BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Konflik agraria merupakan permasalahan klasik dan kerap kali terjadi di Indonesia. Gunawan Wiradi menyebut bahwa konflik agraria di Indonesia telah dimulai sejak zaman feodal yang merupakan implikasi dari kegelisahan petani akibat pengambilalihan tanah mereka secara paksa oleh pihak kerajaan (bangsawan)1. Begitu pula di Sumatera Utara, sebagai daerah perkebunan dan tambang yang potensial, Propinsi Sumatera Utara tidak bisa lepas dari berbagai konflik pengelolaan sumber daya alam, khususnya tanah. Bahkan dari catatan sejarah yang ada konflik agraria di Sumatera Utara sempat mewarnai konstalasi politik nasional yang ditandai dengan jatuhnya kabinet Wilopo pada dekade 1952-1953. Oleh karena itu, tidak heran di Provinsi ini hampir di setiap Kabupaten/Kota terdapat titik konflik agraria. Baik konflik antara masyarakat dengan pemodal swasta, maupun permasalahan sengketa tanah dengan pemerintah lewat PTPN. Salah satu titik konflik agraria di Sumatera Utara terjadi di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas. Konflik agraria yang selama ini terpendam muncul kepermukaan akibat bentrokan yang terjadi pada bulan Maret tahun 2013. Masalah di Desa Aek Buaton diawali sengketa tanah adat masyarakat empat desa yakni: Aek Buaton, Batu Sundung, Hota Bargot, dan Sidong-dong dengan beberapa oknum yang 1
Gunawan Wiradi , Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir,
1 Universitas Sumatera Utara
berasal dari Desa Sayur, Matua, Sayur Mahicat maupun Unterudang2. Dimana menurut masyarakat Desa Aek Buaton, oknum oknum tersebut melakukan penjualan terhadap tanah adat mereka. Secara historis tanah sengketa adalah hak adat masyarakat Luhat Aek Buaton hal ini dibuktikan dengan Surat keterangan pemerintah Hindia Belanda (RESIDENTI E-T TAPANOELI) 11 April 1916, Surat Pemerintah Hindia Belanda 14 Juni 1929, Surat Pemerintah Hindia Belanda 19 Agustus tahun 1936. Surat Perjanjian bersama antara masyarakat pada tanggal 12 Maret 1990. Surat Keterangan Hatobangon Luat Aek Nabara Tanggal 1 Desember 1996, Surat Keterangan dari Hatobangon Desa Gading 26 November 1996, Surat Pernyataan dari Hatobangon Desa Portibi tangal 26 November 1996, Surat pengakuan dari Hatobangon Unterudang tangal 26 November 19963. Meskipun begitu, penjualan terhadap tanah adat masyarakat Aek Buaton terus dilakukan. Sampai saat ini, tanah adat masyarakat Aek Buaton tersebut sudah dijual baik kepada pihak swasta maupun pada PTPN II dengan luas kurang lebih 2000 ha. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat Desa Aek Buaton ingin kembali merebut lahan tersebut. Pendudukan kembali atas tanah, akhirnya berujung pada bentrokan dengan pihak kepolisian yang mau tidak mau harus “menjaga” lahan yang sudah berganti kepemilikan tersebut. Lahirnya berbagai kebijakan yang memberikan ruang pada modal terhadap akses tanah, menurut Suparman Marzuki (2008) telah mendorong perubahan pola 2
Luat Aek Buaton terdiri dari 4 desa, terletak di Kecamatan Aek Nabara Barumun, sedangkan Desa Unterudang berada dalam luat Aek Nabara yang juga terapat di Kecamatan Aek Nabara Barumun. 3 Surat surat seperti disebutkan diatas, didapat dari data KontraS Sumatera Utara
2 Universitas Sumatera Utara
konflik agraria di Indonesia. Dari konflik yang sifatnya Land Hunger 4 yang terjadi di lingkup pedesaan menjadi konflik struktural yang tidak hanya terjadi di desa tetapi juga di kota-kota dengan peran negara yang dominan. Melalui Hak Guna Usaha (HGU) pemerintah memfasilitasi pelaku ekonomi untuk secara terus menerus mengambil tanah rakyat dalam jumlah besar. Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Kebijakan pengadaan tanah untuk para pemodal besar dengan intervensi langsung dari pemerintah yang bersifat ekstra ekonomi ini berkonsekuensi pada semakin berkembangnya dua persoalan mendasar dalam pertanahan di Indonesia, yakni terkonsentrasinya aset termasuk tanah ditangan segelintir orang dan semakin meluasnya konflik agraria. Jika dilihat dari data Biro Pusat Satatistik tahun 1993 menurut Fauzi (Herdensi:2013), data tersebut menunjukan adanya pergeseran dominasi penguasaan tanah dari pemerintah kepada swasta. Per Desember 1993, penguasaan hutan oleh kurang dari 570 pengusaha pemegang HPH5 sudah mencapai 64.291.436 ha, dan 33.198.693 ha (51,64%) diantarannya dikuasai oleh 20 orang konglomerat. Sementara itu terdapat 3.841.777 Ha tanah dikuasai oleh pemegang HPHTI6, yang dikuasai 38 pengusaha, ditambah dengan 796.254 ha dipakai oleh 4
Haus tanah, dimana mayoritas masyarakat membutuhankan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidup Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan di dalam suatu kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan, berdasarkan ketentuan–ketentuan yg berlaku 6 Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) adalah hak yang diberikan oleh Menteri Kehutanan kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Swasta dan atau Koperasi untuk mengusahakan Hutan Tanaman Industri dalam jangka waktu tertentu 5
3 Universitas Sumatera Utara
HPHTI trans oleh 10 konglomerat, bandingkan dengan total area yang dikuasai oleh BUMN perkebunan (Perhutani dan Inhutani) per April 1993 hanya mencapai 8.943.272 ha. Kondisi
sebaliknya
mengungkapkan bahwa
dialami
masyarakat
petani.
Endriatmo
Sutarto
dalam masa 1973-1993 sebagai dampak dari besarnya
dukungan pemerintah terhadap unit usaha bersekala besar, terjadi polarisasi struktur kepemilikan tanah pada level petani kecil, yaitu peningkatan luasan usaha tani pada lapisan < 2,00 ha, dan penurunan rata-rata luasan usaha tani petani gurem (<0,50ha) menurun tajam dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha. Perhitungan yang lebih spesifik berdasar data Sensus Pertanian 1993 menunjukkan bahwa sebagian terbesar (69 %) luas tanah pertanian dikuasai minoritas (16 %) petani lapisan ≥1 ha; sebesar 18 % lahan dikuasai sejumlah cukup besar (27 %) petani lapisan 0,10-0,49 ha. Angka yang lebih radikal di ungkapkan oleh Noer Fauzie (2008) ia mencatat bahwa 20% orang kaya di Indonesia menguasai 69% lahan pertanian, sementara 80% orang miskin hanya menguasai 31%7. Wajar saja jika eskalasi8 konflik agraria terus meningkat di Sumatera Utara. Menurut cacatan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kanwil Sumatera Utara konflik agraria di Sumatera Utara terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2007 Badan Pertanahan Nasional Kanwil Sumatera Utara mencatat terdapat 485 konflik agraria di wilayah Sumatera Utara, meningkat menjadi
7 8
Hardensi Adnin, Position paper konflik agraria, Jurnal Sintesa Kenaikan; pertambahan (volume, jumlah, dsb)
4 Universitas Sumatera Utara
852 kasus pada tahun 2008, dan meningkat menjadi 870 kasus pada tahun 2009. Jumlah ini menurut badan pertanahan nasional Sumatera Utara merupakan akumulasi kasus-kasus lama yang belum atau tidak terselesaikan di ditambah dengan kasuskasus baru yang dilaporkan masyarakat9. Penyelesaian secara hukum melalui jalur peradilan kerap kali berakhir mengecewakan. Pengadilan bukan tempat yang tepat bagi rakyat untuk mencari keadilan dalam kasus-kasus sengketa. Proses penyelesaian melalu jalur peradilan membutuhkan waktu yang cukup lama, terhitung jika dimulai dengan pengadilan negeri (pengadilan tingkat pertama) sampai pada putusan Mahkamah Agung (kasasi dan PK) proses beracara bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun. Lama proses ini berkonsekuensi pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak, dan sebagai kelompok yang lemah masyarakat kemudian menjadi frustasi dan engan membawa persoalan mereka ke peradilan. Sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang manusia, antropologi tentunya dapat digunakan sebagai sebuah perspektif dalam melihat sengketa yang terjadi dalam masyarakat Aek Buaton. Dalam hal ini kajian antropologi hukum dapat dijadikan sebuah patokan. Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat, bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan 9
Ibid hal 9
5 Universitas Sumatera Utara
kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial (Pospisil, 1971).
1.2 Tinjauan Pustaka Konflik, Agraria, dan Konflik Agraria Dalam kamus besar bahasa Indonesia yang disusun oleh Purwadarminta ( 1976) konflik diterjemahkan sebagai percekcokkan, perselisihan, atau pertentangan. Pertentangan itu sendiri bisa saja muncul dalam bentuk ide, gagasan, maupun fisik antara dua belah pihak yang saling berseberangan. Defenisi ini jika kita padukan dengan pandangan Diana Francis (2006, Hardensi:2013) yang meletakkan unsur pergerakan dan persinggungan sebagai aspek tindakan didalam konflik, maka secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Konflik menurut Fisher et al. (2001: 4) adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan, konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat. Robins
6 Universitas Sumatera Utara
(1993, diacu dalam Tadjudin 2000), yaitu konflik dikatakan sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Konflik adalah juga pertentangan antar banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah, serta sudah merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada (Mitchel et al. 2000:365). Maka konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakan, yang dapat bersifat positif maupun negatif. Secara etimologis kata agraria berasal dari bahasa Latin ager yang artinya sebidang lahan (bahasa Inggris acre), lapangan atau pedusunan. Kata bahasa Latin agrarius meliputi arti: yang ada hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat rural (Wiradi, 1984). Sesuai dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, konsep agraria menunjuk pada beragam objek atau sumber agraria sebagai berikut: tanah, perairan, hutan, bahan tambang, dan udara. Struktur agraria pada dasarnya menunjuk pada hubungan antar berbagai status sosial penguasaan sumber-sumber agrarian. Tidak saja pola penguasaan, namun pola pemilikan dan pemanfataan sumber-sumber daya agraria menjadi penting. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan ”pemilik dengan pemilik”, ”pemilik dengan pembagi-hasil”, ”pemilik dengan penyewa”, dan lainnya. Menurut Wiradi (1984), kata ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan 7 Universitas Sumatera Utara
tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain (Sihaloho, 2004). Kata “pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi, 1984). Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air, tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang besangkutan. Pada tahap ”berlomba” untuk mendahului objek itu, sifatnya masih dalam ”persaingan”. Tetapi pada saat mereka saling berhadapan untuk memblokir jalan lawan, terjadilah ”situasi konflik”. Jadi, konflik adalah bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Konflik agraria merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi sebagai bagian atau cara dari pengaruh kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Ada tiga kelompok yang biasanya tercakup dalam masalah agraria, yaitu pemerintah, pengusaha, (perusahaan swasta dan negara), dan masyarakat (Sitorus dan Wiradi, 1999). Menurut Christodoulou (Puji Astuti 2008:53) Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan pengontrolan sumber-sumber agraria. Konflik agraria menurut Christoulou biasanya melibatkan masyarakat, pemerintah, dan bisnis yang kesemuanya memperebutkan sumber-sumber agraria. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap negara dan bisnis untuk menuntut apa yang menurut mereka
8 Universitas Sumatera Utara
adalah haknya. Sedangkan negara dan pengusaha juga berusaha melakukan perlawanan dan penekanan terhadap masyarakat untuk mempertahankan hak-haknya atas sumber-sumber agraria, dimana keduanya pada umumnya memiliki bukti-bukti yuridis. Sejarah Dan Fase-Fase Konflik Agraria di Indonesia Endang Suhendar (1996) mengungkapkan bahwa konflik agraria di Indonesia paling tidak telah terjadi dalam empat periode yakni : Periode 1870, periode ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria 1870 oleh pemerintah Hindia Belanda yang secara jelas berusaha menarik investasi asing dengan memberikan kemudahan mengakses tanah dengan fasilitas erfpacht10 selama 75 tahun kepada investor swasta. Hal ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat baik dari kelompok elit (kelas bangsawan) maupun masyarat biasa. Konflik agraria pada masa ini, menurut James Scott (1993, dalam Herdensi:2013) pada akhirnya berkembang dari hanya sekedar respon masyarakat terhadap pengambilalihan lahan secara paksa oleh pihak perkebunan dan atau pemerintah Hindia Belanda, sampai pada area psikologi dan sosiologis yang dalam yakni perwujudan
eksistensi
masyarakat
terhadap berbagai pemerasan dan penghisapan yang berlebihan baik yang dilakukan oleh aparat kolonia, pemilik modal maupun kerja sama antar keduanya. Perlawanan ini bertumpu pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan kolonial yang memberatkan mereka.
10
Semacam hak guna usaha
9 Universitas Sumatera Utara
Kedua, periode 1967 - 1973. Periode ini disebut oleh Endang Suhendar sebagai periode eksploitasi. Yang ditandai dengan “dibekukannya” Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Gunawan Wiradi (2008) meyebut, ada dua faktor yang menjadi penyebab utama pembekuan tersebut. Pertama kondisi objektif yang berupa situasi yang rawan (dilihat dari segi politik dan keamanan) dalam masa setelah kejadian politik tahun 1965. Kedua, adanya pergeseran pendekatan kebijakan pembangunan pasca runtuhnya Orde Lama dan lahirnya pemerintahan Orde Baru dari kebijakan yang populis (pro rakyat) menjadi kebijakan yang berpihak pemilik modal atau sering disebut sebagai “developmentalisme”. Sejak Soeharto dan Orde Baru (1966) berkuasa ada begitu banyak produk undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang pokok agraria bahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Berbagai produk yang menegasikan undang-undang pokok agraria ini menurut Frans Husken 1998 (Herdensi:2013), terjadi semata-mata untuk mendukung dan memberikan ruang pada investasi skala besar yang notabene adalah anak kandung developmentalisme. Melalui
Undang-undang Penaman Modal Asing (Undang-undang No.1/1967) dan
Penamaman Modal Dalam Negeri (Undang-undang No.6/1968) misalnya pemerintah memberikan kewenangan pada perusahan-perusahaan asing maupun dalam negeri melakukan ekploitasi pada sumberdaya alam Indonesia, serta menyokong usahausaha modal besar tersebut untuk
mencerabut petani dari tanah, dengan
memanfaatkan tidak adanya jaminan hukum positif pada petani atas tanah yang
10 Universitas Sumatera Utara
mereka kuasai. Kelompok-kelompok baik petani atau pun di luar petani yang menentang kebijakan tersebut dicap sebagai kelompok makar, suversif, neo komunisme, leninisme kemudian dikriminalisasi, dipenjara, bahkan ada sebagain dari mereka yang di tembak mati Ketiga, periode 1973-1983. Periode ini disebut sebagai periode peningkatan produktivitas tanpa penataan struktur kepemilikan tanah. Untuk mencapai swasembada pangan pada periode 1973-1983 pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan revolusi hijau, namun tidak diikuti dengan rekstrukrisasi kepemilikan tanah seperti amanat Undang-Undang Pokok Agraria No 5/1960, sehingga terjadi akumulasi penguasa tanah pertanian di pedesaan. Endang Suhendar menyatakan, menurut Joyo Winoto terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada segelintir orang berdampak pada semakin massifnya potensi konflik agraria, Joyo menyebut, dalam 50 tahun setelah undang – undang pokok agraria badan pertanahan nasional menginventaris lebih dari 7.491 sengketa lahan di seluruh Indonesia yang menelan korban lebih dari 1.000.000 orang.
Hal senada diungkapkan oleh Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria yang bersifat struktural pada tahun 2001 saja
mencapai 1753 dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di
286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.
Dari keseluruhan konflik
tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus (19.6%) terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar
11 Universitas Sumatera Utara
termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus (13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan konflik tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi; 115 kasus (6.6%) merupakan konflik
akibat pengembangan pabrik-pabrik dan
kawasan industri; 77 kasus (4.4%) konflik akibat pembangunan bendungan (large dams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah konflik yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf. Keempat periode 1983-2000, yaitu periode dimana pemerintah melakukan deregulasi terhadap peraturan perundang-undangan yang dianggap menghambat perolehan tanah untuk kepentingan investasi. Dengan mengeluarkan Undang-undang No 18/2004 Tentang Perkebunan, Undang-undang No 25/2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-undang No 22/2001 Tentang Migas. Serta Undang-undang No 41/1999 Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan11. Empat periode ini menurut Endang memiliki roh yang sama yakni demi dan atas nama keuntungan yang maksimal pada negara (berupa devisa dan pertumbuhan ekonomi) pemerintah memberikan ruang yang sangat terbuka bagi investasi untuk
11
Endang Suhendar, Menjadikan Tanah Sebagai Komoditas. Jurnal Analisis Sosial, Edisi ke III, Juli 1996.
12 Universitas Sumatera Utara
mengakses dan mengeksploitasi tanah dan kekayaan yang terkandung didalam, kemudian disisi yang lain mereduksi petani dari asset produksi. Sitorus (2004, Herdensi:2013) Mengidentifikasi paling tidak ada lima factor yang mempengaruhi eskalasi konflik agraria, (1) Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata, (2) Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan nonpertanian, (3) Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah (wong cilik), (4) Tidak adanya pengakuan terhadap hukum adat (hak ulayat), dan (5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses pembebasan tanah. Menurut Maria. S.W. Sumardjono, secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu : a.
Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-lain;
b.
Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform;
c.
Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan;
d.
Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah;
e.
Masalah yang berkenaan dengan Hak Ulayat masyarakat hukum adat12.
Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru. Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata 12
Maris S.W Sumardjono, Puspita Serangkum Masalah Hukum Agraria, (Yogyakarta : Liberty, 1982), hal.28
13 Universitas Sumatera Utara
melainkan juga sebagai alat
ekonomi.
sekarang ini kelihatannya tanah sudah
menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat diperjualbelikan Eksistensi Tanah Ulayat Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan
hukum
(desa,suku)
untuk
menjamin
ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutua (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)13 Hak ulayat sebagai hubungan hukum yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu14 Menurut Suparman Marzuki (2008) dari dekade 1980-hingga akhir Orde Baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang 13
G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina aksara, 1985), hal. 88 14 Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
14 Universitas Sumatera Utara
seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat melindungi pemilik modal. Menurut Bushar Muhammad (2002:104), hak ulayat berlaku keluar dan kedalam. Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan yang bersangkutan. Hanya dengan seizin persekutuan. Serta membayar ganti rugi orang luar dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta menggunakan hak ulayat. Berlaku kedalam, karena hanya persekutuan dalam arti seluruh warganya yang dapat memetik hasil dari tanah serta segala tumbuhan dan binatang yang hidup dalam wilayah persekutuan. Hak persekutuan itu pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha para warga sebagai perorangan, demi kepentingan persekutuan. Eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 22 tentang Tenaga Listrik, Undang-undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang
15 Universitas Sumatera Utara
Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan15 Menurut Rustandi Ardiwilaga (1962), bahwa lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanda itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya. Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak memungut hasil (genotsrecht), setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di tempat yang lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan antara penggarap dengan tiap-tiap ladangyang pernah digarap, biasanya setelah tiga tahun penggarap kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapat diwariskan ke anak cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik. Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih dulu dibuat tanda-tanda batasnya. Dimasa reformasi, kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan sebagai hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan :
15
Rosalina, Eksistensi Hak Ulayat Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010
16 Universitas Sumatera Utara
1. Negara
mengakui
dan
menghormati
satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 2. Negara
mengakui
dan
menghormati
kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang16 Dalam konteks ini, pengakuan hak ulayat dapat dikatakan sebagai pengakuan bersyarat. Pengakuan bersyarat ini mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum bersungguh-sungguh membuat ketentuan membuat ketentuan yang jelas untuk menghormati dan mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang masyarakat adat dan hak ulayatnya sampai hari ini masih bersifat tidak jelas dan tidak tegas. Tidak jelas karena belum ada aturan yang konkret tentang apa saja hak-hak yang terkait dengan keberadaan masyarakat yang dapat dinikmatinya. Dikatakan tidak tegas karena belum ada mekanisme penegakan yang dapat ditempuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat, yang dapat dituntut dimuka pengadilan (Justiciable). Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan dan ketidak-mauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan (hak-hak) masyarakat adat. Tidak mampu karena persekutuan 16
Ibid
17 Universitas Sumatera Utara
masyarakat adat di Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, system sosial, antropologis dan agama. Tidak mau karena pengaturan yang kabur tentang masyarakat memberikan ruang diskresi dan hegemoni kepada pemerintah untuk dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya alam yang berada di wilayah masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat. Dalam sejarah perkembangan hukum tanah adat diberbagai daerah memang tampak adanya kecenderungan alamiah mengenai makin menjadi lemahnya hak ulayat karena pengaruh intern berupa bertambah menguatnya hak-hak individual para warga masyarakat hukum adatnya. Seringkali kenyataan itu diperkuat oleh adanya pengaruh ekstern terutama kebijakan dan tindakan pihak penguasa, berupa perubahan dalam tata susunan dan penetapan lingkup tugas kewenangan perangkat pemerintah di daerah bersangkutan17 Resistensi Petani Resistensi (inggris: resistance) berasal dari kata “resist” dan “ance” adalah menunjukan sebuah sikap untuk berperilaku, bertahan, berusaha melawan menentang atau upaya oposisi. Pada umumya sikap ini tidak merujuk pada paham yang jelas18. Resistensi petani merupakan usaha petani untuk mempertahankan tuntutan pokoknya berupa
mempertahankan
tanah
yang
merupakan
sumber
kehidupan
serta
17
Muhammad fauzan Hidayat, SH, Bentuk-bentuk penyelesaian konflik reclaiming dan pemdudukan tanah dilihat dari hukum tanah nasional, Tesis S-2, Undip, 2004 Hal 46 18 Http/id.m.wikipedia.org/wiki/resisten
18 Universitas Sumatera Utara
penghidupanya. Aditjondro (2002), menggambarkan bahwa pembicaraan perlawanan dalam konflik tidak lepas dari penindasan dan represi. Menurut Eric R.Wolf (1983) petani merupakan produsen pertanian yang bermata pencaharian dengan bercocok tanam dan bertempat tinggal di pedesaan. Hal ini berarti bahwa kehidupan petani amat tergantung kepada tanah pertaniannya sebagai tempat bercocok tanam. Oleh karena itu petani tidak dapat dipisahkan dengan lahan pertaniannya atau dengan kata lain tanah atau lahan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil dalam kehidupan petani. Beberapa ahli seperti Singarimbun dan Penny (1983) mengatakan bahwa hampir setiap aspek kehidupan petani akan dipengaruhi oleh akses mereka terhadap tanah tersebut. Dalam kaitannya dengan aspek politik dikatakan bahwa dinamika penguasaan tanah di daerah pedesaan dapat menjadi barometer baik harmonis ataupun ketegangan sosial politik ditingkat lokal. Begitu juga menurut Abunawan dalam Karsono (1984, Undri:2004) menurutnya tanah masih merupakan faktor penting dalam perekonomian pedesaan. Luas penguasaan lahan mempengaruhi besarnya pendapatan rumah tangga petani tersebut. Dengan semakin pentingnya tanah tersebut untuk dijadikan lahan pertanian memunculkan berbagai macam persoalan seperti konflik tersebut. Disamping kegiatan pertanian memerlukan tanah, pertambahan penduduk akan menyebabkan timbulnya kecendrungan semakin berkurangnya tanah untuk
19 Universitas Sumatera Utara
digarap, sehingga akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dibidang sosial dan sebagainya. Seperti di Jawa dikenal dengan istilah kemiskinan bersama oleh Geertz, yang disebabkan pertambahan penduduk yang tinggi sedangkan luas lahan tetap19. Di Sumatera Utara, seperti ditulis Pelzer, perkembangan perkebunan di Sumatera Timur juga menimbulkan kerawanan politik di daerah itu. Kerawanan politik itu bersumber pada persoalan agraria, yakni perkosaan hak milik tanah rakyat oleh pemilik perkebunan besar. Para pemilik perkebunan besar di Sumatera Timur dapat bertindak semena-mena terhadap petani karena memperoleh dukungan pemerintah maupun pihak Sultan Deli. Situasi ini menyebabkan petani tidak dapat banyak berbuat mempertahankan tanah mereka. Mereka, para petani itu, harus menghadapi aliansi tiga kekuatan, yakni Sultan, pemerintah kolonial, dan pemilik perkebunan. Walau demikian, menurut Pelzer, petani setempat pun berusaha mempertahankan tanah mereka20. Menurut Pelzer banyaknya tanah yang dikuasai perkebunan menyebabkan daerah Sumatera Timur mengalami problem pangan. Hal lain yang menarik yakni hubungan birokrasi pemerintah Belanda dengan perkebunan. Walaupun ada dukungan pemerintah Belanda terhadap perluasan perkebunan di Sumatera Timur, Pelzer juga memberikan bukti bahwa pada tingkat operasionalnya aparat pemerintah 19
Kemiskinan bersama tersebut diungkapkan oleh Geertz dalam melihat kehidupan masyarakatdi Jawa. Lihat Clifford Geertz, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.Terjemahan oleh S.Soepomo. Jakarta :Bhratara, 1976. Halaman .23 20 Karl J. Pelzer, Toean keboen dan petani: politik kolonial dan perjuangan agraria, 1985
20 Universitas Sumatera Utara
kolonial banyak juga yang peka terhadap problem sosial ekonomi petani setempat, yang muncul sebagai akibat politik agraria pemerintah kolonial. Aparat pemerintah itu berusaha melaksanakan tugas mereka tanpa membiarkan petani setempat terlalu dirugikan pemilik perkebunan21. Scott (2000), menjelaskan bentuk lain perlawanan yang disebut senjata perlawanan sehari hari. Petani atau senjata perlawanan orang-orang yang kalah (weapons of the weak) yang mengidentifikasi petani sebagai orang kelas bawah. Bentuk bentuk perlawanan jenis ini antara lain adalah mengambil makanan, menipu, berpura-pura patuh, mencuri kecil kecilan, pura-pura tidak tahu, mengumpat dibelakang, membakar dan melakukan sabotase. Metode ini dibuat bukan karena tidak berani secara terang-terangan, akan tetapi hal ini lebih dilandaskan pada prinsip moral subsistensi dan kesadaran petani tentang efektifitas perlawanan. Wiradi (2000) menerangkan bahwa kesenjangan perbedaan konsepsi dan persepsi antara mereka yang menggunakan konsep-konsep hukum
positif
(formal/legal) dengan mereka yang berada pada masyarakat adat, mengenai bermacam hak atas tanah. Masalah ini merupakan masalah yang rumit, karena melibatkan beragam struktur masyarakat dalam upaya membuat konsensus. Tanah tanah yang secara legal tidak ada sertifikasi diduduki oleh rakyat secara turun temurun atas dasar legalitas hukum adat yang berlaku digilas oleh hukum positif yang datang dari negara.
21
Ibid, halaman 143
21 Universitas Sumatera Utara
Antropologi Hukum Dalam Hilman hadikusuma (2004) dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum Antropologi hukum pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control) atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagaisarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial22. Antropologi hukum itu adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang manusia (antropos) yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud adalah manusia yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dan yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya (primitif) maupun yang sudah modern (maju) budayanya. Budaya yang dimaksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk
22
Http://abdulganilatar.blogspot.com/2011/05/sejarah-pemikiran-hukum-responsif.html
22 Universitas Sumatera Utara
perilaku budaya manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum23. Antropologi melihat hukum itu hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki. Dengan demikian adat masyarakat yang menjadi suatu sistem kontrol sosial itu akan mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuasaan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Hoebel: “Hukum itu ada pada masyarakat yang sederhana dengan hukumnya yang sederhana atau primitive law, hukum itu ada pada masyarakat purba dengan hukumnya yang purba atau archaic law, dan hukum itu ada pada masyarakat yang telah maju dan hukumnya yang modern24. Maka sebagaimana telah diuraikan di atas dapatlah diketahui bahwa antropologi hukum adalah ilmu tentang manusia dalam kaitannya dengan kaedahkaedah sosial yang bersifat hukum, sedangkan kaedah-kaedah sosial yang tidak bersifat hukum bukanlah sasaran pokok dalam penelitian antropologi hukum25. Menurut Ihromi (2001) antropologi hukum merupakan studi ilmiah tentang hukum dengan pendekatan ilmu sosial, namun pada hakikatnya berbeda dengan pendekatan ilmu hukum dogmatis. Untuk memahami bidang kajian tersebut
23
Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandar Lampung, 2004 h.4 24 Ibid, h. 8 25 Ibid, h.10
23 Universitas Sumatera Utara
diperlukan pengetahuan tentang hukum dan salah satu pengetahuan tentang hukum tersebut adalah yang dikembangkan serta dipoerluas oleh ilmu hukum tersebut. Hukum yang dipelihara serta dicetuskan para ahli hukum dan dipelihara para hakim merupakan satu bagian dari data empiris yang seharusnya di kaji para ahli antropologi hukum. Menurut Leopold J. Pospisil hukum dikenal melalui identitas yang mempergunakan atribut-atribut atau ciri-ciri yang dapat dipergunakan untuk membedakan hukum dari gejala-gejala sosial lainnya (misalnya ekonomi, politik dan lain-lain). Di dalam penelitiannya terhadap berbagai masyarakat, ia membuat suatu analisa perbandingan, sehingga menghasilkan 4 atribut hukum, yakni: 1. Wewenang (authority), merupakan kekuasaan yang diakui, sehingga keputusan- keputusan yang dihasilkan oleh pihak yang berwenang diikuti oleh pihak- pihak lainnya. 2. Tujuan agar hukum diperlakuakn secara universal (intention of universal application), apabila ada masalahmasalan di kemudian hari, maka hal itu akan diputuskan berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, walaupun kemungkinan terjadinya variasi tentu ada. 3. Hak dan kewajiban (obligation), ini harus ada di dalam setiap keputusan pihak yang berwenang. Di dalam keputusan-keputusan yang menyangkut hubungan antara pihak-pihak tertentu, maka salah satu pihak mempunyai hak atau wewenang, sedangkan pihak lain mendapat kewajiban atau tugas.
24 Universitas Sumatera Utara
Hak dan kewajiban tersebut hanyalah menyangkut pribadi-pribadi yang masih hidup. 4. Dan sanksi (sanction), hanya merupakan ciri bukan suatu kriterium utama atau pokok, sebab sanksi tersebut tidak selamanya berbentuk fisik tetapat bisa juga berbentuk kejiwaan atau psikologis26.
Dewasa ini ada kecendrungan luas untuk membatasi ruang lingkup antropologi hukum pada masalah sengketa yang terjadi di dalam suatu masyarakat, baik itu mengenai pola-pola sengketa, bagaimana reaksinya dalam masyarakat dan bagaimana cara mengatasi sengketa-sengketa tersebut, yang pada mulanya hanya bersifat menguraikan laporan tentang norma-norma hukum dalam masyarakat sederhana yang dikumpulkan dari para penulis pegawai pemerintahan kolonial dan para misionaris. Seperti pernyataan Laura Nader dalam bukunya “The Anthropological Study of Law”, antara lain dikemukakan masalah pokok yang merupakan ruang lingkup antropologi hukum sebagai berikut: 1. Apakah dalam setiap masyarakat terdapat hukum, dan bagaimana karakteristik hukum yang universal. 2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial. 3. Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tertentu, sedangkan variasi karakteristik hukum terbatas. 26
Soerjono Soekanto, 1984, Antropologi Hukum Materi Pengembangan, hal 164-167
25 Universitas Sumatera Utara
4. Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara hukum dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial. Mengapa pula hukum itu berubah. 5. Bagaimana cara mendeskripsi sistem sistem hukum, apakah akibat jika sistem hukum dan subsistem hukum antara masyarakat dan kebudayaan yang saling berhubungan, dan bagaimana kemungkinan untuk membandingkan sistem hukum yang satu dan yang lain27
1.3
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah dijelaskan diatas, maka
rumusan masalah dari peristiwa yang coba diteliti adalah kompleksitas konflik agraria di Desa Aek Buaton serta bagaimana hukum dimainkan oleh para pelaku konflik 1.4
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian mengenai konflik agraria di Desa Aek Buaton
ini adalah: 1. Mengetahui akar permasalahan yang menyebabkan konflik agraria di Desa Aek Buaton menjadi begitu kompleks 2. Mengidentifikasi para pelaku yang terlibat dalam konflik agraria di Desa Aek Buaton, serta bagaimana mereka memainkan hukum dalam konflik tersebut.
27
Hilman Hadikusuma, 1986, Antropologi Hukum Indonesia, hal 7
26 Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini secara umum bermanfaat untuk menambah wawasan dan harapannya mampu menjadi salah refrensi dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khususnya, karena konflik agraria merupakan salah satu permasalahan terbesar yang terjadi di Sumatera Utara. Secara akademis, semoga penelitian ini nantinya berguna menjadi salah satu refrensi kajian dalam menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.
1.5
Metode Penelitian Dalam penelitian kali ini, metode yang digunakan adalah etnografi. Etnografi
digunakan untuk meneliti perilaku-perilaku manusia berkaitan dengan perkembangan teknologi komunikasi dalam setting sosial dan budaya tertentu. Metode penelitian etnografi dianggap mampu menggali informasi secara mendalam dengan sumbersumber yang luas. Dengan teknik “Observasi partisipasif28”, etnografi menjadi sebuah metode penelitian yang unik karena mengharuskan partisipasi peneliti secara langsung dalam sebuah masyarakat atau komunitas sosial tertentu. Seperti yang diungkapkan Marzali (2005) etnografi merupakan ciri khas dari antropologi, ini artinya etnografi merupakan metode penelitian lapangan asli dari antropologi. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi partisipatif melalui wawancara mendalam kepada informan-informan yang terdapat di Desa Aek Buaton. Wawancara mendalam atau indepth interview diterapkan dalam penelitian kualitatif 28
Pengamatan yang dilakukan melibatkan peneliti secara langsung dalam kegiatan dilapangan, artinya peneliti bertindak sebagai observer yaitu merupakan bagian yang integral dari objek yang ditelitinya
27 Universitas Sumatera Utara
untuk mendapatkan persepsi, opini, prediksi dari seorang individu, dan fakta dalam konteks permasalahan tertentu. Wawancara mendalam juga diterapkan untuk mendapatkan gambaran mengenai reaksi individu terhadap sesuatu hal dan juga untuk mencari cara-cara pemecahan masalah tertentu. Spradley (1997) mengatakan bahwa ada lima syarat dalam menentukan informan yaitu: (1) enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, (2) keterlibatan langsung, (3) suasana budaya yang tidak dikenal, biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak akan basa-basi, (4) memiliki waktu yang cukup, (5) non-analitis. Tentu saja, lima syarat ini merupakan ideal, sehingga kalaupun peneliti hanya mampu memenuhi dua sampai tiga syarat adalah sebuah hal yang sah-sah saja. Apalagi, ketika memasuki lapangan, peneliti juga masih menduga-duga siapa yang pantas menjadi informan yang tepat sesuai penelitiannya. Informan kunci dapat ditentukan menurut konsep Benard (1994:166) yaitu orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan gembira memberikan informasi kepada peneliti. Informan kunci adalah orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan terhormat dan berpengetahuan dalam langkah awal penelitian. Orang semacam ini sangat dibutuhkan bagi peneliti etnografi. Orang tersebut diperlukan untuk membuka jalan (gate keeper) peneliti berhubungan dengan responden, dapat juga berfungsi sebagai pemberi izin, pemberi data, penyebar ide, dan perantara. Bahkan akan lebih baik
28 Universitas Sumatera Utara
apabila informan kunci mau memperkenalkan peneliti kepada responden agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dalam penelitian terkait Konflik agraria di Desa Aek Buaton ini, yang menjadi Informan adalah: 1. Husni Mubarak Nasution. Merupakan Kepala Desa Aek Buaton 2. Mangaraja Lobi Nasution. Merupakan salah satu Hotabangon Aek Buaton 3. Irwansyah Harahap, Masyarakat Aek Buaton 4. Baginda Raja Nasution, Masyarakat Aek Buaton 5. Marwan, Masyarakat Aek Buaton 6. Asrian Harahap, Masyarakat Aek Buaton Data yang dikumpulkan adalah berupa kata kata dan gambar. Data data ini berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto atau video, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen dokumen pendukung lainya. Semua hal yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Menurut James P. Spradley (1997) semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Semua kata yang digunakan oleh informan dalam menjawab pertanyaan pertanyaan anda dalam wawancara pertama adalah simbolsimbol. Simbol yang kita bahas dalam buku ini adalah istilah istilah penduduk asli (lokal) yang digunakan informan anda. Selain itu, membangun Rapport29 sangat diperlukan dalam melakukan penelitian, agar tercipta hubungan yang baik dengan
29
Membangun hubungan baik
29 Universitas Sumatera Utara
informan sehingga data data yang dihasilkan benar benar mampu mendekati fakta dilapangan. 1.6 Pengalaman Selama Melakukan Penelitian Dalam melakukan kajian terhadap Desa Aek Buaton, khususnya dalam rangka persoalan agraria yang sedang dialami masyarakat tersebut, peneliti beberapa kali melakukan observasi, tinggal dan menetap di wilayah tersebut. Pertama kali mengenal Desa Aek Buaton melalui berita media masa yang menginformasikan terjadinya bentrok antara warga masyarakat desa tersebut dengan pihak Kepolisian Sektor Barumun yang ditenggarai karena masyarakat berdemo menuntut pembebasan beberapa orang masyarakat Desa Aek Buaton yang ditahan karena melakukan pendudukan atas tanah yang secara adat merupakan tanah ulayat Aek Buaton. Penulis yang juga merupakan Staff kajian dan penelitian Kontras Sumatera Utara akhirnya melakukan investigasi dalam kasus ini, mencoba mencari akar masalah dan membantu proses advokasi terhadap Masyarakat Desa Aek Buaton yang tertangkap. Ini dimulai sekitar bulan Maret 2013 dan terhitung mulai dari situ penulis beberapa kali tinggal dan menetap di wilayah Aek Buaton. Selain itu, masyarakat Desa Aek Buaton juga tak jarang berkunjung ke Medan (Kantor kontras) untuk sekedar berdiskusi, ataupun bersama sama melakukan perjuangan membebaskan masyarakat Aek Buaton yang tertangkap. Mengingat topik permasalahan di desa ini berakar dari tanah ulayat, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam permasalahan tersebut dan menjadikanya sebuah
30 Universitas Sumatera Utara
skripsi. Tentunya dengan muatan dan nilai-nilai yang lebih antropologis dalam memandang masalah di Desa Aek Buaton ini. sebab, secara tersirat penulis menganggap perspektif antropologi harusnya di gunakan sebagi salah satu pendekatan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Dalam rangka mengisi beberapa data yang belum lengkap, akhirnya Penulis tepat pada bulan Maret tahun 2014 kembali menetap di Desa Aek Buaton untuk menyempurnakan proses penulisan skripsi ini. Adalah sebuah kenangan tersendiri ketika kembali menginjakkan kaki di desa ini. Jika pada kesempatan sebelumnya tugas penulis adalah untuk melakukan investigasi guna kepentingan advokasi, kali ini saya berganti peran sebagai seorang antropolog yang coba menggali setiap makna ditengah realitas konflik agraria di desa ini. Untungnya, penulis begitu banyak diberikan kemudahan oleh penduduk sekitar yang merasa telah banyak terbantu dengan adanya Kontras pada tahun lalu ketika mereka sedang dilanda konflik hebat. Penulis diantarkan bergantian menuju lokasi-lokasi yang dianggap penting untuk mengungkap permasalahan yang akan diteliti serta diberikan waktu untuk berdiskusi dengan Hotabangon Desa Aek buaton. Bahkan, masyarakat desa yang memberikan informasi-informasi baru dan saling berdebat untuk menentukan siapa orang yang paling cocok untuk penulis wawancarai. Diskusi-diskusi diwarung kopi merupakan aktifitas sehari-hari yang sungguh menyenangkan, walau terkadang topik pembahasan bisa jauh melenceng dari soal objek penelitian. Selain itu, penulis juga sempat ikut dalam diskusi diskusi serta usaha perjuangan masyarakat dalam merebutkan kembali tanah ulayat milik mereka. 31 Universitas Sumatera Utara
Bahkan penulis ikut serta melakukan pendudukan kembali bersama masyarakat, dimana masyarakat saat itu sedang melakukan aksi protes dengan cara mendirikan tenda dan tinggal di seputaran kawasan tanah yang sedang mereka perjuangkan. Penulis merasa desa ini sudah menjadi rumah kedua, benar-benar sebuah sambutan yang hangat dan sulit sebenarnya untuk diceritakan.
32 Universitas Sumatera Utara