Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH A.1 Konflik Masyarakat Pegunungan Tengah: Salah Satu Potret Konflik di Papua Konflik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari baik sebagai individu maupun kelompok. Dalam relasi dengan sesama baik dalam lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja maupun dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, konflik bisa saja terjadi tanpa mengenal waktu dan tempat. Tanpa kita sadari apapun yang kita lakukan berkemungkinan menimbulkan konflik atau ketegangan dengan orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konflik sudah menjadi kenyataan kita sehari-hari. Konflik adalah sesuatu yang normal, alamiah dan merupakan bagian yang integral dari hidup manusia. Bila dilihat dari sudut pandang teoretis, Ralf Dahrendorf mengungkapkan bahwa konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omni-presence) dalam setiap kehidupan masyarakat manusia. Menurutnya, perbedaan pandangan dan kepentingan di antara kelompokkelompok masyarakat merupakan hal yang cenderung alamiah dan tidak terhindarkan. Namun pihak yang menolak sudut pandang itu mengatakan bahwa akan menjadi persoalan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan
1
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis dan merusak, melalui penggunaan cara kekerasan fisik.1 Menjelang runtuhnya pemerintahan Orde Baru pada periode pertengahan 1997 dan pasca kejatuhan rezim tersebut pada periode 1998, kenyataan bahwa konflik merupakan bagian yang integral dari hidup manusia seakan terbuktikan. Kehidupan masyarakat dalam berbagai segi yang semula diharapkan bakal cerah setelah Soeharto turun dari panggung kekuasaannya. Malahan hal tersebut justru menjadi mimpi buruk yang tak dapat dielakkan. Sejak saat itu kita telah mengalami pelbagai proses perubahan sosial ekonomi dalam skala besar. Pada tahun 1998 Indonesia juga ditandai oleh runtuhnya tatanan sosial: maraknya konflik antara suku, ras, agama dan antargolongan mulai sangat terasa. Konflikkonflik tersebut tampak dalam kerusuhan yang berhubungan dengan SARA, kerusuhan-kerusuhan karena pertikaian politik atau konflik karena ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik atau kerusuhan itu tidak saja meningkat dalam intensitasnya tetapi juga dalam hal penyebarannya. Hampir setiap pulau di wilayah Nusantara dilanda kerusuhan atau kekerasan. Misalnya konflik Aceh di Sumatera yang sudah berlangsung lama sejak tahun 1950 ketika status Aceh sebagai Provinsi dicabut dan dimasukkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara; Konflik Sanggau (Provinsi Kalimantan Barat)
1
Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society seperti yang dikutip dalam Syafuan Rozi,dkk., Kekerasan Komunal: Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, p. 4.
2
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
tahun 1997; kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998; Konflik di Maluku tahun 1999 dan sebagainya.2 Angin konflik juga berhembus sampai ke Papua, provinsi paling timur dari Indonesia dan turut mewarnai kehidupan masyarakat di sana. Mulai dari masalah kesenjangan ekonomi dan sosial antara penduduk asli dan para pendatang, penuntutan hak-hak suku berupa tanah ulayat, masalah pelanggaran HAM dan sebagainya yang berbuntut sampai pada keinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik itu terjadi antara sesama masyarakat Papua, antara masyarakat Papua dengan masyarakat pendatang, dengan pihak pemerintah, pihak militer dan sebagainya. Salah satu konflik yang juga turut mewarnai kehidupan masyarakat Papua adalah konflik yang melibatkan masyarakat Pegunungan Tengah, terutama di daerah Mimika. Konflik tersebut terjadi dalam beberapa bentuk seperti perang antar suku dalam masyarakat pegunungan tengah Papua, konflik antara masyarakat pegunungan tengah dengan pihak Freeport, pihak pemerintah ataupun militer. Perang antar suku sendiri merupakan bagian dari budaya masyarakat Pegunungan Tengah Papua dan sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang. Perang suku dapat terjadi karena adanya hambatan yang dianggap menghalangi
2
Bernard Raho, SVD., “Konflik di Indonesia-Problem dan Pemecahannya: Ditinjau dari Perspektif Sosiologis” dalam Mengolah Konflik Mengupayakan Perdamaian. Guido Tisera (editor), Maumere, LPBAJ, 2002, p. 122; P.Bambang Wisudo, “Melawan Wabah Kerusuhan dan Konflik Sosial”, 28 Februari 2001, http://www.kompas.com/kompascetak/0102/28/nasional/mela08.htm diakses 26 September 2007; Hikmat Budiman, 2002, “Memelihara Indonesia” http://hikmat.atspace.org/arsip/ esai_personal/esai/memelihara.html diakses 26 September 2007.
3
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
usaha perekonomian,3 masalah perzinahan, menuntut balas atas kematian salah seorang anggota suku, kesalahpahaman, pembayaran ganti rugi kepala dari korban yang mati karena bentrokan atau perang yang belum lunas, pelanggaran peraturan yang ditetapkan oleh dukun setempat.4 Namun sekarang ini, perang suku yang terjadi tidak lagi murni hanya karena alasan-alasan adat seperti yang dikemukakan di atas tetapi sudah ditunggangi oleh “kepentingan-kepentingan” pihak tertentu. Menurut Alosisus Renwarin dari ELSHAM Papua, bahwa ada indikasi pihakpihak tertentu memanfaatkan konflik masa lalu dan dijabarkan dalam konflik modern.5 Hal senada pun dibenarkan oleh sejumlah pemuka adat di Kabupaten Mimika yang menilai bahwa perang suku sekarang ini sudah tidak murni adat lagi.6 Perang suku sudah diwarnai kepentingan politik seperti masalah pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah putra asli Papua atau pemilihan anggota DPRD dimana fanatisme etnis sangat tinggi. Perang suku sendiri merupakan bagian dari budaya masyarakat Pegunungan Tengah Papua dan sudah berlangsung sejak jaman nenek moyang. Namun, ketika Injil mulai diperkenalkan di antara masyarakat Pegunungan Tengah, praktek budaya perang dilarang. Pemerintah pun turut campur tangan dengan melarang
3
Arnold Mampioper, AMUNGME : Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartensz, Jayapura, PT Freeport Indonesia, 2000, p. 67-69. 4 Friedrich Tometten, Di Belakang Gunung Terbitlah Terang, Wamena, Sekolah Alkitab Apahapsili, 2000, p. 74. 5
Ranesi, 31 Juli 2006, “Konflik Horizontal Mulai Merebak di Papua” http://www.ranesi.nl/arsipaktua/ Indonesia060905/ kabar_papua051117/ konflik_horizontal_ papua 060731 diakses tanggal 5 Oktober 2007. 6
Metronews, “Perang Suku di Kwamki Lama Melibatkan http://www.metrotvnews.com/ berita.asp? diakses tanggal 01 Desember 2007.
Suku
Lain”
4
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
praktek tersebut.7 Tetapi meskipun demikian, budaya tersebut tetap hidup dalam diri sebagian masyarakat Pegunungan Tengah Papua dan masih dilakukan hingga saat ini. Perang masih dipandang sebagai solusi yang tepat dalam menyelesaikan masalah dengan adil. Apalagi jika masalah yang dihadapi tak kunjung menemukan kata sepakat dalam perundingan-perundingan yang dilakukan. Lebih parah lagi jika masalah tersebut sampai menyebabkan jatuhnya korban jiwa, maka perang jelas tak dapat dihindari. Keharusan untuk menuntut balas dalam perang diwajibkan bahkan merupakan norma adat yang harus dipenuhi dalam kaitannya dengan wasiat orangtua.8 Dalam budaya masyarakat Pegunungan Tengah, prinsip nyawa ganti nyawa masih berlaku terutama dalam konflik atau perang. Maka dalam pelaksanaannya, perang baru akan berhenti jika korban di kedua belah pihak telah sama. Kalau pun tidak tetap harus diganti dengan “bayar kepala atau ganti kepala” yaitu membayar korban yang meninggal dengan beberapa ekor babi dan uang sesuai dengan yang diminta oleh pihak keluarga korban. Tak hanya terbatas pada perang antar suku saja, masyarakat Pegunungan Tengah pun terlibat konflik dengan pihak perusahaan PT.Freeport yang beroperasi di daerah Mimika. Mulai dari masalah hak-hak suku, masalah kecemburuan sosial ekonomi di antara sesama suku Pegunungan Tengah, masalah kesejahteraan sosial ekonomi dan hak-hak suku dalam hubungannya dengan PT.Freeport Indonesia 7
Arnold Mampioper, AMUNGME, Hal.68-69; F.C.Kamma, Pergerakan Besar di antara Bangsa-Bangsa Pedalaman (Balim dan sekitarnya): Perjuangan antara Injil dan Adat, Terlebih Pertemuan di antara Penduduk Pribumi dan Pekerja Zending dan Misi Roma Katholik. Suatu Masalah Komunikasi, Holandia (Jayapura), 1966, p. 39-51. 8
Tidak melaksanakan wasiat orang tua akan dipandang oleh orang se-sukunya sebagai orang yang tidak berbudaya dan ketidaksanggupan tersebut akan berbuntut malapetaka seperti penyakit, bencana panen dimana hasil kebun rendah atau panen gagal (ketidaksuburan), ternak tidak gemuk, bayi yang lahir kurang jumlahnya (ketidaksejahteraan) dan sebagainya (Arnold Mampioper, AMUNGME, p. 66).
5
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
serta perlakuan perusahaan itu terhadap suku-suku pegunungan. Perlakuan militer terhadap mereka pun turut menimbulkan ketegangan dan memicu terjadinya konflik, misalnya saja bagi mereka yang menjadi penambang liar di sungai-sungai yang merupakan aliran limbah Freeport dan berada dalam daerah konsentrasi perusahaan mereka. Konflik yang terjadi telah menyisakan penderitaan yang semakin panjang. Banyak orang meninggal, menjadi pengungsi karena kehilangan rumah maupun mengalami trauma sehingga takut menetap di tempat yang sebelumnya terjadi konflik. Banyak orang kehilangan keluarga atau sanaksaudara, rusaknya fasilitas-fasilitas umum yang ada seperti sekolah, rumah sakit, kantor, toko, pasar dan sebagainya sehingga para siswa terpaksa diliburkan dan perekonomian menjadi macet.
A.2 Peran Sebuah Ritual Perdamaian Dalam rangka mengatasi konflik yang terjadi dalam komunitas masyarakat Pegunungan Tengah maupun yang melibatkan mereka, ada upaya untuk memanfaatkan tradisi masyarakat lokal yang bernilai positif dan mendorong rekonsiliasi. Tradisi seperti itu lebih dikenal sebagai kearifan lokal yakni sebuah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, dikenali, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat.9
Di tengah-tengah budaya perang
dalam masyarakat Pegunungan Tengah, ada suatu tradisi yang mengandung nilai positif. Tradisi itu berupa sebuah “ritual perdamaian”. Ritual perdamaian ini
9
Ismatillah A.Nuad, Resensi Buku : Dari “Local Wisdom” ke Unity in Diversity” dalam Harian Kompas, 23 April 2007, p. 37.
6
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
terdiri dari prosesi-prosesi adat yang dilakukan dalam rangka mengakhiri konflik atau perang dan mengikat perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Emosi, kemarahan dan rasa benci yang awalnya berkobar dalam dada, ditinggalkan seiring dengan dilakukannya prosesi-prosesi ritual. Kalau menilik lebih jauh, sebuah ritual perdamaian tidak pernah terpisah dari hewan babi dan tidak bisa berlangsung tanpanya. Hewan ini tidak dikonsumsi sehari-hari tetapi hanya dalam acara-acara resmi dan upacara adat atau ritual-ritual. Bagi masyarakat Pegunungan Tengah Papua, hewan babi mempunyai peran dan pengaruh yang sangat penting dalam seluruh aspek kehidupan mereka baik itu ekonomi, sosial, budaya ataupun religi. Ritual perdamaian pada hakekatnya benar-benar mengikat. Siapapun yang telah terlibat dalam setiap prosesi-prosesi adat dari ritual ini dan memakan hewan babi yang dikorbankan sebagai babi perdamaian itu, mempunyai kewajiban untuk menjaga perdamaian. Bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut dipercayai akan mendapat sanksi adat ataupun sanksi magis, misalnya menderita sakit atau terkena malapetaka. Dengan demikian setiap anggota suku mempunyai tanggungjawab menjaga ikatan perdamaian yang telah diikrarkan itu. Ikatan perdamaian itu pun akan diingat oleh generasi penerus bahwa orang tua mereka pernah mengikat perdamaian dengan suku tertentu melalui ritual perdamaian bakar batu yang telah tuntas urusan bayar kepalanya.10 Cara mengingatkan generasi itu adalah dengan menceritakannya secara turun-temurun, terutama sekali
10
Menurut Nicolas Kogoya dalam Program Acara SOLUSI di Trans7, “jika dalam bayar kepala ada kepala yang belum dibayar atau dibalas maka dapat mengakibatkan perang muncul kembali 5 atau 10 tahun mendatang pada anak cucunya” (Acara SOLUSI dengan topik “Ritual Bayar Kepala” di Stasiun TV Swasta: TRANS7, Rabu, 11 Juli 2007, Pukul 23.00-00.00 WIB).
7
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
kepada keturunan laki-laki. Dengan demikian mereka tahu dan berhati-hati dalam tindakan maupun kata-kata. Juga menjaga jangan sampai melakukan atau mengatakan sesuatu yang membuat pertikaian terjadi lagi.11 Sebagai sebuah ritual perdamaian, biasanya dilakukan tatkala terjadi konflik antara dua atau lebih keluarga atau suku. Namun dalam perkembangannya sekarang ini, penggunaan ritual perdamaian tidak hanya terbatas pada masalahmasalah adat saja tetapi juga berkaitan dengan masalah politik, sosial ekonomi dan sebagainya. Ritual perdamaian pun tidak hanya dipakai menyelesaikan masalah yang melibatkan sesama masyarakat Pegunungan Tengah tetapi juga masalah yang melibatkan masyarakat Pegunungan Tengah dengan pihak-pihak lain seperti pihak pemerintah, militer, PT.Freeport Indonesia. Berdasarkan penyebab masalah dan pelaku dalam konflik berupa perang suku atau konflik yang melibatkan masyarakat pegunungan tengah dengan pihak lainnya, maka pemanfaatan ritual perdamaian itu sekarang ini dapat digambarkan dalam pengelompokkan sebagai berikut: 2.1 Ritual perdamaian dipakai untuk menyelesaikan masalah adat yang melibatkan masyarakat Pegunungan Tengah. Misalnya, ketika terjadi konflik antara suku Damal dan Nduga yang berawal dari kematian warga masyarakat Nduga yang diduga akibat disantet oleh warga suku Damal. Namun saat
11
Berdasarkan wawancara dengan Sdr.Diaz Wijangge, Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Pegunungan Tengah Papua dan salah seorang aktivis di ELSHAM Papua pada tanggal 06 Juli 2007 pukul 13.00 WIT bertempat di Kantor ELSHAM Papua di Kota Abepura (Jayapura).
8
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
jumlah korban di kedua belah pihak telah sama, perang sepakat dihentikan dan ritual perdamaian dilakukan.12 2.2 Ritual perdamaian dipakai untuk menyelesaikan masalah di luar masalah adat yang melibatkan masyarakat Pegunungan Tengah. Misalnya, yang dilakukan sewaktu terjadi konflik antara massa pro pemekaran dan kontra pemekaran provinsi Irian Jaya Tengah 26 September 2003. Massa dari dua kubu yang awalnya bertikai bersedia untuk berdamai dan melakukan ritual perdamaian. Prosesi-prosesi perdamaian pun dilakukan, didahului dengan kegiatankegiatan yang bersifat mengikat seperti pernyataan damai, penandatanganan pernyataan damai, prosesi patah panah, pernyataan sikap damai oleh kedua kubu, pembunuhan babi, bakar batu dan makan bersama13; Konflik yang terjadi di Kwamki Lama pada Juli 2006-September 2006 antara Suku Dani dan Damal. Konflik tersebut awalnya dipicu oleh kematian seorang anak dari warga suku Damal yang menimbulkan kecurigaan bahwa ia dibunuh oleh warga suku Dani. Namun, kemudian konflik itu dipakai oleh pihak-pihak tertentu sehingga bertambah luas. Ritual perdamaian sudah dilakukan pada 3 Agustus 2006, namun perang meletus lagi pada 1 September 2006 sehingga ritual harus dilakukan lagi pada 14 September 2006.14
12
KOR, “Dua Suku di Timika Sepakat Hentikan Perang” http://www.infopapua.com/odules.hp? op=modload&name=news&file=article&sid-1822 diakses tanggal 01 Desember 2007. 13
Ira, 27 September 2003, “Perang Resmi Berakhir: Kubu Pro dan Kontra Pemekaran Tandatangani Nota Perdamaian” http://s7digital.com/news/03/09/270903-perang_resmi_berakhir3975.html diakses tanggal 01 Desember 2007. 14
Skenario perang saudara yang terjadi di Kwamki Lama, Mimika, tampaknya bukan cerita baru lagi. Soalnya saat ini muncul dugaan, bahwa pihak yang biasa mengais rezeki di PT.Freeport, kekuasaannya dan kekuatannya dikurangi. Dan untuk kembali berperan, para pemain lama ini
9
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
2.3 Ritual perdamaian dipakai untuk menyelesaikan masalah adat yang melibatkan masyarakat Pegunungan Tengah dan pihak lain (pemerintah, militer, Freeport). Misalnya, penggunaan ritual dalam mengakhiri pertikaian antara masyarakat suku setempat yang marah karena tanah adat mereka atau gunung yang dianggap suci dalam budaya dan kepercayaan masyarakat, dimasuki dan dikelola oleh Frepoort. Penuntutan hak atas tanah dan implikasinya ke hak mendapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut turut mengakibatkan konflik dengan pihak perusahaan. Namun konflik itu berhasil diredakan dengan menggunakan ritual perdamaian. Walaupun ritual perdamaian selalu dilakukan, konflik antara masyarakat pegunungan tengah dan pihak perusahan selalu terjadi. Konfik di antara mereka sudah berlangsung lama sejak perusahaan tambang tersebut diizinkan beroperasi tahun 1967.15 2.4 Ritual perdamaian dipakai untuk menyelesaikan masalah di luar masalah adat yang melibatkan masyarakat Pegunungan Tengah dan pihak lain (pemerintah, militer, Freeport). Misalnya, ketika terjadi peristiwa kekerasan 28 September 2001 di Kecamatan Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya yang dilakukan oleh militer. Upacara tersebut dilaksanakan tiga kali namun pada saat upacara
masuk ke Kwamki Lama dan menyulut konflik suku Dani dan Damal sehingga perang saudara meletus. Menurut Komaruddin Watubun, Wakil Ketua DPRD, berdasarkan data yang terhimpun terungkap bahwa pertikaian di Kwamki Lama, tidak sekedar perang saudara. Soalnya perang yang terjadi pada 27 Juli 2006 sudah ada perdamaiannya pada 3 Agustus 2006 melalui ritual bakar batu dengan prosesi-prosesinya. Tetapi karena ada kepentingan tertentu, perang meletus lagi pada 1 September 2006 (John K.Pakage & Krist Ansaka, “Luka Lama Diakhir Tahun” dalam Tabloid Suara Perempuan Papua, No.19 Tahun III, Edisi Akhir Tahun 2006, p.21). 15
Jpnn, 2 Februari 2006, “Freeport Beroperasi Kembali: Ditandai Ritual Bakar Batu, Blokir Dibuka” http://www.infopapua.com/modules.php?op=modload&name= News&file=article&sid =3838 &mode=thread&order=o&thold=0 diakses tanggal 01 Desember 2007.
10
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
pertama berlangsung, tentara membakar honai dan merampas ternak sehingga konflik tetap berlangsung.16
B. FOKUS PERMASALAHAN Pada dasarnya, sebuah ritual mempunyai peran yang cukup penting dan pengaruh yang kuat dalam suatu kelompok masyarakat. Apalagi ketika terjadi konflik, ritual dapat menjadi sarana kohesi sosial. Demikian halnya dengan ritual perdamaian yang biasanya dipakai di kalangan suku-suku Pegunungan Tengah Papua. Ritual perdamaian itu menjadi suatu alat kohesi sosial yang mengikat masyarakat yang berada dalam suatu kelompok besar dengan worldview17 (berupa babi) yang sama. Idealnya, dengan terlibat dalam setiap prosesi termasuk mengorbankan dan memakan babi bersama yang merupakan worldview mereka dalam ritual perdamaian, maka kesadaran kolektif mereka digugah. Komitmen mereka diperbaharui kembali dan ikatan-ikatan sosial mereka kembali diperkuat. Namun, justru kenyataan dalam konteks di Papua sekarang ini malah sebaliknya. Ritual yang biasanya sering dipakai untuk menghentikan konflik dan mendorong rekonsiliasi atau perdamaian itu, yang dianggap memiliki makna tertinggi dalam tatanan sosial masyarakat Pegunungan Tengah, nampaknya tidak
16
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, Laporan dan Analisis : Peristiwa Kekerasan 28 September 2001 di Kecamatan Ilaga-Kabupaten Puncak Jaya, Jayapura, April 2002, p. 21-22. 17
Worldview yang dimaksudkan di sini lebih menuju kepada “pandangan bersama, konsep makna yang sama, identitas bersama” yang dianut oleh komunitas Masyarakat Pegunungan Tengah Papua.
11
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
dapat lagi menyelesaikan masalah. Meskipun ritual perdamaian telah dilakukan, babi perdamaian dibunuh dan dimakan, konflik berupa perang suku terjadi lagi.18 Fenomena ini menimbulkan kegelisahan dan menggelitik rasa ingin tahu dalam diri penyusun. Mengapa ritual perdamaian itu, yang diklaim mempunyai makna tertinggi dalam tatanan sosial masyarakat Pegunungan Tengah Papua sudah dilakukan tetapi konflik terjadi lagi? Apakah ritual perdamaian itu bisa menjadi ritual perdamaian dalam konflik antar sesama masyarakat Pegunungan Tengah dengan permasalahannya adalah masalah adat dan non- adat? Dan juga konflik antar masyarakat Pegunungan Tengah dengan pihak luar dimana permasalahannya adalah masalah adat dan non-adat? Mengapa bisa terjadi demikian?
Faktor-faktor
apa
yang
mempengaruhi
atau
mendorong
ketidakberhasilan tersebut? Padahal ritual itu dipercaya melibatkan seluruh kosmos karena arwah para leluhur menjadi saksi kesepakatan damai tersebut. Di samping itu, hewan babi yang dikorbankan dalam ritual tersebut merupakan hewan yang sakral dan punya pengaruh penting dalam kehidupan masyarakat Pegunungan Tengah dan menjadi semacam totem bagi mereka yang mampu melampaui batas-batas suku dan agama. Siapapun yang turut memakan babi perdamaian itu harus menjaga ikatan perdamaian tersebut karena dipercaya memiliki daya magis dan adat yang punya sanksi-sanksi tertentu. Namun seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa dalam pelaksanaan sekarang, justru 18
Misalnya, dalam konflik yang terjadi di daerah Kwamki Lama, Kabupaten Mimika pada 27 Juli 2006 lalu. Konflik itu sudah ada perdamaiannya pada 3 Agustus 2006 melalui ritual perdamaian di mana sejumlah ekor babi dibunuh dan kesepakatan untuk “membayar kepala” telah dilakukan. Tetapi pada 1 September 2007, perang meletus lagi dan diadakan perdamaian sekali lagi pada 14 September 2007 (John K.Pakage & Krist Ansaka, “Luka Lama Diakhir Tahun” dalam Tabloid Suara Perempuan Papua, p.21); Lihat juga kasus penggunaan ritual perdamaian dalam kekerasan di Ilaga berdasarkan Laporan dari Keuskupan Jayapura.
12
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
menunjukkan gambaran yang berbeda. Padahal, setiap kali terjadi konflik yang di dalamnya melibatkan masyarakat Pegunungan Tengah Papua, ritual ini selalu saja dipakai dan diupayakan untuk segera dilakukan agar perang atau konflik sesegera mungkin berhenti. Selanjutnya, penulis juga tertarik untuk melihat juga penilaian teologis seperti apa yang bisa diberikan oleh gereja pada masalah ini dalam rangka perdamaian di Tanah Papua. Dengan turut peduli pada masalah ini, gereja menjadi gereja yang kontekstual. Seperti yang diungkapkan oleh E.G.Singgih,19 bahwa gereja yang kontekstual adalah gereja yang sadar akan konteksnya. Sadar akan adanya konteks berarti gereja sadar akan adanya masalah di sekitarnya.
C. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan pemaparan di atas, penulis mencoba untuk merumuskan masalah dalam tesis ini sebagai berikut: 1. Apakah “ritual perdamaian” yang ada di kalangan masyarakat Pegunungan Tengah Papua itu bisa menjadi sebuah ritual perdamaian dalam: 1.1
Konflik antara sesama masyarakat Pegunungan Tengah dimana permasalahannya adalah masalah adat?
1.2
Konflik antara sesama masyarakat Pegunungan Tengah dimana permasalahannya adalah masalah non-adat?
1.3
Konflik antara masyarakat Pegunungan Tengah dengan pihak luar dimana permasalahannya adalah masalah adat?
19
E.G.Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi Dalam Konteks di Awal Millenium III, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, p.56-57.
13
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
1.4
Konflik antara masyarakat Pegunungan Tengah dengan pihak luar dimana permasalahannya adalah masalah non-adat?
2. Mengapa terjadi demikian? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi atau mendorong ketidakberhasilan ataupun keberhasilan tersebut? 3. Penilaian teologis apa yang bisa diberikan oleh gereja sebagai sebuah sumbangan positif atas permasalahan ini?
D. TUJUAN PENULISAN Penulisan dalam tesis ini bertujuan sebagai berikut: 1. Memperoleh
gambaran
dan
pemahaman
yang
jelas
apakah
“ritual
perdamaian” yang ada di kalangan masyarakat Pegunungan Tengah Papua itu bisa menjadi ritual perdamaian dalam: 1.1
Konflik antara sesama masyarakat Pegunungan Tengah dimana permasalahannya adalah masalah adat
1.2
Konflik antara sesama masyarakat Pegunungan Tengah dimana permasalahannya adalah masalah non-adat
1.3
Konflik antara masyarakat Pegunungan Tengah dengan pihak luar dimana permasalahannya adalah masalah adat
1.4
Konflik antara masyarakat Pegunungan Tengah dengan pihak luar dimana permasalahannya adalah masalah non-adat
2. Memperoleh pemahaman yang jelas penyebab terjadinya ketidakberhasilan ataupun keberhasilan penggunaan “ritual perdamaian” yang ada di kalangan masyarakat Pegunungan Tengah Papua itu sebagai sebuah ritual perdamaian.
14
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
3. Memperoleh gambaran yang jelas tentang penilaian teologis sebagai sebuah sumbangan positif yang bisa diberikan oleh gereja dalam permasalahan tersebut
E. HIPOTESIS Ritual perdamaian tidak bisa menjadi suatu pengikat atau perekat sosial jika dipergunakan antara kelompok masyarakat yang berbeda worldview dan permasalahannya bukan lagi masalah adat. Dan dalam hal ini GKI di Tanah Papua dapat berperan serta dalam memberikan penilaian teologis sebagai suatu sumbangsih positif bagi perdamaian di Kabupaten Mimika, Papua. Peran tersebut dapat terlaksana dengan baik apabila gereja menyadari betul konteks penggunaan ritual perdamaian itu dan mengetahui penyebab terjadinya ketidakberhasilan ataupun keberhasilan penggunaannya di lapangan.
F. METODE PENELITIAN F.1 Lokasi Penelitian Penulis akan melakukan penelitian dengan memfokuskannya di daerah Kabupaten Mimika, Papua dengan subyek penelitian pada suku Dani mewakili suku-suku Pegunungan Tengah lainnya. Alasan penulis memilih daerah tersebut sebagai lokasi penelitian dan subyek penelitian dikarenakan: (1) Daerah Timika merupakan daerah yang akhir-akhir ini terjadi perang suku di antara suku-suku dari daerah Pegunungan Tengah Papua. Di sana berdiam tujuh suku dari daerah Pegunungan Tengah Papua yaitu
15
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
Amungme, Dani, Damal, Nduga, Moni, Mee dan Komoro yang mendiami daerah pemukiman yang dibangun oleh PT.Freeport Indonesia. (2) Suku Dani merupakan salah satu dari suku-suku Pegunungan Tengah yang baru-baru ini terlibat perang suku di daerah Timika.
F.2 Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi karena yang akan diteliti di sini adalah budaya dari suatu kelompok tertentu. Penelitian kualitatif di sini merupakan penelitian yang lebih menekankan pada bagaimana mencari dan menemukan makna yang ada di balik setiap tindakan atau perilaku manusia yang ada. Sedangkan pendekatan etnografi (kebudayaan) di sini adalah pendekatan yang berupaya mendeskripsikan, menafsirkan dan menjelaskan kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat sebagaimana adanya dan berusaha memahaminya.20 Dalam pendekatan etnografi ini, pemaparan hasil penelitian di lapangan bersifat etik dan emik. Emik yakni lebih berkonsentrasi pada fenomena atau fakta sebagaimana diartikan oleh masyarakat setempat. Sedangkan etik yang dimaksudkan di sini adalah mengambil jarak dan memberikan interpretasi tingkah laku seturut arti yang diberikan oleh peneliti.21 Di sini, penulis akan mengambil salah satu suku
20
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Risdakarya, 2006, Edisi Revisi, p. 1-6, 25-26; Andreas B.Subagyo, Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif :Termasuk Riset Teologi dan Keagamaan, Bandung, Yayasan Kalam Hidup, 2004, p.62-63, 108109; Bnd. Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2003, p.50-51. 21
John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris. Jakarta, Gramedia, 1997, p. 12; Bnd. Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, p.36-37.
16
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
Pegunungan Tengah Papua sebagai contoh yang mewakili suku Pegunungan Tengah lainnya dengan alasan budaya mereka sama.
F.3 Teknik Pengumpulan dan Analisa Data Pengumpulan data akan dilakukan melalui wawancara dengan orang-orang yang terlibat dalam ritual perdamaian yaitu kepala suku, anggota suku maupun tokoh masyarakat. Data juga diperoleh melalui pemeriksaan dokumen berupa buku-buku, artikel, jurnal dan sebagainya. Dalam menganalisa data, penulis mencoba untuk mempergunakan pemikiran Emile Durkheim tentang totem yang telah menjadi sumbangan yang besar dalam dunia sosiologi agama-antropologi. Yang mana dalam pemikiran tersebut Durkheim melihat totem ini menjadi penggerak solidaritas sosial atau kohesi sosial di dalam masyarakat. Penulis menyadari bahwa pemikiran Durkheim ini adalah pemikiran yang lahir dari suatu studi mendalam tentang totemisme di Australia dalam kehidupan masyarakat asli di sana, dan penulis mencoba untuk memakainya dalam konteks kehidupan masyarakat di Papua. Pertimbangan penulis untuk tetap memakai teori: 1) Penulis mencoba untuk melihat gejala totemisme yang dipaparkan Durkheim itu dalam kehidupan masyarakat Dani (Masyarakat Pegunungan Tengah Papua); 2) Masyarakat Papua dan masyarakat asli Australia masih berada dalam satu rumpun ras yang sama yaitu Ras Melanesia sehingga masih ada kemiripan dalam ciri-ciri fisik orang dan budaya;22 3) Benua Australia dan Pulau Papua secara geologis dulu bersatu sebelum Zaman Es yang 22
Moh.Amir Sutaarga dan Koentjaraningrat, “Kebhinekaan Ras Penduduk Irian Jaya” dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk. Koentjaraningrat (editor), Jakarta, Djambatan, 1994, p. 110-116.
17
Theodora C.A.Mawene: Tesis Bab I ……….
terakhir berakhir sehingga jenis flora dan faunanya mirip, demikian pula dalam ciri-ciri fisik orang dan budayanya.23
G. JUDUL Berdasarkan semua pemaparan di atas, penyusun mencoba untuk merangkum tesis ini dalam judul sebagai berikut : RITUAL PERDAMAIAN: Pemanfaatannya dalam Konflik di Mimika sebagai Sebuah Sumbangsih Positif Bagi Perdamaian di Kabupaten Mimika (Papua)
H. SISTEMATIKA PENULISAN Keseluruhan pokok pikiran dalam tesis ini disajikan dalam sistematika sebagai berikut: Bab I
Merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, fokus permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, judul, metode penelitian serta sistematika penulisan.
Bab II
Berisi landasan teori
Bab III Berisi gambaran umum tentang lokasi penelitian, selayang pandang Suku Dani serta analisa ritual perdamaian Bab IV Berisi refleksi teologis Bab V
23
Kesimpulan dan Saran
Sda
18