BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 pasal 4 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan, dimana pada pasal 5 ayat 2 juga dinyatakan setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau (Depkes, 2009b). Kesehatan merupakan hak setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu setiap tenaga kesehatan, khususnya apoteker, wajib memberikan pelayanan terbaik untuk menunjang kesehatan warga negara Indonesia melalui praktik pelayanan kefarmasian. Peran apoteker dalam pelayanan kesehatan telah ditegaskan oleh WHO sejak 1990, termasuk didalamnya apoteker farmasi komunitas. Apoteker farmasi komunitas merupakan tenaga kesehatan yang paling mudah diakses oleh masyarakat dan melayani obat-obatan baik dengan resep atau tanpa resep. Selain itu, ranah farmasi komunitas mencakup konseling obat baik resep maupun tanpa resep kepada pasien, sebagai sumber informasi obat bagi tenaga kesehatan, pasien, dan masyarakat, serta turut berpartisipasi dalam program pelayanan kesehatan promotif (WHO, 1990). Apoteker farmasi komunitas sebagai pemegang peran utama dalam pelayanan kefarmasian komunitas, menghadapi sebuah permasalahan dalam menyeimbangkan aspek komersial dan profesional sebagai tenaga kesehatan
1
2
(Wirth dkk., 2011). Pelayanan yang bermutu sesuai standar kode etik dan profesi selain dapat menurunkan risiko medication error, juga akan memberikan persepsi yang baik terhadap apotek karena sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat (Handayani dkk., 2009). Persepsi konsumen terhadap pelayanan apotek yang buruk akan merugikan apotek dari aspek bisnis karena konsumen akan beralih ke apotek lain (Handayani dkk., 2009). Persepsi masyarakat terhadap apoteker farmasi komunitas menjadi faktor penting untuk membantu apoteker memformulasikan pengembangan perannya dalam sebuah sistem pelayanan kesehatan. Persepsi masyarakat dapat menentukan pengembangan praktik kefarmasian dan menentukan besarnya penghargaan pemerintah atau pembayar pihak ketiga dalam menghargai pelayanan apoteker (Ratiopharm, 2004). Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengetahui seperti apa persepsi konsumen terhadap apoteker farmasi komunitas di kota Yogyakarta sehingga dapat menjadi acuan pengembangan pelayanan profesi apoteker di kota Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah pada penelitian : 1.
Seperti apakah gambaran kemampuan konsumen dalam mengenali apoteker di apotek?
2.
Seperti apakah gambaran persepsi konsumen terhadap peran apoteker sebagai sumber informasi obat?
3
3.
Seperti apakah gambaran tingkat kepercayaan konsumen terhadap apoteker dibandingkan dengan tenaga kesehatan lain?
4.
Seperti apakah gambaran kepuasan konsumen terhadap karakter apoteker?
5.
Seperti apakah gambaran harapan konsumen terhadap pengembangan pelayanan apoteker dan apotek?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : 1.
Untuk mengetahui gambaran kemampuan konsumen mengenali apoteker di apotek.
2.
Untuk mengetahui gambaran persepsi konsumen terhadap peran apoteker sebagai sumber informasi obat.
3.
Untuk mengetahui gambaran tingkat kepercayaan konsumen terhadap apoteker dibandingkan dengan tenaga kesehatan lain.
4.
Untuk mengetahui gambaran kepuasan konsumen terhadap karakter apoteker.
5.
Untuk
mengetahui
gambaran
harapan
pengembangan pelayanan apoteker dan apotek.
konsumen
terhadap
4
D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah : 1.
Bagi apoteker, penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang persepsi konsumen terhadap apoteker.
2.
Bagi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) selaku organisasi profesi, penelitian diharapkan dapat memberikan tambahan informasi untuk menentukan arah pengembangan keprofesian apoteker.
3.
Bagi mahasiswa farmasi, penelitian diharapkan dapat memberikan motivasi sebagai calon apoteker untuk lebih giat menempa diri agar menjadi apoteker yang baik dan lebih profesional.
E. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi Persepsi
diartikan
sebagai
proses
individu
dalam
memilih,
mengorganisasi, dan menafsirkan informasi yang ada untuk menciptakan sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008). Dalam dunia sosial, dikenal juga istilah persepsi sosial. Persepsi sosial didefinisikan membangun suatu pemahaman dunia sosial berdasarkan data yang didapatkan dari indera (Michener dkk., 2004). Persepsi konsumen terhadap apoteker farmasi komunitas termasuk ranah persepsi sosial karena merupakan persepsi antar manusia. Model proses pembentukan persepsi sosial dan faktor-faktornya dapat dilihat pada gambar 1 (Nelson dan Quick, 1997).
5
Characteristics of the Perceiver - Familiarity with target - Attitudes / Moods - Self-Concept - Cognitive structure
Barriers Selective perception Stereotyping First-impression error Implicit personality theory Self-fulfilling prophecy
Characteristics of the target - Physical appearance - Verbal communication - Nonverbal cues - Intentions
Social Perception
Characteristics of the situation - Context of the interaction - Strength of situational Gambar 1. Model Persepsi Sosial Sumber : Nelson dan Quick (1997)
Nelson dan Quick (1997) menyatakan terdapat tiga faktor yang berpengaruh dalam pembentukan persepsi sosial (gambar 1). Faktor-faktor tersebut yaitu: a.
Karakteristik pembuat persepsi, karakter tersebut dibangun oleh: 1). Kefamilieran pembuat persepsi dengan objek persepsi. Kefamilieran dengan objek persepsi akan membuat pembuat
6
persepsi lebih mudah untuk melakukan observasi atau penilaian. Meskipun pada saat observasi berlangsung pembuat persepsi harus mendapatkan data yang tepat sehingga bisa membuat penilaian yang akurat, sering kali akan dijumpai dimana pembuat persepsi akan membuang data yang tidak sesuai dengan gambarannya tentang objek persepsi ketika data dan gambaran karena kedekatan yang terjalin tidak sejalan. 2). Prinsip hidup pembuat persepsi. Sebagai contoh, di Nigeria belum pernah ada seorang pemimpin perempuan sejak merdeka, sehingga akan berkembang anggapan bahwa perempuan tidak akan pernah mampu memimpin negara. 3). Suasana hati pembuat persepsi. Saat suasana hati orang sedang buruk maka cenderung memandang segala sesuatu di sekitarnya negatif, begitu pula sebaliknya. 4). Konsep diri pembuat persepsi. Ketika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka akan cenderung membentuk persepsi positif terhadap objek persepsi. Semakin mampu mengenali konsep diri, akan semakin mudah menilai orang dengan akurat. 5). Kerangka pemikiran pembuat persepsi. Sudut pandang atau pemikiran orang akan mempengaruhi persepsi mereka terhadap sesuatu secara siginifikan. Ada individu yang menitikberatkan penilaian terhadap individu lain berdasarkan fisik, ada juga
7
yang
berdasarkan
kepribadian,
namun
tidak
menutup
kemungkinan seseorang bisa fokus kepada dua-duanya. b.
Karakter objek, dibangun oleh: 1). Penampilan fisik objek. Salah satu karakter objek yang paling penting adalah penampilan fisik. Termasuk di dalamnya tinggi badan, berat badan, usia, ras, dan jenis kelamin. Sebagai tambahan, cara berpakaian juga menentukan objek diterima. Lebih penting lagi, pembuat persepsi akan lebih mudah menangkap penampilan yang baru atau asing bagi mereka. 2). Komunikasi verbal antara pembuat persepsi dan objek persepsi. Komunikasi verbal yang mempengaruhi persepsi seseorang, misalnya nada bicara dan aksen. 3). Komunikasi non-verbal antara pembuat persepsi dan objek. Komunikasi non-verbal lebih mempengaruhi persepsi tentang seseorang daripada komunikasi verbal. Kontak mata, mimik wajah, bahasa tubuh, dan postur badan merupakan hal-hal yang berpengaruh pada pembuat persepsi. Mimik wajah yang bersifat cenderung menyampaikan makna yang universal, sedangkan komunikasi non-verbal lainnya mempunyai peluang pemaknaan yang berbeda dengan perbedaan budaya. 4). Tujuan interaksi objek dan pembuat persepsi. Dugaan pembuat persepsi terhadap tujuan interaksi dengan objek persepsi harus diakui berpengaruh terhadap proses terjadinya persepsi.
8
c.
Situasi pembentukan persepsi, yang bergantung pada: 1). Konteks
interaksi
saat
pembuat
persepsi
dan
objek
berinteraksi. Konteks sosial pada saat terjadinya interaksi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesan individu. Misalnya orang-orang yang bertemu dengan direktur eksekutif sebuah bank dalam suasana kampanye politik akan memiliki kesan yang jauh berbeda dengan orang yang bertemu direktur eksekutif tersebut di kantornya. 2). Kekuatan situasi interaksi antara pembuat persepsi dan objek. Kekuatan situasi kondisional merupakan indikasi jelas perilaku dapat diterima. Akan ada beberapa situasi yang situasi tersebut mempengaruhi
perilaku
individu,
namun
tidak
terlalu
mempengaruhi pembawaan atau sikap individu tersebut terhadap objek. Hal tersebut disebut prinsip diskon dalam persepsi sosial. Sebuah ilustrasi akan prinsip diskon adalah situasi saat seorang petugas pemasaran bank yang ramah menyapa Anda untuk menanyakan hobi Anda dan pengetahuan Anda terhadap industri perbankan. Apakah sikap ramah petugas akan menunjukkan kepribadiannya? Hal tersebut tidak akan dikategorikan sikap ramah sebagai kepribadiannya karena kondisi yang ada. Pada dasarnya, dalam konteks tersebut petugas pemasaran bank sedang mencari prospek untuk memperkenalkan pelayanan bank di tempat bekerja.
9
Sebuah laporan mengenai persepsi konsumen terhadap apoteker di Kanada, memaparkan konsumen mengunjungi apotek rata-rata sebanyak 12 kali per tahun, dan 43% dari mereka berkomunikasi dengan apoteker. Persepsi konsumen terhadap interaksi mereka dengan apoteker sangat positif. Konsumen menempatkan apoteker sebagai tenaga kesehatan nomor dua yang bertanggung jawab atas kesehatan mereka setelah dokter (Ratiopharm, 2004). 2. Apoteker farmasi komunitas Definisi apoteker menurut PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Depkes, 2009a). Tanggung jawab apoteker akan pekerjaan kefarmasian sudah diatur dengan jelas pada bagian kesatu pasal 5 yaitu meliputi pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi. Untuk bisa efektif sebagai anggota tim kesehatan, apoteker butuh intelektual untuk melakukan fungsi-fungsi yang berbeda. WHO menyebutkan tentang peran apoteker dalam pelayanan kesehatan dengan istilah 8 bintang (Eight-Star Pharmacist), yaitu (Wiedenmeyer dkk., 2006):
a.
Care giver, artinya apoteker dapat memberi pelayanan kepada pasien, memberi informasi obat kepada masyarakat dan kepada tenaga kesehatan lainnya.
b.
Decision maker, artinya apoteker mampu mengambil keputusan, tidak hanya mampu mengambil keputusan dalam hal manajerial namun harus mampu mengambil keputusan terbaik terkait dengan
10
pelayanan kepada pasien, sebagai contoh ketika pasien tidak mampu membeli obat yang ada dalam resep maka apoteker dapat berkonsultasi dengan dokter atau pasien untuk pemilihan obat dengan zat aktif yang sama namun harganya lebih terjangkau. c.
Communicator, artinya apoteker mampu berkomunikasi dengan baik dengan pihak ekstern (pasien atau customer) dan pihak intern (tenaga profesional kesehatan lainnya).
d.
Leader, artinya apoteker mampu menjadi seorang pemimpin di apotek. Sebagai seorang pemimpin, apoteker merupakan orang yang terdepan di apotek, bertanggung jawab dalam pengelolaan apotek mulai dari manajemen pengadaan, administrasi, manajemen SDM serta bertanggung jawab penuh dalam kelangsungan hidup apotek.
e.
Manager, artinya apoteker mampu mengelola apotek dengan baik dalam hal pelayanan, pengelola manajemen apotek, pengelolaan tenaga kerja dan adinistrasi keuangan. Untuk itu apoteker harus mempunyai kemampuan manaerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen.
f.
Life long learner, artinya apoteker harus terus-menerus menggali ilmu pengetahuan, senantiasa belajar, menambah pengetahuan dan keterampilannya serta mampu mengembangkan kualitas diri.
g.
Teacher, artinya apoteker harus mampu menjadi guru, pembimbing bagi stafnya, harus mau meningkatkan kompetensinya, harus mau
11
menekuni profesinya, tidak hanya berperan sebagai orang yang tahu saja, namun harus dapat melaksanakan profesinya dengan baik. h.
Researcher, berkaitan dengan peran sebagai life long learner, apoteker dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dengan melakukan penelitian baru yang bermanfaat bagi dunia kesehatan.
Apoteker farmasi komunitas adalah apoteker yang melakukan praktik pelayanan kefarmasian di komunitas. Tempat praktik apoteker farmasi komunitas adalah apotek. Berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027 tahun 2004, tanggung jawab apoteker dalam pengolahan suatu apotek meliputi (Depkes, 2004): a.
Pembuatan,
pengolahan,
peracikan,
pengubahan
bentuk,
pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. b.
Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya.
c.
Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi: 1). Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. 2). Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau suatu obat dan perbekalan farmasi lainnya.
12
Dalam sebuah penelitian mengenai persepsi konsumen terhadap pelayanan apotek di tiga kota di Indonesia, konsumen memiliki persepsi yang baik terhadap apotek walaupun pelayanan kefarmasian yang diberikan belum memenuhi standar pelayanan farmasi komunitas (Handayani dkk., 2009). 3. Konsumen Menurut Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 butir 2, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (Depdagri, 1999). Pengunjung apotek yang bertujuan mendapatkan barang (obat) atau memakai jasa apoteker juga merupakan konsumen. Apotek berfungsi sebagai tempat apoteker berpraktik, namun apoteker tidak bisa mengesampingkan aspek bisnisnya. Maka kepuasan konsumen tetap menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan agar bisnis terus berjalan. Dalam praktik kefarmasian, konsumen apotek atau pasien berhak mendapatkan : a.
Informasi obat sekurang-kurangnya cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
b.
Konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup
13
pasien
atau
yang
bersangkutan
terhindar
dari
bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. c.
Monitoring penggunaan obat.
d.
Edukasi apabila pasien ingin melakukan swamedikasi
e.
Pelayanan residensial (home care) khususnya pasien lansia atau penyakit kronis.
Hasil sebuah survei mengenai persepsi konsumen terhadap apoteker di Kanada oleh Ratiopharm (2004), konsumen yang menganggap diri mereka sebagai konsumen apotek sebanyak 46%, sebagai pasien sebanyak 16%, dan sebagai pelanggan 37%. 4. Tingkat kepercayaan Kepercayaan didefinisikan sebagai penerimaan positif terhadap situasi rawan yang didasari oleh ekspektasi yang tinggi (Hall, 2001; Gilson, 2003; Dugan, 2005). Dalam pelayanan kesehatan, situasi rawan yang dimaksud meningkat karena pengguna pelayanan kesehatan dalam kondisi sakit dan membutuhkan berpengetahuan khusus. Kondisi tersebut menyebabkan ketidaksetaraan antara pengguna dan penyedia pelayanan (Hall, 2001). Kepercayaan berfungsi sebagai jalan untuk mengurangi kompleksitas dalam kehidupan sosial. Memberikan kepercayaan pada individu atau sistem menyederhanakan keputusan tindakan (Luhmann, 1988). Risiko merupakan poin sentral untuk memahami fenomena kepercayaan (Luhmann, 2005). Kepercayaan membantu manusia untuk membuat keputusan yang akan datang berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masa
14
lalu untuk meminimalkan risiko yang dialami (Luhmann, 1979). Kepercayaan berkembang
seiring
kefamilieran,
yang
merupakan
cara
untuk
memperhitungkan risiko (Luhmann, 1988). Dalam pelayanan kesehatan, pasien akan membangun dan meningkatkan kepercayaan mereka dengan tenaga kesehatan berdasarkan pengalaman mereka mengenalnya. Ketika pasien tidak familier dengan tenaga kesehatan yang dimaksud, maka mereka menggunakan keyakinan. Keyakinan menimbulkan ekspektasi bahwa mereka tidak akan dikecewakan (Gidman, 2012). Survei Most Trusted Professions 2012 dilakukan oleh Reader’s Digest Canada dan Reader’s Digest Australia (2012). Hasil survei Reader’s Digest Australia (2012) menempatkan apoteker di peringkat 7, di bawah perawat yang berada di peringkat 4 dan dokter di peringkat 6, namun di atas dokter gigi yang berada di peringkat 14. Reader’s Digest Canada (2012) menempatkan apoteker di peringkat 3 berada di atas perawat yang berada di peringkat 4, dokter di peringkat 5, dan dokter gigi di peringkat 7. 5. Kepuasan terhadap karakter apoteker Kepuasan konsumen (customer satisfaction) dapat didefinisikan sebagai perasaan senang/kecewa seseorang sebagai hasil perbandingan antara prestasi/produk yang dirasakan dan diharapkan. Penilaian terhadap kepuasan konsumen dapat dilakukan dengan menanyakan secara langsung apakah konsumen puas atau tidak terhadap produk/jasa yang diperoleh (Rangkuti, 2000). Bila kepuasan konsumen terhadap barang/jasa jauh di bawah apa yang diharapkan,
maka
konsumen
akan
kehilangan
minat
terhadap
15
produsen/penyedia jasa dalam hal tersebut adalah apoteker, demikian pula sebaliknya, jika barang/jasa yang mereka nikmati memenuhi/melebihi tingkat kepentingannya, maka konsumen akan cenderung memakai lagi barang/jasa tersebut (Kotler, 2008). Penelitian dari Wirth dkk. (2011) yang dilakukan di Malta, salah satu aspek yang diteliti adalah kepuasan pasien terhadap karakter apoteker. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar konsumen memiliki persepsi yang sangat baik terhadap apoteker farmasi komunitas, dan cukup atau sangat puas terhadap karakter apoteker, yang efisiensi dalam memenuhi permintaan pasien (95,00%), kelengkapan informasi penggunaan obat (94,00%), bahasa yang digunakan (93,00%), kebijaksanaan (91,00%), hubungan profesional apoteker dengan pasien (90,00%), kelengkapan informasi cara kerja obat dalam tubuh (86,00%), kemampuan apoteker dalam menjawab pertanyaan dari pasien (81,00%), dan perhatian apoteker pada kesehatan pasien (77,00%). Kepuasan paling rendah terdapat pada privasi dalam pelayanan (69,00%) dan waktu yang digunakan oleh apoteker bersama mereka (73,00%). 6. Harapan terhadap pengembangan pelayanan apoteker dan apotek Harapan berasal dari kata harap yang berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keinginan agar sesuatu terjadi. Dalam PP No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian yang dimaksud dengan pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
16
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes, 2009a). Tanggung jawab apoteker terhadap pasien mengakibatkan harapan pasien menjadi perhatian penting seorang apoteker. Penelitian Wirth dkk. (2011) yang dilakukan di Malta, salah satu aspek yang diteliti adalah persepsi pasien terhadap pengembangan pelayanan seorang apoteker dan sebuah apotek. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konsumen merasa penting pada adanya dokter praktik (91,00%), tersedianya alat diagnosis (87,00%), jam buka apotek yang lebih panjang (83,00%), dan ketersediaan ruang konsultasi obat (80,00%) di apotek. Konsumen menilai manajemen penyakit kronis (68,00%), kemudahan menghubungi apoteker di luar jam buka apotek (67,00%), dan peresepan oleh apoteker (47,00%) kurang penting untuk dilakukan.
F. Keterangan Empiris Penelitian dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang persepsi konsumen meliputi kemampuan konsumen dalam mengenali apoteker, peran apoteker sebagai sumber informasi obat, tingkat kepercayaan konsumen kepada apoteker dibandingkan dengan tenaga kesehatan lain, kepuasan konsumen terhadap karakter apoteker, dan harapan konsumen akan pengembangan pelayanan apoteker serta apotek yang berada di wilayah kota Yogyakarta.