BAB I PENDAHULUAN
Evans syndrome merupakan suatu keadaan kelainan imun yang ditandai adanya kombinasi Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) dan anemia hemolitik autoimun (AIHA) yang terjadi secara bersamaan atau bergantian, tanpa etiologi yang jelas. Kondisi ini umumnya berlangsung kronis dan ditandai eksaserbasi dan remisi. Evans syndrome ditegakkan bila penyebab lain sitopenia autoimun seperti kondisi rheumatologic, keganasan, sepsis dan sindrom imunodefisiensi telah disingkirkan.1,2 Evans syndrome merupakan suatu diagnosis yang jarang dan angka kejadian yang pasti tidak diketahui. Evans syndrome pertama kali digambarkan pada tahun 1951 oleh Robert Evans ketika menyatakan bukti adanya hubungan antara acquired haemolytic anemia dan primary thrombocytopenic purpura. Syndrome ini dapat dialami baik laki-laki maupun perempuan, semua etnis dan semua usia. Pendekatan terapi hampir sama dengan AIHA dan ITP namun pada pasien ini memiliki kejadian relaps yang sangat sering dan membutuhkan terapi multi-agent.2 Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis dan penatalaksanaan Evans syndrome.
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI Evans syndrome merupakan suatu keadaan kelainan imun yang ditandai adanya kombinasi Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) dan anemia hemolitik autoimun (AIHA) yang terjadi secara bersamaan atau bergantian, tanpa etiologi yang jelas. Kondisi ini umumnya berlangsung kronis dan ditandai eksaserbasi dan remisi. Evans syndrome ditegakkan bila penyebab lain sitopenia autoimun seperti kondisi rheumatologic, keganasan, sepsis dan sindrom imunodefisiensi telah disingkirkan.1,2
SEJARAH Evans syndrome pertama kali digambarkan pada tahun 1951 oleh Robert Evans ketika menyatakan bukti adanya hubungan antara acquired haemolytic anemia dan primary thrombocytopenic purpura. Pada 24 pasien yang berumur 378 tahun, 4 anemia hemolitik disertai dengan trombositopenia namun tidak ada purpura, 6 dengan trombositopenia purpura primer dengan sensitisasi eritrosit namun tidak ada hemolisis dan 4 dengan hemolitik autoimun dan trombositopenia purpura (pasien yang lain digambarkan memiliki acquired haemolytic anemia (10 orang) atau trombositopeni purpura (5 orang)). Observasi terhadap kesamaan respon splenektomi mengarahkan Evans kemungkinan kelainan tersebut memiliki etiologi yang sama. Acquired haemolytic anemia dikarenakan autoantibodi, Evans
2
memperkirakan trombositopenia memiliki kesamaan penyebab yaitu karena autoantibodi terhadap trombosit, hipotesis ini didukung dengan adanya faktor platelet-agglutin-acting di dalam serum. Anemia dan trombositopenia dicirikan dengan variable onset, perjalanan penyakit dan respon terapi dan remisi spontan dan eksasebasi yang sering.1
EPIDEMIOLOGI Evans syndrome merupakan suatu diagnosis yang jarang dan angka kejadian yang pasti tidak diketahui. Penelitian pada pasien dewasa dengan imunositopenia dari tahun 1950 sampai 1958 termasuk 399 kasus AIHA dan 367 kasus trombositopenia, hanya enam dari 766 pasien mengalami Evans syndrome. Syndrome ini dapat dialami baik laki-laki maupun perempuan, semua etnis dan semua usia. Usia yang terdapat pada anak antara 5,5 – 7,7 tahun.3,4
PATOFISIOLOGI Meskipun Evans syndrome diperkirakan akibat gangguan regulasi imun, patofisologi yang pasti belum diketahui. Namun ada bukti yang menyatakan bahwa Evans syndrome akibat kelainan imunitas seluler dan humoral.2 AIHA merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibodi terhadap eritrosit sehingga umur erotrosit memendek. Perusakan ini terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya.5 Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai
3
dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuria. Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin karena antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan eritrosit pada suhu dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan eritrosit pada suhu tubuh.6 Pada aktivasi komplemen jalur klasik, reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen-antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen. C3 juga akan membelah menjadi C3d,g dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan dengan membran eritrosit dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b,2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8, dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan ion akan masuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.6
4
Jika sel darah merah disensitisasi dengan IgG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan dengan komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih lanjut, maka eritrosit tersebut akan dihancurkan oleh sel retikuloendotelial. Proses immune adherence ini sangat penting bagi perusakan eritrosit yang diperantarai sel immunoadherence, terutama yang diperantarai IgGFcR akan menyebabkan fagositosis.6 ITP merupakan suatu kelainan didapat yang berupa gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia (<150.000/ul) oleh karena adanya penghancuran trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit yang biasanya berasal dari IgG. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan hati setelah berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Adanya trombositopenia pada ITP akan mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular dan faktor koagulasi darah terlibat secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal.7 Faktor pemicu produksi autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan pasien mempunyai antibodi terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini. Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan degradasi. Sel penyaji antigen tidak
5
hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain. Sel penyaji antigen yang teraktivasi mengekspresikan peptide baru pada permukaan sel dengan bantuan kostimulasi dan sitokin yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4-positif T cell clone 1 dan spesifisitas tambahan (T cell clone 2). Reseptor sel immunoglobulin sel B yang mengenali antigen trombosit dengan demikian akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan juga meningkatkan produksi anti-glikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B-cell clone 1.7 Penelitian pada 6 orang anak ditemukan penurunan kadar sel T4 (Thelper), peningkatan T8 (T-supresor) dan rasio T4:T8 menurun dibandingkan dengan kontrol normal dan pasien dengan ITP kronik. Pasien anak umur 12 tahun ditemukan penurunan rasio CD4:CD8 meskipun jumlah limfosit CD4 dan CD8 berkurang bahkan setelah splenektomi. Juga ditemukan peningkatan produksi interleukin-10 dan interferon-γ yang mengakibatkan aktivasi autoreaktifitas, antibody-producing B cells. Kelainan imunitas seluler tidak jelas karena mereka juga ditemukan pada kondisi autoimun yang lain dan berhubungan dengan infeksi virus dan tidak spesifik Evans syndrome.1
6
Gambar 1. Patogenesis Penyebaran Epitop pada ITP
MANIFESTASI KLINIS Pasien dapat bergejala seperti AIHA atau ITP. Neutropenia terjadi pada 55% pasien atau pansitopenia. Terjadinya sitopenia kedua pada beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah sitopenia akibat rekasi imun yang pertama. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pucat, ikterik, tanda-tanda gagal jantung pada kasus yang parah, petekie, perdarahan mukokutaneus, limfadenopati, hepatomegali dan/atau
splenomegali
yang
mengakibatkan
nyeri
abdomen.
Kondisi
limfadenopati dan organomegali dapat bersifat kronik atau intermiten dan pada
7
beberapa kasus hanya muncul pada episode eksaserbasi akut. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri.3,4
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan darah lengkap sebagai sarana konfirmasi sitopenia dan apusan darah tepi dapat menunjukkan adanya polikromasia dan sferosit, dan dapat menyingkirkan diagnosis lain seperti keganasan, microangiopathic haemolytic anemia, hemolitik kongenital dan kondisi trombositopenia. Gambaran adanya hemolisis dapat terlihat dari peningkatan jumlah retikulosit, hiperbilirubinemia yang tidak terkonjugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin dijumpai di bawah 7 g/dl. Direct Antiglobulin Test (DAT)/ Direct Coomb’s Test sebagian besar menunjukkan hasil positif, bahkan jika tidak ditemukan anemia hemolitik, dan IgG dan/atau C3 positif. Antibodi antiplatelet dan antibodi antigranulosit dapat positif, namun hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis.3,4
Gambar 2. Morfologi Darah Tepi ditemukan Mikrosferosit dan Sel Polikromatik
8
DIAGNOSIS BANDING SLE, defisiensi IgA, CVID (Common Variable Immunodeficiency), acquired immunodeficiency syndrome, ALPS, PNH (Paroxysmal Nocturnal haemoglobinuria), acquired thrombotic thrombocytopenia purpura, defisiensi ADAMTS-13, haemolytic uremic syndrome (HUS) dan Kasabach-Merritt syndrome.1,2
PENATALAKSANAAN Tatalaksana Evans syndrome masih merupakan suatu tantangan. Terapi lini pertama ialah kortikosteroid dan/atau immunoglobulin intravena (IVIG). Pada kondisi akut yang mengancam jiwa, transfusi dapat diberikan. Dosis prednisolon 1-4 mg/kg/hari, metilprednisolon IV 30 mg/kg/hari selama 3 hari kemudian 20 mg/kg/hari selama 4 hari, kemudian tiap 1 minggu diturunkan menjadi 10,5,2,1 mg/kg/hari. Steroid akan menurunkan kosumsi antibody-coated platelet oleh limpa dan sumsum tulang, menurunkan produksi antibodi, dan meningkatkan produksi trombosit, menurunkan protein reseptor Fcr pada makrofag.7 Bagi pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi steroid dapat diberikan IVIG. Pemberian IVIG 0,4 g/kg/hari selama 4 hari, bahkan beberapa ahli menyarankan 5 g/kg untuk meningkatkan respon pada AIHA. Pemberian
berulang
monoterapi
IVIG
atau
kombinasi
dengan
steroid
menunjukkan hasil yang baik. Juga pada anak di bawah dua tahun, dimana pemberian steroid dapat menyebabkan supresi imun dan gangguan pertumbuhan. IVIG bersifat menghambat reseptor Fc sel retikuloendotelial, supresi produksi
9
antibodi. Sebagian besar pasien akan mengalami relaps jika terapi dihentikan sehingga memerlukan terapi lini kedua.8 Terapi lini kedua berupa agen imunosupresi (siklosporin, mycophenolate mofetil dan danazol), antibodi monoklonal: rituximab dan kemoterapi (vincristine). Splenektomi juga merupakan terapi lini kedua. Penggunaan terapi lini kedua berdasarkan kriteria klinis, umur pasien, keparahan penyakit dan riwayat perjalanan penyakit yang berhubungan dengan efek samping terapi.1
Gambar 3. Tatalaksana Evans Syndrome
Siklosporin untuk Evans syndrome ialah 5-10 mg/kg/hari diberikan dua kali sehari. Siklosporin digunakan sebagai pendekatan multi-agent, protocol menurut Scaradavou dan Bussel tahun 1995:1,2 I. steroid + IVIG II. pulsed IV steroid, IVIG, vincristine IV dan danazol oral
10
III. oral siklosporin (5-6 mg/kg/hari) Williams dan Boxer tahun 2003 mengobati 4 orang anak dengan Evans syndrome yang refrakter dengan pemberian steroid dan IVIG, sehingga diberikan vincristine (1,5 mg/m2/minggu) dan metilprednisolon (100 mg/m2/minggu) sampai jumlah trombosit >50x109/L yang diberikan bersama oral siklosporin 5-7 mg/kg dua kali sehari. Hasilnya tiga dari empat anak mencapai respon komplit setelah 412 bulan terapi.9 Mycophenolate
mofetil
(MMF)
suatu
inhibitor
poten
inosine
monophosphate dehydrogenase, menghambat proliferasi limfosit. Dosis yang diberikan 500 mg dua kali sehari, setelah dua minggu dosis dinaikkan menjadi 1 gram dua kali sehari. Obat ini digunakan jika tidak efektif dengan terapi siklosporin.1,2 Vincristine menghambat microtubule-dependent. Vincristine diberikan 1,5 mg/m2/minggu IV selama 3 minggu. Digunakan sebagai terapi multi-agent bersama dengan imunosupresan yang lain.7 Rituximab merupakan antibodi monoklonal dengan target CD20 pada limfosit B, dapat diberikan 375 mg/m2/dosis, pemberian 4 kali (1 kali tiap minggu). Remisi parsial dan remisi komplit terjadi 40%, sedangkan remisi minor terjadi 12%. Efek samping terapi ini antara laindemam, mual, hipotensi.10 Splenektomi sebagai terapi lini kedua pada pasien yang tidak berespon atau mengalami relaps terhadap pemberian terapi standar steroid dan IVIG. Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran eritrosit. Hemolisis masih bisa terus berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah
11
eritrosit terikat antibodi dalam jumlah yang jauh lebih banyak untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Splenektomi tidak boleh dilakukan pada anak <6 tahun.1,7 Terapi lini ketiga digunakan untuk pasien dengan penyakit yang sangat parah, relaps setelah terapi lini kedua. Agen yang digunakan siklofosfamid, alemtuzumab atau stem cell transplantation (SCT). Bagi pasien dewasa tua SCT bukanlah pilihan karena mortalitas yang tinggi dan angka kegagalan pada Evans syndrome, namun bagi pasien anak-anak dengan relaps kronik dan keadaan mengancam nyawa. SCT dari human leucocyte antigen (HLA) merupakan suatu pilihan yang memberikan prospek yang nyata.1 Siklofosfamid menginduksi remisi trombositopenia pada pasien refrakter dengan dosis 1-2 mg/kg/hari selama 2-3 bulan. Alemtuzumab merupakan antibodi monoklonal IgG yang spesifik terhadap antigen CD52 pada limfosit T dan B, monosit, dan eosinofil. Alemtuzumab diberikan dengan dosis 10 mg/hari selama 10 hari melalui infus intravena. Haemopoietic stem cell transplantation (SCT). Autolog dan allogenik SCT telah digunakan pada beberapa orang pasien dengan Evans syndrome dan 50% pasien tersebut bertahan hidup dengan remisi komplit.1,7
12
Gambar 4. Pendekatan Terapi ITP
Pada umumnya obat yang digunakan untuk terapi awal ITP menghambat terjadinya klirens antibodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor Fcg pada makrofag jaringan. Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian mekanisme ini namun mungkin pula mengganggu interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam sintesis antibodi pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit dengan cara mengalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk menghancurkan trombosit, sedangkan trombopoetin
13
berperan
merangsang
progenitor
megakariosit.
Beberapa
imunosupresan
nonspesifik seperti siklosforin bekerja pada tingkat sel T. Antibodi monoklonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T makrofag dan interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam produksi antibodi. Antibodi monoklonal yang mengenali ekspresi CD20 pada sel-sel B juga masih dalam penelitian. Plasmaferesis dapat mengeluarkan antibodi sementara dari plasma. Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi perdarahan.7
PROGNOSIS Evans syndrome memiliki episode rekuren relaps dan remisi baik untuk ITP maupun AIHA. Episode terjadinya ITP lebih sering dibandingkan AIHA. Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik. Penyebab kematian pada pasien ialah akibat perdarahan atau sepsis.6
14
BAB III PENUTUP
Pendekatan terapi hampir sama dengan AIHA dan ITP namun pada pasien ini memiliki kejadian relaps yang sangat sering dan membutuhkan terapi multiagent. Terapi lini pertama digunakan untuk kondisi akut dapat diberikan kortikosteroid dan IVIG. Terapi lini kedua dapat digunakan multi-agent, siklosporin, MMF dan rituximab. Splenektomi hanya memberikan respon jangka pendek namun dapat menurunkan terjadinya relaps. Stem Cell Transplantation (SCT) dilakukan pada kasus yang sangat parah dan bersifat refrakter. Allogenic SCT lebih baik jika dibandingkan autolog SCT namun keduanya memiliki risiko morbiditas dan mortalitas akibat reaksi transplantasi. Terapi dengan dosis tinggi dan dukungan stem cell memberikan harapan kesembuhan jangka panjang.
15