BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tinggal di sebuah lingkungan yang asing membuat seseorang akan berusaha untuk beradaptasi dengan segala cara, mulai dari bahasa, cara berpakaian, sampai makanan yang dikonsumsi. Bulan Juni tahun 2013 sembilan orang mahasiswa UGM pergi ke Freiburg, Jerman untuk melakukan penelitian selama 30 hari. Demi membantu proses adaptasi saat di Jerman, salah satunya adalah para mahasiswa dipersiapkan dengan bekal kursus Bahasa Jerman dasar agar mereka dapat menggunakannya selama menetap di sana. Waktu keberangkatan pun akhirnya tiba, para mahasiswa kemudian mendiskusikan barang-barang yang mereka bawa, mulai dari berapa banyak baju yang dibawa, kekhawatiran jika berat koper melebihi batas, tetapi yang menarik terdapat satu mahasiswa yang memenuhi isi kopernya dengan makanan-makanan Indonesia, mulai dari tempe yang dikeringkan, sambal, abon, sampai beras ia bawa. Ia mengeluhkan bahwa dirinya sangat sulit beradaptasi dengan makanan di negara yang berbeda dengan Indonesia, sehingga ibunya membawakan persediaan makanan Indonesia selama di Jerman. Adaptasi terhadap makanan memang cukup sulit untuk dilakukan. Selama empat hari pertama saya dan seorang teman mencoba untuk bertahan tanpa mencari makanan dari Asia dan berusaha beradaptasi dengan kebiasaan makan yang dimiliki orang Jerman. Saat pagi mengonsumsi roti atau sereal, makan siang
akan diisi dengan roti, pasta atau kebab yang dijajakan orang Turki, dan makan malam bisa kembali dengan pasta atau kentang dengan daging. Namun, kebiasaan ini kemudian berubah saat kami menemukan sebuah restoran Asia yang dikelola orang Vietnam, memakan nasi dengan tumis sayuran dan ayam goreng membuat kerinduan kami akan makanan Indonesia sedikit terobati. Usaha untuk beradaptasi dengan kebiasaan makan orang Jerman pun gagal, terutama untuk makan siang, dan kebiasaan untuk datang ke restoran Asia untuk makan siang pun menjadi langganan kami selama di sana. Pencarian para mahasiswa akan makanan dengan rasa Asia pun berlanjut, tidak hanya berhenti saat mereka menemukan restoran Asia, mereka juga kemudian menemukan sebuah toko yang menjual bahan-bahan pangan dari Asia. Melalui toko inilah kemudian rasa aman tercipta, saat mereka menemukan toko ini dan bisa membeli bahan-bahan pangan yang dapat memenuhi kerinduan mereka akan Indonesia, mulai dari mie instan, sambal, tempe, sampai terasi. Usaha seperti memasak makanan khas Indonesia pun dilakukan saat memiliki waktu berkumpul dengan sesama mahasiswa Indonesia dan menikmatinya sambil berbincang. Selain kegiatan terkait dengan penelitian, para mahasiswa berkesempatan bertemu dengan komunitas Indonesia di Freiburg dalam kegiatan arisan yang mereka lakukan sebanyak satu kali dalam sebulan. Arisan ini menjadi ajang bagi para mahasiswa untuk menikmati makanan Indonesia yang disajikan di sana. Melihat antusiasme para mahasiswa dalam menikmati makanan Indonesia walaupun mereka meninggalkan negaranya dalam kurun waktu yang tidak lama,
membuat saya memikirkan perasaan seperti apa yang dimiliki para anggota komunitas Indonesia di Freiburg saat menikmati makanan tersebut. Muncul sebuah pernyataan saat bertemu dengan para bapak-bapak, terdengar dari pembicaraan mereka saat menikmati makanan Indonesia, mereka menyebutkan “seperti berada di rumah kembali”. Perasaan ini pun juga dirasakan oleh para mahasiswa, mereka merasa senang saat memakan makanan khas Indonesia dan berkumpul bersama dengan orang Indonesia. Para mahasiswa yang baru saja menetap kurang dari tujuh hari sudah merasakan kerinduan akan Indonesia, perasaan ini akan jelas dirasakan lebih mendalam oleh para migran Indonesia yang telah menetap di Freiburg cukup lama. Pencarian akan rasa Indonesia selalu muncul pada diri para migran, salah satunya melalui makanan khas Indonesia, mulai dari pembelian bahan pangan di toko Asia, sampai pemesanan secara khusus secara daring untuk pembelian bahan pangan Indonesia yang sulit ditemukan di toko, seperti petai dan minuman bermerk teh botol. Sama halnya dengan para mahasiswa, demi memenuhi kerinduan mereka akan Indonesia, para migran mengobatinya dengan cara memasak dan memakan makanan Indonesia. Menjadi hal yang menarik bagaimana pemaknaan akan Indonesia dapat tersaji melalui konsumsi makanan khas Indonesia dalam komunitas. Terdapat halhal yang dapat dibahas lebih jauh mengenai komunitas Indonesia dan para anggotanya melalui makanan. Saat makanan dapat menyatukan berbagai latar belakang etnis dalam satu rasa masakan khas Indonesia.
B. Tinjauan pustaka Kajian mengenai makanan dan memori dilakukan oleh Sutton (2001) dalam Remembrance of Repasts yang menceritakan mengenai peran makanan dapat membangkitkan memori masa lampau pada masyarakat Kalymnos, Yunani. Sutton menjabarkan bagaimana pengalaman seperti memasak, perubahan pola makan, menulis dan membaca resep, dapat membentuk memori yang berkesan bagi seseorang, dan membentuk pemaknaan baru pada sebuah makanan. Tulisan lain berbentuk esai terkait dengan makanan dan relasinya terhadap memori juga pernah dibuat oleh Sutton (2008) berjudul A Tale of Easter Ovens: Food and Collective Memory. Sutton (2008) mengungkapkan apa yang sebenarnya dimaksud dengan memori dan bagaimana peran makanan dalam menciptakan memori tersebut, serta hubungan timbal balik antara keduanya dalam kaitan dengan pemaknaan. Kajian makanan dan kaitannya dengan kebudayaan ditulis oleh Foster dan Anderson (1986). Makanan, menurut Foster dan Anderson makanan berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya. Salah satu kaitan makanan dengan kategori budaya seperti, sebagai ungkapan sosial, dan kesetiakawanan kelompok. Kaitannya dengan ikatan sosial, orang-orang saat berkumpul dengan yang disayangi dan makan bersama menemukan ketentraman, sehingga mereka dapat mengungkapkan perasaan. Sedangkan kaitan makanan dengan kesetiakawanan kelompok, terlihat melalui makan bersama yang melambangkan keakraban keluarga.
Terdapat pula artikel yang ditulis oleh Holtzman (2006) berjudul Food and Memory, di mana ia mengkaji teori-teori mengenai makanan dan memori dalam beberapa topik, seperti gender, identitas, tradisi, dan penciptaan serta pembentukan memori. Analisis Holtzman mengenai masalah ini kemudian menghasilkan pendapat bahwa makanan dapat menjadi medium untuk pertukaran yang menyimpan makna, di sisi lain memori adalah hal yang personal dari pengalaman, di mana berimplikasi pada makanan. Makanan dapat digunakan sebagai alat untuk melihat isu yang lebih luas juga dibahas oleh Mintz (1996) dalam buku berjudul Tasting Food, Tasting Freedom. Kaitannya antara makanan dan memori adalah dalam makanan tertanam berbagai aspek seperti adanya relasi dengan orang lain dan Tuhan. Makanan akan selalu dikonstruksi secara berbeda dan menghasilkan makna yang berbeda pula di setiap golongan masyarakat. Kaitan antara makanan dan pengaruhnya terhadap memori ditulis juga oleh Waxman (2008). Ia menuliskan mengenai perbedaan makanan yang berkaitan dengan memori dan bagaimana pembentukan memori mengenai makanan dimulai sejak mereka masih kecil. Sedangkan fenomena pencarian makanan sesuai dengan seleranya yang dahulu dimiliki ditulis oleh Fox (2002) dalam artikel berjudul You are What You Eat. Fox mengungkapkan bahwa saat seseorang pergi ke luar negeri, mereka akan mempunyai perasaan tidak aman dengan makanan yang baru mereka temui, sehingga pencarian akan makanan yang memiliki rasa sesuai dengan kebiasaan
mereka. Artikel lain yang ditulis juga oleh Fox (2002) berjudul The Myth of Nutrition, Fox menuliskan mengenai pengaruh yang diberi makanan terhadap aktivitas dan lingkungan sosial. Lebih jelas lagi ia menyatakan bahwa makanan dan proses makan merupakan fokus dari simbol aktivitas serta ruang di masyarakat. Jika melihat makanan saling berkaitan dan berperan dalam kehidupan sosial, maka makanan dapat menjadi pranata sosial, ditulis oleh Koentjaraningrat (1990). Jika dikaitkan antara makanan dengan pranata sosial, yaitu sebagai sistem norma atau aturan-aturan yang mengenai suatu aktivitas masyarakat yang khusus. C. Rumusan masalah Bertemu dan berbincang bersama beberapa anggota komunitas Indonesia di Freiburg, kemudian mendengar bagaimana ingatan Indonesia itu muncul saat mereka berkumpul dan mengonsumsi makanan khas Indonesia. Saat topik mengenai Indonesia muncul, banyak hal yang mereka sebutkan, mulai dari keluarga, daerah asal mereka, sampai kebiasaan mereka sehari-hari saat tinggal di Indonesia. Namun, semua itu kemudian merujuk pada satu hal, yaitu makanan, di mana akan mengkaitkannya pada topik seperti rumah, keluarga, dan kampung halaman. Melalui beberapa hal yang ditemukan saat mendengar kisah para anggota komunitas, mengenai peran dan pengaruh makanan Indonesia dalam kehidupan pribadi serta komunitas yang mereka miliki, membuat saya tertarik melihat fenomena ini lebih lanjut. Bagaimana identitas keindonesiaan dapat muncul
melalui konsumsi makanan khas Indonesia? Saat anggota komunitas ini terdiri dari berbagai latar belakang etnis, selera, dan agama. Maka saya merumuskan penelitian ini dalam beberapa pertanyaan: 1.
Pola makan dan makanan sehari-hari seperti apakah yang dikonsumsi migran Indonesia?
2.
Kapan dan dalam situasi seperti apa mereka mengonsumsi makanan khas Indonesia?
3.
Bagaimana bentuk keindonesiaan yang muncul saat mengonsumsi makanan khas Indonesia?
D. Kerangka pemikiran Terkait dengan makanan dan pengaruhnya terhadap memori yang kemudian menghasilkan pemaknaan pada suatu makanan, menurut pemikiran Sutton (2001) akan berkembang secara berbeda saat orang tersebut berpindah jauh dari daerah yang mereka anggap nyaman. Momen ini menurut Sutton akan membuat seseorang mencoba menciptakan rasa nyaman tersebut, dengan menciptakan rasa yang terbiasa dengan selera mereka. Penciptaan rasa ini berbentuk replika, mulai dari rasa sampai budaya. Sutton juga mengungkapkan penciptaan replika dalam sebuah makanan, dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan sense of the known, the habitable, through laboring over the familiar. Replika ini juga terjadi saat migran Indonesia berkumpul dalam arisan, makanan yang disajikan dibuat dengan rasa paling otentik seperti saat di
Indonesia, serta situasi saat mereka berkumpul dengan Bahasa Indonesia ataupun lokal, serta memakan makanan tanpa menggunakan sendok. Terkait dengan memori akan makanan yang kemudian menghasilkan pemaknaan yang berbeda saat mengonsumsi makanan, Mintz (1996) juga mengungkapkan mengenai perbedaan makna yang terjadi saat mengonsumsi makanan juga dipengaruhi oleh adanya perubahan pola makan. Saat seseorang mengalami perubahan pola makan, maka akan berpengaruh pada perubahan kebiasaan dalam mengolah serta mendapatkan makanan, dan pada akhirnya akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda pula saat mengonsumsi. Terlihat melalui adanya perubahan pola makan yang dimiliki migran Indonesia di Freiburg, sebelumnya mereka terbiasa mengonsumsi nasi baik sebagai sarapan dan makan malam. Namun, saat berpindah ke Freiburg dengan adanya keterbatasan dalam memperoleh bahan pangan khas Indonesia, mereka beralih dengan mengonsumsi roti di pagi hari, dan pasta sebagai selingan asupan karbohidrat lainnya. Alasan terlibatnya dan terwujudnya rasa kepemilikan para migran terhadap komunitas dipaparkan oleh Govers (2006) terhadap masyarakat Nanataclán, Meksiko, ia melihat bagaimana rasa kepemilikan terhadap komunitasnya, di mana terdapat kondisi bahwa orang tersebut telah berpindah dan tinggal jauh dari komunitasnya. Proses pembentukan rasa kepemilikan terhadap sebuah komunitas, Govers melihat bahwa makanan adalah material dasar untuk membentuknya, terutama pada saat terjadinya pertukaran makanan Makanan dapat menjadi alat pertukaran yang secara tidak langsung menjadi simbol dalam ritual dan memancing adanya pertukaran cerita yang muncul dalam sebuah komunitas, di
mana bagi Govers poin-poin inilah yang membangun rasa kepemilikan seseorang terhadap komunitas. Kaitannya dengan kegiatan komunitas Indonesia adalah melalui arisan yang mereka adakan setiap bulan, saat makanan yang disajikan menjadi alat yang membangun cerita antar setiap anggota dan menyatukan ide mereka akan ingatan mengenai Indonesia. Teori lain digunakan untuk melihat ide mengenai rumah yang tercipta melalui makanan, dapat dilihat melalui tulisan Morley (2000) makna mengenai rumah. Morley mengatakan bahwa rumah adalah ide dasar dalam terbentuknya solidaritas, rasa kesamaan akan rumah yang saling terkait. Disisi lain rumah juga merupakan ide yang imajiner, sama halnya dengan ide mengenai bangsa. Kaitan antara rumah dengan makanan adalah saat adanya ritual yang terjadi, seperti makan malam saat natal. Ritual makan yang terjadi di rumah saat ada perayaan tertentu akan mengonstruksi makna mengenai rumah dan keluarga. Selain itu Morley juga memaparkan bahwa saat berbicara mengenai ruumah selalu dikaitkan dengan “pulang kembali”, terdapat perasaan aman dan perasaan relasi emosional yang intens di dalamnya. Namun, makna rumah juga akan berbeda saat berhubungan dengan migran, rumah tidak akan mengacu pada satu tempat yang pasti. Rumah bagi migran akan menjadi suatu ide yang berbedabeda bagi tiap individu, tetapi akan tetap memiliki penghubung. Melihat penjelasan Morley dapat dikaitkan dengan migran Indonesia yang memiliki rumah dari daerah yang berbeda, tetapi saat di Freiburg rumah mereka terbentuk kembali menjadi satu ide yang sama, yaitu Indonesia secara umum.
Baumann (1999) saat melihat identitas seseorang yang hidup dalam masyarakat multikultural melalui tiga aspek, identitas nasional, identitas etnis, dan identitas agama. Saat melihat identitas etnis yang dimiliki oleh para migran Indonesia di Freiburg, identitas etnis ini dapat dipahami melalui metafora wine yang dilakukan oleh Baumann. Wine adalah minuman yang terbentuk melalui proses yang alami, sama halnya dengan identitas etnis yang terbentuk secara alami, yaitu kelahiran, saat seseorang lahir maka identitas etnis yang dimiliki sama seperti orang tuanya. Namun, pada akhirnya sampai proses perkembangan pembuatan wine sampai tahap akhir akan dipengaruhi oleh berbagai macam hal dari luar, seperti kondisi lingkungan yang membantunya dalam proses fermentasi. Selain itu kondisi sosial yang akan memberikan makna dan arti pada sebuah wine juga akan mempengaruhi, sama halnya dengan identitas etnis, di mana akan terbentuk dari pengaruh lingkungan dan kondisi sosial yang dibutuhkan untuk memberikan makna akan keberadaan mereka. Antara wine dan identitas etnis mereka tercipta melalui proses yang alami, tetapi pada akhirnya proses ini tidak diselesaikan secara alami, tetapi terdapat pihak-pihak dan elemen lain yang akan membentuk, serta memberi makna. Maka saat melihat identitas etnis yang dimiliki migran Indonesia, dapat dilihat perkembangannya melalui metafora yang digunakan oleh Baumann. Terdapat peran lingkungan komunitas dan keluarga mempengaruhi proses perkembangan identitas etnis yang dimiliki para migran saat berada di Freiburg. Disisi lain Baumann juga memaparkan pandangannya mengenai identitas agama, ia mengatakan bahwa saat melihat identitas agama yang seringkali orang
gunakan sebagai panduan arah dalam kehidupan, analogi kompas tidaklah sesuai terutama dengan kondisi masyarakat multikultural, sebab kompas akan selalu mengarahkan ke utara, dimanapun seorang individu itu berada. Sedangkan kepercayaan mengenai agama akan berubah saat individu itu berubah posisi, atau individu tersebut akan melihat dengan konteks yang baru. Maka analogi sekstan dipilih Baumann untuk melihat identitas agama, sekstan adalah alat yang digunakan para pelaut untuk mengkalkulasi posisi mereka tergantung dengan kondisi dari langit malam hari, sehingga akan menghasilkan arah yang berbeda tergantung dengan kondisinya. Jika dikaitkan dengan kondisi yang terjadi pada komunitas Indonesia dan KIMFO, maka agama dalam hal ini dapat melihat saat kondisi migran Indonesia yang memiliki kebutuhan lain selain berkumpul dengan sesama orang Indonesia, yaitu memperdalam agama. E. Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat pembentukan identitas keIndonesian lewat konsumsi makanan yang khas Indonesia. Melalui tujuan tersebut, terlihat pula peran makanan dapat menjadi alat untuk mengkaji berbagai persoalan, seperti identitas, politik, dan ekonomi. Kontribusi dari penelitian ini untuk kalangan akademisi yakni menambah wacana dan pembahasan baru mengenai topik makanan. F. Metode penelitian F.1 Penentuan lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di Freiburg, Jerman. Lokasi penelitian ini dipilih melalui keterlibatan dalam program penelitian jurusan Antropologi UGM bekerjasama dengan Ethnology Albert-Ludwig Universität, Freiburg. Kegiatan penelitan ini berlangsung dari 3 Juni sampai dengan 30 Juni 2013. F.2 Penentuan informan Sebelum kedatangan ke Freiburg, saya mengontak seorang mahasiswa yang berkuliah di Freiburg untuk mendapatkan gambaran mengenai anggota komunitas Indonesia. Setelah berada di Freiburg, penetapan informan dimulai dengan datang ke acara arisan yang diadakan oleh komunitas Indonesia dan berkenalan dengan beberapa anggota. Saat perkenalan yang dibantu oleh seorang mahasiswa, tergambar sedikit karakter dari para anggota yang hadir, seperti ibu yang paling jago memasak, ibu yang pintar membuat sambal, atau ibu yang makanannya paling laku terjual saat festival. Selain itu penentuan informan juga dilihat melalui lama tinggal mereka di Freiburg, seperti anggota yang telah menetap lebih dari 20 tahun dan telah berpindah warga negara, atau anggota yang menetap kurang dari lima tahun. Melalui perkenalan tersebut kemudian diputuskan untuk mewawancara beberapa golongan yang mewakili anggota komunitas, para ibu-ibu, bapak-bapak, mahasiswa, dan pemilik restoran Indonesia. Serta tambahan lain adalah orang Indonesia yang terlibat dalam komunitas Indonesia dan KIMFO (Keluarga Indonesia Muslim FreiburgOffenburg). 1. Ibu Sinta, koordinator dari komunitas Indonesia
2. Mbak Indri, orang Indonesia yang telah berpindah kewarganegaraan menjadi Jerman 3. Mbak Margaret, berpindah ke Freiburg belum terlalu lama, kurang dari lima tahun 4. Mbak Wini, salah satu anggota yang memiliki masakan yang menjadi favorit dalam komunitas 5. Dito, mahasiswa yang berkuliah di Freiburg dengan biaya sendiri 6. Kristi, berpindah ke Freiburg untuk program au-pair dan kemudian juga melanjutkan studi S2 7. Miriam, berpindah ke Freiburg untuk program au-pair dan sedang mencari universitas untuk melanjutkan studi S2 8. Mas Toni, anggota komunitas dan pemilik restoran Indonesia di Freiburg 9. Mas Seta, anggota komunitas Indonesia dan KIMFO Selain para anggota komunitas, dilakukan pula wawancara dengan Andreas Volz, dosen mata kuliah antropologi makanan di Ethnology AlbertLudwig Universität. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan kerangka pemikiran awal mengenai antropologi dan makanan saat memulai penelitian. F.3 Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dan observasi partisipan. Sebelum proses wawancara mendalam dilakukan, terlebih dahulu melakukan observasi dengan datang dalam kegiatan komunitas, yaitu arisan. Dalam arisan saya bertemu dengan anggota-anggota komunitas
Indonesia dengan beragam latar belakang etnis, seperti Jawa, Bali, dan Sunda. Saat berkenalan dengan anggota komunitas, selain memperkenalkan nama, mereka juga mengenalkan jenis makanan yang dibuat oleh para anggota. Terdapat anggota-anggota yang menonjol karena makanan yang dibuat menjadi favorit dalam setiap kegiatan arisan. Pada kegiatan arisan, belum dapat dilakukan wawancara, sebab ini merupakan pertemuan pertama dengan orang-orang Indonesia di Freiburg, sehingga wawancara dilakukan setelah kegiatan arisan selesai. Melalui kedatangan dalam arisan, didapatkan beberapa anggota yang menjadi informan. Tidak terlalu sulit mendapatkan kontak, sebab orang-orang di komunitas menyambut baik kedatangan para mahasiswa Indonesia di Freiburg. Wawancara pertama dilakukan dengan Mbak Wini di rumahnya saat makan siang. Makan siang tidak hanya dilakukan bersama Mbak Wini, ia juga mengajak ibuibu lain untuk bergabung, yaitu Ibu Sinta, Mbak Indri, dan Mbak Margaret. Kedatangan ibu-ibu lain saat makan siang memang disengaja oleh Mbak Wini dengan maksud untuk membantu saya agar tidak perlu repot-repot bertemu secara satu persatu. Pertemuan dengan beberapa ibu-ibu dalam satu acara merupakan kesempatan yang menarik, sebab saat mengangkat satu topik pembicaraan akan mendapatkan berbagai sudut pandang secara sekaligus yang sangat beragam. Saat mendapatkan data melalui wawancara, saya juga mendapatkan data melalui pengamatan lingkungan tempat tinggal Mbak Wini. Mbak Wini tinggal bersama suami dan putrinya di sebuah rumah susun yang letaknya di luar pusat kota.
Wawancara mendalam berikutnya dilakukan bersama pemilik restoran Indonesia, yaitu Mas Toni. Lokasi wawancara mengambil tempat di restorannya yang hanya beroperasi untuk menyajikan makan siang. Sebelum dilakukan wawancara, Mas Toni memperlihatkan restoran yang dikelolanya seorang diri, selain menyajikan makanan, ia juga menjual berbagai pernak pernik dan furnitur khas Indonesia. Penjualan ini tidak dilakukannya secara berkala, sebab untuk mengirimkan barang tersebut membutuhkan waktu dan memakan waktu yang tidak sebentar. Mas Toni juga menyajikan makanan yang hari itu sedang menjadi menu utama, yaitu rawon, makanan khas dari Jawa Timur. Rasa rawon yang disajikan sebenarnya tidak terlalu otentik, selain penggunaan daging sapi yang diganti dengan daging ayam, rasa kluwek, bumbu utama rawon yang memberikan warna hitam pun tidak terlalu terasa. Namun, kondisi saya yang berada di luar negeri dan rindu makanan Indonesia, saya tetap senang mengonsumsi rawon itu dengan perasaan senang. Konsultasi dengan dosen yang memiliki latar belakang antropologi makanan pun dilakukan, yaitu bertemu dengan Andreas Volz, seorang dosen di Universitas Freiburg. Dalam pertemuan yang dilakukan bersama Andreas Volz, ia memberikan penekanan bahwa saat meneliti tentang makanan, peneliti cenderung mengeneralisir definisi suatu makanan menjadi satu, seperti contohnya penyebutan makanan Tionghoa. Selain itu ia juga menambahkan bahwa menarik melihat perbedaan pandangan antara pelajar yang menetap sebentar dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang tinggal lama di Freiburg.
Proses wawancara juga diselingi dengan terlibat dalam festival interkultural. Keterlibatan ini dilakukan dengan cara mengikuti salah satu anggota, yaitu Miriam, mempersiapkan makanan yang akan dijual saat festival. Makanan yang dipersiapkan oleh Miriam adalah sate ayam dan risoles, pemilihan makanan ini berdasarkan dari pengalaman sebelumnya menjual makanan, dan dua makanan tersebut menjadi favorit bagi para pengunjung yang didominasi oleh orang luar Indonesia. Persiapan makanan ini dilakukan di tempat tinggal Miriam, lebih tepatnya sebuah kamar sekaligus dapur dalam satu ruangan. Terlihat bagaimana penyimpanan makanan Miriam didominasi dengan makanan khas Indonesia, tetapi ia sendiri jarang mengonsumsinya, hanya saat acara-acara tertentu saja. Keterlibatan dalam proses persiapan makanan ini memberikan gambaran baru mengenai perasaan akan kebanggaan menjadi Indonesia, saat makanan yang telah dipersiapkan dibeli dan dipuji akan kelezatan rasanya, saya turut merasa senang serta bangga walaupun tidak terlibat dalam komunitas. Perasaan ini pun terlihat selama festival berlangsung, saat penampilan tarian dari Indonesia tampil, saat makanan yang dijual oleh komunitas Indonesia cepat habis, dan saat orang-orang Indonesia berkumpul, baik mereka yang aktif ataupun tidak dalam komunitas. Miriam adalah salah satu mahasiswa yang datang ke Freiburg melalui program au pair, selain itu saya juga menemui Kristi, mahasiswa yang datang ke Freiburg melalui program yang sama dengan Miriam. Wawancara dengan Kristi cukup sulit, sebab sebagai mahasiswa S2 melalui program au pair, selain kuliah, ia juga harus menjaga anak-anak di keluarga di mana ia menetap. Sehingga
wawancara dilakukan melalui tiga kali pertemuan dengan cara mengobrol santai. Selain mahasiswa yang datang dengan program au pair, saya juga bertemu dengan mahasiswa Indonesia yang datang dengan biaya sendiri, yaitu Dito. Wawancara dengan Dito, memberikan pandangan baru mengenai kehidupan mahasiswa di Freiburg, serta memberikan fakta baru mengenai orang Indonesia yang tidak terlibat dalam komunitas Indonesia. Proses wawancara terakhir adalah bersama Mas Seta, ia merupakan mahasiswa S3 yang bergabung bersama komunitas Indonesia, serta ia juga tergabung dalam KIMFO (Komunitas Indonesia Muslim Freiburg-Offenburg). Selain mendapatkan gambaran kehidupan orang Indonesia dengan latar belakang yang berbeda, Mas Seta memberikan gambaran mengenai keberadaan dua komunitas, yaitu KIMFO dan komunitas Indonesia. Cerita mengenai KIMFO ini menjadi menarik, tetapi sangat disayangkan saat mengontak beberapa anggota KIMFO selain Mas Seta, tidak ada balasan dari mereka. Selain itu waktu untuk presentasi terakhir pun sudah dekat, sehingga tidak mungkin untuk melakukan wawancara dengan mereka. Secara
keseluruhan
proses
pengumpulan
data
dilakukan
dengan
wawancara dan terlibat dalam kegiatan komunitas Indonesia. Selama proses pengumpulan data dilakukan, terasa sangat mudah, sebab di awal pertemuan para anggota komunitas sangat menyambut baik kedatangan orang Indonesia lain di Freiburg. Namun, hambatan pun ditemui saat tidak mendapat tanggapan dari informan yang telah dihubungi.
F.4 Teknik analisis data Temuan data di lapangan diolah menggunakan analisis deskripsi. Data dari wawancara mendalam dalam bentuk rekaman, dibuat menjadi bentuk transkrip sehingga dapat dianalisis. Kemudian data dari transkrip dan catatan saat observasi partisipasi dianalisis secara sistematis untuk menemukan pola pemaknaan mengenai Indonesia yang muncul melalui makanan.