BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu pelayanan kesehatan rumah sakit yang dapat menggambarkan mutu rumah sakit adalah pelayanan pembedahan. Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka kegiatan pembedahan menjadi bentuk pelayanan kesehatan yang spesialistik. Kamar bedah gawat darurat pada suatu rumah sakit merupakan unit dengan biaya yang tinggi namun dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar bagi rumah sakit (Mean, 2010). Tim pelayanan kesehatan merupakan sekelompok profesional yang mempunyai aturan yang jelas, tujuan umum dan keahlian berbeda. Tim akan berjalan dengan baik bila setiap anggota tim memberikan kontribusi yang baik. Anggota tim pembedahan gawat darurat antara lain dokter bedah, anestesi, perawat, fisioterapis, radiolog, laboran, dan juga apoteker. Kolaborasi antar profesi dalam pendidikan dan praktek sebagai suatu strategi inovatif yang akan memainkan peran penting dalam mengurangi krisis tenaga kerja kesehatan. Praktek kolaborasi memperkuat sistem kesehatan dan memperbaiki hasil kesehatan. Kolaborasi yang kurang baik akan meningkatkan angka kesalahan dalam proses pelayanan kesehatan (WHO, 2010). Dalam suatu koordiasi terdapat adanya sifat saling tergantung dari setiap tim yang sifatnya berurutan (sequential interdependece), di mana suatu satuan organisasi harus melakukan pekerjaannya terlebih dulu sebelum satuan yang lain dapat bekerja. Jika salah satu tim ada yang tidak bekerja dengan maksimal akan mempengaruhi outcome dari tujuan yang ditetapkan. Mengatur berbagai multidisiplin tim dalam rumah sakit diperlukan seorang pemimpin
yang
disebut
direktur.
Tugas
direktur
rumah
sakit
adalah
mengkoordinasikan pelaksanaan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan, melaksanakan upaya rujukan serta pelaksanaan pelayanan yang bermutu sesuai standar pelayanan rumah sakit. Dalam melaksanakan kinerjanya diperlukan alat ukur indikator penilaian kinerja direktur. Dalam standart yang dikeluarkan
1
Kementerian Kesehatan RI (2014) Kamus indikator kinerja terpilih (IKT) untuk direktur utama area manajerial IKT-5 adalah Emergency Response Time II (ERT) yang merupakan waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan tindakan operasi cito. Pengumpulan data dilakukan dengan survey observasi langsung sejak pasien diputuskan operasi sampai dengan pasien masuk ruang operasi. Standart atau target yang ditetapkan adalah ≤ 120 menit. Tujuannya agar pelayanan kegawatdaruratan cepat, responsive dan mampu menyelamatkan pasien gawat darurat. Komponen koordinasi tim adalah komunikasi yang efektif. Komunikasi dalam suatu organisasi kesehatan dapat berupa tulisan dan atau komunikasi yang bersifat verbal serta non-verbal. Bentuk komunikasi tertulis antara lain rekam medik, resep serta surat edaran. Pada rekam medik, riwayat penyakit, diagnosis, rencana kerja dan instruksi pengobatan pasien dituliskan. Rekam medik menjadi sumber informasi siapapun yang ikut merawat pasien tersebut masa kini atau suatu saat nanti, bahkan pasien pun berhak membaca rekam medik tersebut. Penyebab memanjangnya waktu tunggu (keterlambatan) operasi gawat darurat adalah multifaktorial dan berbeda-beda pada tiap rumah sakit. Berdasarkan hasil penelitian Garg et al., pada tahun 2009, diketahui bahwa penyebab pembatalan operasi dikarenakan tidak tersedia waktu kosong kamar operasi sebesar 59,7%, adanya alasan medis dari pasien sebesar 10,8%, ketidakhadiran pasien pada hari operasi sebesar 16,2%, kemudian sebesar 5,4% pembatalan operasi elektif
dibatalkan oleh spesialis bedah karena perubahan
rencana operasi, 3,7% karena alasan administratif dan sekitar 4,2% dibatalkan karena alasan yang bermacam-macam. Rumah sakit pendidikan dan rumah sakit umum telah mengadakan audit response time operasi sesar gawat darurat untuk menilai standarisasi pelayanan. Hasil dari audit pada rumah sakit umum operasi sesar gawat darurat dilakukan pada kasus fetal distress, didapatkan 39 % sampai 66 % lahir dalam waktu 30 menit, sisanya mengalami keterlambatan. Keterlambatan waktu melahirkan akan berakibat bayi meninggal. Response time anestesi atau keterlambatan anestesi
2
menjadi faktor yang berperan terhadap keterlambatan proses melahirkan. (Lim et al., 1997) Terdapat perubahan konsep dari dasar-dasar perawatan pasien yang lebih baik. Bukti dari analisis retrospektif dan studi observasional prospektif menunjukkan bahwa banyak faktor yang berkontribusi terhadap jeleknya outcome pasien berasal dari kegagalan kerja sama tim dan bukan dari kurangnya keterampilan klinis. Dalam operasi, permasalahan kerja sama tim dan komunikasi terbukti memberikan kontribusi yang utama terhadap kegagalan operasi dan yang kedua adalah karena kurangnya kompetensi (Bogdanovic et al., 2015). Dengan demikian, pengaruh kerja sama tim pada perawatan pasien yang aman menjadi fokus penelitian. Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito telah menjalankan tugas dan fungsinya yaitu dengan menyediakan sumber daya manusia (SDM), fasilitas dan kompetensi untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan pelayanan, pendidikan, dan penelitian. Sebagai rumah sakit pusat rujukan, RSUP Dr. Sardjito memberikan pelayan tersier atau sub spesialis. Kegiatan pembedahan gawat darurat adalah bagian dari pelayanan kesehatan RSUP Dr. Sardjito dan dipusatkan di Instalasi Gawat Darurat dimana terkadang masih terdapat keterlambatan operasi. Dari wawancara yang pernah peneliti lakukan terhadap kepala IGD dan berapa staf medis, penyebab keterlambatan operasi gawat darurat di IGD RSUP Dr. Sardjito meliputi kurangnya kamar operasi, kurangnnya tenaga medis dan komunikasi antara dokter bedah dan anestesi tidak terjalin dengan baik.
3
B. Perumusan Masalah Operasi bedah gawat darurat merupakan salah satu operasi besar yang memerlukan keterlibatan dari berbagai disiplin ilmu. Diperlukan koordinasi tim (teamwork) yang tepat untuk meningkatkan outcome klinis pasien. Koordinasi tim yang kurang baik merupakan salah satu penyebab memanjangnya waktu tunggu dan keterlambatan operasi. Keterlambatan operasi gawat darurat
adalah merupakan parameter
untuk menilai kualitas perawatan pasien dan kualitas sistem manajemen terutama kinerja direktur. Makin tinggi jumlah kasus keterlambatan makin menggambarkan kualitas perawatan dan kualitas manajemen yang rendah. Dalam operasi, permasalahan kerja sama tim dan komunikasi terbukti memberikan kontribusi yang utama terhadap kegagalan operasi. Komunikasi adalah kunci koordinasi yang efektif. Koordinasi secara langsung tergantung pada perolehan, penyebaran dan pemrosesan informasi. Dari wawancara yang pernah peneliti lakukan terhadap kepala IGD masih sering terjadi keterlambatan operasi gawat darurat dari jadwal yang telah ditentukan. Salah satu penyebab keterlambatan operasi gawat darurat di kamar operasi RSUP Dr. sardjito adalah komunikasi yang kurang efektif. Bentuk komunikasi yang terjalin antara dokter bedah dan anestesi berupa jawaban konsultasi perencanaan operasi dan waktu terlaksananya operasi. Jika komunikasi tidak terjalin dengan baik akan berakibat pada keterlambatan operasi. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka masalah penelitian yang ada adalah keterlambatan operasi gawat darurat yang sering terjadi di RSUP Dr Sardjito dan peran koordinasi tim pelaksana bedah gawat darurat. C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah a. Mengetahui hubungan peran kordinasi tim terhadap keterlambatan operasi gawat darurat di IGD RSUP Dr. Sardjito yang diukur berdasarkan komunikasi antara tim bedah (waktu tunggu persetujuan dokter bedah dan anestesi/response time II).
4
b. Mengetahui jumlah keterlambatan operasi gawat darurat pada pasien gawat darurat di IGD RSUP Dr. Sardjito. c. Mengetahui faktor
– faktor lain yang berhubungan dengan
keterlambatan operasi gawat darurat pada pasien gawat darurat di IGD RSUP Dr. Sardjito meliputi: (1) Hari dan jam kerja (shift) pelaksanaan operasi (pagi, siang, malam), (2) asal Staf Medis Fungsional (SMF), (3) jenis anestesi, (4) kategori operasi, (5) asal pasien (IGD dan bangsal) D. Manfaat Penelitian Memberikan masukan untuk perbaikan manajemen rumah sakit secara umum dan khususnya terhadap manajemen kamar operasi IGD RSUP Dr. Sardjito. Selain itu juga sebagai informasi untuk peningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan operasi bedah gawat darurat di IGD RSUP Dr. Sardjito. Hal ini dikarenakan keterlambatan operasi akan mempengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk mengetahui peran koordinasi tim kususnya operasi bedah gawat darurat. E. Keaslian Penelitian Sudah ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk mengetahui tingkat efisiensi kamar operasi pada rumah sakit Beberapa penelitian yang penulis jadikan sebagai referensi antara lain: 1. Aman Mashuri (2012) dalam “Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Waktu Tunggu Persiapan Operasi Cito di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Karya Medika I Kabupaten Bekasi Tahun 2011”. Penelitian ini dilakukan dengan metode kwalitatif untuk melihat faktor-faktor meliputi pasien, administrasi, ketersedian ruangan paska operasi yang berhubungan waktu tunggu operasi cito Instalasi Gawat Darurat. Sedangkan pada penelitian ini dilakukan secara kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui peran koordinasi tim dalam pelaksanaan operasi gawat darurat di IGD RSUP Dr Sardjito. 2. Widodo Notoprojo (1998) dalam “Faktor - faktor yang berhubungan dengan pembatalan operasi di RSUD kelas B non pendidikan Kabupaten Serang”. 5
Penelitian Widodo Notoprojo (1998) adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk meneliti faktor – faktor yang berhubungan pada pembatalan operasi gawat darurat sedangkan penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan untuk mengetahui peran koordinasi tim dalam pelaksanaan operasi gawat darurat di IGD RSUP Dr Sardjito. 3. Wong et al.,(2010), Delay in the Operating Room Sign an Imperfect System, dalam penelitiannya melaporkan bahwa penyebab utama dari penundaan operasi adalah kerena alat medis yang tidak berfungsi, juga dilaporkan dengan adanya penundaan berdampak pada alur pasien dan utilisasi. Sedangkan penelitian ini untuk mengetahui peran koordinasi tim dalam pelaksanaan operasi gawat darurat di IGD RSUP Dr Sardjito. 4. Liana (1996), dalam penelitian “Faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan
operasi
di
IBS
Rumah
Sakit
Dr
Cipto
Mangunkusumo”melaporkan tingkat keterlambatan tindakan operasi 90,9% diantaranya dari keterlambatan provider adalah terbesar yaitu 80,8 % dengan waktu rata-rata 40 menit, keterlambatan PPDS anastesi 60,6% (37,6 menit) dan keterlambatan pasien 62,1 %, sehingga terdapat rata-rata waktu keterlambatan 42 menit. Liana juga melaporkan adanya pembatalan 12,4% dengan
alasan
terbanyak
adalah faktor
subjektif
pasien
misalnya
menunggu kedatangan keluarga (28,6%), sedangkan penyebab lainnya adalah lamanya operasi yang memanjang, serta tidak tersedianya logistik yang berhubungan dengan operasi (linen pasien,linen operasi). Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti di IGD RSUP Dr Sardjito adalah untuk mengetahui peran koordinasi tim dalam pelaksanaan operasi gawat darurat sementara sebagian faktor-faktor yang disebutkan oleh Liana akan menjadi variabel luar pada penelitian ini. 5. Schofield et al., 2005 dalam penelitiannya berjudul Cancellation of Operations on the Day of Intended Surgery at a Mayor Australian Refferal Hospital melaporkan bahwa terdapat pembatalan operasi sebesar 11,9% dengan alasan kamar operasi penuh, karena masih mengerjakan operasi
yang pertama (18,7%), tidak adanya tempat tidur post operasi
(17,8,1%), dibatalkan oleh pasien (17.1%), dan perubahan status pasien
6
(17,1%), dan lainnya adalah alasan
prosedural. Penelitian yang akan di
kerjakan di IGD RSUP Dr Sardjito adalah untuk mengetahui peran koordinasi tim dalam terjadinya keterlambatan operasi gawat darurat.
7