BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Terjadinya krisis di Indonesia beberapa tahun lalu antara lain disebabkan oleh tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang kurang baik (poor govermance). Hal ini diindikasikan adanya berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi serta rendahnya kinerja aparatur termasuk kualitas pelayanan kepada masyarakat di berbagai bidang. Berbagai permasalahan tersebut telah menghambat proses pemulihan ekonomi, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, yang berdampak pada krisis ekonomi dan krisis kepercayaan. Krisis multidimensi ini telah mendorong arus balik yang menuntut perbaikan atau reformasi dalam penyelenggaraan
negara
termasuk
birokrasi
pemerintahan.
Pada
akhirnya
keberhasilan reformasi yang diperjuangkan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia telah banyak membawa perubahan
dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Salah satu tujuan reformasi tersebut adalah adanya desentralisasi keuangan dan otonomi daerah. Berdasarkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional Yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka pemerintah telah mengeluarkan kebijakan tentang otonomi daerah dan desentralisasi keuangan yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang1
undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun seiring dengan perkembangan sosial, politik, dan ekonomi, kedua Undang-undang tersebut sekarang telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Selain itu karena adanya perubahan sistem politik, sosial, dan ekonomi serta kemasyarakatan akibat reformasi telah menimbulkan tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan dengan mengedepankan akuntabilitas dan transparansi. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik merupakan landasan bagi perbuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi sekarang ini. Oleh karena itu tuntutan tersebut telah direspon pemerintah dengan diterbitkannya beberapa peraturan yaitu : a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, e. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah, dan
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan diperbaharui dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 mensyaratkan akuntabilitas keuangan dalam bentuk laporan keuangan meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah oleh kepala daerah kepada DPRD, setelah laporan keuangan tersebut diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini pada akhirnya akan mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah, dan dengan telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, maka paling lambat tahun 2008 semua pemerintah kabupaten / kota di Indonesia harus melaksanakan Peraturan Pemerintah ini dengan menerapkan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Hal ini akan terwujud bila ada komitmen dan dukungan pejabat daerah dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi kepada publik. Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 disebutkan “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat”. Hal ini berarti telah terjadi pembaharuan dalam manajemen keuangan daerah yang ditandai dengan perubahan yang mendasar dari sistem penganggaran, perbendaharaan, sampai dengan pertanggungjawaban laporan keuangan. Selain itu pembaharuan sistem pengelolaan keuangan daerah dimaksudkan agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan sehingga tercipta akuntabilitas publik.
Dengan reformasi yang menuntut implementasi otonomi daerah, maka penyelenggaraan otonomi daerah sekarang lebih dipahami sebagai hak yaitu hak rakyat atau masyarakat daerah untuk mengatur dan mengelola kepentingannya sendiri serta mengembangkan potensi dan sumber daya daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini, daerah diberi kewenangan yang lebih luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sedikit campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Namun dengan kewenangan yang luas tersebut tidak berarti bahwa pemerintah daerah dapat menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimiliki sekehendaknya sendiri tanpa arah dan tujuan yang jelas. Hak dan kewenangan yang diberikan kepada daerah pada hakekatnya merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan secara akuntabel dan transparan baik kepada masyarakat daerah, maupun pemerintah pusat yang telah membagikan dana perimbangan kepada seluruh daerah di Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah meliputi penyerahan kewenangan sesuai kemampuan daerah kecuali kewenangan di bidang pertahanan dan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan administrasi pemerintahan yang bersifat strategis. Dengan adanya otonomi daerah maka pelaksananaan pemerintahan daerah dijalankan berdasarkan asas desentrasilisasi, asas dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan dan pemeliharaan hubungan yang serasi pusat dan daerah dan antar daerah (Sidik et.al. 2002). Menurut Sah (1997) dalam
Mardiasmo (2004) secara teoritis desentrasilisasi ini diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata yaitu : a. mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masing-masing daerah, dan b. memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang lebih rendah yang memiliki informasi paling lengkap. Pelimpahan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan penyerahan peralatan, perlengkapan, dan pembiayaan. Proporsi pengelolaan fiskal dalam penyelenggaraan yang
menjadi
pemerintahan
tanggungjawab daerah sepenuhnya melalui APBD menjadi
meningkat, karena adanya penyerahan sumber-sumber penerimaan keuangan daerah dan pembiayaan sehingga diharapkan akan meningkatkan kemandirian daerah. Desentralisasi fiskal dimaksudkan agar terdapat perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih rasional, proporsional dan nyata sebagai konsekuensi desentralisasi kewenangan. Laporan keuangan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah merupakan bentuk akuntabilitas keuangan pada semua pihak yang menjadi pemangku kepentingan daerah (stakeholders) yang diwakili oleh DPRD. Ketika Pemerintah Daerah mempertanggungjawabkan masalah pengelolaan keuangan, pelaporan keuangan menjadi media utama yang dapat diterima secara umum untuk transparansi dan akuntabilitas keuangan. Laporan keuangan yang dibuat pemerintah daerah pada
dasarnya adalah untuk semua pihak yang menjadi pemangku kepentingan daerah (stakeholders). Sudjana (2002) menyatakan bahwa sasaran laporan keuangan sektor publik adalah sebagai laporan pertanggungjawaban dan untuk memberikan informasi yang digunakan sebagai pertimbangan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik kepada berbagai kelompok pengguna (stakeholders) walaupun mereka mempunyai kepentingan yang berbeda. Meskipun laporan keuangan bukan merupakan satu-satunya sumber informasi untuk pembuatan keputusan, akan tetapi laporan keuangan sebagai sumber informasi finansial memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas keputusan yang dihasilkan sehingga laporan keuangan tersebut harus dapat dipahami oleh pemakai. Rakyat sebagai penuh / mandat
sumber kekuasaan yang telah memberikan kepercayaan
kepada pemerintah daerah, sudah sewajarnya kalau menuntut
pertanggungjawaban pemerintah daerah melalui media laporan akuntabilitas laporan keuangan. Menurut Mardiasmo (2004) tuntutan akuntabilitas sektor publik terkait dengan perlunya dilakukan transparansi dan pemberian informasi kepada publik (masyarakat) dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Dalam konteks pemerintahan akuntabilitas publik merupakan pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Oleh karena itu pemerintah daerah harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Pemerintah Daerah selaku pengelola dana publik (public money) seharusnya mampu menyediakan informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu dan dapat dipercaya, sehingga dituntut untuk memiliki sistem informasi keuangan yang handal. Untuk mewujudkan hal ini maka peranan dukungan pejabat di daerah sangat penting karena
untuk menyusun laporan keuangan daerah yang kreditibel dan auditibel maka harus memahami dan mengikuti ketentuan dalam SAP. Dan menurut ketentuan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, daerah telah diberi keleluasaan untuk menyusun sistem akuntansi keuangan dalam pengelolaan keuangan daerah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dengan tetap berpedoman pada SAP. Untuk itu diperlukan kebijakan pejabat di daerah dalam upaya untuk lebih memperlancar dalam proses penyusunan laporan keuangan tersebut antara lain dengan penetapan kebijakan akuntansi, sistem dan prosedur akuntansi, penyediaan sarana prasarana dan kecukupan dalam pendanaan. Selain itu dalam rangka memantapkan otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah hendaknya sudah memikirkan investasi untuk mengembangkan sistem informasi keuangan (Wahyundaru 2001). Hal ini karena rakyat atau masyarakat sebagai sumber legitimasi pemerintah daerah yang memerlukan bentuk pertanggungjawaban secara terbuka atau transparan karena terbatasnya aksebilitas masyarakat terhadap laporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah umumnya belum mempunyai / melaksanakan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sebagai media informasi yang diakses oleh stakeholders. Sebenarnya informasi yang dimuat dalam SIKD merupakan data terbuka yang dapat diketahui, diakses dan diperoleh masyarakat. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2005 tentang SIKD dinyatakan bahwa penyelenggaraan SIKD mempunyai fungsi penyajian informasi keuangan daerah pada masyarakat (stakeholders) secara berkala baik melalui surat kabar, internet atau cara lain guna memenuhi kepentingan dalam pengambilan keputusan. Hal ini merupakan wujud dari transparansi dimana transparansi mengisyaratkan bahwa laporan keuangan tidak hanya dibuat tapi juga
terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, karena aktivitas pemerintah adalah dalam rangka menjalankan amanat rakyat (Wisnu 2006). Untuk itu pemerintah daerah perlu segera meningkatkan aksesibilitas laporan keuangan yang berarti bahwa pemerintah daerah meningkatkan kemudahan kepada para pengguna laporan keuangan guna mengakses atau mengetahui atau memperoleh publikasi laporan keuangan. Walaupun pada kenyataannya hal tersebut masih sulit dilakukan oleh pemerintah daerah karena berbagai keterbatasan yang ada. Jones et. al. (1985) dalam Steccolini (2002), menyatakan bahwa ketidakmampuan laporan keuangan dalam melaksanakan akuntabilitas tidak saja disebabkan karena laporan keuangan tidak memuat semua informasi relevan yang dibutuhkan oleh pengguna, tapi juga karena laporan keuangan tersebut tidak secara langsung tersedia dan aksesibel pada para pengguna potensial. Sebagai konsekuensinya penyajian laporan keuangan tidak lengkap dan tidak aksesibel dapat menurunkan kualitas dari transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah. Sedangkan Collins et.al. (1991), meneliti akses pihak-pihak eksternal eksternal terhadap informasi laporan keuangan menyimpulkan tidak terbukti adanya pihak eksternal yang memiliki akses terhadap informasi keuangan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa laporan keuangan pemerintah masih belum menjadi public figure. Tayib (1994) dalam Yuliani (2003), meneliti tentang akses pengguna laporan keuangan menyimpulkan adanya keterbatasan akses pelaporan keuangan, masalah laporan keuangan hanya aksesibel untuk konsultan dan auditor, sedangkan pembayar pajak sama sekali tidak akses. Sudjana (2002), meneliti persepsi pemakai laporan keuangan sektor publik terhadap
pelaporan
pertanggungjawaban
keuangan
Pemerintah
Daerah,
menyimpulkan bahwa terjadi perbedaan persepsi antara pihak eksekutif dan legislatif
terhadap laporan keuangan. Pihak eksekutif lebih menerima informasi mengenai kesehatan keuangan, informasi mengenai perencanaan dan anggaran
sebagai
informasi yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan pertanggungjawaban kepala daerah kepada pihak legislatif. Sedangkan pihak legislatif lebih menerima informasi mengenai kondisi perekonomian sebagai informasi yang seharusnya disajikan dalam pertanggungjawaban kepala daerah kepada legislatif. Dari berbagai penelitian diatas pada umumnya masih menunjukkan adanya keterbatasan aksebilitas masyarakat dalam laporan pengelolaan keuangan pemerintah, sehingga kemungkinan akan menimbulkan perbedaan persepsi tentang akuntabitas dan transparansi laporan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana hasil penelitianpenelitian terdahulu yang dilakukan oleh Steccolini (2002), Sudjana (2002), Dwiningsih (2006) dan Wisnu (2007). Untuk mengetahui lebih mendalam apakah sebenarnya ada perbedaan persepsi stakeholders terhadap akuntabilitas dan transparansi laporan keuangan pemerintah daerah, maka penulis melakukan pengembangan penelitian yang telah dilakukan oleh Wisnu (2007) di kota Salatiga dengan menambah variabel baru yaitu dukungan pejabat dalam penerapan SAP. Hal ini karena ketika pemerintah daerah menyusun laporan keuangan sebagai wujud akuntabilitas kepada publik maka harus berpedoman pada SAP. Namun SAP tidak bisa langsung diterapkan di daerah karena memerlukan perangkat pendukung seperti kebijakan akuntansi, sistem dan prosedur akuntansi dan sarana pendukung lainnya dimana semua itu menjadi kewenangan pejabat di daerah (bupati/walikota) untuk menyusun dan menetapkannya. Selain itu penulis juga menambahkan unsur responden yaitu dari auditor internal dari Bawasda, kalangan pers atau wartawan. Penelitian dilakukan ditempat berbeda yaitu di Kabupaten Kulon
Progo karena ada perbedaan hasil audit laporan keuangan oleh BPK. Laporan keuangan Kabupaten Kulon Progo tahun 2006 diaudit BPK dengan pernyataan disclaimer / tidak berpendapat dan untuk laporan keuangan Tahun 2007 dengan menyatakan pendapat wajar dengan pengecualian. Disamping itu karena penulis saat ini adalah PNS yang sedang bertugas di Bawasda Kabupaten Kulon Progo sebagai auditor internal. Antara kota Salatiga dan kabupaten Kulon Progo tentu ada perbedaan karakteristik baik itu sistem sosial budaya masyarakatnya maupun kondisi sumber daya alam dan sumber daya aparat pemerintahnya, sehingga pada akhirnya dapat diketahui apakah hasil penelitian di kota Salatiga tersebut dapat digeneralisasikan di Kabupaten Kulon Progo atau tidak.
B. Perumusan Masalah Penelitian Pada saat ini ketika pemerintah daerah mempertanggungjawabkan masalah pengelolaan keuangan, pelaporan keuangan menjadi
media utama yang dapat
diterima secara umum untuk transparansi dan akuntabilitas keuangan. Sedangkan untuk menyusun laporan keuangan secara akurat, relevan, tepat waktu dan dapat dipercaya diperlukan sistem akuntansi pemerintahan
dengan didukung sarana
prasarana yang memadai berdasarkan kebijakan pejabat di daerah. Namun pada umumnya pemerintah daerah belum mempublikasikan secara luas sehingga masyarakat masih mempunyai keterbatasan yang tinggi terhadap pengelolaan keuangan daerah yang disebabkan oleh masih minimya aksebilitas laporan keuangan.
Selain itu masyarakat masih mempunyai penilaian yang beragam
terhadap akuntabilitas keuangan dan transparansi karena perbedaan kepentingan sehingga kemungkinan besar akan menimbulkan perbedaan persepsi terhadap
pengelolaan keuangan pemerintah daerah, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah ada perbedaan persepsi stakeholders internal dan eksternal terhadap kriteria akuntabilitas keuangan pada laporan keuangan pemerintah daerah ? 2. Apakah ada perbedaan persepsi stakeholders internal dan eksternal terhadap kriteria transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah ? 3. Apakah ada perbedaan persepsi stakeholders internal dan eksternal terhadap kriteria dukungan pejabat dalam penerapanan SAP ?
C. Tujuan Penelitian Pemerintah Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari sekian banyak lembaga sektor publik yang menjalankan roda pemerintahan yang bersumber dari legitimasi rakyat atau masyarakat. Karena itu kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada pemerintah seharusnya diimbangi dengan mengelola tata pemerintahan yang baik (Good Governance). Dan good governance ini dapat tercapai dengan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah. Bila kedua prinsip ini dapat dilaksanakan dengan benar dan dengan adanya dukungan dari pejabat pemerintah daerah maka good governance dapat terwujud sehingga kepercayaan rakyat terhadap pemerintah juga akan semakin bertambah. Namun sayangnya masyarakat mempunyai keterbatasan yang tinggi terhadap pengelolaan keuangan daerah, hal ini karena minimnya aksebilitas laporan keuangan, sehingga masyarakat hanya menggantungkan laporan keuangan sebagai media akuntabilitas dan transparansi yang kemungkinan besar dapat menimbulkan perbedaan persepsi dalam pengelolaan laporan keuangan. Beberapa penelitian
terdahulu juga keuangan
menunjukkan terjadinya perbedaan persepsi pemakai laporan
(stakeholders) yaitu pihak eksekutif (penyaji laporan keuangan) dan
anggota legislatif (DPRD) (Sudjana 2002), pihak eksekutif dan auditor (Syafwirdi 2005) dan antara pihak eksekutif dan legislatif dan masyarakat (Dwiningsih 2006) dan Wisnu 2007). Keempat hasil penelitian menunjukkan perbedaan persepsi terjadi karena adanya perbedaan dalam menilai akuntabilitas keuangan dan transparansi, sehingga untuk mengetahui kriteria apakah yang digunakan stakeholders (anggota DPRD, PNS dan masyarakat) terhadap persepsi akuntabilitas keuangan dan transparansi pada laporan keuangan maka tujuan dari penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui persepsi stakeholders internal dan eksternal yang sebenarnya terhadap kriteria akuntabilitas keuangan pada laporan keuangan pemerintah daerah. 2. Untuk mengetahui persepsi stakeholders internal dan eksternal yang sebenarnya terhadap kriteria transparansi keuangan pada laporan keuangan pemerintah daerah. 3. Untuk mengetahui persepsi stakeholders internal dan eksternal yang sebenarnya terhadap kriteria dukungan pejabat dalam penerapan SAP.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut ini: 1. Mendorong motivasi pemerintah Kabupaten Kulon Progo untuk mewujudkan good governance,
2. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah umumnya dan pemerintah daerah pada khususnya, 3. Sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dan kebijakan daerah, dan 4. Membantu pengembangan ilmu pengetahuan terutama untuk kepentingan akademisi.
E. Organisasi Bab-bab Selanjutnya Penelitian ini ini disusun dengan sistematika yang dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab ke 2 (dua) berisi tinjauan pustaka yang menjadi acuan pemahaman teoritis dalam penelitian ini
yang berkaitan dengan persepsi, good governance, akuntabilitas,
akuntabilitas publik, akuntabilitas keuangan, transparansi, stakeholders laporan keuangan pemerintah daerah, dukungan pejabat dalam penerapan SAP, kriteria akuntabilitas keuangan, transparansi dan dukungan pejabat dalam penerapan SAP serta tinjauan penelitian terdahulu dan pengembangan hipotesis. Bab 3 (tiga) mengulas metodologi penelitian yang mencakup uraian mengenai objek penelitian, teknik pengumpulan data, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode dan teknik analisis data serta definisi operasional. Bab 4 (empat) membahas deskripsi data, hasil pengujian pengolahan data yang meliputi pengujian validitas, realibilitas, normalitas dan uji t (t-test)
serta pembahasan hasil penelitian dalam rangka
menyusun kesimpulan penelitian. Bab 5 (lima) berisi kesimpulan, keterbatasan, implikasi serta saran dari penelitian ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Dalam uraian bab ini dibahas mengenai telaah literatur yang berisi definisi hasil penelitian sebelumnya yang digunakan untuk mendukung landasan teori dan pengembangan hipotesis yang berhubungan dengan dukungan pejabat dalam penerapan SAP, akuntabilitas keuangan dan transparansi.
A. Tinjauan Pustaka a. Persepsi Persepsi merupakan kerangka bagi individu untuk memahami suatu objek. Persepsi dimulai dari adanya kontak antara individu dengan objek, yang diikuti dengan interaksi. Dengan demikian persepsi bersifat individu dan subjektif. Menurut Marconi (1989) persepsi adalah proses yang dialami oleh individu dalam menyeleksi, mengorganisasi dan menginterpresentasikan suatu rangsangan kedalam suatu gambar yang berarti dan koheren dengan dunia luar. Berdasarkan definisi diatas persepsi seseorang terbentuk akibat adanya rangsangan yang diterima pancaindera seseorang, diteruskan kepada pusat syaraf sehingga individu tersebut dapat menyadari apa yang ditangkap oleh inderanya. Terjadi proses interprestasi yang disebut persepsi, yang selanjutnya terjadi respon individu terhadap rangsangan yang diterimanya. Menurut Walgito (1993) susunan proses psikologis dapat dikatakan persepsi jika memiliki karakteristik sebagai berikut : a. Adanya objek yang dipersepsikan, b. Adanya alat indera atau reseptor, dan 14
c. Adanya perhatian. Obyek menimbulkan rangsangan yang ditangkap oleh pancaindera sebagai reseptor dan langsung diteruskan ke otak sebagai pusat kesadaran, dan untuk memahami adanya objek tersebut diperlukan perhatian sehingga terwujud adanya persepsi. Menurut Gibson (2000) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi individu yaitu : a. Stereotyping Menyamaratakan, menyederhanakan secara berlebihan dan percaya pada pandangan diri sendiri tentang karakteristik personal seseorang. Proses meniru lingkungan sekitar mempengaruhi persepsi seseorang tentang sesuatu. b. Selectivity Seseorang kadangkala mengabaikan informasi yang mengakibatkan mereka merasa tidak nyaman dan mereka memahami informasi yang mendukungnya. c. Self Concept Seseorang sering menggunakan dirinya sebagai benchmark dalam memandang orang lain. Orang yang dapat mengenali dirinya secara keseluruhan akan lebih mudah untuk memahami orang lain. d. Situation Tekanan terhadap waktu, sikap seseorang dan pengaruh situasi membuat persepsi seseorang dapat berubah. e. Needs Kebutuhan-kebutuhan lingkungan.
individu
akan
mempengaruhi
seseorang
terhadap
f. Emotions Emosi seseorang dapat membuat persepsi negatif atau positif terhadap seseorang atau lingkungan. Sedangkan menurut Syafwirdi (2005) seseorang dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap stimulan yang sama disebabkan : a. Perseptor yaitu individu yang mempersepsikan suatu obyek, b. Target yaitu obyek persepsi itu sendiri, dan c. Situasi yaitu lingkungan yang mempengaruhi individu dalam mempersepsikan suatu obyek. Monggoting (2000) menyatakan persepsi merupakan suatu proses sehingga bila stimulan diterimanya komplek maka komplek pula proses persepsi berlangsung. Jika stimulan komplek maka persepsi merupakan reaksi terhadap situasi keseluruhan dari sesuatu lingkungan atau keseluruhan stimulan. Proses terbentuknya persepsi banyak dipengaruhi berbagai kejadian, pengalaman serta pengharapan dan penilaian terhadap sesuatu sehingga akan terbentuklah persepsi seseorang terhadap sesuatu tersebut.
b. Good Governance Menurut harafiahnya good governance berarti pemerintahan yang baik. Bank Dunia mengartikan
good
governance sebagai
penyelenggaraan
manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggungjawab, sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, menghindari salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politik maupun kewirausahaan. Handori Yunus mengatakan unsur-unsur good governance adalah tuntutan keterbukaan (transparancy), peningkatan efisiensi di
segala bidang (efficiency), tanggungjawab lebih jelas (accountability) dan kewajaran (fairness). Perubahan sistem politik, sosial dan kemasyarakatan serta ekonomi akibat reformasi telah menimbulkan tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan
dengan
mengedepankan akuntabilitas dan transparansi. Hal karena pola-pola lama dalam penyelenggaraan pemerintahan sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan masyarakat yang telah berubah, seiring dengan meningkatnya kesadaran rakyat akan pentingnya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Azhar (1998) mengatakan sistem administrasi pemerintahan yang identik dengan birokrasi yang berkaitan dengan prosedur yang rinci dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Birokrasi yang kaku dan tidak efisien telah merusak citra birokrasi sehingga birokrasi sering diartikan sebagai sesuatu yang negatif dan tindakan sewenang-wenang seorang pejabat. Karena rakyat sebagai sumber kekuasaan maka sudah sewajarnya bila menuntut keterbukaan dalam pemerintahan dan pertanggungjawaban atas penggunaan dana publik oleh pemerintah. Tuntutan ini merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan
yang terarah pada penyelenggaraan
pemerintah-an yang baik. Good dalam good government mempunyai makna sebagai berikut : a. Nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai-nilai yang meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan kemandirian pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan sosial, dan
b. Aspek fungsional dari pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan. Berdasarkan makna tersebut good government berorientasi pada: a. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Hal ini mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemenelemen konstitituante seperti legitimacy (apakah pemerintahan yang dipilih mendapat kepercayaan dari rakyat), accountability, securing of human right, otonomy and devalution of power dan assurance of citivian control. b. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melaksanakan upaya mencapai tujuan nasional. Hal ini tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, struktur serta mekanisme politik dan administrasi yang berfungsi secara efektif dan efisien.
c. Akuntabilitas Akuntabilitas merupakan istilah dari bahasa inggris yaitu accountability yang berarti tanggungjawab. Sedangkan Lembaga Manajemen Indonesia menterjemahkannya dengan tanggung renteng. Mulgan (1997) mengungkapkan akuntabillitas merupakan konsep pertanggungjawaban yang lebih luas yang mengimplikasikan hubungan dua orang, dimana seseorang mempercayakan kepada yang lain untuk mencapai kinerja dalam tugas tertentu. Hal ini banyak dijumpai dalam hirarki organisasi termasuk organisasi sektor publik karena itu menyangkut hubungan kewenangan antara dua pihak / lebih. Jones (1991) mendefinisikan akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan
laporan kepada pihak lain tentang apa yang mereka lakukan atau yang tidak mereka lakukan.Responbilitas
sebagai
akuntabilitas
menunjukkan
kewajiban
untuk
menjelaskan kepada orang lain yang mempunyai kekuasaan untuk menilai laporan dan memberikan penghargaan atau hukuman (reward and punishment). Stewart (1984) dalam Patton (1992) menyatakan bahwa pelaporan akuntabilitas pada lingkungan yang komplek dengan berbagai dimensi akuntabilitas (hukum, politik, keuangan) harus merupakan laporan terpilih termasuk data keuangan dan berbagai bentuk informasi yang lain. Dari berbagai pendapat tadi dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban tentang tindakan, proses, hasil dan manfaat kepada pihak yang memberikan amanat/kepercayaan dalam tugas tertentu. Moh. et al. (2004) berpendapat bahwa akuntabilitas muncul sebagai jawaban terhadap permasalahan asimetri informasi (information assymery). Teori asimetri informasi beranggapan bahwa banyak terjadi kesenjangan informasi diantara pihak manajemen (pemerintah daerah) yang mempunyai akses langsung terhadap informasi dengan pihak konstituen (masyarakat) yang berada diluar manajemen. Terdapat 2 (dua) sisi asimetri informasi yaitu: a. Pihak yang memiliki superioritas dalam menguasai informasi akan mudah bertindak untuk hal-hal yang menguntungkan dirinya dengan kerugian pihak lain sebagai moral hazard problem, dan b. Pihak lain yang merasa lemah di sisi informasi dalam mengenal apa yang sebetulnya terjadi akan cenderung apatis dan tidak percaya yang diinformasikan kepadanya. Akibatnya ia sendiri tidak yakin apakah pilihannya merupakan
tindakan yang optimal atau tidak, konsekuensinya ini dikenal sebagai adverse selection problem (Scoot, 1997).
d. Akuntabilitas publik Akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah
(principal)
yang
memiliki
hak
dan
kewenangan
untuk
minta
pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo 2006). Jadi akuntabilitas publik merupakan ukuran atau standar yang menunjukkan seberapa besar tingkat penyesuaian penyelenggaraan penyusunan kebijakan
dengan peraturan hukum dan peraturan
perundangan yang berlaku untuk organisasi publik. Akuntabilitas publik terdiri dari dua macam yaitu : a. Akuntabilitas vertikal (vertical accountability) Merupakan pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, seperti pertanggungjawaban dinas, badan, kantor kepada pemerintah daerah, pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dan sebagainya. b. Akuntabilitas horisontal (horizontal accountability) Merupakan pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada masyarakat luas. Dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentrasilisasi ini akan lebih ditekankan pada akuntabilitas horisontal sebagai wujud nyata dari akuntabilitas publik. Pada dasarnya setiap pengambilan kebijakan publik akan berpengaruh pada kelompok orang atau masyarakat baik itu menguntungkan atau malah merugikan. Karena itu penyusunan kebijakan publik harus dapat mempertanggungjawabkan
setiap kebijakan yang diambil kepada publik. Paters (2000) menegaskan bahwa akuntabilitas publik sebagai prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan. Prinsip ini sangat penting untuk dapat dilaksanakan secara paripurna karena pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu rumusan kebijakan merupakan hasil kesepakatan antara warga pemilih (Constituency), para pemimpin politik, teknokrat, birokrat atau administrator, serta para pihak pelaksana di lapangan. Dan dari dimensi akuntabilitas sebagaimana ditulis Dwiyanto (2003) tata pemerintahan yang baik adalah tata pemerintahan yang mampu menempatkan kepentingan warga masyarakat sebagai sentral kehidupan dari sebuah pemerintahan. Artinya kepentingan publik selalu menjadi kriteria utama dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Kalau kebijakan publik diambil dengan hanya memperhatikan kepentingan pemerintah dan para pejabatnya, pemerintah dinilai tidak akuntabel pada publiknya. Sebaliknya kalau dalam merumuskan suatu kebijakan publik pemerintah menjadikan kepentingan publik sebagai acuan utamanya, pemerintah dinilai memiliki akuntabilitas yang tinggi. Penerapan
prinsip
akuntabilitas
atau
pertanggungjawaban
dalam
penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan, pembiayaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau manfaat kepada publik. Kumorotomo (2005) menuliskan bahwa akuntabilitas adalah ukuran yang menunjukkan apakah aktivitas birokrasi publik atau pelayanan yang dilakukan pemerintah sudah sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut oleh rakyat,
dan apakah pelayanan publik tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat yang sesungguhnya. Menurut Breakthrough Urban Initiatives for Local Development (2003) selama ini penyelenggara pemerintahan cenderung dilakukan dengan kurang mempedulikan masyarakat luas sebagai stakeholders, sehingga terjadilah fenomena yang menunjukkan bahwa pelayanan publik dianggap dibutuhkan sebagai kebutuhan masyarakat, bukan sebagai hak. Konsekuensinya masyarakat harus menerima pelayanan yang diberikan dengan tingkat pelayanan apapun. Akibatnya pelayanan publik menjadi sesuatu yang dilakukan dengan cara apa adanya sesuai dengan kemampuan (lebih tepatnya kemauan) penyelenggara pelayanan publik. Sebagian besar pelayanan publik dilakukan tanpa standar pelayanan atau kalaupun ada dengan standar pelayanan yang rendah dan juga tidak dapat dicomplaint bila tidak tercapai. Seharusnya disadari bahwa sebagai stakeholders, ada hak-hak masyarakat terkait dengan akuntabilitas pelayanan publik yang meliputi hak untuk memberikan masukan, hak untuk diinformasikan, hak untuk complaint dan hak untuk menilai kinerja pelayanan publik. Penyelenggara pemenrintahan sebagai penerima mandat masyarakat berkewajiban untuk memenuhi hak-hak masyarakat tersebut. Untuk itu diperlukan partisipasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan. Partisipasi memungkinkan masyarakat memiliki akses terhadap sumber daya kekuasaan politik, ekonomi dan administratif yang dapat digunakan untuk membuat proses kebijakan memperhatikan publik. Dengan demikian kepentingan atau aspirasi masyarakat dapat tersalurkan dalam penyusunan kebijakan publik sehingga dapat mengakomodasi sebanyak mungkin secara optimal sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan /out come accountability (Wisnu 2007).
e. Akuntabilitas keuangan Akuntabilitas keuangan adalah pertanggungjawaban keuangan dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan sehingga mengurangi penumpukan kewenangan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances system). Menurut Mardiasmo (2006) akuntabilitas keuangan pemerintah daerah adalah kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas yang berkaitan dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban yakni DPRD dan masyarakat. Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam akuntabilitas keuangan adalah: a. Aspek legalitas penerimaan dan pengeluaran daerah dimana setiap transaksi yang dilakukan harus dapat ditelusuri otoritas legalitasnya, dan b. Pengelolaan keuangan daerah secara baik, perlindungan aset publik dan finansial, mencegah terjadinya pemborosan dan salah urus. Karena itu harus diperhatikan prinsip-prinsip akuntansi keuangan daerah adalah: a. Adanya sistem akuntansi dan sistem penganggaran yang dapat menjamin bahwa pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan b. Pengeluaran daerah yang dilakukan berorientasi pada pencapaian visi, misi, sasaran, tujuan dan hasil yang akan dicapai. Sistem akuntansi merupakan media suatu sistem pertanggungjawaban seorang pejabat publik kepada pihak yang memberi wewenang perihal semua tindakan, program atau kebijakan yang diambil dalam mengelola seluruh sumberdaya yang dimiliki pemerintah atau negara. Sistem ini juga memberikan informasi berupa
pencapaian kinerja pejabat serta sejauhmanakah keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan sebelumnya (BPKP 2001).
f. Transparansi Definisi harafiahnya transparansi adalah suatu keadaan yang jernih dan bening (tembus pandang). Definisi transparansi fiskal yang dikutip dari Manual of Transparansi Fiscal (2000) : …….buring open to the public about the structure and fungtion of government fiscal policy intentions, public sector account and fiskal projection, yang artinya bahwa menjadi terbuka bagi masyarakat tentang struktur dan fungsi pemerintahan, perhatian kebijakan fiskal, pertanggungjawaban sektor publik dan proyeksi fiskal. Sedangkan menurut IMF dalam definisi yang menjadi dasar Code of Good Praktices on Fiskal Transparancy yang dipublikasikan dan mengalami revisi pada bulan maret 2003 sebagai berikut: a. Kejelasan peran dan tanggungjawab, b. Ketersediaan informasi kepada publik, c. Penyusunan, pelaksanaan dan pelaporan anggaran secara terbuka, dan d. Jaminan integritas. Transparansi merupakan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai (Bappenas dan Depdagri 2002). Informasi tersebut mengenai semua aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Menurut Syafwirdi (2005) prinsip ini memiliki dua aspek yaitu : a. Aspek komunikasi publik oleh pemerintah, dan
b. Hak masyarakat terhadap akses informasi. Transparansi merujuk pada ketersediaan informasi dan kejelasan bagi masyarakat umum untuk mengetahui proses penyusunan, pelaksanaan dan hasil yang telah dicapai pemerintah daerah dalam menerapkan kebijakan publik. Urusan-urusan tata pemerintahan dalam batas tertentu, dan pengambilan keputusan harus diketahui publik. Demikian pula informasi mengenai pelaksanaan kebijakan beserta hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik, sehingga stakeholders dapat melihat struktur dan fungsi pemerintahan, tujuan dan kebijakan serta proyeksi fiskal serta laporan pertanggungjawaban periode yang lalu. Tujuan utamanya adalah memastikan adanya pertangggungjawaban atas keputusan dan tindakan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini aparatur pemerintah dituntut untuk terbuka dan jujur dalam memberikan informasi yang dibutuhkan oleh publik, karena transparansi merupakan upaya memberikan informasi yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundangundangan yang berlaku (Komite SAP 2005). Dwiyanto (2005) menyebutkan bahwa masyarakat dan stakeholders memiliki hak untuk mengakses informasi mengenai jumlah anggaran yang dialokasikan untuk suatu kegiatan tertentu termasuk juga alasan yang melatarbelakanginya. Masyarakat perlu mengetahui seberapa besar pemerintah memberikan perhatian terhadap kepentingan dan kebutuhannya. Dengan memiliki akses informasi mengenai alokasi anggaran masyarakat dapat menilai seberapa banyak dana yang dimiliki pemerintah digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat atau dapat diketahui apakah pemerintah
membelanjakan uangnya untuk kepentingan rakyat atau hanya untuk kepentingan pejabatnya. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat artinya informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan (Mardiasmo 2006). Transparansi mencakup mencakup semua cara yang memfasilitasi para pemangku kepentingan memperoleh akses informasi (memudahkan mereka dalam mekanisme pengambilan keputusan). Transparansi sektor publik dimulai dengan aplikasi yang jelas atas standar dan akses informasi (UNDP dalam Mardiasmo 2004). Oleh karena itu transparansi merupakan prinsip yang harus senantiasa dipegang teguh dan dilaksanakan dalam pengelolaan keuangan daerah, karena pada dasarnya masyarakat (publik) memiliki hak dasar terhadap pemerintah yaitu (Mardiasmo 2002): a. Hak untuk mengetahui (right to know) 1) mengetahui kebijakan pemerintah, 2) mengetahui keputusan yang diambil oleh pemerintah, dan 3) mengetahui alasan dilakukannya suatu kebijakan dan atau keputusan tertentu b. Hak untuk diberi informasi (right to information) Hak untuk diberi penjelasan secara terbuka atas permasalahan-permasalahan tertentu yang berdampak secara langsung pada publik dan menjadi perdebatan publik. c. Hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened do) Hak untuk diperhatikan keinginan dan pendapatnya atas kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah.
Dengan hak dasar dari masyarakat tersebut menjadikan keharusan bagi pemerintah daerah untuk senantiasa memberikan informasi dan menyerap aspirasi yang berkembang dimasyarakat. Tidak adanya keterbukaan dan transparansi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan akan menyebabkan kesalahpahaman terhadap berbagai kebijakan publik yang telah dibuat. Akibatnya akan terjadi gejolak dalam menanggapi kebijakan yang telah ditetapkan, apalagi bila kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang saja dan kepetingan rakyat yang dikorbankan. Dampaknya kehidupan masyarakat akan bertambah buruk dan dimana-mana terjadi demonstrasi sehingga kondisi pemerintah juga tidak stabil karena banyaknya tekanan dari berbagai kepentingan. Kurniawan (2003) mengatakan pemerintahan dikatakan transparan jika : a. Melaksanakan pertanggungjawaban secara rutin kepada rakyat atau wakilnya mengenai pelaksanaan tugasnya, b. Pemerintah secara sukarela memberikan informasi seluas-luasnya tentang kinerjanya, baik itu masalah pelayanan kepada rakyat maupun masalah pengelolaan keuangan, dan c. Pemerintah dengan terbuka selalu mengadakan dialog dengan rakyatnya baik secara rutin atau insidental mengenai seluruh produk kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan. Untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas yang efektif sebagaimana dinyatakan dalam Pasal (102) dan Pasal (103) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, maka pemerintah harus menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) yang dapat menghasilkan informasi berupa : a. APBD dan Laporan Realisasi Anggaran,
b. Neraca, c. Laporan Arus Kas, d. Catatan Atas Laporan Keuangan, d. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan, e. Laporan Keuangan BUMD, dan f. Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah. Pada akhirnya transparansi pengelolaan keuangan daerah akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah daerah dan masyarakat sehingga akan tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan transparan serta responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat.
g. Laporan keuangan Pelaporan
keuangan
merupakan
sarana mengkomunikasikan
informasi
keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama diluar instansi pemerintah dengan maksud mempertanggungjawabkan kinerja, pelaksanaan tugas, fungsi program dan aktivitas yang telah dilakukan (Wahyundaru 2001). Tujuan laporan keuangan untuk lembaga pemerintah atau lembaga nonprofit adalah untuk memberikan informasi yang berguna untuk memonitor keefektifan manajemen dalam mengelola sumber daya dalam mencapai tujuan organisasi (Jones 1992). Karena itu informasi yang disajikan dalam laporan keuangan bertujuan umum untuk memenuhi kebutuhan informasi dari semua kelompok pengguna. Laporan keuangan pemerintah daerah memainkan peranan penting untuk pemenuhan kewajiban pemerintah kepada publik dalam masyarakat yang demokrasi. Hal ini karena prinsip akuntabilitas mensyaratkan kepada pemerintah untuk
memberikan pertanggungjawaban pada warganya yang memiliki hak untuk mengetahui (right to know) atau hak untuk memperoleh fakta yang diumumkan secara terbuka yang memungkinkan untuk dipahami dan dimengerti oleh masyarakat atau para wakilnya. Menurut Mardiasmo (2002) terdapat beberapa alasan mengapa perlu dibuat laporan keuangan yaitu: a. Dari sisi manajemen laporan keuangan merupakan alat pengendalian dan evaluasi kinerja manajerial dan organisasi, dan b. Dari sisi pemakai eksternal laporan keuangan merupakan salah satu bentuk mekanisme pertanggungjawaban dan sebagai dasar untuk pengembilan keputusan. Banyak orang beranggapan bahwa penyajian laporan keuangan hanya sebatas formalitas dalam rangka memenuhi ketentuan perundang-undangan sehingga seringkali laporan keuangan yang dipublikasikan belum benar-benar dimanfaatkan sebagai dasar pengambilan keputusan. Hal ini disebabkan karena masih rendahnya budaya akuntabilitas dan terbatasnya aksesbilitas masyarakat pada laporan keuangan pemerintah daerah. Penyebab lainnya adalah adanya masyarakat yang kurang rasional dalam membuat keputusan ekonomi, sosial dan politik. Oleh karena itu laporan keuangan pemerintah daerah akan terasa manfaatnya jika masyarakat semakin rasional dalam menentukan keputusan ekonomi, sosial dan politik. Secara spesifik manfaat penyajian laporan keuangan (Wisnu 2007) yaitu: a. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi kesehatan keuangan pemerintah, b. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu pemerintahan dan perubahan-perubahan yang telah dan akan terjadi,
c. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan,kontrak yang telah disepakati dan ketentuan lainya, d. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, dan e. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasi.
h. Pengguna laporan keuangan Pengguna laporan keuangan pemerintah / sektor publik berbeda dengan pengguna laporan keuangan bisnis / sektor privat. GASB Nomor 1 mengidentifikasikan tiga (3) kelompok eksternal pengguna utama laporan keuangan yaitu: a. Pada pihak dimana pemerintah secara khusus bertanggungjawab Pihak ini diklasifikasikan sebagai pembayar pajak, pemilih, media masa dan peneliti keuangan publik. Kelompok ini lebih konsen dengan pencarian maksimalisasi sejumlah servis dengan sejumlah minimal pajak yang dibayar dan ingin mengetahui asal pemerintah mencari resources tersebut dan bagaimana penggunaannya. b. Pada pihak dimana secara langsung merupakan representasi dari masyarakat, legislatif dan badan lain. Pihak ini diklasifikasikan anggota legislatif, country commision, city council, board of truste and school, dimana mereka bertanggungjawab pada tingkat pemerintahan. Kelompok ini membutuhkan timely warning perkembangan situasi yang mensyaratkan koreksi pelaksanaan, informasi keuangan dapat memprediksi sebagai dasar perkiraan kinerja manajemen, dan informasi keuangan sebagai dasar perencanaan masa depan dan kebijakan.
c. Pihak pemberi pinjaman (pihak yang berpartisipasi dalam proses pemberian pinjaman). Investor dan kreditor termasuk individual dan institusi, investor dan kreditor pihak penjamin (municipal underwriter), lembaga pemeringkat hutang, asuransi dan institusi keuangan. Laporan keuangan yang dibuat pemerintah daerah pada dasarnya adalah untuk semua pihak yang menjadi pemangku kepentingan daerah (stakeholders). Pemangku kepentingan terhadap laporan keuangan pemerintah daerah tersebut adalah (Mahmudi 2002): a. masyarakat pembayar pajak, b. pemberi dana bantuan, c. investor, d. masyarakat pengguna jasa pelayanan publik yang disediakan pemerintah daerah, e. karyawan / pegawai pemerintah daerah, f. DPRD, g. masyarakat peneliti, h. badan pengawas dan advokasi, i. Pemerintah Pusat, j. penyedia barang dan jasa (pelaku bisnis di daerah), k. lembaga perating analisis ekonomi dan keuangan, l. lembaga-lembaga internasional, dan m. manajemen daerah. Setiap pemangku kepentingan tersebut memiliki kebutuhan dan kepentingan yang berbeda terhadap informasi keuangan yang diberikan pemerintah daerah.
Bahkan seringkali diantara kelompok tersebut dapat terjadi konflik kepentingan. Laporan keuangan tersebut disediakan untuk memberikan informasi kepada berbagai kelompok pengguna (stakeholders) meskipun mempunyai kepentingan yang berbeda. Menurut Mardiasmo (2004) kebutuhan informasi pengguna laporan keuangan pemerintah daerah tersebut adalah: a. Masyarakat pengguna layanan publik membutuhkan informasi untuk menilai kewajaran biaya, harga yang ditetapkan dan kualitas pelayanan yang diberikan, b. Masyarakat pembayar pajak dan pemberi bantuan ingin mengetahui keberadaan dan penggunaan dana yang telah mereka berikan. Masyarakat ingin mengetahui apakah pemerintah telah melaksanakan ketaatan anggaran dan peraturan atas pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan, apakah pajak daerah yang telah mereka bayarkan telah dibelanjakan untuk kepentingan publik, apakah hak-hak publik untuk mendapatkan pelayanan sudah dipenuhi dengan baik, c. Kreditor dan investor membutuhkan informasi untuk menghitung tingkat resiko berinvestasi, likuiditas, dan solvabilitas keuangan daerah, d. DPRD dan kelompok politik membutuhkan informasi untuk melaksanakan fungsi pengawasan, mencegah terjadinya laporan yang bias atas kondisi keuangan pemerintah daerah dan mencegah penyelewengan keuangan, e. Manajer publik membutuhkan informasi sebagai komponen sistem pengendalian organisasi, pengukuran kinerja dan membandingkan kinerja organisasi antar kurun waktu dan dengan organisasi lainnya yang sejenis, dan f. Pegawai pemerintah daerah membutuhkan informasi untuk menilai atas kewajaran gaji dan manajemen kompensasi yang diterima, dikaitkan dengan kinerja.
i. Dukungan pejabat dalam penerapan SAP Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas publik dengan penyusunan laporan keuangan, pemerintah daerah dituntut mampu menyediakan informasi keuangan yang diperlukan secara akurat, relevan, tepat waktu dan dapat dipercaya, sehingga harus memiliki sistem pencatatan yang handal. Oleh karena itu salah satu syarat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah adalah reformasi dalam sistem akuntansi keuangan daerah yang merupakan jantung dari reformasi keuangan. Karena sistem akuntansi keuangan daerah ini akan menghasilkan output seperti yang dikehendaki Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005. Dengan reformasi keuangan maka ada jaminan bahwa segala peristiwa penting kegiatan pemerintahan dapat terekam secara baik dengan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat diikhtisarkan melalui proses akuntansi dalam bentuk laporan yang bisa melihat segala yang terjadi dan terdapat di dalam ruang entitas pemerintah daerah tersebut. Untuk mewujudkan hal ini maka dukungan pejabat dalam penerapan SAP di daerah sangat penting karena untuk menyusun laporan keuangan daerah yang tertib dan taat pada peraturan perundangan secara efektif, efisien dan akuntabel maka harus memahami dan mengikuti ketentuan dalam SAP. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan secara tegas penerapan SAP seperti yang dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (1) yaitu “ Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan 31 disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan”. Meskipun praktek akuntansi belum dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena untuk saat ini masih menggunakan sistem pencatatan atas dasar kas modifikasian (modified cash basis)
sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, namun diharapkan untuk laporan keuangan daerah tahun 2008 ini sudah dapat melaksanakan pencatatan berbasis akrual sepenuhnya. Tetapi hal ini tidak lepas dari political will masing-masing pemerintah daerah untuk melakukan perubahan menuju era transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Menurut ketentuan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diperbaharui dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, daerah telah diberi keleluasaan untuk menyusun sistem akuntansi keuangan dalam pengelolaan keuangan daerah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dengan tetap berpedoman pada SAP. Untuk itu diperlukan komitmen dan dukungan kebijakan pejabat didaerah dalam upaya untuk lebih memperlancar dalam proses penyusunan laporan keuangan tersebut antara lain dengan penetapan kebijakan akuntansi, sistem dan prosedur akuntansi, penyediaan sarana prasarana dan kecukupan dalam pendanaan terutama untuk peningkatan kualitas SDM serta pengembangan sistem informasi keuangan.
j. Kriteria akuntabilitas keuangan, transparansi serta dukungan pejabat dalam penerapan SAP Kriteria menurut kamus besar bahasa indonesia adalah ukuran yang digunakan sebagai pedoman untuk menilai atau menetapkan nilai tertentu. Bappenas (2001) dalam empat belas (14) prinsip good government
menekankan bahwa indikator
minimal prinsip akuntabilitas adalah kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan dan adanya sanksi yang diterapkan atas kesalahanan atau kelalaian dalam pelaksanaan kegiatan. Untuk mendukung pendekatan tersebut dibutuhkan peringkat pendukung indikator tersebut yaitu :
a. Laporan pertanggungjawaban, b. Laporan tahunan, c. Mekanisme pertanggungjawaban, d. Sistem pemantauan, e. Sistem pengawasan, dan f. Mekanisme reward and punisment. Media akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan yang paling tersedia untuk umum adalah laporan keuangan. Ketika pemerintah mempertanggungjawabkan masalah pengelolaan keuangan, pelaporan keuangan menjadi media utama yang dapat diterima secara umum untuk transparansi dan akuntabilitas (Ryan et al. 2002) dikutip oleh Wisnu (2007). Maka untuk menghubungkan prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan dalam laporan keuangan maka perangkat pendukung indikator tersebut dimodifikasi menjadi lima (5) kriteria akuntabilitas, sebab laporan tahunan yang dibuat oleh pemerintah daerah merupakan laporan pertanggungjawaban dengan lima (5) kriteria sebagai berikut: a. Pertanggungjawaban dana publik, b. Jenis dan bentuk laporan keuangan, c. Penyajian tepat waktu, d. Pemeriksaan (audit), dan e. Respon pemerintah daerah. Bappenas (2001) dalam empat belas (14) prinsip good government menekankan bahwa indikator minimal prinsip transparansi adalah tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan
publik. Untuk mendukung pendekatan tranparansi tersebut
maka dibutuhkan
perangkat pendukung indikator yaitu: a. Adanya sistem yang mendukung untuk mendapat informasi, b. Keterbatasan informasi, c. Aksesbilitas, d. Publikasi, e. Hak untuk tahu, dan f. Kinerja tersedia untuk umum. Media transparansi dalam pengelolaan keuangan yang paling tersedia untuk umum adalah laporan keuangan. Ketika pemerintah mempertanggungjawabkan masalah pengelolaan keuangan, pelaporan keuangan menjadi media utama yang dapat diterima secara umum untuk transparansi dan akuntabilitas (Ryan et al. 2002) dikutip oleh Wisnu (2007). Maka untuk menghubungkan prinsip transparansi pengelolaan keuangan dalam laporan keuangan maka perangkat pendukung indikator tersebut dimodifikasi menjadi enam (6) kriteria transparansi, sebab laporan tahunan yang dibuat oleh pemerintah daerah merupakan laporan pertanggungjawaban dengan enam (6) kriteria sebagai berikut: a. Ketersediaan sistem informasi, b. Pertanggungjawaban terbuka, c. Aksebilitas terhadap laporan keuangan, d. Publikasi laporan keuangan, e. Hak untuk tahu hasil audit, dan f. Ketersediaan informasi kinerja.
Sedangkan mengenai kriteria dukungan pejabat dalam penerapan SAP, penulis mengadopsi penelitian sektor privat dari Lubis (2005) yang meneliti tentang Peranan Dukungan Manajemen Puncak Terhadap Keberhasilan Pengembangan Sistem Teknologi Informasi (Penelitian di Bank Indonesia), yang mengutip pernyataan Cerullo (1980) yang menyatakan bahwa dukungan Manajemen puncak meliputi penyusunan
sasaran
dan
penilaian
tujuan,
mengevaluasi
susulan
proyek
pengembangan sistem informasi, mendefinisikan informasi dan proses yang dibutuhkan, melakukan reviu program dan rencana pengembangan sistem informasi serta menunjukkan adanya jaminan pendanaan dan penentuan prioritas yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem informasi. Maka untuk menghubungkan dukungan pejabat dalam penerapan SAP sebagai penunjang dalam laporan keuangan maka perangkat pendukung indikator tersebut oleh penulis dimodifikasi agar bisa diterapkan di sektor publik (bidang pemerintahan) menjadi lima (4) kriteria yaitu: a. Kesungguhan pejabat dalam pemberian dukungan, b. Tanggapan pejabat yang antusias, c. Keterlibatan pejabat dalam penerapan SAP, dan d. Pemberian jaminan pendanaan serta penentuan prioritas.
B. Pengembangan Hipotesis Penelitian di sektor privat atau swasta telah banyak dilakukan namun untuk sektor publik khususnya mengenai akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah sepengetahuan penulis belum banyak dilakukan. Hal ini karena penelitian di sektor publik merupakan hal yang masih relatif baru dan sangat
berbeda dalam banyak hal dibandingkan dengan sektor privat. Penelitian ini didasari terjadinya krisis multidimensi beberapa tahun yang lalu yang telah menimbulkan reformasi yang telah dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia, yang salah satu tujuanya adalah tuntutan terhadap pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance) sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan
dengan
mengedepankan akuntabilitas dan transparansi, yang berdampak pada semakin kuatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Salah satu syarat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah adalah reformasi dalam sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah, dimana harus ada jaminan bahwa segala peristiwa penting kegiatan pemerintahan dapat terekam secara baik dengan ukuran-ukuran yang jelas dan dapat diikhtisarkan melalui proses akuntansi dalam bentuk laporan yang bisa melihat segala yang terjadi dan terdapat di dalam ruang entitas pemerintah daerah tersebut.
a. Akuntabilitas keuangan pada laporan keuangan pemerintah daerah Menurut Mardiasmo (2006) Akuntabilitas keuangan pemerintah daerah adalah kewajiban pemerintah daerah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas yang berkaitan dengan penerimaan dan penggunaan uang publik kepada pihak yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban yakni DPRD dan masyarakat. Laporan keuangan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Daerah merupakan bentuk akuntabilitas keuangan pada semua pihak yang menjadi pemangku kepentingan daerah
(stake-
holders) yang diwakili oleh DPRD. Beberapa peneliti telah melakukan peneliti-
an disektor publik khususnya mengenai akuntabilitas antara lain Steccolini (2002), Yuliari (2003), Dwiningsih (2006) dan Wisnu (2007). Steccolini (2002) meneliti apakah laporan tahunan merupakan medium untuk akuntabilitas dengan sampel pemerintah daerah di negara Italia. Dari hasil penelitian menyebutkan bahwa laporan tahunan nampaknya digunakan untuk pelaksanaan akuntabilitas pada pengguna internal. Namun tidak jelas apakah laporan tersebut benar-benar dibaca atau tidak. Sementara itu laporan tersebut tidak mempunyai peranan signifikan dalam pengkomunikasian kepada pengguna eksternal, sehingga peranan laporan keuangan aktual dan derajat akuntabilitas pemerintah daerah di Italia masih perlu dipertanyakan. Steccolini mengatakan bahwa laporan tahunan secara umum dianggap sebagai media utama dalam akuntabilitas (sebagai contoh Ryan et al 2000). Namun peranan laporan tahunan
dalam rangka pelaksanaan akuntabilitas
pemerintah kadang-kadang masih dipertanyakan (contoh Jones et al. 1985). Yuliari (2003), meneliti dan mengidentifikasi informasi informasi apa dan pelaporan yang bagaimana yang dibutuhkan stakeholders. Hasil dari penelitiannya menyimpulkan bahwa pelaporan keuangan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat berupa nota perhitungan APBN belum memenuhi kebutuhan stakeholders akan kebutuhan informasi keuangan pusat. Selain itu mengidentifikasi hal penting bahwa stakeholders membutuhkan informasi yang terklasifikasi ke dalam akuntabilitas, para pengamat ekonomi dan eksekutif membutuhkan informasi mengenai daftar utang dan pembayarannya. Sudjana (2002), meneliti persepsi pemakai laporan keuangan sektor publik terhadap pelaporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah, menyimpulkan bahwa terjadi perbedaan persepsi antara pihak eksekutif dan legislatif terhadap laporan keuangan. Pihak eksekutif lebih menerima informasi mengenai
kesehatan keuangan, informasi mengenai perencanaan dan anggaran
sebagai
informasi yang seharusnya disajikan dalam laporan keuangan pertanggungjawaban kepala daerah kepada pihak legislatif. Sedangkan pihak legislatif lebih menerima informasi mengenai kondisi perekonomian sebagai informasi yang seharusnya disajikan dalam pertanggungjawaban kepala daerah kepada legislatif. Dwiningsih (2006) dalam penelitiannya terhadap persepsi stakeholders terhadap akuntabilitas pengelolaan
keuangan
pemerintah
daerah
di
kabupaten
banyumas.
Hasil
penelitiannya menemukan adanya perbedaan rata-rata persepsi stakeholders terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Wisnu (2007) dalam penelitiannya terhadap
persepsi stakeholders terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan
pemerintah daerah di kota Salatiga. Hasil penelitiannya menemukan adanya perbedaan rata-rata persepsi stakeholders terhadap transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan perbedaan persepsi mengenai akuntabilitas keuangan pada laporan keuangan pemerintah daerah yaitu antara eksekutif (penyaji) dan anggora legislatif/DPRD (yang disaji) (Sudjana 2002), antara pihak eksekutif dan masyarakat (Dwiningsih 2006) serta antara eksekutif, DPRD dan masyarakat ( Wisnu 2007). Dari hasil-hasil penelitian diatas menunjukkan adanya perbedaan persepsi karena adanya perbedaan dalam menilai akuntabilitas keuangan. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis berusaha untuk mengetahui kriteria yang digunakan stakeholders dalam menilai akuntabilitas keuangan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Kriteria ini penting bagi para stakeholders agar mempunyai kesepahaman dalam menilai hasil akuntabilitas keuangan. Selain itu kriteria ini dapat dijadikan standar / ukuran atau pedoman dalam memonitor laporan
keuangan pemerintah daerah. Berdasarkan dari hasil berbagai penelitian diatas maka kami mengajukan hipotesis alternatif sebagai berikut : Ha1: Terdapat perbedaan persepsi
stakeholders internal dan eksternal terhadap
kriteria akuntabilitas keuangan pada laporan keuangan Pemerintah Daerah.
b. Transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah Transparansi merupakan prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya serta hasil-hasil yang dicapai (Bappenas dan
Depdagri 2002). Transparansi
mengisyaratkan bahwa laporan keuangan tidak hanya dibuat tapi juga terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, karena aktivitas pemerintah adalah dalam rangka menjalankan amanah rakyat (Wisnu 2007). Hal ini karena rakyat atau masyarakat sebagai sumber legitimasi pemerintah daerah
memerlukan bentuk pertanggung-
jawaban secara terbuka atau transparan berhubung terbatasnya aksebilitas masyarakat terhadap laporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah tersebut. Oleh karena itu dengan adanya keterbatasan aksebilitas masyarakat dalam laporan keuangan pemerintah tersebut kemungkinan akan menimbulkan perbedaan persepsi tentang transparansi laporan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana hasil penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan dilakukan oleh Collins (1991), Tayib (2002) Syawfirdi (2005) dan Steccolini (2002). Collins (1991) hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa tidak terbukti adanya pihak eksternal yang dapat memiliki akses terhadap informasi keuangan pemerintah daerah. Ini menunjukkan bahwa laporan keuangan pemerintah masih belum menjadi
public good. Tayib (2002), hasil penelitiannya menyimpulkan adanya keterbatasan akses laporan keuangan pemerintah daerah. Laporan keuangan hanya aksesibel untuk konsultan dan auditor sedangkan pembayar pajak sama sekali tidak memiliki akses. Jones et al (1985) dalam Steccolini (2002), hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa ketidakmampuan laporan keuangan dalam melaksanakan akuntabilitas tidak saja disebabkan karena laporan tahunan yang tidak memuat informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna tapi juga karena laporan tersebut tidak dapat secara langsung tersedia dan diakses pada para pengguna potensial. Syafwirdi (2005) dalam penelitiannya tentang analisis laporan keuangan sektor publik untuk kinerja dan transparansi di kota Yogyakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya perbedaan persepsi antara informasi yang disampaikan eksekutif dengan kebutuhan informasi pihak auditor. Berdasarkan hasil penelitian yang berkaitan dengan transparansi maka dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan belum menjadi media transparansi secara maksimal, manakala tidak menyajikan semua informasi yang relevan yang dibutuhkan dan tidak tersedia secara langsung atau aksesibel bagi stakeholders (Jones et al. 1985). Berbagai penelitian juga menunjukkan perbedaan persepsi mengenai transparansi laporan keuangan pemerintah daerah yaitu antara pihak eksekutif dengan auditor (Syawfirdi 2005). Dari hasil-hasil penelitian diatas menunjukkan adanya perbedaan persepsi karena adanya perbedaan dalam menilai transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis berusaha untuk mengetahui kriteria yang digunakan stakeholders dalam menilai tranparansi dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Kriteria ini penting bagi para stakeholders agar mempunyai kesepahaman dalam menilai hasil tranparansi
keuangan. Selain itu kriteria ini dapat dijadikan standar / ukuran atau pedoman dalam memonitor laporan keuangan pemerintah daerah. Berdasarkan dari hasil berbagai penelitian diatas maka kami mengajukan hipotesis alternatif sebagai berikut : Ha2: Terdapat perbedaan
persepsi
stakeholders internal dan eksternal terhadap
kriteria transparansi pada laporan keuangan Pemerintah Daerah.
c. Dukungan pejabat dalam penerapan SAP Salah satu syarat untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah adalah adanya sistem akuntansi untuk menyusun laporan keuangan daerah. Untuk mewujudkan hal ini maka dukungan pejabat di daerah sangat penting karena untuk menyusun laporan keuangan daerah yang tertib dan taat pada peraturan perundangan, efisien, efektif dan akuntabel maka harus memahami dan mengikuti ketentuan dalam Sistem Akuntansi Pemerintahan. Dan menurut ketentuan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diperbaharui dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, daerah telah diberi keleluasaan untuk menyusun sistem akuntansi keuangan dalam pengelolaan keuangan daerah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah dengan tetap berpedoman pada sistem akuntansi pemerintahan. Untuk itu diperlukan kebijakan pejabat didaerah dalam upaya untuk lebih memperlancar dalam proses penyusunan laporan keuangan tersebut antara lain dengan penetapan kebijakan akuntansi, sistem dan prosedur akuntansi, penyediaan sarana prasarana dan kecukupan dalam pendanaan terutama untuk peningkatan SDM dan pengembangan sistem. Penelitian dalam sektor pemerintahan mengenai dukungan pejabat dalam penerapan SAP menurut pengetahuan penulis belum pernah dilakukan, oleh karena
itu kami mengadopsi dan memodifikasi penelitian dari Lubis (2005) yang meneliti peranan dukungan top manajemen terhadap keberhasilan pengembangan STI (ATM) di Bank Indonesia, untuk diterapkan di sektor pemerintahan. Bahwa dalam penelitian diatas pengembangan sistem teknologi informasi kami ganti dengan penerapan SAP, karena SAP sangat diperlukan dan penting untuk penyusunan laporan keuangan sebagai wujud akuntabilitas publik. Selain itu dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, serta dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyusun dan penyajian laporan keuangan harus berpedoman pada SAP. Top manajemen yang kami maksudkan dalam penulisan ini adalah bupati / kepala daerah sebagai penanggungjawab tertinggi dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan “Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan”. Sedangkan Pasal 4 ayat (1) menyebutkan “Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat”. Namun disisi lain secara umum kondisi di daerah sampai dengan saat ini masih adanya keterbatasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penentuan program kerja pemerintah daerah. Walaupun sudah ada MUSRENBANG dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, namun forum tersebut belum dapat secara efektif menjaring dan menyalurkan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Hal ini karena adanya berbagai kepentingan dan
pengaruh politik yang begitu dominan dalam penentuan kebijakan dan program kerja pemerintah daerah. Selain itu masih adanya keterbatasan aksesibilitas masyarakat dalam laporan keuangan pemerintah, maka besar kemungkinan bahwa masyarakat masih punya persepsi yang berlainan mengenai perilaku pejabat daerah dalam kaitannya dengan dukungan terhadap penerapan SAP di daerah. Berdasarkan dari uraian diatas maka kami mengajukan hipotesis alternatif sebagai berikut : Ha3: Terdapat perbedaan persepsi
stakeholders internal dan eksternal terhadap
kriteria dukungan pejabat dalam penerapan SAP.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai obyek penelitian, pengumpulan data, populasi dan pemilihan sampel, instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian beserta pengujiannya, metode statistik yang digunakan untuk menganalisis data dan definisi operasional.
A. Obyek Penelitian Penelitian ini dilakukan terbatas diwilayah kabupaten Kulon Progo yang merupakan salah satu dari 5 (lima) kabupaten/kota di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Responden penelitian ini meliputi PNS di Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda), anggota DPRD, serta masyarakat yang meliputi anggota organisasi kemasyarakatan/LSM dan kalangan pers (wartawan).
B. Pengumpulan Data, Populasi dan Sampel Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui survey kuesioner terhadap para pengguna laporan keuangan, dengan tujuan untuk memperoleh data yang dapat digunakan untuk menguji persepsi stakeholders terhadap kriteria dukungan pejabat dalam penerapan SAP, akuntabilitas keuangan dan transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah. Lokasi penelitian ini terbatas di kabupaten Kulon Progo maka populasi adalah pengguna internal dan eksternal laporan keuangan pemerintah Kabupaten Kulon 46
Progo. Penyampelan atas responden dilakukan dengan teknik perposive random sampling yaitu suatu teknik pemilihan sampel berdasarkan kriteria tertentu (Cooper and Scunder 2001), dimana responden diprioritaskan anggota DPRD sebagai pengguna utama laporan keuangan, PNS sebagai penyaji laporan keuangan dan diperluas ke masyarakat sebagai pengguna potensial laporan keuangan. Alasan penelitian sampel adalah sebagai berikut (Indriantoro 1999): a. Jumlah elemen populasi (stakeholders) Laporan keuangan pemerintah daerah relatif banyak sehingga peneliti tidak mungkin pada seluruh elemen polasi karena akan memerlukan biaya dan tenaga yang relatif besar, b. Kualitas data yang dihasilkan oleh penelitian sampel seringkali lebih baik dibandingkan dengan hasil sensus, karena proses pengumpulan dan analisis data sampel yang relatif sedikit daripada data populasi dan dapat dilakukan lebih teliti, c. Proses penelitian dengan menggunakan data sampel relatif lebih cepat dari pada sensus sehingga dapat mengurangi jangka waktu antara saat timbulnya kebutuhan informasi hasil penelitian dengan saat tersedianya informasi yang diperlukan.
C. Jenis dan Sumber Data a. Jenis data Jenis data adalah data subyek. Data subyek adalah jenis data penelitian yang berupa opini, sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang yang menjadi subyek penelitian.
Sumber data terdiri dari : Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat behavioral (perilaku dan persepsi) oleh karena itu data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer merupakan data yang diambil langsung dari dari sumber data atau responden melalui kuesioner. Kuesioner harus dapat menggambarkan definisi operasional dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian sehingga jawaban responden atas kuesioner dapat digunakan untuk mengukur hubungan antar variabel. Definisi operasional adalah definisi tentang suatu obyek yang dinyatakan dengan suatu kriteria spesifik yang dapat diukur (Cooper and Schindler 2001). Teknik pengukuran pernyataan sikap yang akan digunakan adalah dengan skala likert, dengan 5 (lima) kategori jawaban dengan skor sebagai berikut : 1) Sangat Setuju
:5
2) Setuju
:4
3) Tidak Berpendapat
:3
4) Tidak Setuju
:2
5) Sangat Tidak Setuju
:1
Asumsi yang mendasari penggunaan metode likert menurut Anwar (1995) adalah: 1) Setiap pernyataan sikap yang telah ditulis dapat disepakati sebagai pernyataan yang farorable atau pernyataan yang tidak farorable. 2) Jawaban yang diberikan oleh individu yang mempunyai sikap positif harus diberi bobot/nilai yang lebih tinggi daripada yang mempunyai sikap negatif.
D. Metode dan Teknik Analisis Data Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang menggambarkan persepsi stakeholders terhadap dukungan pejabat dalam penerapan SAP, akuntabilitas keuangan dan transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah. Sedangkan teknik analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Uji validitas Validitas adalah tingkat kemampuan skala/instrumen untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Indriantoro 1999). Uji validitas digunakan untuk memastikan bahwa masing-masing pernyataan terklasifikasi pada variabel yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini menggunakan alat analisis uji validitas dengan teknik korelasi “pearson product moment”. e. Uji realibilitas Reliabilitas adalah kemampuan suatu instrumen pengukur dapat menghasilkan data yang konsisten dan bebas dari kesalahan (Indrianto 1999). Uji realibilitas digunakan untuk mengindikasikan adanya stabilitas dan konsistensi bahwa instrumen mengukur konsep dan membantu baik tidaknya alat ukur (Sekaran 2003). Dalam penelitian ini uji realibilitas digunakan dengan uji crombach coefficient alpha, dimana instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai alpha melebihi 0,60, bila lebih kecil dari 0,60 dianggap buruk. c. Uji normalitas Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah data yang terkumpul untuk dianalisis berdistribusi normal atau tidak. Suatu data yang membentuk distribusi normal bila jumlah data diatas dan dibawah rata-rata adalah sama, demikian juga
simpangan bakunya. Dalam uji ini digunakan uji Kolmogorof Smirnov (K-S) (Sugiyono 2006).
d. Uji t (t-test) Uji T digunakan untuk membandingkan nilai rata-rata satu populasi atau lebih dengan menggunakan sampel kecil dan data berskala interval atau rasio (Indriantoro, 1999). Maka dalam penelitian ini uji t untuk menguji hipotesis komparatif ada tidaknya perbedaan rata-rata persepsi stakeholders terhadap dukungan pejabat dalam penerapan SAP, akuntabilitas keuangan dan transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah (bila datanya berdistribusi normal). Atau menggunakan Uji Wilcoxon Mach Pairs Test yaitu untuk menguji hipotesis komparatif bila datanya ordinal/berjenjang dan berdistribusi tidak normal. (Sugiyono 2006).
e. Statistik deskriptif Statistik deskriptif adalah statistik yang berfungsi untuk mendiskripsikan atau memberi gambaran terhadap
obyek yang akan diteliti melalui data sampel atau
populasi sebagaimana adanya tanpa melakukan analis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono 2006). Statistik deskriptif pada penelitian ini pada dasarnya merupakan proses transformasi data penelitian dalam bentuk tabulasi sehingga mudah dipahami dan diinterpretasikan. Tabulasi menyajikan ringkasan data, pengaturan/penyusunan data dalam bentuk tabel numerik dan grafik. Dalam penelitian ini digunakan tendensi sentral yaitu rata-rata (mean), standar deviasi (dispersi). Tendensi sentral merupakan ukuran dalam statistik deskriptif yang menunjukkan nilai sentral dari distribusi data penelitian. Mean merupakan cara yang
paling umum digunakan untuk mengukur nilai sentral suatu distribusi data berdasarkan nilai rata-rata yang dihitung dengan cara membagi kelompok data dengan jumlah data yang diteliti. Dispersi digunakan untuk mengukur variasi data yang diteliti dari angka rata-ratanya. Perbedaan antara nilai data dan rata-ratanya disebut deviasi. Standar deviasi/penyimpangan baku merupakan ukuran penyebaran data yang dapat digunakan untuk mengukur besarnya variabel.
E. Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi tentang suatu obyek yang dinyatakan dengan suatu kriteria spesifik yang dapat diukur (Cooper and Schindler 2001). Kriteria adanya akuntabilitas keuangan pada laporan keuangan pemerintah daerah adalah: a. Pertanggungjawaban dana publik, b. Jenis dan bentuk laporan keuangan, c. Penyajian tepat waktu, d. Pemeriksaan (audit), dan e. Respon pemerintah daerah. Kriteria adanya transparansi pada laporan keuangan pemerintah daerah adalah : a. Ketersediaan sistem informasi, b. Pertanggungjawaban terbuka, c. Aksebilitas terhadap laporan keuangan, d. Publikasi laporan keuangan, e. Hak untuk tahu hasil audit, dan f. Ketersediaan informasi kinerja.
Kriteria adanya dukungan pejabat dalam penerapan SAP adalah: a. Kesungguhan pejabat dalam pemberian dukungan, b. Tanggapan pejabat yang antusias, c. Keterlibatan pejabat dalam penerapan SAP, dan d. Pemberian jaminan pendanaan serta penentuan prioritas . Penjelasan untuk masing-masing kriteria tersebut adalah sebagai berikut : a. Laporan pertanggungjawaban Ryan et al (2002) dalam penelitiannya menyatakan sebenarnya terdapat dua tujuan umum dari pelaporan tahunan sektor publik yaitu akuntabilitas (accountability) dan pengambilan keputusan (decision usefulness). Sedangkan steccolini (2002) menyatakan bahwa laporan tahunan meskipun belum melaporkan secara
keseluruhan
dari
entitas
pemerintahan
namun
secara
umum
dipertimbangkan sebagai media utama akuntabilitas (Ryan et al. 2000, Mack et al. 2001, Budi 2006 dalam Wisnu 2007). Sedangkan tujuan pelaporan keuangan menurut Government Accounting Standard Board (GASB) adalah: 1) Untuk membantu memenuhi kewajiban pemerintah menjadi akuntabel secara publik, dan 2) Untuk membantu memenuhi kebutuhan pengguna laporan yang mempunyai keterbatasan kewenangan, kemampuan dan sumber daya untuk memperoleh informasi. Oleh sebab itu mereka menyandarkan pada laporan keuangan sebagai sumber informasi penting. Untuk tujuan tersebut pelaporan keuangan harus mempertimbangkan kebutuhan para pengguna dan keputusan yang mereka buat.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang SAP, dalam kerangka konseptual tentang peranan pelaporan keuangan dinyatakan bahwa setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan : 1) Akuntabilitas, 2) Manajemen, 3) Transparansi, dan 4) Keseimbangan antar generasi (intergenerational equity) . Sedangkan tujuan pelaporan keuangan seperti dinyatakan dalam SAP bahwa pelaporan keuangan pemerintah seharusnya menyajikan informasi yang bermanfaat bagi para pengguna dalam menilai akuntabilitas dan membuat keputusan baik keputusan ekonomi, sosial maupun politik dengan : 1) Menyediakan informasi mengenai kecukupan penerimaan periode berjalan untuk membiayai seluruh pengeluaran, 2) Menyediakan informasi mengenai kesesuaian cara memperoleh sumber daya ekonomi dan alokasinya dengan anggaran yang ditetapkan dan peraturan perundang-undangan, 3) Menyediakan informasi mengenai jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan dalam kegiatan entitas pelaporan serta hasil-hasil yang telah dicapai, 4) Menyediakan informasi mengenai bagaimana entitas pelaporan mendanai seluruh kegiatannya dan mencukupi kebutuhan kasnya,
5) Menyediakan informasi mengenai posisi keuangan dan kondisi entitas pelaporan berkaitan dengan sumber-sumber penerimaannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk yang berasal dari pungutan pajak dan pinjaman, dan 6) Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan.
b. Jenis dan bentuk standar pelaporan Bila dilihat dari jenis laporan keuangan yang disusun oleh pemerintah saat ini telah mengalami beberapa perubahan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Pasal 38 menyebutkan bahwa laporan keuangan yang harus dibuat selain laporan realisasi anggaran adalah neraca daerah dan laporan arus kas. Ditindaklanjuti dengan Kepmendari Nomor 29 Tahun 2002 Pasal 81 disebutkan bahwa laporan keuangan yang harus disajikan lengkap pada akhir tahun oleh kepala daerah terdiri dari laporan perhitungan APBD, nota perhitungan APBD, laporan arus kas dan neraca daerah. Dalam perkembangan selanjutnya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 dan ditindaklanjuti Permendari Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa laporan keuangan yang harus disajikan kepala daerah setidak-tidaknya meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan dan dilampiri dengan laporan ikhtisar realisasi kinerja BUMD/perusahaan daerah.
dan laporan keuangan
c. Penyajian informasi tepat waktu Laporan keuangan yang disusun haruslah disajikan tepat waktu. Ketepatan penyajian akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pembuat laporan keuangan. Dengan menyajikan secara tepat waktu berarti pemerintah daerah telah akuntabel kepada pihak yang memberi amanah. Penyajian tepat waktu juga menunjukkan bukti adanya kepatuhan pengelolaan keuangan daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur jangka waktu pembuatan laporan keuangan. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 31 ayat (1) menyatakan Gubernur / Walikota / Bupati menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambatlambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
d. Pemeriksaan (audit) atas pelaporan keuangan Dengan adanya desentralisasi keuangan maka bertambah pula sumbersumber pendapatan daerah, yang berdampak pada peningkatan jumlah anggaran yang harus dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Hal ini berarti bertambah besar pula potensi penyimpangan anggaran dan penyimpangan pelaksanaan pembangunan di daerah, khususnya ketika mekanisme pengawasan dan audit didaerah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Untuk memenuhi akuntabilitas maka laporan keuangan sebagai laporan pertanggungjawaban harus diperiksa oleh pihak yang independen guna mempertanggungjawabkan seluruh hasil kerjanya selama satu periode, sehingga pihak pemberi amanah percaya atas hasil pemeriksaan tersebut. Di Indonesia fungsi pengawasan pemerintah daerah
dilakukan oleh pihak internal dan eksternal. Pihak internal meliputi Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektur Jenderal Departemen dan Badan Pengawasan Daerah (Bawasda). Sedangkan pihak eksternal adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK Pasal 6 ayat (1) menyatakan BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, bank Indonesia, BUMN, badan layanan umum, BUMD dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Pemeriksaan diperlukan untuk dapat mengetahui pelaksanaan program yang dibiayai dengan keuangan negara, tingkat ketaatan pada peraturan perundangan yang berlaku, serta mengetahui tingkat kehematan, efisiensi dan efektivitas dari kegiatan atau pelayanan pada masyarakat.
e. Kecepatan respon untuk memperbaiki Laporan keuangan yang dibuat pemerintah daerah kemungkinan besar masih mengandung kelemahan yang sifat dan bobotnya berdampak signifikan terhadap akuntabilitas keuangan. Kelemahan dan kekurangan laporan keuangan haruslah direspon secara cepat oleh pihak pembuat sebagai bahan pertimbangan dan instropeksi diri guna mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Temuan terhadap hasil audit sebaiknya dijadikan sebagai dasar masukan agar dalam pengelolaan keuangan dimasa yang akan datang menjadi lebih baik. Respon tersebut selain dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai pembuat laporan juga oleh DPRD sebagai pihak yang bersama-sama dengan eksekutif dalam membuat kebijakan daerah.
f. Sistem informasi Keuangan Sistem informasi keuangan digunakan untuk memudahkan akses masyarakat terhadap fungsi kontrol pada pemerintah daerah. Teknologi informasi merupakan kendala pemerintah daerah dalam penyajian laporan keuangan. Revolusi teknologi informasi dapat memfasilitasi reformasi ini, sebagai langkah awal pemerintah adalah menginput dokumen-dokumen informasi pokok ke dalam tailor-made websites, yang lebih dikenal dengan istilah “E-Government”.Kendala utama terobosan ini adalah ketakutan dari pejabat daerah ataupun pegawai pemerintah dan politisi akan kehilangan dicretionary power (kekuasaan / keleluasaan memilih dan menentukan) yang dinikmatinya di belakang layar/kerahasiaan (Shende dan Bennet 2004). Walaupun begitu demi terwujudnya good government maka hal ini wajib dilakukan agar masyarakat tahu bahwa keuangan daerah dikelola secara transparan. Sistem informasi keuangan akan memudahkan
fungsi kontrol masyarakat sehingga dapat diketahui apakah
pemerintah telah
menjalankan kegiatan sesuai dengan kebijakan yang telah
dibuat, patuh terhadap peraturan perundangan dan apakah direalisasi sesuai dengan rencana atau tidak.
g. Keterbukaan informasi dalam pertanggungjawaban keuangan Transparansi menyangkut
hak
dalam
informasi
masyarakat
pertanggungjawaban
untuk
memperoleh
keuangan
akan
pertanggungjawaban
penyelenggaraan pemerintah. Masyarakat mempunyai hak untuk diberi informasi (right to informated) karena masyarakat sebagai pemberi mandat dapat memberi penilaian apakah pelaksanaan mandat dilakukan secara memuaskan. Selain itu
masyarakat juga bisa menilai apakah pemerintah daerah telah berjalan secara ekonomis, efektif dan efisien, patuh terhadap regulasi, dan apakah tujuan penyelenggaraan pemerintahan guna mensejahterakan masyarakat seperti yang tertuang dalam renstra, visi dan misi telah dicapai dengan baik.
h. Aksebilitas terhadap laporan keuangan Ketidakmampuan laporan keuangan dalam melaksanakan akuntabilitas tidak saja disebabkan karena laporan tahunan yang tidak memuat informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh para pengguna tapi juga karena laporan tersebut tidak dapat secara langsung tersedia dan diakses pada para pengguna potensial. Priest et al. (1999) yang melaksanakan survey pada para pengguna aktual dan potensial atas laporan keuangan pemerintah daerah di Western Australia, menemukan sekitar 15 % dari responden tidak tertarik pada laporan keuangan dan sekitar 50 % dari responden mengindikasikan bahwa mereka tidak membacanya karena laporan tersebut tidak aksesibel. Oleh karena itu pemerintah daerah harus meningkatkan aksesibelitas laporan keuangannya. Tidak hanya sekedar menyusun dan menyampaikan ke DPRD, tapi juga memfasilitasi masyarakat luas untuk mengetahui atau memperoleh laporan keuangan yang disajikannya.
i.
Publikasi laporan keuangan Dalam era demokrasi yang semakin terbuka, akses ini terutama diberikan oleh media seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, website (internet) dan forum
yang
memberikan
perhatian
langsung/peranan
yang
mendorong
akuntabilitas pemerintah terhadap masyarakat (Shende dan Bennet 2004).
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan daerah Pasal 103 dinyatakan bahwa informasi yang dimuat dalam sistem informasi keuangan daerah merupakan data yang terbuka yang dapat diketahui, diakses dan diperoleh masyarakat. Ini berarti bahwa pemerintah daerah harus membuka akses kepada stakeholders
secara luas atas laporan
keuangan yang telah disusunnya, misalnya dengan mempublikasikan laporan keuangan tersebut melalui surat kabar, internet dan cara lainnya. Informasi yang dimuat dalam SIKD tersebut sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 102 Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan daerah mencakup APBD dan laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan, laporan keuangan BUMD dan data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 juga menyatakan bahwa penyelenggaraan SIKD mempunyai fungsi penyajian informasi keuangan daerah kepada masyarakat.
j. Hak untuk tahu hasil audit Hak untuk tahu hasil pemeriksaan merupakan bagian dari hak untuk tahu (right to know) untuk transparansi. Akuntabilitas yang efektif tergantung pada akses publik pada laporan pertanggungjawaban maupun laporan temuan yang dapat dibaca dan dipahami. Dengan mengetahui kelemahan dari laporan keuangan, masyarakat sebagai stakeholders dapat ikut berperan serta memberi masukan pada pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya guna mewujudkan good governance.
k. Ketersediaan informasi kinerja Masyarakat juga membutuhkan hasil kinerja pemerintah daerah baik yang bersifat keuangan
maupun non keuangan,
sebagai
bahan
pertimbangan
pengambilan keputusan baik yang bernilai ekonomi, sosial atau politik. Hasil kinerja pemerintah daerah perlu diinformasikan kepada masyarakat sebagai wujud transparansi. Ini menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintah daerah telah dilaksanakan secara transparan sehingga hasil kinerjanya yang baik maupun yang kurang baik dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan instropeksi untuk pembenahan secara internal. Dengan demikian diharapkan di waktu yang akan datang dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik.
l. Kesungguhan pemberian dukungan, Kesungguhan pejabat daerah dalam pemberian dukungan terhadap penerapan SAP tercermin dalam sikap dan tindakannya serta kebijakan yang diterapkan di daerah. Dengan adanya tuntutan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah maka peranan sistem akuntansi sangat penting dalam proses penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah. Dukungan yang kuat dari pimpinan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan dari sistem akuntansi di daerah. Dukungan ini diharapkan dapat memberikan sinyal yang kuat (strong signal) bagi karyawan, tidak hanya berguna dalam alokasi sumber daya yang digunakan tapi juga dapat memberikan suatu perubahan yang penting di dalam sistem pengelolaan keuangan daerah, sehingga dengan adanya dukungan pejabat dapat memberikan dampak yang positif terhadap kinerja pemerintah daerah.
Dengan kewenangan yang dimilikinya pejabat dapat memfasilitasi dengan penyediaan sarana prasarana yang dibutuhkan untuk memperlancar penerapan SAP sehingga penyusunan laporan keuangan dapat selesai tepat waktu.
m. Tanggapan dan perhatian yang antusias, Diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang SAP mendapat tanggapan yang beragam di berbagai daerah, ada yang bersikap aktif atau pasif. Bagi daerah yang bersikap aktif maka mereka akan
segera
menindaklajuti dengan membuat peraturan daerah atau keputusan kepala daerah agar mempermudah pelaksanaannya SAP sehingga daerah tersebut akan lebih cepat dalam penyelesaian pembuatan laporan keuangannnya. Contoh daerah yang bersikap aktif adalah propinsi Gorontalo dan kabupaten Sleman. Kedua daerah ini sangat antusias dalam menerapkan SAP dengan menyiapkan berbagai sarana prasarana pendukung seperti SDM yang berkualitas dengan merekrut banyak tenaga akuntan dan segera menyusun peraturan mengenai kebijakan akuntansi serta didukung dengan sistem dan prosedur akuntansi. Dengan demikian segala permasalahan yang ada dalam penyusunan laporan keuangan akan lebih mudah diatasi karena telah ada pedoman yang dibakukan. Namun pada umumnya di berbagai daerah masih bersikap pasif karena kurangnya perhatian pejabat di daerah dan keterbatasan sarana prasarana di daerah yang mengakibatkan keterlambatan daerah dalam penyelesaian laporan keuangan.
n. Keterlibatan pejabat dalam penerapan SAP, dan Dalam penerapan SAP belum tentu dapat berjalan sesuai yang diinginkan, karena dalam praktek pasti banyak mengalami kendala dan hambatan seperti kualitas SDM, keterbatasan sarana prasarana seperti komputer, belum adanya aturan pelaksana di daerah seperti kebijakan akuntansi, sistem dan prosedur akuntasi dan sebagainya. Dengan mengidentifikasi berbagai kendala tersebut pejabat daerah dapat segera mengambil kebijakan untuk memberikan solusi yang terbaik bagi daerah. Oleh karena itu pejabat tidak cukup duduk dibelakang meja menerima laporan dari bawahan, namun harus berperan aktif untuk terjun langsung ke bawah untuk dapat mengetahui permasalahan yang ada dilapangan sehingga setiap ada indikasi kendala/hambatan dapat segera dicari solusi untuk mengatasinya.
o. Pemberian jaminan pendanaan serta penentuan prioritas Untuk memperlancar dalam penerapan SAP di daerah maka sangat dibutuhkan dukungan dana dan sarana prasarana sebagai penunjang keberhasilan program tersebut. Dengan kewenangan yang dimilikinya pejabat di daerah sangat menentukan dalam penentuan prioritas penyediaan dana dan sarana prasarana yang dibutuhkan. Dengan adanya jaminan pendanaan maka dapat digunakan untuk mengadakan pendidikan dan latihan bagi personil yang menangani pengelolaan keuangan daerah serta dapat disediakan sarana pendukungnya seperti komputer, sistem pengarsipan bukti transaksi dan sebagainya. Dengan demikian kualitas SDM dapat meningkat dengan ditunjang sarana prasarana dalam pengelolaan keuangan daerah sehingga dapat menghasilkan laporan keuangan yang handal, relevan dan tepat waktu.