BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kitosan merupakan polimer karbohidrat termodifikasi yang diperoleh dari deasetilasi kitin serta memiliki karakteristik yang baik dan unik meliputi kemampuannya yang biodegradable, biokompatibel, bioaktif, dan non-toksik, sehingga kitosan telah banyak dipelajari dan diteliti untuk penggunaan dalam bidang bioteknologi, water treatment, pertanian, farmasi, dan industri makanan (Kumar, 2000; Rinaudo, 2006; Shahidi dkk., 1999). Adanya gugus NH2 pada kitosan menjadi alasan mengapa kitosan memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan kitin pada berbagai aplikasi yang berbeda (Honarkar dan Barikani, 2009). Pada aplikasi tertentu diperlukan bobot molekul kitosan yang spesifik. Secara umum, kitosan dengan bobot molekul yang tinggi tidak dapat terlarut dalam air, dimana hal ini akan membatasi penggunaannya terutama dalam bidang kedokteran dan industri makanan. Kitosan yang terdegradasi akan memiliki bobot molekul yang lebih rendah sehingga dapat lebih mudah larut dalam air dan memiliki perbedaan signifikan dalam aktivitasnya sebagai antimikroba, antitumor, dan aktivitas pertumbuhan tanaman dibandingkan kitosan dengan bobot molekul yang lebih tinggi (Hien dkk., 2012). Radiasi dengan sinar gamma merupakan metode yang telah banyak diteliti dan terbukti efektif, sederhana,
1
2
reproduktif, dan ramah lingkungan dalam mengurangi bobot molekul kitosan serta dapat meningkatkan kelarutan kitosan dalam penggunaannya diberbagai aplikasi (Yoksan dkk., 2004 dalam Pasanphan, 2010; Choi, dkk., 2002). Radiasi sinar gamma akan menyebabkan modifikasi bobot molekul dan struktur kitosan. Modifikasi tersebut dapat memperbaiki kelemahan kitosan meliputi bobot molekulnya yang sangat besar sehingga kelarutannya rendah dalam air serta derajat deasetilasi yang masih rendah. Radiasi sinar gamma dilakukan menggunakan dosis 25 kGray karena merupakan dosis yang telah banyak digunakan dalam penelitian untuk mendegradasi rantai polimer kitosan. Kitosan yang telah diradiasi sinar gamma 25 kGray digunakan dalam formulasi nanopartikel menggunakan metode ionik gelasi dengan sambung silang natrium Tripolifosfat. Obat yang digunakan yaitu Gamavuton-0
[1,5-bis(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on]
yang merupakan salah satu senyawa analog kurkumin namun memiliki stabilitas yang lebih baik daripada kurkumin. Senyawa ini mempunyai aktivitas antioksidan dan antiinflamasi, serta memiliki aktivitas antitumor (Supardjan dan Ridho, 2006). Sebagai senyawa analog kurkumin, GVT-0 masih memiliki kelemahan yaitu kelarutannya yang rendah di dalam air, sehingga absorbsi dan bioavailabilitas GVT-0 menjadi rendah dan mengurangi efek terapi yang diharapkan. Dengan menggunakan sistem nanopartikel biopolimer dimana obat hidrofob dijerap, ditangkap,
3
diabsorbsi, atau diikat secara kimia dalam kompleks hidrofilik, diharapkan dapat memperbaiki kelarutan senyawa GVT-0 yang bersifat non polar tersebut (Thwala, 2010). Pada awal penelitian dilakukan karakterisasi sifat fisika kimia kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray. Setelah itu, dilakukan formulasi nanopartikel dengan variasi konsentrasi senyawa GVT-0, konsentrasi kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray, dan konsentrasi tripolifosfat. Rasio konsentrasi yang paling optimal selanjutnya dikarakterisasi dengan mengamati ukuran partikel, morfologi partikel, potensial zeta, dan entrapment efficiency. Diharapkan pada akhir penelitian ini akan diperoleh formula nanopartikel yang paling optimal sebagai model nanopartikel GVT-0 sebelum akhirnya dikembangkan lebih lanjut dalam skala besar dan diaplikasikan sebagai senyawa obat baru.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh radiasi sinar gamma dengan kekuatan 25 kGray terhadap sifat fisika kimia kitosan, yaitu karakter fisik, viskositas, dan derajat deasetilasinya? 2. Apakah kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dapat menghasilkan nanopartikel Gamavuton-0 dengan pengait silang Tripolifosfat melalui metode gelasi ionik? 3. Bagaimana karakteristik nanopartikel yang dihasilkan dengan kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray meliputi karakter ukuran dan
4
distribusi partikel, potensial zeta, morfologi partikel, serta entrapment efficiency?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dapat digunakan dalam formulasi
nanopartikel
Gamavuton-0
dengan
pengait
silang
Tripolifosfat secara gelasi ionik. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengaruh sinar gamma terhadap sifat fisika kimia kitosan melalui pengamatan fisik kitosan, uji viskositas, dan analisis derajat deasetilasi kitosan. b. Untuk mengetahui apakah kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dapat menghasilkan nanopartikel gamavuton-0 dengan pengait silang Tripolifosfat secara gelasi ionik. c. Mengetahui karakteristik nanopartikel yang dihasilkan dari kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray melalui pengamatan terhadap karakter ukuran dan distribusi partikel, potensial zeta, morfologi, serta entrapment efficiency.
5
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai penggunaan kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dalam formulasi nanopartikel Gamavuton-0 (GVT-0) dengan pengait silang tripolifosfat (TPP) secara gelasi ionik dalam perkembangan sistem penghantaran obat.
E. Tinjauan Pustaka 1. Kitosan Kitosan merupakan polimer karbohidrat alami termodifikasi yang diperoleh melalui deasetilasi kitin, sebuah biopolimer alami yang terdapat pada cangkang kepiting, udang, maupun lobster. Kitosan juga ditemukan dibeberapa mikroorganisme, yeast, dan fungi (Illum, 1998). Unit primer yang terdapat pada polimer kitin adalah 2-deoksi-2-(asetilamino) glukosa. Unit ini dikombinasikan dengan ikatan glikosidik β-(1,4), membentuk polimer rantai panjang yang linear. Deasetilasi kitin menggunakan NaOH pekat mengubah gugus asetamida pada kitin menjadi gugus amina dalam kitosan, namun proses asetilasi sulit untuk secara mutlak mengubah keseluruhan gugus asetamida menjadi amina sehingga kitosan tidak dapat dinyatakan sebagai poliglukosamin. Secara struktural, kitosan merupakan straight-chain polymer yang terdiri dari D-glukosamin dan N-asetil-D-glukosamin. Kitosan mempunyai rumus umum (C6H11NO4)n atau disebut sebagai poli(2-amino-2-deoksi-βD-glukosa) (Fernandez-Kim, 2004). Kitosan memiliki pKa 6,5 sehingga
6
kitosan dapat larut dalam sebagian besar larutan organik yang bersifat asam dan memiliki pH kurang dari 6,5 termasuk format, asetat, tartarat, dan asam sitrat (LeHoux dan Grondin, 1993; Peniston and Johnson, 1980). Kitosan tidak larut dalam fosforat dan asam sulfurat.
Gambar 1. Struktur Polimer Kitosan
Kelarutan kitosan, kemampuannya terbiodegarasi, reaktivitas, dan adsorbsi oleh banyak substrat tergantung dari jumlah gugus amino yang terprotonasi dalam rantai polimer, selain dari perbandingan jumlah unit Dglukosamin yang terasetilasi dan tidak terasetilasi. Gugus amina (pKa 6,2 – 7,0) akan terprotonasi dalam asam dengan pKa yang lebih rendah dari 6,2, sehingga kitosan dapat terlarut (Guibal, 2004; Kubota dkk., 2000; Kurita, 2006; Anthonsen dan Smidsroed, 1995; Rinaudo, 2006; Sankararamakrishnan dan Sanghi, 2006). Di dalam asam, gugus amina pada kitosan akan terprotonasi menjadi ammonium kuartener (-NH3+) sehingga kitosan menjadi bermuatan positif. Kitosan dipilih sebagai salah satu polimer yang baik untuk aplikasi biomedis
dan
farmasetik
karena
sifat
yang
dimilikinya
yaitu,
kemampuannya terbiodegradasi, biokompatibel, antimikroba, tidak toksik,
7
dan antitumor. Selain itu, kitosan dapat diaplikasikan dalam berbagai sediaan dan rute administrasi (Kumar, 2000). Obat
akan
berinteraksi
dengan
kitosan
melalui
interaksi
elektrostatik, ikatan hidrogen, dan interaksi hidrofobik (Tiyaboonchai, 2003). Selain itu, kitosan memiliki karakter unik sebagai polimer, yakni bersifat mukoadhesif atau dapat melekat pada permukaan mukosa. Karakteristik ini diakibatkan oleh interaksi ionik antara gugus ammonium kuartener kitosan dengan permukaan mukus yang bermuatan negatif. Saat melekat pada permukaan mukosa, kitosan dapat membuka sementara tight junction antar sel-sel epithel glikoprotein, yaitu asam sialat yang bersifat anionik. Pembukaan sementara ini memberi waktu yang lebih panjang bagi interaksi dan transport obat ke dalam sel (Schipper dkk., 1997). Kitosan tersedia dalam kisaran bobot molekul yang luas dan berbagai derajat deasetilasi. Bobot molekul dan derajat deasetilasi merupakan
faktor
utama
yang
mempengaruhi
ukuran
partikel,
pembentukan partikel, dan agregasi. Derajat deasetilasi merupakan derajat berkurangnya gugus asetil pada kitin yang mengalami perubahan menjadi amino dalam kitosan. Untuk pemakaian dalam formulasi sediaan farmasetik, kitosan harus memiliki persyaratan seperti berwarna putih atau kekuningan, densitas 1,35 dan 1,40 g/cm3, pH 6,5-7,5, kandungan kelembaban <10%, derajat deasetilasi 70-100%, material tidak larut <1%, tidak berasa, dan tidak berbau (Miyazaki dkk., 1981).
8
Umumnya, kitosan yang diperoleh dari deasetilasi kitin akan memiliki bobot molekul yang tinggi, kelarutan yang rendah didalam pelarut air, serta viskositas yang tinggi bahkan dalam larutan dengan konsentrasi rendah, dimana hal tersebut akan membatasi aplikasinya, terutama dalam bidang ilmu kesehatan dan makanan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kelarutan kitosan, diperlukan degradasi kitosan yang nantinya akan mengubah bobot molekul kitosan menjadi lebih rendah, sehingga kelarutannya dalam air akan meningkat. Kitosan dengan bobot molekul yang lebih kecil dapat dipreparasi secara kimiawi, radiasi, atau degradasi enzimatik dari polimer yang memiliki bobot molekul lebih tinggi. Diantara berbagai cara modifikasi tersebut, kemampuan radiasi sinar gamma untuk menginduksi polimerisasi telah terbukti sebagai metode yang efektif, karena memungkinkan preparasi dan sterilisasi dalam satu langkah teknologi, tanpa membutuhkan tambahan inisiator ataupun agen cross linker. Dalam reaksi radiasi, tidak dibutuhkan senyawa kimia dan tidak perlu untuk mengontrol temperatur, lingkungan, ataupun tambahan lainnya (Feng dkk., 2008). Secara spesifik, radiasi dapat menimbulkan reaksi seperti pemotongan rantai pada ikatan 1-4 glikosidik yang akan menyebabkan pengurangan bobot molekul dari polimer dan cross-linking yang sifatnya sangat kecil (Lim dan Tung, 1997). Radiasi sinar gamma diketahui dapat menyebabkan chain scissions (pemotongan rantai) pada polisakarida serta mengurangi viskositas dan bobot molekul polimer (Rao dkk, 2006). Kecepatan dosis yang tinggi
9
mendukung reaksi cross-linking (pengikatan silang) dan kecepatan dosis yang rendah akan mendukung pemotongan rantai. Berdasarkan penelitian Ocloo dkk (2012), dilakukan pengukuran viskositas dan bobot molekul rata-rata dari kitosan yang teradiasi 0, 5, 15, dan 25 kGy. Hasilnya adalah bobot molekul dari larutan kitosan menurun secara signifikan sesuai dengan dosis radiasi sebagai hasil dari degradasi. Penurunan yang sangat terlihat ketika dosis radiasi ditingkatkan dari 0 kGy sampai 5 kGy, namun setelah dosis tersebut penurunan bobot molekul tidak terlalu terlihat secara signifikan. Rashid dkk., (2012) dalam penelitiannya mempelajari efek dari radiasi gamma terhadap karakteristik kitosan dan mengindikasikan bahwa radiasi gamma dapat menimbulkan depolimerisasi yang sangat kuat pada kitosan yang diradiasi serta dapat meningkatkan derajat deasetilasi dengan semakin meningkatnya dosis radiasi yang digunakan. Paparan radiasi sinar gamma dapat menyebabkan fragmentasi kitosan yang diduga akan menghasilkan radikal pada posisi C1, C4, dan C5. Radikal pada
masing-masing posisi
tersebut
akan menghasilkan
pembukaan cincin kitosan maupun pemotongan rantai polimer kitosan yang diikuti dengan terbentuknya senyawa karbonil. Bertambahnya gugus C=O merupakan produk dari proses fragmentasi kitosan, dimana proses tersebut dipengaruhi oleh gugus-gugus yang terikat pada cincin piranosa seperti gugus CH, CH2OH, dan gugus amino. Radikal pada posisi C1 akan menghasilkan gugus ester dan keton serta menginisiasi pembentukan radikal pada posisi C5 yang nantinya menimbulkan pembukaan cincin
10
kitosan, sedangkan radikal pada posisi C4 akan menghasilkan gugus aldehid, dan posisi C5 akan menghasilkan gugus keton (von Sonntag, 1987; Ulanski dan von Sonntag, 2000 dalam Gryczka dkk., 2009).
C1
C5
C4
Gambar 2. Mekanisme radiolisis kitosan (Gryczka dkk., 2009)
2. Nanopartikel Nanopartikel merupakan dispersi partikel atau partikel padat yang memiliki ukuran antara 1 sampai 1000 nm. Nanopartikel mengandung material makromolekul dan dapat digunakan secara terapetik sebagai adjuvant pada vaksin atau drug carriers, dimana zat aktif akan terlarut,
11
terjerap, terenkapsulasi atau menempel kedalam matriks nanopartikel (Allemann dkk, 1993). Berdasarkan proses preparasinya, terdapat dua tipe nanopartikel yaitu nanosphere dan nanocapsule (Allemann dkk, 1993). Nanosphere merupakan partikel nano dengan sistem matriks (struktur monolitik) dimana obat terdispersi atau teradsorbsi ke dalam permukaan polimer. Sementara nanocapsule merujuk pada sistem membran, dimana obat ditangkap dalam rongga yang dikelilingi membran polimer (Nagavarma dkk, 2012). Namun, tipe partikel yang terbentuk tidak dapat dibedakan sehingga digunakan istilah nanopartikel untuk menyebutkan partikel berukuran nano secara umum (Tiyaboonchai, 2003). Tujuan utama pembuatan sistem nanopartikel sebagai salah satu sistem penghantaran obat adalah untuk mengontrol ukuran partikel, karakter permukaan dan pelepasan farmakologi dari zat aktif sehingga tercapai aksi obat yang spesifik secara terapeutik dengan kecepatan dan regimen dosis yang optimal (Mohanraj dan Chen, 2006). Secara singkat, sistem nanopartikel membantu untuk meningkatkan stabilitas obat/protein dan bermanfaat untuk menghasilkan sistem pelepasan obat yang terkontrol. Mohanraj
dan
Chen
(2006)
menjelaskan
keuntungan
pemanfaatan nanopartikel dalam sistem penghantaran obat, antara lain:
dari
12
a) Ukuran partikel dan karakteristik nanopartikel dapat dengan mudah dimodifikasi untuk mencapai baik target obat pasif maupun aktif secara penggunaan parenteral. b) Nanopartikel mengontrol dan menunda proses pelepasan obat selama transportasi dan pada saat sampai di tempat pengobatan, mengubah distribusi organ dari obat dan juga klirens obat dengan tujuan untuk meningkatkan efikasi terapi obat dan mengurangi efek samping. c) Karakteristik pelepasan terkontrol dan degradasi partikel dapat dengan mudah diubah sesuai dengan pemilihan matriks yang digunakan. d) Drug loading umumnya tinggi dan obat dapat digabungkan ke dalam sistem tanpa adanya reaksi kimia. Hal ini merupakan faktor penting untuk menjamin aktivitas obat. e) Target obat yang spesifik dapat tercapai dengan menempelkan ligan yang tertarget pada permukaan partikel atau melalui teknik magnetik. f) Sistem nanopartikel dapat digunakan untuk berbagai rute administrasi dan sasaran pengobatan, termasuk oral, nasal, parenteral, intra-okular, dan sebagainya. Hal ini dikarenakan nanopartikel masuk ke dalam sistem peredaran darah dan dibawa oleh darah menuju target pengobatan. Proses pemasukan nanopartikel ke dalam sel merupakan mekanisme pinositosis. Mekanisme uptake nanopartikel dijelaskan oleh Faraji dan Wipf (2009), sebagai berikut: a) Penempelan nanopartikel pada sel
13
b) Internalisasi nanopartikel melalui endositosis c) Pelepasan nanopartikel dari endosomal d) Degradasi kompleks nanopartikel oleh lisosom e) Obat bebas berdifusi dalam sitoplasma f) Penghantaran obat ke organel target oleh sitoplasma g) Eksositosis kompleks nanopartikel Nanopartikel dapat disiapkan dari berbagai macam material, seperti protein, polisakarida, dan protein sintetik. Preparasi nanopartikel yang paling sering dilakukan adalah menggunakan tiga metode sebagai berikut: dispersi polimer; polimerisasi dari monomer; dan gelasi ionik atau koaservasi dari polimer hidrofilik. Pemilihan bahan matriks (polimer) memiliki pengaruh dalam proses menembus membran saluran intestinal. Beberapa polimer dapat bersifat mukoadhesif seperti pada alginat, namun juga ada polimer yang membuka epithelial tight junction seperti pada kitosan. Kedua karakteristik tersebut mempermudah proses interaksi kompeks nanopartikel dengan permukaan mukus dan memperpanjang waktu aksi. Pemilihan matriks (polimer) yang digunakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: ukuran nanopartikel yang diinginkan; karakteristik dasar obat yang digunakan, seperti kelarutan dan stabilitasnya; karakteristik permukaan seperti muatan dan permeabilitasnya; tingkat biodegradabilitas, biokompatibilitas, dan toksisitas; serta profil pelepasan obat yang diinginkan (Kreuter, 1994).
14
Polimer
yang dapat
digunakan dalam sistem
penghantaran
nanopartikel dapat berasal dari alam maupun hasil sintesis, namun pada dasarnya polimer tersebut harus memenuhi kriteria yaitu biodegradable, biocompatible, non-immunogenic, non-toxic, murah, mudah disintesis dan dikarakterisasi (Tiyaboonchai, 2003). Beberapa polimer alami yang umumnya digunakan dalam formulasi nanopartikel adalah kitosan, natrium alginat, gelatin, dan albumin. Meskipun nanopartikel polimer memiliki banyak keuntungan, namun kenyataannya sulit untuk memperoleh sistem nanopartikel yang ideal. Penyiapan nanopartikel menggunakan polimer tidak larut air melibatkan panas, serta solven organik yang mengakibatkan rusaknya obat, sehingga penggunaan polimer larut air lebih efisien karena lebih sederhana dan tidak membutuhkan energi sebanyak polimer tidak larut air (Tiyaboonchai, 2003). Terdapat beberapa karakterisasi nanopartikel yang perlu diketahui, antara lain: a) Ukuran partikel Ukuran partikel dan distribusi ukuran adalah karakteristik paling penting dari sistem nanopartikel. Kedua hal tersebut menentukan distribusi in vivo, kondisi biologis, toksisitas, dan kemampuan targeting
dari
mempengaruhi
sistem drug
nanopartikel. loading,
Selain
lepasnya
itu,
obat,
dapat
dan
juga
stabilitas
nanopartikel. Semakin kecil partikel maka semakin besar luas permukaannya, sehingga banyak obat yang berada dekat atau pada
15
permukaan partikel menyebabkan obat dapat cepat terlepas dari sediaan. Metode yang saat ini paling umum digunakan untuk menentukan ukuran partikel adalah dengan Single-Particle Optical Sensing (SPOS) secara mikroskopi dan spektroskopi photon korelasi atau Dynamic Light Scattering (DLS). Photon-correlation spectroscopy perlu untuk mengetahui viskositas medium dan menentukan diameter partikel dengan gaya Brown dan sifat
penghamburan
cahaya.
Hasil
yang
diperoleh
kemudian
diverifikasi dengan scanning atau Transmission Electron Microscopy (SEM atau TEM). b) Karakter permukaan dari nanopartikel Parameter karakter permukaan dari nanopartikel yang terbentuk akan mempengaruhi
stabilitas
fisik
sediaan
yang
terbentuk
serta
mempengaruhi interaksi dengan sistem biologis. Hidrofobisitas permukaan nanopartikel menentukan jumlah obat yang diadsorbsi oleh komponen darah, terutama protein (opsonin). Hal ini mempengaruhi kondisi in vivo dari nanopartikel. Ikatan antara opsonin dengan permukaan nanopartikel disebut opsonisasi yang berfungsi sebagai jembatan antara nanopartikel dan fagosit. Obat yang dibawa oleh carrier non konvensional akan memodifikasi profil biodistribusi obat, terutama ke dalam mononuclear phagocytes system (MPS) seperti liver, ginjal, paru-paru, dan sumsum tulang belakang. Disisi
16
lain, nanopartikel yang tidak dimodifikasi permukaannya akan cepat teropsonisasi dan dibuang oleh makrofag yang terdapat pada organorgan MPS (Grislain dkk, 1983). Parameter yang umumnya digunakan untuk mengkarakterisasi permukaan nanopartikel adalah zeta potensial. Zeta potensial menggambarkan potensial elektrik dari partikel dan medium tempat partikel tersebut terdispersi. Nanopartikel yang memilki zeta potensial diatas ± 30 mV menunjukkan suspensi yang stabil, hal ini dikarenakan muatan permukaan akan mencegah agregasi antar partikel. Zeta potensial juga dapat digunakan untuk menentukan apakah muatan zat aktif telah terenkapsulasi didalam nanocapsule atau teradsorbsi ke dalam permukaan (Couvreur dkk, 2002). Pengukuran potensial zeta dapat dilakukan dengan alat Dynamic Laser Scattering (DLS), Zetasizer, Zeta Plus TM, Zeta Potensial Analyzer. c) Drug loading dan entrapment efficiency Entrapment efficiency merupakan parameter yang menggambarkan keberhasilan polimer memerangkap obat terlarut dalam proses pembentukan nanopartikel. Drug loading dan entrapment efficiency sangat tergantung pada kelarutan obat padat dalam bahan matriks atau polimer, dimana hal ini tergantung pada komposisi polimer, bobot molekul, serta interaksi obat-polimer (Govender dkk., 1999; Govender dkk, 2000; Panyam dkk, 2004).
17
Idealnya, sistem nanopartikel yang berhasil memiliki kapasitas drugloading yang tinggi, sehingga mengurangi jumlah bahan matriks (polimer) yang digunakan dalam administrasi obat. 3. Gamavuton-0 Senyawa gamavuton-0 (GVT-0) merupakan salah satu senyawa analog kurkumin yang memiliki nama kimia [1,5-bis(4’-hidroksi-3’metoksifenil)-1,4-pentadien-3-on]. Kurkumin sendiri memiliki banyak manfaat, antara lain memiliki efek hepatoprotektif terhadap berbagai hepatoksin, efek antiinflamasi, antikarsinogenik, antimikroba, serta menekan proliferasi sel tumor (Malesu dkk., 2011; Nurrochman dkk., 2012). Namun, pemanfaatan kurkumin sebagai agen terapi baru yang poten terhambat oleh karakteristik fisikokimia kurkumin yang peka terhadap cahaya dan pH, serta bioavailabilitasnya yang rendah akibat kelarutannya buruk dalam air. Stabilitas kurkumin dapat ditingkatkan tanpa mempengaruhi efek biologisnya, yakni dengan cara memodifikasi kurkumin menjadi GVT-0. Perbedaan antara kurkumin dengan GVT-0 terletak pada rantai tengah. Kurkumin memiliki rantai tengah 1,6-heptadien-3,5-dion, sedangkan rantai tengah GVT-0 merupakan 1,4-pentadien-3-on. Gugus β-diketon pada kurkumin diubah menjadi gugus monoketon. Hilangnya gugus karbonil dan gugus metilen pada kurkumin menjadi kerangka 1,4-pentadien-3-on, menjadikan GVT-0 sebagai suatu senyawa yang lebih stabil pada pH diatas 6,5 dibandingkan dengan kurkumin dan tetap mempunyai sifat
18
antioksidan.
Senyawa
ini
mempunyai
aktivitas
antioksidan
dan
antiinflamasi, serta memiliki aktivitas antitumor (Supardjan dan Ridho, 2006). Senyawa GVT-0 dapat disintesis dengan cara mereaksikan vanillin dan aseton menggunakan katalis asam melalui reaksi Claisen-Schmidt. Senyawa ini merupakan diena simetris pada bagian tengah yang menghubungkan dua cincin aromatik, sehingga GVT-0 memiliki dua bagian α,β unsaturated. Atom O karbonil memiliki karakteristik parsial negatif sehingga dalam kondisi terionisasi dapat bertindak sebagai nukleofil dan menyerang suatu kation. Pada GVT-0 tidak terdapat gugus metilen aktif seperti pada kurkumin. Gugus metilen aktif dapat terhidrolisis pada pH basa dan mengakibatkan degradasi fotokimia oleh cahaya (Tonnesen dan Karlsen, 1985), sehingga penghilangan gugus tersebut mengakibatkan GVT-0 lebih stabil terhadap pengaruh cahaya dan pH.
(a)
(b) Gambar 3. Struktur Kurkumin (a) dan Struktur Gamavuton-0 (b) (Hermawan, 2012)
19
Senyawa GVT-0 telah diuji toksisitasnya secara akut maupun subakut untuk mengevaluasi keamanannya, dan hasilnya menunjukkan bahwa GVT-0 tidak menunjukkan efek toksis dalam jangka waktu pemaparan 24 jam dan juga untuk pemakaian 30 hari, dilihat dari parameter hematologi, kimia darah, dan kimia urin, baik pada tikus jantan maupun betina. Hasil pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik pada organ-organ vital seperti paru, ginjal, hati, usus, dan limpa tidak menunjukkan adanya efek toksik ataupun abnormalitas dibandingkan dengan kelompok kontrol (Ikawati dkk., 2008). Namun, walaupun GVT-0 memiliki stabilitas lebih baik dengan efek farmakologis yang tidak berbeda signifikan dari kurkumin, kemiripan kerangka inti GVT-0 dan kurkumin mengakibatkan sifat solubilitas yang mirip. GVT-0 praktis tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik, seperti aseton, dimetil sulfoksida, etanol, etil asetat (Sharma dkk., 2005). Pada pemakaian oral, kelarutan yang rendah akan berakibat pada rendahnya absorbsi di usus, sehingga efek farmakologis yang dicapai tidak maksimal (Ravindranath dan Chanrasekhara, 1980; Ravindranath
dan
Chandrasekara,
1981;
Ravindranath
dan
Chandrasekara, 1982). 4. Natrium Tripolifosfat (TPP) Natrium tripolifosfat atau sodium tripolyphospate (TPP) biasa dikenal
juga
dengan
nama
triphosphate
atau
pentasodium
20
tripolyphosohate (Na5P3O10) merupakan rantai lurus hasil derivatisasi dari asam fosforat. Natrium Tripolifosfat memiliki bobot molekul sebesar 367,86 dengan komposisi Na 31,25%, O 43,49%, dan P 25,26% (O’neil dkk, 2006). Natrium tripolifosfat dihasilkan dengan memanaskan campuran stoikiometri disodium fosfat (Na2HPO4) dan monosodium fosfat (NaH2PO4) dibawah kondisi terkontrol.
O
O
P
O
P
–O
O O–
P O–
O O–
Na+
O– 5
Gambar 4. Struktur TPP
Natrium tripolifosfat adalah garam tak berwarna yang terdapat baik dalam bentuk anhidrat maupun dalam bentuk heksahidrat, serta sedikit higroskopik. Kelarutan natrium tripolifosfat (g/100 mL) pada suhu 25oC adalah 20g dan pada suhu 100oC adalah 86,5g. Larutan natrium tripolifosfat konsentrasi 1% memiliki pH 9,7 – 9,8. Apabila natrium tripolifosfat dipanaskan dalam waktu yang panjang, maka senyawa tersebut akan kembali menjadi bentuk ortopospat. Stabilitas senyawa ini lebih tinggi daripada metafosfat, tetapi lebih tidak stabil bila dibandingkan dengan tetrasodium pirosfat (O’Neil dkk., 2006). Dalam teknologi farmasi, tripolifosfat (TPP) digunakan sebagai bahan dalam pembuatan nano kitosan dan sistem mikropartikel. Pada tahun 1989, Bodemeier dkk., pertama kali meneliti tentang enkapsulasi
21
obat dengan gelasi ionotropik yang disebabkan oleh pembentukan inter dan intramolekuler sambung silang antara kitosan yang bermuatan positif dengan tripolifosfat yang bersifat polianionik. Kitosan memiliki bobot jenis grup amina yang tinggi pada bagian belakangnya dan gugus amina tersebut terprotonasi untuk membentuk –NH3+ dalam larutan asam. Muatan positif kitosan tersebut dapat mengalami sambung silang secara kimiawi dengan dialdehid seperti glutaraldehid dan ethylene glycol diglycidyl ether, atau sambung silang secara fisika dengan anion multivalen turunan dari natrium tripolifosfat (TPP), sitrat, dan sulfat (Kafshgari dkk., 2011). TPP dipilih sebagai senyawa sambung silang pada gelasi ionik kitosan, karena sifatnya yang non toksik, mampu membentuk gel dengan cepat, lebih stabil, dan memiliki karakter penembusan membran yang lebih baik (Yu-Hsin Lin dkk., 2008). Selain itu, proses gelasi ionik kitosan dengan TPP sebagai senyawa sambung silang mudah untuk dilakukan scale-up penjerapan dalam proses pembentukan partikel. Nanopartikel kitosan dipreparasi dengan TPP sebagai senyawa sambung silang anionik homogen dan kitosan yang memiliki muatan permukaan positif yang membuat keduanya sesuai untuk aplikasi pada adesi mukosa (Gan dan Wang, 2007). Proses modifikasi kitosan dengan TPP ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi kitosan, pH TPP dan waktu terjadinya sambung silang (Ko dkk., 2003). Kitosan dengan pKa 6,5 merupakan polikationik,
22
ketika dilarutkan dalam asam, amina bebas dari kitosan akan terprotonasi menghasilkan –NH3+. TPP dilarutkan dalam air hingga diperoleh ion hidroksil dan ion tripolifosfat. Ion tersebut dapat bergabung dengan struktur dari kitosan. Pada penelitian Bhumkar dan Pokharkar (2006) dinyatakan bahwa derajat sambung silang kitosan dan TPP dipengaruhi oleh keberadaan sisi kationik dan senyawa anionik sehingga pH TPP memiliki peran penting selama proses sambung silang. Proses sambung silang dapat dilakukan pada dua kondisi pH, yaitu pH 3 dan pH 9. Pada pH 3 hanya dihasilkan ion tripolifosfat yang akan berinteraksi dengan –NH3+ dari kitosan sehingga pada kondisi tersebut diperoleh kitosan-TPP yang didominasi oleh interaksi ionik. Sedangkan pada pH 9, dihasilkan ion hidroksil dan tripolifosfat. Kedua ion tersebut berkompetisi untuk berinteraksi dengan –NH3+. Pada kondisi tersebut sambung silang kitosan didominasi oleh deprotonasi oleh ion hidroksil (Bhumkar dan Pokharkar, 2006). 5. Metode Gelasi Ionik Proses pembuatan nanopartikel secara garis besar memiliki dua prinsip dasar, yaitu teknologi top down, dimana proses pembuatan partikel berukuran nano dari bahan awal partikel yang berukuran lebih besar, dan teknolologi bottom up, dimana partikel nano diperoleh dari dispensi molekuler suatu senyawa (Ober dan Gupta, 2011). Selama lebih dari 30 tahun, preparasi kitosan nanopartikel telah berkembang berdasarkan teknologi mikropartikel kitosan. Terdapat empat
23
metode yang dapat digunakan untuk membuat nanopartikel kitosan, diantaranya gelasi ionotropik, mikroemulsi, difusi emulsifikasi pelarut, dan kompleks polielektrolit. Metode gelasi ionik merupakan metode yang paling umum digunakan dalam penyiapan nanopartikel kitosan, karena sangat sederhana dan mudah untuk dilakukan. Teknik preparasi kitosan menggunakan metode gelasi ionik pertama kali dilakukan oleh Calvo dkk (1997) yang secara luas telah diuji dan dikembangkan (Janes dkk, 2001; Pan dkk, 2002). Mekanisme pembentukan nanopartikel kitosan berdasarkan pada interaksi elektrostatik antara gugus amina kitosan dan muatan negatif pada polianion seperti tripolifosfat (Bodmeier dkk, 1989; Xu dan Du, 2003). Metode ini sederhana dan preparasinya dapat dilakukan dalam lingkungan berair. Pertama-tama, kitosan dilarutkan dalam asam asetat baik
yang
mengandung agen penstabil seperti poloksamer ataupun tidak. Polianion atau polimer anionik kemudian ditambahkan dan nanopartikel akan terbentuk secara spontan dengan pengadukan secara mekanik pada suhu ruangan. Ukuran dan muatan permukaan partikel dapat dimodifikasi dengan variasi perbandingan kitosan dan penstabil (Calvo dkk., 1997). Keuntungan dari metode gelasi ionik adalah metodenya sederhana, tidak toksik, dilakukan pada temperatur ruangan, ukuran dapat disesuaikan, memiliki kapasitas baik untuk berasosiasi dengan obat makromolekul pada komposisi partikel (Milloti dan Bernkop-SchnÜrch, 2009).
24
F. Landasan Teori Kitosan yang diperoleh secara langsung dari deasetilasi kitin masih memiliki bobot molekul yang tinggi, kelarutan yang rendah didalam pelarut air, viskositas yang tinggi bahkan dalam larutan dengan konsentrasi rendah, serta nilai derajat deasetilasi yang masih rendah, dimana hal tersebut akan membatasi aplikasinya terutama dalam bidang ilmu kesehatan dan makanan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas dari kitosan diperlukan modifikasi struktur kimia kitosan menggunakan radiasi sinar gamma. Metode degradasi radiasi ionik dengan sinar gamma merupakan salah satu metode yang paling efektif untuk mendegradasi rantai polimer kitosan. Paparan radiasi sinar gamma 25 kGray dapat menyebabkan fragmentasi kitosan, dimana proses fragmentasi kitosan tersebut akan menyebabkan pembukaan cincin kitosan maupun pemotongan rantai polimer kitosan yang diikuti dengan terbentuknya senyawa karbonil. Hal tersebut selanjutnya dapat menyebabkan pengurangan bobot molekul dari polimer kitosan dan menurunkan nilai viskositasnya. Radiasi sinar gamma 25 kGray diketahui juga dapat meningkatkan derajat deasetilasi kitosan karena menyebabkan hidrolisis asetamida menjadi gugus amina dengan semakin meningkatnya dosis radiasi yang digunakan. Karakter polimer kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray yang memiliki lebih dari satu gugus amina akan bermanfaat sebagai polimer dalam sistem nanopartikel. Gugus amina kitosan dalam suasana asam akan
25
terprotonasi dan memiliki muatan parsial positif sehingga dapat berinteraksi dengan muatan parsial negatif dari senyawa Gamavuton-0. Amina primer terprotonasi dari kitosan akan mempengaruhi stabilitas kompleks nanopartikel yang terbentuk, sehingga diperlukan counter ion yang mampu mengikat sisa amina primer terprotonasi kitosan tersebut. Adanya interaksi antara muatan parsial positif dari kitosan dan muatan parsial negatif gamavuton-0 menyebabkan pembentukan nanopartikel dapat terjadi secara mudah dan sederhana melalui metode gelasi ionik. Nanopartikel yang diperoleh dari penggunaan kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray akan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan nanopartikel dengan penggunaan kitosan tidak teradiasi. Kitosan yang memiliki rantai polimer lebih pendek serta cincin polimer yang terbuka umumnya akan menyebabkan ukuran nanopartikel yang lebih kecil diikuti dengan penurunan nilai entrapment efficiency, selain itu nilai potensial zeta dan morfologi nanopartikel yang terbentuk juga akan berbeda disebabkan adanya paparan radiasi 25 kGray pada kitosan yang digunakan. G. Hipotesis Dari kajian pustaka yang telah dilakukan, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Radiasi sinar gamma 25 kGray akan mempengaruhi sifat fisika kimia kitosan, yaitu warna kitosan menjadi lebih gelap, viskositas menurun, dan derajat deasetilasi kitosan meningkat.
26
2. Kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray dapat menghasilkan nanopartikel Gamavuton-0 dengan penaut silang Tripolifosfat melalui metode gelasi ionik. 3. Nanopartikel yang terbentuk dari polimer kitosan teradiasi sinar gamma 25 kGray memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan kitosan yang tidak teradiasi melalui pengamatan karakter ukuran partikel dan distribusi partikel, potensial zeta, morfologi partikel, serta entrapment efficiency.