 kasus pelecehan seksual pada anak tidak terungkap. Kekerasan pada anak yang terjadi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kurang lebih 50% dari kasus kekerasan anak tersebut adalah kasus kekerasan seksual. Johnshon (dalam Nirmanisa, 2007) menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual sifatnya tersembunyi namun membahayakan, menetap dan terus menerus serta merupakan
3 permasalahan yang cukup serius. Maka salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan adalah memberikan bekal pendidikan seks pada anak. Greenberg (1981) mengemukakan bahwa pendidikan seks sebaiknya diberikan orangtua sejak anak berusia dini, baik secara verbal maupun non verbal. Karena dapat dilihat bahwa anak-anak berpotensi mengalami tindak kekerasan seksual. Peneliti memperkirakan bahwa salah satu penyebab kasus kekerasan seksual adalah orangtua belum memberikan pendidikan seks pada anak dimasa awal perkembangannya. Pendidikan seks diberikan sebagai upaya pencegahan tindak kejahatan seksual serta memberikan informasi mengenai bagaimana pemahaman anak mengenai seks anak, sesuai tahapan perkembangannya. Artikel Pentingnya Pendidikan Seks Untuk Anak (Ibu dan Balita.htm, 2011) Dr Rose Mini AP, M Psi seorang psikolog pendidikan juga mengungkapkan, seks bagi anak wajib diberikan orangtua sedini mungkin. “Pendidikan seks wajib diberikan orangtua pada anaknya sedini mungkin”. Tepatnya dimulai saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun), karena pada usia ini anak sudah dapat mengerti mengenai organ tubuh mereka dan dapat pula dilanjutkan dengan pengenalan organ tubuh internal. Anak prasekolah sudah dapat bersosialisasi selain dengan orangtuannya. Anak prasekolah sudah mampu membedakan pria dan wanita yang dilihat dari penampilan yang berbeda, pakaian yang berbeda dan rambut yang berbeda. Beberapa anak juga mulai memahami organ-organ tubuh yang berbeda pada pria dan wanita karena orang tua mereka mulai memperkenalkannya, dapat melalui pengamatan langsung atau lewat buku-buku. Tetapi tidak semua anak di usia ini punya keterampilan membedakan melalui anatomi fisik/organ intim karena beberapa orang tua masih enggan membicarakan soal peran seks pada anak mereka di usia prasekolah.
4 Hartono (2010) menyatakan bahwa tidak ada cara instan untuk mengajarkan seks pada anak kecuali melakukannya secara bertahap sejak dini. Orangtua dapat mengajarkan anak mulai dari hal yang sederhana hingga tertanam dalam diri anak. Berbicara mengenai pendidikan seks, Langeveld (1995) menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing manusia yang belum dewasa kepada kedewasaan. Menurut Brameld (1961) pendidikan mengandung fungsi yang luas dari pemelihara dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa warga masyarakat yang baru mengenal tanggung jawab bersama di dalam suatu masyarakat. Jadi pendidikan adalah suatu proses yang lebih luas daripada proses yang berlangsung di dalam sekolah saja, seperti halnya pendidikan seks untuk anak. Di masa yang modern ini, informasi mengenai seks begitu mudahnya diakses oleh anak. Anak-anak selain dapat berpotensi menjadi korban, mereka juga berpotensi menjadi pelaku tindak pelecehan seksual. Perilaku penyimpangan seksual dapat berpotensi dilakukan juga oleh anak, biasanya disebabkan oleh informasi salah yang ia dapatkan. Orangtua berperan penting sebagai pihak pemfilter informasi yang didapatkan oleh anak, sehingga anak tidak terjebak dalam informasi salah yang dapat menyebabkan perilaku menyimpang pada anak. Maka dari itu, bimbingan oleh orangtua mengenai pendidikan seks sejak usia dini dirasa begitu penting. Kata seks masih sering menjadi hal yang tabu dan diperdebatkan, bahkan masyarakat menghindari dan anti pati terhadap pendidikan seks. Namun, apabila pendidikan seks digunakan pada situasi dan kondisi yang tepat dan benar, maka pendidikan seks bukanlah hal yang harus diperdebatkan. Reiss & Halsted (2004) menyebutkan bahwa salah satu pendidikan seks dini pada anak adalah untuk mencegah agar anak terhindar dari tindak kekerasan seksual. Dapat disimpulkan
5 bahwa pendidikan seks diberikan kepada anak agar anak dapat melindungi dirinya sendiri untuk menghindarkan hal-hal yang membahayakan dirinya seperti halnya kekerasan seksual. Pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu pendidikan mengenai seksualitas dalam arti luas. Seksualitas meliputi berbagai aspek yang berkaitan dengan seks, yaitu aspek biologik, orientasi, nilai sosiokultur dan moral, serta perilaku. Sesuai dengan kelompok usia berdasarkan perkembangan hidup manusia, maka pendidikan seks dapat dibagi menjadi pendidikan seks untuk anak prasekolah dan sekolah, pendidikan seks untuk remaja, untuk dewasa pranikah serta menikah. Pendidikan seks untuk anak-anak bertujuan agar anak mengerti identitas dirinya dan terlindung dari masalah seksual yang dapat berakibat buruk bagi anak. Pendidikan seks untuk anak pra sekolah lebih bersifat pemberian informasi berdasarkan komunikasi yang benar antara orangtua dan anak. Pendidikan seks untuk remaja bertujuan melindungi remaja dari berbagai akibat buruk karena persepsi dan perilaku seksual yang keliru. Sementara pendidikan sex untuk dewasa bertujuan agar dapat membina kehidupan seksual yang harmonis sebagai pasangan suami istri. Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama
diikutsertakan
termasuk
dalam
pendidikan
akhlak
dan
moral
juga.
(asofudin.blogspot.com 2010). Maka dari itu orangtua berperan penting dalam pemberian pendidikan seks pada anak-anaknya karena keluarga adalah lingkungan sosial pertama bagi anak dan orangtua adalah pendidik pertama bagi anak. Komunikasi antara orangtua dan anak sangatlah penting dalam proses memberikan pendidikan seks. Apabila komunikasi antara orangtua dan anak berjalan dengan baik maka
6 penyampaian informasi dapat dicerna dengan baik oleh anak (Brown, Fitzgerald, Shipman, & Schneider, 2007). Orangtua terutama ibu, sangat berperan penting dalam pengasuhan anak. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengungkap komunikasi orangtua anak terutama bagi ibu dan anaknya. Karena menurut (Calzada, 2004) keterlibatan ibu dalam pengasuhan anak lebih banyak dibanding ayah. Peneliti berharap dapat melihat kualitas komunikasi ibu-anak dan pendidikan seks anak di dalam penelitian ini. Peneliti berpendapat bahwa komunikasi yang kurang baik antara orangtua - anak dan pendidikan seks yang masih dianggap tabu, akan berakibat pada sulit tersampaikannya pendidikan seks anak. Tentu saja komunikasi yang baik dan berkualitas antara ibu dan anak akan mempermudah penyampaian pendidikan seks bagi anak. Kualitas komunikasi orangtua dan anak membantu anak dalam menyampaikan dan mengungkapkan berbagai persoalan yang dimilikinya dan juga segala kebahagiaan yang dialami anak kepada orangtuanya. Setiap anak berpotensi mengalami tindak kejahatan seksual. Pendidikan seks berperan sebagai salah satu langkah preventif tindak kejahatan seksual. Penelitian mengenai kualitas komunikasi dan pendidikan seks anak ini dirasakan perlu dilakukan. Dalam pendidikan seks, anak diberikan bekal agar dapat melindungi dirinya sediri agar terhindar dari berbagai kemungkinan kejahatan seks. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan mengenai kualitas komunikasi antara ibu-anak dan pendidikan seks anak. Pendidikan seks seharusnya diberikan sejak dini sebelum anak-anak masuk sekolah. Kegagalan dalam mendeteksi dan merespon kejahatan seksual pada anak dengan tepat, adalah kegagalan bagi orang tua, sekolah, serta lingkungan dalam memberikan pendidikan seks sebagai bentuk perlindungan diri anak (J. Mark Halstead dan Michael Reiss 2004).
7 Seharusnya pendidikan seks anak dapat dipahami oleh setiap orangtua. Agar orangtua menyampaikan pendididkan seks yang sesuai kepada anak-anak mereka. Pendidikan seks anak sejak dini dipandang sebagai salah satu upaya agar masa depan anak dapat berkembang dengan baik. Berdasarkan permasalahan mengenai kekerasan seksual yang dapat berpotensi bagi setiap anak, maka terdapat pertanyaan yaitu sudahkah pendidikan seks anak disampaikan oleh orangtua terhadap anak prasekolah secara tepat dan sesuai tahapan perkembangan mereka? B.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat secara empirik hubungan antara kualitas komunikasi ibu - anak dan pendidikan seks anak.
C.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Berperan secara ilmiah sebagai rujukan dan referensi dalam pengembangan ilmu psikologi perkembangan. Sebagai referensi mengenai teori yang berkaitan dengan komunikasi ibu - anak dan pendidikan seks anak.
2. Manfaat Praktis Menambah pengetahuan dan pemahaman subjek serta masyarakat dalam bidang psikologi perkembangan terutama mengenai komunikasi ibu-anak dan pendidikan seks
8 anak. Diharapkan komunikasi ibu-anak dan pendidikan seks anak dapat menjadi upaya prevntif kasus kekerasan seksual anak.