BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional yang harus dilakukan oleh apoteker (Depkes RI, 2009a). Jadi semestinya masyarakat yang datang ke apotek ditemui oleh apoteker, konsultasi tentang masalah obat yang mereka konsumsi, diberi alternatif solusi dan diakhiri dengan membayar jasa pelayanan. Akan tetapi pada kenyataannya, masih banyak terdapat fasilitas pelayanan kefarmasian yang tidak melaksanakan fungsinya dengan baik. Misalnya saja di apotek yang seharusnya berfungsi sebagai sarana pelayanan kefarmasian, telah berubah fungsi menjadi tempat untuk sekedar jual beli obat. Obat dijadikan sebagai komoditi dagang dengan adanya Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, dan margin keuntungan atas kegiatan jual beli obat (Pratomo, 2013). Apoteker merupakan sebuah profesi yang salah satu cirinya adalah memberikan jasa berupa pelayanan kefarmasian, tidak hanya menjual produk obat saja. Dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian, apoteker tidak hanya meracik obat saja, melainkan harus berinteraksi secara langsung dengan
1
2
pasien dan bertanggung jawab atas terapi yang diberikan kepada pasien. Akan tetapi, tentunya akan timbul biaya-biaya yang harus ditanggung oleh pasien sebagai pengganti atas jasa pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker. Di Indonesia hingga saat ini masih belum diberlakukan penarikan jasa pelayanan kefarmasian untuk apoteker. Sebagian besar Apoteker Pengelola Apotek (APA) digaji bulanan oleh Pemilik Sarana Apotek (PSA) sedangkan apoteker selaku PSA, penghasilan diperoleh dari margin obat yang berkisar antara 5-20%. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) telah menyampaikan wacana penerapan konsep harga netto untuk mengubah pola pengelolaan apotek. Masyarakat seharusnya membayar obat sesuai harga netto, tetapi sebagai gantinya apoteker berhak mendapatkan fee atas pelayanan kefarmasian yang dilakukannya. Mengenakan biaya pada pasien untuk pelayanan manajemen terapi obat adalah suatu cara untuk meningkatkan kesadaran dan merubah cara pandang terhadap nilai dari pelayanan kefarmasian (Yusmainita, 2008). Namun dengan dikenakannya jasa kefarmasian kepada pasien, apoteker juga harus melakukan tugasnya untuk melakukan pelayanan kefarmasian kepada pasien dengan baik. Kabupaten Kudus merupakan kabupaten terkecil di Jawa Tengah yang terbagi menjadi sembilan kecamatan. Fasilitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Kudus termasuk cukup berkembang. Pada tahun 2010, terdapat 2 Rumah Sakit Umum Pemerintah, 4 Rumah Sakit Umum Swasta, dan
3
Puskesmas yang jumlahnya mencapai 19 buah. Untuk apotek, pada tahun 2010 terdapat 64 apotek dan berkembang menjadi 113 apotek pada tahun 2015. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul “Penerapan Konsep Harga Obat untuk Menetapkan Pola Tarif Jasa Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kudus” untuk
memberi
gambaran tentang penerapan tarif jasa pelayanan kefarmasian oleh apoteker di apotek. B. Perumusan Masalah Permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana penentuan harga obat non resep di apotek? 2. Berapa rata-rata tarif jasa pelayanan kefarmasian untuk obat non resep yang dapat diambil oleh apoteker di apotek? 3. Apakah penarikan tarif jasa pelayanan kefarmasian membuat harga obat non resep menjadi lebih mahal? C. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk memperkirakan rata-rata tarif jasa pelayanan kefarmasian untuk obat non resep yang dapat diambil oleh apoteker di apotek tanpa memberatkan pasien.
4
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Bagi
apoteker,
penelitian
diharapkan
dapat
dijadikan
sebagai
pertimbangan dalam menetapkan pola tarif atas jasa pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di apotek. 2. Bagi mahasiswa, dapat menambah pengetahuan terkait jasa pelayanan kefarmasian sehingga dapat dijadikan pertimbangan apabila nantinya mahasiswa bekerja sebagai apoteker di apotek. E. Tinjauan Pustaka 1. Apoteker Menurut PP nomor 51 tahun 2009, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker termasuk dalam tenaga kefarmasian yang bertugas untuk melakukan pekerjaan kefarmasian. Apoteker merupakan pendidikan profesi setelah sarjana farmasi. Apoteker adalah sebuah profesi, yang terhimpun dalam suatu organisasi profesi. Profesi adalah sekelompok yang dalam aktivitasnya dilakukan oleh professional yang disiplin ilmu sama, terkait dengan masalah kemanusiaan, selalu membutuhkan pelatihan, pendidikan, dan keahlian khusus yang didapat secara
formal
dan
membutuhkan
kepercayaan
masyarakat.
Ciri-ciri
profesional adalah sebagai berikut : a. Intelektual dan didukung oleh ilmu pengetahuan (body of knowledge)
5
b. Melakukan kegiatan praktisi/keterampilan berdasarkan teori (body of theory) c. Diperoleh dari pendidikan yang intensif berat, ekstensif, dan jangka waktu yang lama d. Bergabung dalam suatu organisasi (asosiasi) profesi khusus e. Sebagai seorang profesional : 1) Bertanggung jawab terhadap kemanusiaan (public good) 2) Mempunyai integritas yang luhur (sinless, soundness of moral, principle,
uprightness,
honesty,
sincerely,
wholeness,
compeleteness) 3) Melayani masyarakat dengan altruism f. Mempunyai izin/lisensi agar dapat diakui masyarakat g. Merupakan praktisi independen dan melayani klien secara individu h. Memberikan pelayanan secara imparsial (tidak diskriminatif) i. Memberikan pelayanan dengan kompensasi fee (Fixed charge) j. Mempunyai komitmen untuk memberikan pelayanan sebaik-baiknya, yang merupakan jaminan reputasi mereka k. Memiliki kesetiaan yang tinggi (loyal) dengan sejawatnya l. Secara teratur melakukan pengembangan profesi secara terus menerus (Continuing Professional Development) m. Menggunakan pertimbangan pribadi dalam solusi masalah sehari-hari n. Keuntungan tidak tergantung dari modal
6
o. Memiliki status professional sangat terhormat dan dikenal luas (Yusmainita, 2008) Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014, peran apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian adalah: a. Pemberi layanan Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan. b. Pengambil keputusan Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien. c. Komunikator Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu, apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik. d. Pemimpin Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan
yang
diharapkan
meliputi
keberanian
mengambil
keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.
7
e. Pengelola Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan halhal lain yang berhubungan dengan obat. f. Pembelajar seumur hidup Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development) . g. Peneliti Apoteker
harus
selalu
menerapkan
prinsip/kaidah
ilmiah
dalam
mengumpulkan informasi sediaan farmasi dan pelayanan kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan pelayanan kefarmasian. 2. Apotek Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Depkes RI, 2014). Menurut PP nomor 51 Tahun 2009, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Pelayanan kefarmasian di apotek harus dilakukan oleh seorang Apoteker. Menurut Permenkes nomor 35 tahun 2014,
8
apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana apotek harus dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta kelancaran praktik
pelayanan kefarmasian. Sarana dan
prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi : a. Ruang penerimaan resep Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan resep, satu set meja dan kursi, serta satu set komputer. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien. b. Ruang pelayanan resep dan peracikan Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan. c. Ruang penyerahan obat Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
9
d. Ruang konseling Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien. e. Ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari obat, pallet, pendingin ruangan, lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu. f. Ruang arsip Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu. Untuk dapat melaksanakan Pekerjaan Kefarmasian di apotek, Apoteker harus memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker yang mendirikan apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan (Depkes RI, 2009b).
10
3. Pelayanan kefarmasian Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes RI, 2014). Pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Permenkes nomor 35 tahun 2014 telah mengatur tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
Tujuan disusunnya standar
pelayanan kefarmasian di apotek adalah untuk : a. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian b. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian c. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
11
Pelayanan Kefarmasian di apotek meliputi dua kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik (Depkes RI, 2014). a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, yang meliputi : 1) Perencanaan Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat. 2) Pengadaan Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Penerimaan Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. 4) Penyimpanan a) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-
12
kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. b) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya. c) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis. d) Pengeluaran obat memakai sistem First Expire First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO). 5) Pemusnahan a) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan. b) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu lima tahun dapat dimusnahkan.
Pemusnahan
resep
dilakukan
oleh
apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
13
6) Pengendalian Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurangkurangnya
memuat
nama obat,
tanggal
kadaluwarsa, jumlah
pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan. 7) Pencatatan dan pelaporan Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau receipt penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.
14
b. Pelayanan farmasi klinik, yang meliputi : 1) Pengkajian resep Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik
dan
ketidaksesuaian
pertimbangan dari
hasil
klinis.
pengkajian
Jika
ditemukan
maka
apoteker
adanya harus
menghubungi dokter penulis resep. 2) Dispensing Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat. Apoteker di apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai. 3) Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, kemanjuran, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat
15
fisika atau kimia dari obat dan lain-lain. Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat. 4) Konseling Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker dengan pasien/keluarga untuk
meningkatkan pengetahuan, pemahaman,
kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling. 5) Pelayanan kefarmasian di rumah Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :
16
a) Penilaian/pencarian masalah yang berhubungan dengan pengobatan b) Identifikasi kepatuhan pasien c) Pendampingan pengelolaan obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin d) Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum e) Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien f) Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah 6) Pemantauan Terapi Obat (PTO) Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan kemanjuran obat dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien: a) Anak-anak dan lanjut usia (lansia), ibu hamil dan menyusui b) Menerima obat lebih dari lima jenis c) Adanya multidiagnosis d) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati e) Menerima obat dengan indeks terapi sempit f) Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang merugikan. 7) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
17
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan: a) Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping obat b) Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) c) Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
Menurut Bahfen (2006), dalam memberikan perlindungan terhadap pasien dapat diidentifikasi bahwa fungsi dari pharmaceutical care adalah : a. Menyediakan informasi tentang obat-obatan kepada tenaga kesehatan lainnya. Tujuan yang ingin dicapai mencakup mengidentifikasikan hasil pengobatan dan tujuan akhir pengobatan, agar pengobatan dapat diterima untuk terapi, agar diterapkan penggunaan secara rasional, memantau efek samping obat dan menentukan metode penggunaan obat. b. Mendapatkan rekam medis untuk digunakan dalam pemilihan obat yang tepat c. Memantau penggunaan obat apakah efektif, tidak efektif, reaksi yang berlawanan, keracunan dan jika perlu memberikan saran untuk memodifikasi pengobatan d. Menyediakan bimbingan dan konseling dalam rangka pendidikan kepada pasien
18
e. Menyediakan
dan
memelihara
serta
memfasilitasi
pengujian
pengobatan bagi pasien penyakit kronis f. Berpartisipasi dalam pengelolaan obat-obatan untuk pelayanan gawat darurat g. Pembinaan pelayanan informasi dan pendidikan bagi masyarakat h. Partisipasi dalam penilaian penggunaan obat dan audit kesehatan i. Menyediakan
pendidikan
mengenai
obat-obatan
untuk
tenaga
kesehatan lainnya 4. Jasa a. Pengertian jasa Jasa adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak pada pihak lain dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Proses produksinya mungkin dan mungkin juga tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik (Kotler, 1996). Menurut Jasfar (2009), kata jasa mempunyai banyak arti dan ruang lingkup, dari pengertian yang paling sederhana, yaitu hanya berupa pelayanan dari seseorang kepada orang lain, bisa juga diartikan sebagai mulai dari pelayanan yang diberikan oleh manusia, baik yang dilihat (explicit service) maupun yang tidak dapat dilihat, yang hanya dapat dirasakan (implicit service) sampai kepada fasilitas-fasilitas pendukung yang harus tersedia dalam penjualan jasa dan benda-benda lainnya.
19
b. Karakteristik jasa Jasa memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan produk (barang fisik). Tjiptono (2004) mengutarakan ada lima karakteristik utama jasa : 1) Tidak berwujud (Intangibility) Jasa berbeda dengan barang. Bila barang merupakan suatu objek, alat, atau benda; maka jasa adalah suatu perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja, atau usaha. Oleh sebab itu, jasa tidak dapat dilihat, dirasa, dicium, didengar, atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi. Bagi para pelanggan, ketidakpastian dalam pembelian jasa relatif tinggi karena terbatasnya search qualities, yakni karakteristik fisik yang dapat dievaluasi pembeli sebelum pembelian dilakukan. Untuk jasa, kualitas apa dan bagaimana yang akan diteriman konsumen, umumnya tidak diketahui sebelum jasa bersangkutan dikonsumsi. Zeithaml (1981) dalam Jasfar (2009) membedakan tiga kategori kualitas barang dan jasa, yaitu : a) Search quality, yaitu atribut atau kualitas yang dapat dievaluasi pelanggan sebelum membeli barang, misalnya warna, aroma, harga, dan rasa. Seseorang dapat mencium wangi parfum atau memilih warna dan model baju sebelum ia memutuskan untuk membeli. Warna dan aroma ini merupakan dasar untuk menilai kualitas. Search quality hanya dapat digunakan untuk menilai produk dan
20
tidak dapat digunakan untuk menilai keseluruhan dimensi kualitas jasa. b) Experience quality, yaitu atribut atau kualitas yang hanya dapat dievaluasi setelah membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa tertentu. Misalnya, jasa tukang cukur rambut tidak bisa dievaluasi sebelum rambut anda dipangkas/dicukur. Pada saat anda selesai dicukur, konsumen dapat menilai apakah potongannya bagus atau tidak. c) Credence quality, yaitu atribut atau kualitas suatu barang yang sukar dievaluasi oleh konsumen, meskipun barang atau jasa itu telah dibeli atau dikonsumsi. Misalnya, operasi jantung. Seorang pasien tidak dapat menilai apakah diagnosis seorang dokter mengenai penyakitnya bagus atau tidak. Credence quality maupun experience quality keduanya bersifat subjektif dan dipakai sebagai dasar untuk menilai jasa yang karakteristiknya tidak dapat dilihat (intangible). 2) Tidak dapat dipisahkan (Inseparability) Barang biasa diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi, sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama. Dalam proses produksi jasa, mulai dari saat kehadiran konsumen sampai dengan selesainya proses tersebut, konsumen terlibat secara terus menerus sehingga suasana dan fasilitas yang digunakan, seperti
21
dekorasi interior, layout, ketenangan, bahkan warna yang menarik serta personil yang terlibat di dalam proses jasa tersebut sangat mempengaruhi nilai persepsi konsumen terhadap kualitas jasa yang dijual. Beberapa karakteristik di bawah ini merupakan karakteristik yang timbul karena sifat jasa yang inseparability : a) Kegiatan pemasaran dan produksi yang sangat interaktif. b) Terlibatnya konsumen secara aktif. c) Sangat sukar melakukan produksi masal, karena jasa sangat bersifat individual (customization) sehingga sangat sulit melakukan standardisasi. d) Pengendalian kualitas jasa sulit dilakukan karena tidak bisa diproduksi sebelumnya. Kemungkinan kegagalan dalam proses penyampaian sulit untuk diantisipasi (Jasfar, 2009). 3) Berubah-ubah (Variability / Heterogeneity) Jasa bersifat variabel karena merupakan non-standarized output, artinya banyak variasi bentuk, kualitas, dan jenis tergantung kepada siapa, kapan dan dimana jasa tersebut diproduksi. Hal ini dikarenakan jasa
melibatkan
unsur
manusia
dalam
proses
produksi
dan
konsumsinya yang cenderung tidak bisa diprediksi dan cenderung tidak konsisten dalam hal sikap dan perilakunya. Menurut Bovee, Houston dan Thill (1995) dalam Jasfar (2009) , ada tiga faktor yang menyebabkan keanekaragaman kualitas jasa.
22
a) Kerja sama atau partisipasi konsumen selama penyampaian jasa. b) Moral/ motivasi karyawan dalam melayani konsumen. c) Beban kerja perusahaan yang terlalu besar, sehingga kondisi personel akan mempengaruhi kualitas jasa yang diberikan . 4) Tidak tahan lama (Perishability) Jasa tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Kursi pesawat yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni, atau kapasitas jalur telepon yang tidak dimanfaatkan akan berlalu atau hilang begitu saja karena tidak bisa disimpan. 5) Lack of Ownership Lack of ownership merupakan perbedaan dasar antara jasa dan barang. Pada pembelian barang, konsumen memiliki hak penuh atas penggunaan dan manfaat produk yang dibelinya. Mereka bisa mengkonsumsi, menyimpan atau menjualnya. Di lain pihak, pada pembelian jasa, pelanggan mungkin hanya memiliki akses personel atas suatu jasa untuk jangka waktu terbatas, misalnya kamar hotel, bioskop, jasa penerbangan dan pendidikan.
23
c. Klasifikasi jasa Infrastucture Service Value Added Services
Communication Transportation Utilities Banking
Financing Leasing Insurance
Manufacturing Service inside company:
Finance Accounting Legal R&D and Design
Personal Service Distribution Service Wholesaling Retailing Repairing
Business Services Supporting manufacturing:
Healthcare Restaurant Hotel
Consumer (Self-service) Distribution Service
Military Education Judicial Police and fire protection
Consulting Auditing Advertising Waste disposal Gambar 1. Peranan Sektor Jasa dalam Perekonomian (Jasfar, 2009)
Jasa dapat dikelompokkan ke dalam lima bidang jasa. Di dalam model ini terlihat bahwa seluruh aktivitas ditunjukkan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen. Kelima bidang pada sektor jasa tersebut adalah sebagai berikut (Jasfar, 2009). 1) Jasa di bidang bisnis (business services), seperti konsultasi jasa-jasa keuangan dan perbankan. 2) Jasa di bidang perdagangan (distribution services), seperti jasa-jasa perdagangan eceran, grosir, jasa-jasa pemeliharaan, dan perbaikan.
24
3) Jasa di bidang infrastruktur (infrastructure services), seperti jasa-jasa komunikasi dan transportasi. 4) Jasa untuk kepentingan sosial dan pribadi (social and personal services), seperti rumah sakit, restoran, dan salon kecantikan. 5) Jasa administrasi pemerintah (government services), seperti jasa-jasa pendidikan dan pemerintahan (militer, polisi, pengadilan). Menurut Lovelock (1987) dalam Tjiptono (2004), klasifikasi jasa dapat dilakukan berdasarkan tujuh kriteria, yaitu : 1) Segmen pasar Berdasarkan segmen pasar, jasa dapat dibedakan menjadi jasa kepada konsumen akhir (misalnya salon, taksi) dan jasa kepada konsumen organisasional (misalnya konsultan manajemen). 2) Tingkat keberwujudan Kriteria ini berhubungan dengan tingkat keterlibatan produk fisik dengan konsumen. Berdasarkan kriteria ini, jasa dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : a) Rented good service Konsumen menyewa dan menggunakan produk-produk tertentu berdasarkan tarif tertentu selama jangka waktu tertentu. Contohnya penyewaan mobil, kaset video, vila, dan apartemen. b) Owned goods service Produk-produk
yang
dimiliki
oleh
konsumen
direparasi,
dikembangkan atau ditingkatkan unjuk kerjanya, atau dipelihara
25
oleh perusahaan jasa. Contohnya jasa reparasi arloji dan pencucian mobil. c) Non goods service Jasa personal bersifat intangible (tidak berbentuk produk fisik) ditawarkan kepada pelanggan. Contohnya supir dan dosen. 3) Ketrampilan penyedia jasa Berdasarkan tingkat ketrampilan penyedia jasa, jasa terdiri atas professional service (misalnya konsultan manajemen, konsultan hukum, dokter, apoteker) dan non-professional service (misalnya supir taksi dan penjaga malam). 4) Tujuan organisasi jasa Berdasarkan tujuan organisasi jasa dapat dibagi menjadi commercial service atau profit service (misalnya penerbangan, bank) dan nonprofit service (misalnya sekolah, panti asuhan). 5) Regulasi Dari aspek regulasi, jasa dapat dibagi menjadi regulated service (misalnya angkutan umum) dan non-regulated service (misalnya makelar, katering). 6) Tingkat intensitas karyawan Berdasarkan tingkat intensitas karyawan, jasa dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu equipment based service (misalnya cuci mobil otomatis, ATM) dan people based service (misalnya pelatih sepakbola, satpam).
26
7) Tingkat kontak penyedia jasa dan pelanggan Berdasarkan kontak ini, secara umum jasa dapat dibagi menjadi high contact service (misalnya bank, dokter dan pegadaian) dan low contact service (misalnya bioskop). Pada jasa dengan tingkat kontak dengan pelanggannya tinggi, keterampilan interpersonal karyawan harus diperhatikan oleh perusahaan jasa. Sebaliknya, jasa yang tingkat kontaknya rendah dengan pelanggan justru keahlian teknis karyawan yang lebih penting. Konsep manajemen jasa bersifat umum, artinya konsep yang digunakan pada suatu jenis industri jasa dapat diterapkan pada industri jasa lainnya. Namun, sifat umum ini kurang dapat diterapkan pada jasa profesi. Perlu adanya pelatihan khusus untuk menangani jasa profesi yang tidak dipahami oleh manajemen bisnis jasa lainnya yang tidak termasuk jasa profesi. Dengan demikian, jasa profesi sampai saat ini masih menawarkan suatu peluang karir yang menarik. Agar dapat diperoleh gambaran menyeluruh tentang masalah-masalah manajemen di antara industri jasa, Roger Schmenner dalam Jasfar (2009) mengemukakan suatu konsep proses jasa dalam suatu bentuk matriks, seperti terlihat dalam gambar 2.
27
Tingkat Interaksi dan Kekhususan Jasa
Tingkat Penggunaan Tenaga Kerja
Rendah
Rendah
Tinggi
Service factory: Perusahaan Penerbangan Jasa Pengangkutan Hotel Resor dan pusat hiburan
Service shop: Rumah sakit Bengkel mobil Reparasi alat elektronik
Tinggi
Mass service: Professional service: Perdagangan eceran Dokter Perdagangan grosir Ahli hukum Sekolah Akuntan Retail Banking professional Arsitek Gambar 2. Matriks Proses Jasa (Jasfar, 2009)
Di dalam matriks ini, jasa-jasa digolongkan atas dua dimensi yang sangat mempengaruhi karakter proses penyampaian jasa. Sumbu vertikal menggambarkan tingkat intensitas penggunaan tenaga kerja (labor intensity) yang merupakan perbandingan antara biaya tenaga kerja dengan modal. Makin tinggi penggunaan tenaga kerja, berarti penggunaan modal semakin rendah. Begitu juga sebaliknya, makin tinggi penggunaan barang modal atau mesin-mesin, akan semakin rendah penggunaan tenaga kerja. Sumbu horizontal menggambarkan kekhususan dari jasa yang diberika (customization). Yang dimaksud dengan customization adalah kekhususan jasa karena kemampuan konsumen secara personal untuk mempengaruhi jasa yang akan diterimanya. Interaksi antara konsumen dengan penyedia jasa akan lebih rendah jika jasa-jasa itu tidak bersifat khusus dan tidak membutuhkan suatu penjelasan khusus mengenai atribut jasa tersebut. Dengan demikian, pada jasa-jasa yang bersifat khusus, interaksi yang terjadi umumnya menciptakan problem yang membutuhkan penanganan
28
yang serius bagi manajemen, terutama dalam proses penyampaian jasajasa tersebut. d. Kualitas jasa Kualitas jasa merupakan suatu pembahasan yang sangat kompleks karena penilaian kualitas jasa berbeda dengan penilaian terhadap kualitas produk, terutama karena sifatnya yang tidak nyata (intangible) dan produksi serta konsumsi yang berjalan secara simultan. Di samping perbedaan karakteristik ini, dalam penilaian kualitas jasa, konsumen terlibat secara langsung serta ikut di dalam proses jasa tersebut, sehingga yang dimaksud dengan kualitas jasa adalah bagaimana tanggapan konsumen atas jasa yang dikonsumsi atau dirasakannya (Jasfar, 2009). Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) melakukan penelitian khusus terhadap beberapa jenis industri jasa. Sebelum mengelompokkan ke dalam lima dimensi, ketiga peneliti ini berhasil mengidentifikasi sepuluh faktor utama yang dinilai konsumen dan merupakan faktor utama yang menentukan kualitas jasa, yaitu access, communication, competence, courtesy, credibility, reliability, responsiveness, security, understanding, dan tangibles. Selanjutnya Parasuman (1988) melakukan kembali penelitian pada kelompok focus, baik pengguna maupun penyedia jasa. Akhirnya ditemukan hasil bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara communication, competence, courtesy, credibility, dan security yang kemudian dikelompokkan menjadi satu dimensi, yaitu assurance.
29
Demikian pula halnya dengan access dan understanding yang kemudian digabung menjadi satu dimensi yaitu emphaty. Akhirnya Parasuman (1988) mengemukakan lima dimensi kualitas jasa, yaitu: 1) Kehandalan (Reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan kemampuan untuk dipercaya, terutama memberikan jasa secara tepat waktu, dengan cara yang sama sesuai dengan jadwal yang telah dijanjikan dan tanpa melakukan kesalahan setiap kali. 2) Daya tanggap (Responsiveness), yaitu kemauan atau keinginan para karyawan untuk membantu dan memberikan jasa yang dibutuhkan konsumen. 3) Jaminan (Assurance), meliputi pengetahuan, kemampuan, ramah, sopan, dan sifat dapat dipercaya dari kontak personel untuk menghilangkan sikap keragu-raguan konsumen dan merasa terbebas dari bahaya dan resiko. 4) Empati (Emphaty), yang meliputi sikap kontak personel maupun perusahaan untuk memahami kebutuhan maupun kesulitan konsumen, komunikasi yang baik, perhatian pribadi, kemudahan dalam melakukan komunikasi atau hubungan. 5) Produk fisik (Tangibles), tersedianya fasilitas fisik, perlengkapan dan sarana komunikasi, dan lain-lain yang dapat dan harus ada dalam proses jasa.
30
5. Jasa profesi apoteker Salah satu ciri dari profesi adalah mendapatkan imbalan jasa profesi (ISFI, 2003). Menurut Yusmainita (2008), jasa yang dapat diperoleh antara lain : a. Imbalan (Kompensasi fee) Sistem imbalan dimaksudkan sebagai pemberian penghargaan terhadap karyawan atas kerjanya pada organisasi, terutama yang tercermin dalam prestasi kerjanya. Besarnya suatu imbalan dipengaruhi oleh : 1) Supply dan demand tenaga kerja 2) Organisasi buruh atau profesi 3) Kemampuan menbayar perusahaan 4) Produktivitas karyawan 5) Biaya hidup 6) Peraturan Pemerintah 7) Pendapatan karyawan b. Jasa profesi pelayanan kefarmasian Pembayaran untuk layanan kefarmasian berarti harga dari pengetahuan farmasi dan aplikasi keuntungannya bagi pasien. Upaya apoteker ini untuk mendapatkan bayaran secara tradisional telah diidentifikasi sebagai pelayanan kognitif. Apoteker mendapatkan bayaran dari pelayanan kognitif, seperti pelayanan melebihi dari penyerahan obat. Sejumlah faktor yang dapat mengkontribusikan kegagalan apoteker dalam menerima bayaran dari pelayanan pasien meliputi :
31
1) Tidak adanya definisi yang jelas dari pelayanan yang mendapatkan bayaran 2) Tidak adanya konsensus yang mengenal nilai dari pelayanan yang berbeda 3) Tidak adanya kemauan apoteker untuk menyediakan pelayanan pada basis yang konsisten 4) Tidak adanya pemisahan antara
bayaran produk dan pelayanan
kognitif 5) Tidak adanya sistem catatan dokumentasi yang mempengaruhi pelayanan outcome pasien
Di negara maju seperti USA dan Kanada, undang-undang praktek farmasi telah dilakukan dan pola tarif tiap pelayanan apoteker telah ditetapkan sehingga para apoteker dapat bekerja secara profesional di bidang pelayanan farmasi sebagaimana yang dituntut oleh masyarakat. Kondisi ini merupakan hasil kerja keras Asosiasi Profesi Apoteker dengan Perguruan Tinggi Farmasi yang telah melakukan penelitian dan pengembangan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat serta sosialisasinya, hingga pelayanan ini dikenal oleh masyarakat. Pemerintah hanya menyusun undang-undang yang disesuaikan dengan dengan penelitian pola tarif yang tepat untuk pelayanan kefarmasian, baik di apotek maupun di rumah sakit (Yusmainita, 2009). Yusmainita (2009) juga menjelaskan bahwa di negara maju, penghargaan atas jasa profesi farmasi terdiri dari 2 aspek, yaitu :
32
a. Reimbursement, yaitu harga obat + biaya administrasi b. Compensation, yaitu biaya jasa profesi atas tanggung jawab keilmuan dan layanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien. Pada dasarnya, apoteker merupakan satu-satunya tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan luas untuk melaksanakan praktik kefarmasian, sesuai dengan perundangan yang saat ini berlaku. Atas dasar hal tersebut, di samping kewajiban yang harus dijalankan, apoteker pun bisa memperhitungkan sejumlah hak secara profesional. Untuk menilai berapa biaya yang bisa diterima apoteker setelah melakukan kewajibannya dengan baik, maka perlu disimak lebih lanjut apa dan bagaimana peran apoteker pada kerangka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang akan berlangsung nantinya. Apoteker berfungsi penuh pada penggunaan obat yang rasional, mencakup indikasi, dosis, cara penggunaan, dan lain-lain. Apoteker juga harus bisa meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat termasuk meminum obat tepat waktu dan tanpa putus obat pada beberapa penyakit tertentu. Apoteker juga akan bertanggung jawab untuk pencegahan medication error. Pada pengelolaan biaya, apoteker harus bisa menangani apotek dengan baik, tidak membuat apotek mengalami kelangkaan obat yang essensial. Apoteker harus bisa menjalani prinsip farmakoekonomi dengan baik dalam melakukan pelayanan, termasuk juga memastikan penggunaan terapi yang mahal secara selektif sesuai diagnosis yang tepat. Jika apoteker sudah mengerti tugasnya dalam kerangka BPJS nanti, dan memiliki komitmen dalam pelaksanaanya, maka apoteker pun memiliki hak untuk menerima biaya jasa
33
apoteker dalam pelayanan kefarmasian. Menurut Drs. M. Dani Pratomo, MM., Apt, Ketua umum IAI, biaya jasa apoteker bisa dihitung dari ekspektasi pendapatan dibagi kapasitas dalam memberikan pelayanan. Namun, seperti halnya profesi lain, biaya jasa bisa disepakati bersama untuk membentuk dasarnya (Redaksi Majalah Medisina, 2013) 6. Metode penentuan harga Metode penentuan harga menurut Fandy Tjiptono (2001) secara garis besar dibagi menjadi empat: a. Metode penetapan harga berbasis permintaan Metode ini lebih menekankan faktor-faktor yang mempengaruhi selera dan preferensi pelanggan daripada faktor-faktor seperti biaya, laba dan persaingan. Terdapat tujuh metode penetapan harga berbasis permintaan, yaitu sebagai berikut: 1) Skimming pricing Strategi ini diterapkan dengan jalan menetapkan harga tinggi bagi suatu produk baru atau inovatif selama tahap perkenalan, kemudian menurunkan harga tersebut pada saat persaingan mulai ketat. 2) Penetration pricing Dalam strategi ini perusahaan berusaha memperkenalkan suatu produk baru dengan harga rendah dengan harapan akan dapat memperoleh volume penjualan yang besar dalam waktu yang relatif singkat.
34
3) Prestige Pricing Harga dapat digunakan oleh pelanggan sebagai ukuran kualitas atau prestige suatu barang/jasa. Dengan demikian bila harga diturunkan sampai dengan tingkat tertentu, maka permintaan terhadap barang atau jasa tersebut akan turun. Prestige pricing merupakan strategi menetapkan harga yang tinggi sehingga konsumen yang sangat peduli dengan statusnya akan tertarik dengan produk, dan kemudian membelinya. 4) Price lining Price lining digunakan apabila perusahaan menjual produk lebih dari satu jenis. Harga untuk lini produk tersebut bisa bervariasi dan ditetapkan pada tingkat harga tertentu yang berbeda. 5) Odd-even pricing Bila kita masuk ke sebuah supermarket, kerapkali kita menjumpai barang-barang yang ditawarkan dengan harga yang ganjil, misalnya Rp 1.595 atau Rp 9.975. Harga-harga tersebut ditetapkan dengan metode odd-even pricing, yakni harga yang besarnya mendekati jumlah genap tertentu. 6) Demand-backward pricing Perusahaan kadangkala memperkirakan suatu tingkat harga yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk produk-produk yang relatif mahal seperti halnya shopping good (misalnya pakaian dan sepatu untuk
anak-anak
dan
wanita,
mainan
anak-anak). Kemudian
35
perusahaan yang bersangkutan menentukan margin yang harus dibayarkan kepada wholesaler dan retailer. Setelah itu barulah harga jualnya dapat ditentukan. Jadi proses ini berjalan ke belakang, sehingga istilahnya disebut demand backward pricing. Berdasarkan suatu target harga tertentu, kemudian perusahaan menyesuaikan kualitas komponen-komponen produknya. Dengan kata lain, produk didesain sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi target harga yang ditetapkan. 7) Bundle pricing Bundle pricing merupakan strategi pemasaran dua atau lebih produk dalam satu harga paket. Misalnya dalam travel agency menawarkan paket liburan yang mencakup tranportasi, akomodasi, dan konsumsi. Bundle pricing didasarkan pada pandangan bahwa konsumen lebih menghargai nilai suatu paket tertentu secara keseluruhan daripada nilai masing-masing item secara individual. b. Metode penetapan harga berbasis biaya Dalam metode ini faktor penentu harga yang utama adalah aspek penawaran atau biaya, bukan aspek permintaan. Harga ditentukan berdasarkan biaya produksi dan pemasaran yang ditambah dengan jumlah tertentu sehingga dapat menutup biaya-biaya langsung, biaya overhead, dan laba. Terdapat empat metode dalam penetapan harga berbasis biaya yaitu sebagai berikut:
36
1) Standard markup pricing Dalam standard markup pricing, harga ditentukan dengan jalan menambahkan persentase tertentu dari biaya pada semua item dalam suatu
kelas
produk.
Biasanya
produk-produk
yang
tingkat
perputarannya tinggi dikenakan markup yang lebih kecil daripada produk-produk yang tingkat perputarannya rendah. 2) Cost plus percentage of cost pricing Banyak perusahaan manufaktur, arsitektural, dan konstruksi yang menggunakan berbagai variasi standard markup pricing. Dalam cost plus percentage of cost pricing, perusahaan menambahkan persentase tertentu terhadap biaya produksi atau kontruksi. Misalnya suatu perusahaan arsitektur menetapkan tarif 15% dari biaya kontruksi sebuah rumah. Jadi, bila biaya kontruksi sebuah rumah sebesar 100 juta dan fee arsitek sebesar 15% dari biaya kontruksi (Rp15 juta) maka harga akhirnya sebesar 115 juta rupiah. 3) Cost plus fixed fee pricing Metode ini banyak diterapkan dalam produk-produk yang sifatnya sangat teknikal, seperti mobil, pesawat atau satelit. Dalam strategi ini pemasok atau produsen akan mendapatkan ganti atas semua biaya yang dikeluarkan, seberapapun besarnya, tetapi produsen tersebut hanya memperoleh fee tertentu sebagai laba yang besarnya tergantung pada biaya final proyek tersebut yang disepakati bersama.
37
4) Experience curve pricing Metode ini dikembangkan atas dasar konsep efek belajar (learning effect) yang menyatakan bahwa unit cost barang dan jasa akan menurun antara 10% hingga 30% untuk setiap peningkatan sebesar dua kali lipat pada pengalaman perusahaaan dalam memproduksi dan menjual barang atau jasa tersebut. c. Metode penetapan harga berbasis laba Metode ini berusaha menyeimbangkan pendapatan dan biaya dalam penetapan harganya. Upaya ini dapat dilakukan atas dasar target volume laba spesifik atau dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap penjualan atau investasi. Metode ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut: 1) Target profit pricing Target profit pricing umumya berupa ketetapan atas besarnya target laba tahunan yang dinyatakan secara spesifik. 2) Target return on sales pricing Dalam metode ini, perusahaan menetapkan tingkat harga tertentu yang dapat menghasilkan laba dalam persentase tertentu terhadap volume penjualan.Biasanya metode ini digunakan oleh jaringan-jaringan supermarket. 3) Target return on investment pricing (ROI) Dalam metode ini, perusahaan menetapkan besarnya suatu target ROI tahunan, yaitu rasio antara laba dengan investasi total yang ditanamkan
38
perusahaan pada fasilitas produksi dan aset yang mendukung produk tertentu. Kemudian harga ditentukan agar dapat mencapai target ROI tersebut. d. Metode penetapan harga berbasis persaingan Selain berdasarkan pada pertimbangan biaya, permintaan, atau, laba, harga dapat ditetapkan atas dasar persaingan, yaitu apa yang dilakukan pesaing. Metode penetapan harga berbasis persaingan terdiri atas empat macam yaitu sebagai berikut: 1) Costumary pricing Metode ini digunakan untuk produk-produk yang harganya ditentukan oleh
faktor-faktor
seperti
tradisi,
saluran
distribusi
yang
terstandardisasi, atau faktor persaingan lainnya. Penetapan harga yang dilakukan berpegang teguh pada tingkat harga tradisonal. Perusahaaan berusaha untuk tidak mengubah harga di luar batas-batas yang diterima. Untuk itu perusahaan menyesuaikan ukuran dan isi produk guna mempertahankan harga. 2) Above, at, or below market pricing Umumnya sangat sulit untuk mengidentifikasikan harga pasar spesifik untuk suatu produk atau kelas produk tertentu. Oleh karena itu, seringkali ada perusahaan yang menggunakan pendekatan subjektif dalam memperkirakan harga pesaing atau harga pasar. Berdasarkan patokan subyektif tersebut, kemudian perusahaan secara cermat
39
memilih strategi penetapan harga yang berada diatas, sama, atau dibawah harga pasar. 3) Loss leader pricing Kadangkala untuk keperluan promosi khusus, ada perusahaan yang menjual harga suatu produk dibawah biayanya. Tujuannya bukan untuk meningkatkan penjualan produk yang bersangkutan, tetapi untuk menarik konsumen supaya datang ke toko dan membeli pula produkproduk lainnya, khususnya produk-produk yang bermarkup cukup tinggi. Jadi, suatu produk dijadikan semacam penglaris agar produk lainnya juga laku. Penetapan harga penglaris (loss-leader pricing) merupakan alat untuk mempromosikan retailer dan bukan produknya, sehingga kebanyakan produsen tidak suka bila produk-produknya dijadikan penglaris. 4) Sealed bid pricing Metode ini menggunakan sistem penawaran harga dan biasanya melibatkan agen pembelian. Jadi, bila ada perusahaan atau lembaga yang ingin membeli suatu produk, maka yang bersangkutan menggunakan jasa agen pembelian untuk menyampaikan spesifikasi produk yang dibutuhkan kepada para calon produsen. Setiap calon produsen diminta untuk menyampaikan harga penawarannya untuk kuantitas yang dibutuhkan. Harga penawaran tersebut harus diajukan dalam jangka waktu tertentu, kemudian diadakan semacam lelang
40
untuk menentukan penawaran terendah yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kontrak pembelian.