BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 5 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan (Depkes, 2009). Kesehatan adalah hak asasi manusia dan merupakan hak konstitusional yang pemenuhan haknya dilindungi oleh norma hukum. Kesehatan juga merupakan salah satu indikator kemajuan bangsa, sebab memajukan kesehatan rakyat berarti mengupayakan pembangunan sumber daya manusia. Indonesia adalah satu dari sedikit negara berkembang yang mengalami masalah sosial-ekonomi karena kekeliruan mendasar dalam kebijakan publik. Sektor yang seharusnya menjadi pilar pelayanan pemerintah termasuk kesehatan dijadikan komoditas pasar. Pada sektor kesehatan, rakyat menanggung beban besar bahkan mati karena tidak ada uang, ketika ia sakit. Inilah gejala menonjol dari sakitnya sistem kesehatan Indonesia (Thabrany, 2009). Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Neonatus (AKN) 19 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu kendala penting untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan adalah keterbatasan dan ketidak-tersediaan biaya (Depkes, 2011). Kelompok miskin pada umumnya mempunyai status kesehatan
1
2
yang lebih rendah dibandingkan dengan status kesehatan rata-rata penduduk. Rendahnya status kesehatan penduduk miskin terutama disebabkan oleh terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan karena kendala geografis dan kendala biaya (cost barrier). Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa sebagian besar (48,7%) masalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak dan transportasi (Bappenas, 2010). Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional serta Millennium Development Goals (MDGs), pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal). Jampersal dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan jampersal, yang di dalamnya termasuk pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir (Depkes, 2011). Manajemen pengelolaan jampersal menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terealisasinya tujuan pembuatan kebijakan tersebut. Dalam hal ini, penyedia jasa jampersal memiliki andil yang kuat demi tercapainya tujuan tersebut. Bagi penyedia jasa termasuk rumah sakit, ada satu hal yang paling penting dalam upaya menciptakan kepuasan pelanggan, yaitu pelayanan (Tjiptono dan Chandra, 2005). Parasuraman dkk., (1985) mendefinisikan kualitas pelayanan (service quality) sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dengan harapan para pelanggan atas layanan yang mereka terima. Menurut Parasuraman (1985) ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang diterima sesuai dengan yang
3
diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Sebaliknya jasa yang diterima lebih rendah daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan. Penyampaian informasi mengenai obat merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan. Namun sebagian besar kesenjangan informasi pada pasien terjadi pada informasi mengenai permasalahan tentang obat yang mencerminkan kurangnya fokus isu ini oleh para profesional kesehatan (Auyeung dkk., 2011). Dalam pelayanan jampersal, penyampaian informasi mengenai obat dan persepsi pasien mengenai kebutuhan informasi obat penting untuk diketahui guna melihat gambaran persepsi pasien mengenai perlunya kunjungan apoteker di bangsal. Rumah sakit terutama rumah sakit milik pemerintah harus dapat menjadi sarana kesehatan bagi masyarakat luas, oleh karena itu pelayanan kesehatan yang diberikan harus berkualitas agar dapat memuaskan masyarakat sebagai konsumen. RSUD Tidar Magelang yang merupakan Rumah Sakit umum kelas B non pendidikan milik Pemerintah Magelang ini memiliki visi “Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang yang bersih dan nyaman melaksanakan pelayanan yang bermutu tinggi”. Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit penyedia jampersal di Kota Magelang. Pada implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Kesehatan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2014, tujuan penurunan AKI dan AKB dalam MDGs harus dapat dicapai sehingga identifikasi perlindungan akses melalui jaminan pembiayaan persalinan dengan kepesertaan dalam JKN menjadi penting. Sejalan dengan peningkatan cakupan SJSN maka peserta
4
jampersal secara bertahap akan menjadi peserta JKN. Lingkup paket manfaat jampersal menjadi bagian dari paket manfaat JKN yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan medis, kecuali hal-hal yang bersifat nonmedis seperti biaya transportasi (Mukti, 2012). Maka dari fenomena tersebut dan korelasinya pada implementasi kebijakan jampersal pada khususnya serta SJSN pada umumnya, dibutuhkan penelitian mengenai pengaruh kualitas pelayanan rumah sakit penyedia jampersal terhadap kepuasan pasien jampersal. Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran kepuasaan pasien jampersal terhadap kualitas pelayanan obat serta melihat persepsi perlunya apoteker di bangsal kebidanan RSUD Tidar Magelang. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan pengembangan pelayanan obat dari apoteker maupun profesi kesehatan lain di rumah sakit serta dapat memberikan rekomendasi demi tercapainya implementasi kebijakan JKN yang ideal. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat kepuasan pasien jampersal terhadap kualitas pelayanan obat dalam dimensi service quality (responsiveness, assurance, tangibles, emphaty, reliability) di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang? 2. Dari kelima dimensi service quality tersebut, dimensi manakah yang menjadi prioritas dalam upaya meningkatkan kepuasan pasien jampersal di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang? 3. Seperti apakah informasi mengenai obat yang diberikan oleh perawat di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang?
5
4. Bagaimana persepsi pasien mengenai kebutuhan informasi obat dan perlunya apoteker di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien jampersal terhadap kualitas pelayanan obat dalam dimensi service quality (responsiveness, assurance, tangibles, emphaty, reliability) di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang. 2. Untuk mengetahui dimensi manakah dari dimensi service quality yang menjadi prioritas dalam upaya meningkatkan kepuasan pasien jampersal di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang. 3. Untuk mengetahui kelengkapan dan kesesuaian informasi mengenai obat yang diberikan oleh perawat di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang. 4. Untuk mengetahui persepsi pasien mengenai kebutuhan informasi obat dan perlunya apoteker di bangsal Kebidanan RSUD Tidar Magelang. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Menjadi tambahan acuan dalam penerapan konsep metode servqual dan hubungan antara kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien terutama dalam penerapannya di ranah rumah sakit atau pelayanan kesehatan.
6
2. Bagi Peneliti Sebagai media untuk menghubungkan antara teori dengan praktik, melatih kemampuan analisa dan menambah wawasan peneliti. 3. Bagi Pihak Rumah Sakit Dapat menjadi bahan evaluasi sejauh mana kualitas yang telah diberikan kepada pelanggan dan sebagai bahan pertimbangan bagi pihak manajemen untuk melakukan perbaikan dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih memuaskan pelanggan. 4. Bagi Pemerintah Sebagai bahan evaluasi terhadap implementasi kebijakan mengenai Jaminan
Persalinan
dan
rekomendasi
perbaikan
pelayanan
pada
implementasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam SJSN sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan pasien jaminan kesehatan. E. Tinjauan Pustaka 1. Kualitas Pelayanan Pelayanan adalah sesuatu yang dapat ditawarkan ke pasar untuk memenuhi suatu kebutuhan. Aspek paling mendasar dari suatu pelayanan adalah inti dari pelayanan, yaitu untuk menjawab pertanyaan: “Apa yang sesungguhnya dicari oleh konsumen? “Kebutuhan apa yang sesungguhnya dipuaskan oleh suatu pelayanan?” Rumah sakit menyelenggarakan pelayanan rawat inap, tetapi yang sesungguhnya “dibeli” oleh pelayanan itu adalah “harapan akan kesembuhan penyakitnya.” Dengan demikian, rumah sakit harus dapat menemukan kebutuhan esensial yang tersembunyi di balik setiap pelayanan. Tujuannya tidak lain agar
7
manfaat dari suatu pelayanan, bukan sekedar atribut atau fiturnya, dapat dijelaskan kepada konsumen (Hartono, 2010). Kualitas pelayanan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam usaha menciptakan kepuasan yang dirasakan oleh pasien selaku pengguna jasa pelayanan rumah sakit. Pelayanan yang berkualitas di rumah sakit adalah dengan memberikan pelayanan kepada pasien yang didasarkan pada standar kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien sehingga diperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan pasien terhadap rumah sakit (Sabarguna, 2004). Kualitas pelayanan didefinisikan sebagai perbedaan antara harapan atau keinginan konsumen (expected service) dengan persepsi mereka (perceived service) (Zeithaml dkk., 2000). Hubungan antara expected service dan perceived service tersebut dapat dilihat pada gambar 1. Berdasarkan gambar dapat dilihat bahwa dalam menganalisis kualitas pelayanan, terdapat lima titik yang berpotensi menimbulkan adanya kesenjangan (gap) yaitu: a. Gap 1 : antara harapan konsumen dan persepsi manajemen Gap tersebut adalah perbedaan penawaran pelayanan dari pelanggan dengan persepsi manajemen tentang harapan pelanggan. Penyebab gap adalah kegagalan pihak manajemen memahami apa yang diinginkan oleh pelanggan secara tepat. Gap tersebut dapat diatasi dengan melakukan komunikasi kepada pelanggan dengan baik. b. Gap 2 : antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa
8
Gap tersebut disebabkan oleh tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumber daya, atau karena adanya kelebihan permintaan. Gap tersebut dapat diatasi dengan cara menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas.
Konsumen Komunikasi mulut ke mulut
Pengalaman yang lalu
Kebutuhan Personal
Jasa yang diharapkan
Gap 5 Jasa yang dirasakan
Manajemen
Penyampaian Jasa
Gap 4
Komunikasi eksternal
Gap 3 Penjabaran Jasa
Gap 1 Gap 2
Persepsi Manajemen
Gambar 1. Model kualitas pelayanan (Zeithaml dkk., 2000)
c. Gap 3 : penyampaian pelayanan Gap tersebut adalah kesenjangan spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Gap tersebut disebabkan karena karyawan kurang terlatih, beban kerja yang berlebihan tidak dapat mematuhi standar kinerja, dan sebagainya. Gap dapat diatasi dengan meningkatkan team work, member motivasi kepada karyawan, memberikan kesempatan
9
kepada karyawan untuk mengembangkan ide-ide yang berguna kepada perusahaan. d. Gap 4 : komunikasi pemasaran Gap tersebut adalah kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Gap tersebut disebabkan kegagalan perusahaan memenuhi harapan pelanggan karena janji yang berlebihan, iklan yang menyesatkan. Gap tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi kepada lingkungan eksternal dan menghindari pembuatan janji yang berlebihan. e. Gap 5 : mengenai pelayanan yang dirasakan Gap tersebut adalah kesenjangan yang terjadi karena ada perbedaan antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan. Gap tersebut disebabkan oleh pelanggan mengukur kinerja perusahaan dengan cara yang berlainan atau dapat juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut. Gap 1 sampai dengan gap 4 mempengaruhi gap 5. 2. Dimensi Kualitas Pelayanan Dalam penilaian mutu pelayanan, ada sepuluh dimensi yaitu tangibles (berwujud), reliability (handal), responsiveness (daya tanggap), competence (kemampuan), courtesy (ramah), credibity ((jujur), security (keamanan, bebas terhadap risiko), dan understanding the costumer (penuh pengertian terhadap pelanggan (Parasuraman, 2002). Dari sepuluh dimensi tersebut dapat dirangkum menjadi lima yang dikenal dengan dimensi servqual. Kelima dimensi kepuasan
10
disajikan secara berurutan berdasar nilai pentingnya menurut kepuasan, kelima penentu kualitas tersebut meliputi (Parasuraman, 2002): a. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan sebagaimana yang dijanjikan secara tepat. Hal ini meliputi janji mengenai pelayanan yang baik, harga yang fair, penanganan terhadap keberatan yang tepat dan cepat, serta penggunaan komunikasi pasca pelayanan (misalnya lewat kunjungan, kartu, surat, hubungan telepon atau email). b. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang baik pada pelanggan. Yaitu sejauh mana aktivitas pelayanan yang sudah diberikan atau dilakukan untuk memastikan kepuasan pelanggan. Dimensi ini menekankan pada perilaku personel yang memberikan pelayanan untuk memperhatikan permintaan, pertanyaan, dan keberatan dari para pelanggan. c. Assurance (jaminan), yaitu dimensi kualitas pelayanan yang berfokus pada kemampuan untuk melahirkan kepercayaan dan keyakinan pada diri pelanggan. Yaitu pengetahuan dan keramahtamahan para karyawan serta kemampuan mereka untuk menimbulkan keyakinan itu. d. Empathy (empati), yaitu aspek yang menekankan pada perlakuan pelanggan sebagai individu. Salah satunya adalah desain pelayanan terhadap pelanggan (pemberian perhatian dengan sentuhan pribadi sehingga dapat tepat memenuhi apa yang dibutuhkan pelanggan). e. Tangibles (berwujud), yaitu dimensi pelayanan yang berfokus pada elemenelemen yang mempresentasikan pelayanan secara fisik. Oleh karena itu, yang
11
termasuk dalam aspek ini adalah fasilitas, lokasi, peralatan, personel, penampilan personel dan fisik material. 3. Kepuasan Pelanggan Kepuasan merupakan tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk/jasa yang diterima dan yang diharapkan. Dalam era globalisasi ini, perusahaan akan selalu menyadari akan pentingnya faktor pelanggan, oleh karena itu mengukur tingkat kepuasan para pelanggan sangatlah perlu (Lupiyoadi, 2001). Terciptanya kepuasan menimbulkan kesetiaan serta loyalitas pelanggan terhadap perusahaan, sehingga perusahaan akan selalu berupaya untuk dapat memberikan pelayanan yang melebihi harapan pelanggan (Kotler, 1995). Tze dan Wilson (1988) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai respon pelanggan terhadap evaluasi ketidakpuasan (diskonfirmasi) dan kepuasan antara harapan pelayanan terhadap kinerja aktual yang dirasakan. Menurut Hartono (2010), ada empat cara yang dapat dilakukan rumah sakit untuk mengukur kepuasan klien/pasiennya, yaitu: a. Melihat indikator hasil pelayanan. Banyak rumah sakit mengukur kepuasan klien/pasien dengan menghitung BOR, LOS, dan TOI. Ukuran ini merupakan ukuran yang tidak langsung (indirect), dan sebenarnya tidak cukup. Dalam situasi tidak ada pesaing, ukuran ini tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya, karena klien/pasien tidak memiliki pilihan lain. b. Menampung keluhan dan saran. Banyak cara dapat dilakukan dalam hal ini, misalnya dengan menyediakan kotak saran, membagikan
12
formulir tanggapan/komentar kepada klien/pasien tertentu membentuk unit/tim pengaduan (ombudsman), membentuk komite pengawas perawat, dan lain-lain. c. Menyelenggarakan panel pasien/klien. Membentuk kelompok kecil klien/pasien
untuk membahas
hal-hal
yang sudah baik dan
kekurangan-kekurangan dari rumah sakit guna disampaikan kepada rumah sakit. Kelompok ini berganti-ganti dari waktu ke waktu. d. Menyelenggarakan survei kepuasan pasien. Cara ini dapat dilakuka oleh rumah sakit atau diborong kepada organisasi lain. Konsep orientasi kepuasan konsumen (pasien) adalah raja yang kini lebih banyak dipakai dalam bisnis secara umum harus menjadi acuan utama para pengelola rumah sakit. Tanpa memperhatikan kebutuhan konsumen (pasien dan keluarganya) maka rumah sakit akan ditinggalkan oleh konsumen tersebut (Aditama, 2010). Rumah sakit harus mempelajari kebutuhan, keinginan, persepsi, dan kepuasan pasien secara sistematis dengan menggunakan survei atau kelompok terfokus dan alat-alat lainnya. Rumah sakit harus bertindak berdasarkan informasi tersebut untuk meningkatkan produknya (jasanya) secara konstan agar sesuai kebutuhan pasien (Kotler, 1995). Konsep kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan oleh Parasuraman dkk. (1990) digambarkan pada gambar 2. Engel (1990) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari pemberi pelayanan saja akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor dari luar maupun dari dalam pasien itu sendiri. Dari dalam mencakup sumberdaya, pendidikan, pengetahuan, sikap dan gaya hidup serta demografi,
13
sedangkan dari luar mencakup budaya, sosial ekonomi, keluarga dan situasi yang dihadapi.
Komunikasi dari mulut ke mulut
Dimensi Kualitas Pelayanan; a. responsiveness b. reliability c. assurance d. empathy e. tangible
Kebutuhan pribadi
Pelayanan yang diharapkan
Pengalaman masa lalu
Kualitas layanan yang diterima; 1. Harapan terlampaui (sangat memuaskan) 2. Harapan terpenuhi (memuaskan) 3. harapan tidak terpenuhi
Gambar 2. Konsep kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan
4. Profil Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tidar Magelang Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang adalah rumah sakit umum kelas B non pendidikan milik Pemerintah Magelang yang dibentuk berdasarkan SK Menkes No 108/Menkes/SK/1995. Luas tanah RSUD Tidar Magelang 28.614 m2, sedangkan luas bangunannya 10.233 m2 dengan jumlah tempat tidur 172 TT terdiri dari kelas utama/VIP 11 TT, 23 TT untuk kelas I, 58 TT untuk kelas II, dan 80 TT untuk kelas III, sedangkan tenaga medis berjumlah 283 yang terdiri dari dokter spesialis 4 dasar 12 orang, dokter spesialis lain 12 orang, dokter spesialis penunjang 3 orang, dokter umum 6 orang, dokter umum S2 (M.Kes) 1 orang, dokter gigi 2 orang, paramedis perawatan 188 orang, paramedis non perawatan 37
14
orang, apoteker dan asisten apoteker 16 orang, dan tenaga kesehatan lainnya 6 orang (RSUD Tidar, 2005). a. Visi Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang yang bersih dan nyaman melaksanakan pelayanan yang bermutu tinggi. b. Misi Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang menempatkan diri sebagai RSUD rujukan yang memberi pelayanan profesional sebagai manifestasi pengabdiannya pada kemanusiaan. c. Peran Menyelenggarakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis dan non medis, pelayanan dan asuhan keperawatan paripurna meliputi pelayanan rawat inap,
pelayanan
rawat
jalan,
perawatan
intensif
serta
mengupayakan
pengembangan pelayanan khusus dan pengembangan sumber daya perawatan. d. Falsafah Memberikan pelayanan kesehatan paripurna dengan mengutamakan kesembuhan dan kepuasan pasien. Metode-metode yang ditempuh RSUD Tidar Magelang dalam upaya peningkatan mutu pelayanan antara lain: adanya pelatihan dan pembentukan panitia peningkatan mutu (paningtu) di semua instalasi guna meningkatkan mutu pelayanan medis.
15
5. Jaminan Persalinan Dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan kesehatan nasional serta Millennium Development Goals (MDGs), pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan meluncurkan kebijakan Jaminan Persalinan (Jampersal). Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan tantangan yang lebih sulit dicapai dibandingkan target MDGs lainnya. Salah satu faktor yang penting adalah perlunya meningkatkan akses masyarakat terhadap persalinan yang sehat dengan cara memberikan kemudahan pembiayaan kepada seluruh ibu hamil yang belum memiliki jampersal.
Jampersal
dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan finansial bagi ibu hamil untuk mendapatkan jaminan persalinan, yang didalamnya termasuk pemeriksaan kehamilan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, dan pelayanan bayi baru lahir sehingga pada gilirannya dapat menekan angka kematian ibu dan bayi (Depkes, 2011). a. Tujuan Umum Meningkatnya akses terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB melalui jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan. b. Tujuan Khusus 1). Meningkatnya
cakupan
pemeriksaan
kehamilan,
pertolongan
persalinan, dan pelayanan nifas ibu oleh tenaga kesehatan. 2). Meningkatnya cakupan pelayanan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan.
16
3). Meningkatnya cakupan pelayanan KB pasca persalinan oleh tenaga kesehatan. 4). Meningkatnya cakupan penanganan komplikasi ibu hamil, bersalin, nifas, dan bayi baru lahir oleh tenaga kesehatan. 5). Terselenggaranya
pengelolaan
keuangan
yang
efisien,
efektif,
transparan, dan akuntabel. c. Sasaran Sasaran yang dijamin oleh Jaminan Persalinan adalah ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas (sampai 42 hari pasca melahirkan), bayi baru lahir (sampai dengan usia 28 hari). d. Ruang Lingkup Pelayanan persalinan dilakukan secara terstruktur dan berjenjang berdasarkan rujukan. Ruang lingkup pelayanan jaminan persalinan terdiri dari: 1). Pelayanan persalinan tingkat pertama Pelayanan persalinan tingkat pertama adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten dan berwenang memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pelayanan nifas termasuk KB pasca persalinan, pelayanan bayi baru lahir, termasuk pelayanan persiapan rujukan pada saat terjadinya komplikasi (kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir) tingkat pertama. Pelayanan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan Puskesmas PONED serta jaringannya termasuk Polindes dan Poskesdes, fasilitas kesehatan swasta yang memiliki Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Tim Pengelola Kabupaten/Kota.
17
2). Pelayanan persalinan tingkat lanjutan Pelayanan persalinan tingkat lanjutan adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan spesialistik, terdiri dari pelayanan kebidanan dan neonatus dengan risiko tinggi dan komplikasi, di rumah sakit pemerintah dan swasta yang tidak dapat ditangani pada fasilitas kesehatan tingkat pertama dan dilaksanakan berdasarkan rujukan, kecuali pada kondisi kedaruratan. Jenis pelayanan Persalinan di tingkat lanjutan meliputi: a) Pemeriksaan kehamilan dengan risiko tinggi (RISTI) dan penyulit b) Pertolongan persalinan dengan RISTI dan penyulit yang tidak mampu dilakukan di pelayanan tingkat pertama. c) Penanganan komplikasi kebidanan dan bayi baru lahir di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang setara. e. Pendanaan Jaminan Persalinan Pendanaan Persalinan dilakukan secara terintegrasi dengan Jamkesmas. Pengelolaan dana Jaminan Persalinan, dilakukan sebagai bagian dari pengelolaan dana Jamkesmas pelayanan dasar. Pengelolaan dana Jamkesmas dilakukan oleh Dinas Kesehatan selaku Tim Pengelola Jamkesmas Tingkat Kabupaten/Kota (Depkes, 2011). 6. Partisipasi Apoteker dalam Kunjungan Medis ke Bangsal Hubungan yang mendasar dalam setiap jenis pelayanan pasien adalah pertukaran manfaat satu sama lain, pasien memberi kewenangan pada pelaku dan pelaku pelayanan kesehatan memberi kompetensi dan keterlibatannya pada pasien (memenuhi tanggung jawab). Dalam kepedulian farmasi (pharmaceutical care),
18
hubungan langsung apoteker dan seorang pasien adalah janji professional yang keamanan dan kesehatan pasien dipercayakan kepada apoteker. Dalam rumah sakit ada apoteker yang terlibat dalam kegiatan klinik, ada yang terlibat dalam kegiatan farmasi dan berkaitan dengan produk. Kedua kegiatan itu adalah terpadu dan sama pentingnya dalam pelaksanaan kepedulian farmasi (Siregar, 2006). Kunjungan tim medis ke bangsal adalah suatu kegiatan kunci dalam proses menyeluruh dari perawatan pasien. Apabila apoteker berkunjung bersama dokter ke bangsal, ia dapat mengkaji masalah pasien yang berkaitan dengan obat, memantau terapi obat untuk terapi atau efek merugikan, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan memberi informasi obat kepada dokter, pasien dan professional pelayanan kesehatan yang lain. Dengan kunjungan ini apoteker dapat menemui pasien, melakukan dialog langsung dengan dokter, dan memperoleh pengetahuan dari dunia nyata bidang perawatan pasien. Sebagai hasilnya, kunjungan ke bangsal dapat melengkapi pelayanan klinis lainnya yang berorientasi pasien. Partisipasi dalam kunjungan medis memungkinkan apoteker rumah sakit memberikan informasi dan nasihat yang secara langsung, meningkatkan pelayanan pasien dengan penyajian informasi obat, serta meningkatkan terapi obat rasional. Sasaran apoteker rumah sakit dalam kunjungan medis, adalah: a. Secara
langsung
menerapkan
pengetahuan
khusus
farmakologi,
farmakoterapi, dan farmakokinetik kepada perawatan pasien, pada waktu kunjungan serta selama pengkajian berikutnya kemajuan pasien;
19
b. Berinteraksi dengan pelaku pelayan kesehatan lain untuk memperoleh pengertian tentang rincian klinik pasien dan berbagai aspek lain dari perawatan pasien; dan c. Menjadi seorang anggota aktif tim pelayanan kesehatan. Apoteker secara khas memenuhi syarat untuk memberi kontribusi dalam mencegah masalah berkaitan obat dan membantu dalam pembuatan keputusan terapi obat sesuai dengan dasar pendidikan dan pelatihannya. Selama kunjungan, apoteker menggunakan keterampilan pengkajian pasien, teknik wawancara, dan pengetahuan farmakologi serta farmakoterapi mereka untuk meningkatkan keefektifan terapi obat. Apoteker juga membantu mengurangi pengeluaran biaya berkaitan obat, dengan memberikan secara terus-menerus informasi kepada dokter tentang status formularium berbagai obat, substitusi ekivalen dan dosis yang tepat (Siregar, 2006). 7. Penggunaan Obat untuk Ibu Hamil dan Menyusui Ibu hamil dan menyusui merupakan kelompok pasien yang sering mengalami kejadian efek obat merugikan yang lebih tinggi. Kehamilan memperkenalkan suatu variabel yang sangat penting dalam terapi obat. Terapi obat selama kehamilan mungkin perlu untuk mengobati kondisi medis atau dapat dianggap untuk mengelola keluhan kehamilan biasa, seperti muntah atau konstipasi. Namun, karena kebanyakan obat melintasi plasenta sampai taraf tertentu, seorang ibu yang menggunakan suatu obat dapat terpapar pada janin. Keputusan untuk menganjurkan penggunaan suatu obat, wajib didasarkan pada
20
pengetahuan mutakhir dari pustaka dan evaluasi manfaat terhadap risiko yang sangat kritis terhadap ibu dan janin (Siregar, 2006). Penggunaan obat sewaktu menyusui dapat menyebabkan suatu efek merugikan dalam bayi. Konsentrasi suatu obat dalam Air Susu Ibu (ASI) bergantung sejumlah faktor, termasuk konsentrasi obat dalam darah ibu; bobot molekul obat; kelarutan dalam lemak; derajat ionisasi dan derajat ikatan pada plasma dan protein susu; serta sekresi aktif dari obat ke dalam susu. Pertimbangan penting lain termasuk hubungan antara waktu penggunaan obat dan waktu menyusui, demikian juga kemungkinan obat untuk menyebabkan toksisitas pada bayi. Selain itu, beberapa obat (dekongestan) dapat mengurangi suplai susu. Pada dosis terapi, kebanyakan obat tidak berada pada ASI dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan bahaya yang signifikan pada bayi. Namun, ada beberapa obat memiliki kontraindikasi bila digunakan sewaktu menyusui, dan beberapa obat yang lain harus digunakan secara hati-hati oleh ibu menyusui (Siregar, 2006). F. Kerangka Konsep Pelayanan yang diharapkan Dimensi SERVQUAL: Reliability Responsiveness Assurance Empathy Tangible
Kepuasan Pasien jampersal
Informasi obat oleh perawat di Bangsal Pelayanan yang diterima
Persepsi pasien akan kebutuhan informasi obat dan perlunya apoteker di Bangsal
Gambar 3. Kerangka konsep penelitian
21
G. Keterangan Empiris Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan gambaran tingkat kepuasan pasien jampersal terhadap kualitas pelayanan ditinjau dari lima dimensi servqual (reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangibles) dan prioritas perbaikan dari kelima dimensi tersebut, menunjukkan kelengkapan dan kesesuaian informasi tentang obat jika diberikan oleh perawat di bangsal, serta menunjukkan persepsi perlunya apoteker di bangsal kebidanan RSUD Tidar Magelang.