!1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang RIP (Ribosome Inactivating Protein) adalah protein yang tersebar luas pada tanaman dan berfungsi sebagai enzim yang dapat mendepurinasi RNA dan secara irreversible mampu memblok proses translasi dan menghambar sintesis protein (Stirpe dkk., 2006). RIP yang diisolasi dari tanaman pukul empat sore (Mirabilis jalapa L.) telah dibuktikan mampu menginduksi apoptosis pada sel HeLa (Ikawati dkk., 2002). RIP MJ tersebut kemudian diisolasi dan dimurnikan hingga diperoleh Protein MJ-C yang bermuatan negatif dan MJ-30 yang berukuran 30 KDa dan bermuatan positif. Kedua protein tersebut yang bertanggung jawab terhadap induksi apoptosis sel kanker oleh RIP MJ (Sudjadi dkk., 2003). RIP MJ dilaporkan bersifat sitotoksik terhadap berbagai sel kanker, yaitu EVSA-T, T47D, Hela, WiDR, SiHa, Raji, NS1, dan MCF-7 (Sismindari dkk., 2010). Penelitian menunjukkan bahwa potensi antikanker dari Protein MJ bekerja melalui pengaruhnya pada proses transduksi sinyal yang memacu apoptosis, melalui aktivasi caspase, dengan caspase-3 sebagai eksekutor terjadinya apoptosis (Sismindari dkk., 2010). Sebagai suatu protein, RIP dalam bentuk bebas bersifat tidak stabil karena dapat dengan mudah terdegradasi. Untuk dapat meningkatkan stabilitas dan efek terapi dari RIP terhadap sel kanker, dibutuhkan metode sistem penghantaran obat
!2
yang tepat (de Virgilio dkk., 2010). Penghantaran obat melalui sistem nanopartikel berpotensi tinggi dalam meningkatkan efek terapi dengan meningkatkan kelarutan dan kestabilan protein serta membantu meningkatkan efek penekanana pertumbuhan sel kanker (Florence, 1997). Polimer yang digunakan dalam pengemasan protein dalam nanopartikel harus bersifat biodegradable, dapat diaplikasikan untuk formulasi obat oral dan injeksi subkutan, serta dapat menghantarkan obat baik yang lipofilik maupun hidrofilik (Joseph dkk, 2007). Alginat merupakan jenis polimer yang dapat digunakan dalam pembuatan nanopartikel karena memiliki sifat biokompatibel, biodegradabel, mukoadesif dan tidak toksik (Paques, J.P., dkk., 2014). Sistem penghantaran obat yang tertarget secara spesifik sangat diperlukan dalam terapi kanker mengingat sifat sitotoksisitas dari RIP. EpCAM merupakan biomarker sel epitelial yang diekspresikan secara berlebih pada sel epitelial karsinoma (Bae J.S. dkk, 2012). Tingkat ekspresi EpCAM pada kanker payudara primer terbukti berkorelasi dengan aktivitas proliferasi dan transformasi neoplastik sel kanker (Osta dkk., 2004). Penggunaan antibodi monoklonal antiEpCAM telah berhasil meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan kanker payudara dan kolon dengan minimal residual disease (Riethmuller G. dkk., 1998). Dalam penelitian terdahulu protein RIP MJ dapat dikemas dalam bentuk nanopartikel dengan menggunakan polimer kitosan dengan bantuan penaut silang TPP (Feranisa, 2014; Pertiwi, 2014). Hal ini dapat dilakukan dikarenakan interaksi elektrostatik antara gugus negatif protein RIP MJ dengan polimer kitosan
!3
yang bermuatan positif. Nanopartikel RIP MJ kemudian dikonjugasikan dengan antibodi anti-EpCAM dengan bantuan katalis karbodiimida (EDAC). EDAC merupakan senyawa golongan karbodiimida yang mampu membentuk ikatan amida antara gugus amina pada asam amino dengan gugus karboksilat molekul lain. Selain bergantung pada gugus fungsional reaktif yang bereaksi, keberhasilan reaksi konjugasi juga ditentukan oleh kondisi sistem pada saat reaksi berlangsung, misalkan pemilihan pH medium, waktu dan suhu reaksi, serta konsentrasi pereaksi yang digunakan. Analisis hasil reaksi konjugasi peptida dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain size-exclusion kromatografi, gel elektroforesis, FTIR dan x-ray. Konjugasi antibodi anti-EpCAM pada nanopartikel pembawa RIP MJ-30 diharapkan dapat menghasilkan sistem penghantaran obat yang tertarget sehingga lebih aman bagi sel normal. Pada akhir penelitian ini diharapkan dapat diketahui keberhasilan pngemasan protein RIP MJ-30 dalam bentuk nanopartikel dengan mengunakan polimer alginat yang bermuatan negatif
dan
pengkonjugasian
antibodi anti-EpCAM pada nanopartikel yang terbentuk dengan menggunakan 1etil-3-(dimetilaminopropil)karbodiimida (EDAC) sebagai katalis reaksi. B. Rumusan Masalah 1. Apakah protein RIP MJ-30 dapat dikemas dalam bentuk nanopartikel dengan polimer natrium alginat-CaCl2? 2. Apakah nanopartikel natrium alginat - CaCl2 – RIP MJ-30
dapat
!4
dikonjugasikan dengan antibodi anti-EpCAM melalui reaksi pembentukan ikatan amida dengan katalis EDAC? 3. Apakah nanopartikel alginat - CaCl2 – RIP MJ-30 terkonjugasi antibodi antiEpCAM dapat dianalisis menggunakan metode elektroforesis Native-PAGE? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari proses konjugasi
anti-
EpCAM pada nanopartikel RIP MJ-30 dalam polimer alginat – CaCl2. 2. Tujuan khusus a.
Membuat nanopartikel RIP MJ-30 dalam polimer alginat - CaCl2.
b.
Mendapatkan metode dan kondisi reaksi yang sesuai untuk proses konjugasi antibodi anti-EpCAM pada nanopartikel alginat - CaCl2 - RIP MJ-30 dengan menggunakan katalis 1-etil-3-(dimetilaminopropil)karbodiimida (EDAC).
c.
Menganalisis keberadaan nanopartikel alginat - CaCl2 – RIP MJ-30 terkonjugasi anti-EpCAM dengan menggunakan metode elektroforesis Native-PAGE. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kondisi
reaksi optimal konjugasi nanopartikel alginat - CaCl2 – RIP MJ-30 dengan antibodi anti-EpCAM menggunakan katalis EDAC. Hasil penelitian ini dapat menambah data ilmiah mengenai studi awal sistem penghantaran obat yang
!5
berupa protein sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya. E. Tinjauan Pustaka 1. Biokonjugasi Biokonjugasi adalah suatu proses kimia yang menggabungkan dua atau lebih molekul dengan suatu ikatan kovalen, dimana satu atau lebih molekul yang terlibat merupakan biomolekul (Hayworth, 2014). Biokonjugasi dapat diaplikasikan dalam pembuatan suatu sistem termodifikasi berbasis protein yang sangat berguna bagi dunia kesehatan sebagai sistem pendeteksi ataupun menarget suatu molekul biologi (Hermanson, 1996). Teknik dan sistem biokonjugasi molekul sangat bergantung pada reaktifitas dan kompatibilitas gugus fungsional molekul target dan reagen yang disebut juga sebagai crosslinker. Gugus fungsional molekul yang dapat dijadikan sebagai target biokonjugasi diantaranya adalah gugus amina primer (-NH2), karboksilat (-COOH), sulfhydryl (-SH) dan karbonil (-CHO). Gugus fungsi molekul target akan kemudian diikat oleh secara spontan dan selektif baik melalui gugus fungsi reaktif maupun intermediet aktif dari reagen biokonjugasi (Hermanson, 1996). Selain ditentukan oleh reaktifitas dan kompatibilitas gugus fungsional, proses dan efektifitas biokonjugasi juga bergantung pada kondisi sistem pada saat reaksi berlangsung. Kondisi sistem dapat meliputi pH medium, waktu reaksi, suhu
!6
reaksi, serta jumlah atau konsesntrasi pereaksi. Kondisi pH medium yang sesuai diperlukan untuk menjaga integritas makromolekul yang direaksikan sehingga dapat terjadi reaksi biokonjugasi yang optimal. Kesesuaian pH medium akan sangat bervariasi bergantung pada jenis pereaksi, reagen, dan hasil reaksi yang diharapkan. 2. 1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida (EDAC) Penggunaan reagen golongan karbodiimida merupakan metode yang sangat sering digunakan dalam proses konjugasi peptida dikarenakan prosesnya yang mudah dan sederhana (Nozaki, 1999). Senyawa yang tergolong sebagai karbodiimida memiliki formula R-N=C=N-R’, dimana R dan R’ adalah senyawa alifatik (misal, diethylcarbodiimide) atau aromatik (misal, diphenylcarbodiimide) (Bauminger, & Wilchek, 1980). Struktur kimia dari 1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida (EDAC) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur kimia 1-ethyl-3-(dimethylaminopropyl) carbodiimide Hydroclorida (EDAC-HCL/EDC) (Anonim, 2005)
Senyawa 1-etil-3-(dimetilaminopropil) karbodiimida atau dikenal juga sebagai EDAC/EDC merupakan senyawa karbodiimida larut air yang dapat digunakan sebagai reagen untuk mengkonjugasikan senyawa biologis yang mengandung gugus asam karboksilat dan amina primer (Hermanson, 1996). Pada
!7
reaksi biokonjugasi dengan menggunakan EDAC interaksi antar molekul berbentuk zero-length crosslinking, yang berarti tidak terbentuk spacer arm sehingga pada akhir reaksi tidak terdapat satupun bagian dari struktur kimia EDAC yang terikat pada
molekul hasil konjugasi (Carter, 1996 & Hayworth,
2014). Pada proses biokonjugasi seperti yang terlihat pada Gambar 2, EDAC bereaksi dengan asam karboksilat dan membentuk intermediet aktif O-acylisourea yang mudah digantikan oleh nukleofilik dari amina primer. Reaksi konjugasi dengan reagen EDAC akan menghasilkan produk sampin berupa derivat urea, terutama jika dilakukan pada kondisi suhu reaksi yang tinggi (Bauminger, S. & Wilcheck M., 1980). Reaksi konjugasi berjalan dengan mekanisme:
Gambar 2. Skema reaksi crosslinking EDAC. Molekul (1) dan (2) dapat berupa peptida, protein atau molekul lain yang mempunyai gugus karboksilat dan amiBCn primer (Hayworth, 2014).
Reaksi konjugasi dengan reagen EDAC terjadi secara optimal pada rentang pH 4,5 hingga 7,5. Larutan penyangga MES (4-morpholinoethanesulfonic acid) biasa digunakan ketika dibutuhkan kondisi asam. Sementara pada reaksi
!8
konjugasi yang membutuhkan pH netral dapat digunakan larutan penyangga fosfat (Hermanson, 1996). 3. Ribosome Inactivating Protein RIP (Ribosome Inactivating Protein) merupakan enzim inaktivator katalitik dari proses sintesis protein pada sel eukariotik maupun prokariotik yang tersebar secara luas pada tanaman tingkat tinggi (Endo dkk., 1987; Stirpe dkk., 2006; Barbieri dkk., 1993). RIP dikategorikan sebagai enzim polinucleotide: adenine glikosidase (PAG) karena bekerja melalui mekanisme rNA N-glikosidase (Barbieri dkk., 1993; Peumans dkk., 2001). RIP telah berhasil diisolasi dari berbagai spesies tanaman dari famili Cucurbitaceae, Euphorbiaceae, Poaceae, dan Caryophillales (Barbieri dkk., 1993, Hartley dkk.,1996). Peran RIP pada beberapa spesies tanaman ini telah diidentifikasi sebagai bagian dari sistem pertahanan alami dari infeksi oleh virus maupun soil-borne fungal. Aktivitas enzimatik dari RIP mengindikasikan potensi sebagai agen sitotoksik untuk membunuh sel-sel kanker. Beberapa macam RIP telah dibuktikan kemampuannya dalam menginduksi kematian sel baik secara selektif terhadap sel kanker maupun tidak. RIP yang diisolasi dan dimurnikan dari daun M. jalapa L. terbukti dapat menginduksi apoptosis pada lini sel HeLa (Ikawati dkk., 2002) dan bersifat sitotoksis terhadap berbagai lini sel kanker lain yaitu EVSA-T, T47D, WiDR, SiHa, Raji, NS1, dan MCF-7 (Sismindari dkk., 2010).
!9
4. RIP MJ-30 Fraksi protein dari daun M. jalapa L. diketahui dapat memotong DNA superkoil dan ikatan glikosidik Adenin 4324rRNA S. cerevisae. Protein MJ bekerja melalui pengaruhnya pada proses transduksi sinyal yang memacu apoptosis, melalui aktivasi caspase, dengan caspase-3 sebagai eksekutor terjadinya apoptosis (Husaana dkk., 2010). RIP MJ dapat difraksinasi menjadi fraksi asam dan fraksi basa. Fraksi asam dari RIP MJ mengandung berbagai protein yang salah satunya disebut dengan MJ-C. Sementara salah satu kandungan protein fraksi basa dari RIP MJ merupakan protein yang disebut MJ-30. MJ-30 merupakan protein berukuran sekitar 30 kDa, bersifat basa dan bermuatan positif yang didapatkan dari pemurnian RIP MJ melalui metode kromatografi penukar ion CM-Sepharose CL-6B dan dilanjutkan dengan Sephacryl S-300HR (Sudjadi dkk., 2003). MJ-30 bersifat lebih sitotoksik pada sel HeLa, Myeloma, T47D, dan SiHa daripada terhadap sel Vero maupun sel mononuklear darah perifer (Sudjadi dan Ikawati, 2003; Ikawati dkk., 2006). Protein ini mampu menginduksi kematian sel HeLa melalui proses apoptosis dan diduga menginduksi nekrosis pada sel Raji (Ikawati dkk., 2003). 5. Alginat Alginat adalah biopolimer alami yang sangat banyak ditemukan di alam. Alginat dapat ditemukan sebagai komponen struktural dari alga spesies Phaeophyceae maupun sebagai polisakarida dalam bakteri tanah. Pemanfaatan
!10
alginat dalam industri makanan, kefarmasian, dan bioteknologi didasarkan pada kemampuannya sebagai penyerap air, pembentuk gel, peningkat viskositas, dan stabilisator (Draget, dkk., 2005). Alginat tersusun atas β-D-mannuronicacid (M) dan α-L-guluronicacid (G) yang terhubung melalui ikatan (1➔4) glikosidik dengan variasi komposisi yang sangat luas. Alginat memiliki tiga macam karakterisktik struktural yang dapat dilihat pada Gambar 3. Alginat dengan kadar blok G yang tinggi cenderung membentuk gel yang kuat, kaku, dan banyak berpori. Sedangkan gel yang terbentuk dari alginat dengan kadar blok M yang tinggi cenderung membentuk gel yang elastis dan lebih lemah.
Gambar 3. Karakteristik struktural alginat: a) monomer alginat; b) konformasi rantai; c) distribusi blok
Pembentukan gel alginat biasa dilakukan dengan cara crosslinking ionik dengan kation multivalen. Proses gelasi alginat terjadi melalui pertukaran ion natrium dari blok asam guluronat (G) dengan kation multivalen yang diikuti
!11
dengan penumpukan blok G tersebut hingga membentuk struktur “egg-box” seperti terlihat pada Gambar 4 (Paques, J.P., dkk., 2014).
Gambar 4. Formasi gel alginat oleh Kation Ca2+ membentuk struktur “egg-box”
6. Nanopartikel Menurut
NNI (National Nanotechnology Initiative; http://nano.gov/),
nanoteknologi mengacu pada struktur yang memiliki ukuran 1-100 nm setidaknya pada satu dimensi pengukuran. Dalam bidang farmasi nanopartikel dijelaskan sebagai sistem penghantaran obat dengan struktur koloid berdiameter antara 1-1000 nm dimana obat terlarut, terenkapsulasi, terjerap, terabsorbsi, maupun disisipkan secara kimia pada makromolekul atau polimer tertentu (Tiyaboonchai, 2003). Terdapat dua macam nanopartikel yang dibentuk dari polimer, yaitu nanokapsul and nanosfer. Nanokapsul terdiri dari polimer yang membentuk dinding melingkupi senyawa obat yang terjerap di dalamnya atau teradsorpsi pada
!12
bagian permukaan membran. Nanosfer merupakan sistem matriks dengan obat terdispersi atau teradsorpsi secara merata. Istilah nanopartikel digunakan karena terkadang sulit untuk menentukan apakah partikel dalam bentuk matriks atau membran (Tiyaboonchai, 2003). Nanopartikel protein dengan polimer alginat dan penaut silang CaCl2 berbentuk nanokapsul. Nanopartikel merupakan sistem penghantaran obat yang unggul karena kemampuannya untuk menembus dinding sel yang lebih tinggi dan fleksibilitasnya untuk dikombinasi dengan berbagai teknologi lain (Kawashima, 2000). Sistem penghantaran nanopartikel berpotensi dalam meningkatkan indeks terapeutik obat dengan cara meningkatkan efektivitas, stabilitas serta spesifisitas sistem penargetan dan meminimalisasi toksisitas obat (Alexis, dkk., 2008). Salah satu parameter yang mempengaruhi stabilitas nanopartikel adalah zeta potential. Potensial zeta menunjukkan muatan dari permukaan nanopartikel. Nilai potensial zeta berkisar umumnya antara +100 mV hingga -100mV. Besarnya nilai ini dapat digunakan untuk memprediksi colloidal stability dari nanopartikel. Nilai potensial zeta diatas +25 mV atau kurang dari -25 mV mengindikasikan tingkat stabilitas nanopartikel yang tinggi. Sistem dispersi dengan besaran zeta potensia yang rendah akan mudah mengalami agregasi karena gaya tarik-menarik Van Der Waals interpartikel yang kuat (Nanocomposix, 2012; Honary dan Zahir, 2012). 7. Epithelial Cll Adhesion Molecule (EpCAM) Ephitelial Cell Adhesion Molecule (EpCAM) adalah molekul glikoprotein
!13
transmembran yang memediasi adhesi Ca2+-independen sel yang banyak diekspresikan pada sel epitel manusia (Litvinov S.V. dkk., 1994). Gen EpCAM manusia mengkode protein yang tersusun atas 314 asam amino. EpCAM telah diidentifikasi sebagai protein penanda dari hepatik stem cell yang tidak ditemukan pada sel hepatik dewasa (Yamashita T. dkk., 2008). EpCAM diekspresikan secara berlebih pada sel tumor epitelial, sehingga memiliki potensi tinggi sebagai marker target dalam pengobatan kanker. Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa EpCAM tidak hanya berperan dalam adhesi sel, namun juga pada signaling, diferensiasi, proliferasi dan transmigrasi sel (Patriarca C. dkk., 2012; Yamashita T. dkk., 2008). Antibodi monoklonal anti-EpCAM umumnya memiliki bobot molekul total 132-150 kDa serta bersifat stabil dalam penyimpanan dan reaksi pada suhu 40C (Kosterink dkk, 2007). Antibodi anti-EpCAM ini direkomendasikan sebagai agen deteksi protein EpCAM yang diproduksi sel kanker payudara manusia melalui prosedur immunofluorescence, imunohistostology dan flowcytometry. Penggunaan antibodi monoklonal anti-EpCAM telah berhasil meningkatkan tingkat keberhasilan pengobatan kanker payudara dan kolon dengan minimal residual disease (Riethmuller G. dkk., 1998). 8. Bovine Serum Albumin BSA (Bovine Serum Albumin) merupakan suatu protein globular dengan kisaran berat molekul antara 66,41-66,7 kDa yang tersusun dari dua puluh asam amino esensial dalam struktur yang terdiri dari 583 unit (Peters, 1995; Gonzalez-
!14
Flecha dan Levi, 2003). BSA sering digunakan dalam berbagai studi fisika-kimia protein karena mudah didapatkan. Dalam bidang biokimia, BSA dapat digunakan sebagai standard pada kalibrasi protein untuk menentukan kuantitas protein lain dengan menggunakan metode Lowry dan Bradford protein assay, dan sebagai blocking agent pada Western blots (Putnam, 1975 & Rani, 2012). Dalam penelitian ini, BSA digunakan karena merupakan polipeptida yang digunakan dalam penelitian berbasis konjugasi protein pada nanopartikel alginat – CaCl2 dengan menggunakan reagen crosslinker EDAC. Perubahan pH lingkungan sangat berpengaruh terhadap konformasi protein BSA. Kisaran Isoelectric Point (pI) dari BSA berapa antara pH 4,7 hingga 5,2 (Kongraksawech dkk, 2007). Pada pH antara 4.5 dan 7, BSA berada pada bentuk native (N). Penurunan pH dari 4.5 hingga 3.5, mengubah secara reversibel bentuk native (N) menjadi bentuk fast (F) yang berarti dapat bermigrasi secara cepat pada gel elektrofosresis. Penurunan kembali pH dari 3.5 hingga 2, mengubah konformasi menjadi bentuk expanded (E). Ketika pH dinaikkan dari 7 hingga 9, bentuk N akan berubah menjadi bentuk basic (B) dan selanjutnya menjadi bentuk expanded (E) jika pH terus dinaikkan. Konformasi native (N) merupakan bentuk paling kompak/padat, sedangkan bentuk
expanded (E)
merupakan struktur yang paling terbuka (Foster, 1977; Michnik dkk., 2005; Yamasaki dkk., 1990). 9. Elektroforesis Gel Poliakrilamid Metode elektroforesis menggunakan gel poliakrilamida merupakan metode
!15
analisis yang digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan perbedaan berat atau ukuran molekulnya. Gel poliakrilamida merupakan hasil polimerasi dari monomer acrilamida dengan adanya N,N’-methylene-bis-acrylamide (bisacrilamida) yang berfungsi sebagai pembentuk silang, dimana keduanya akan berpolimerasi dengan adanya senyawa radikal. Ukuran pori gel sangat ditentukan oleh perbandingan jumlah monomer acrilamida dan bis-acrilamida. Amonium persulfat (APS) yang didekomposisi dengan penambahan TEMED (N,N,N’,N’tetrametil etilendiamin) biasa digunakan sebagai senyawa radikal untuk membantu proses polimerasi. Dalam pemisahan protein digunakan dua macam gel, yaitu gel penumpuk (stacking gel) dan gel pemisah (separating gel). Gel pemisah digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan bobot molekulnya. Ukuran pori gel pemisah dapat bervariasi sesuai dengan range ukuran protein yang ingin dipisahkan. Stacking gel berfungsi untuk tempat loading sampel atau ruang pembatas antar sampel. Pori gel pada bagian ini dibuat berukuran besar untuk memudahkan migrasi protein (Walker, 2002). Native-PAGE merupakan jenis gel poliakrilamida yang digunakan pada proses pemisahan yang ingin mempertahankan bentuk native protein. Meskipun resolusi pemisahan yang dihasilkan tidaklah sebaik pada SDS-PAGE, bentuk native dari protein dapat membantu identifikasi beberapa hal seperti aktivitas enzym, ikatan reseptor, ikatan antibodi dan lain sebagainya Pada tipe native, tidak digunakan SDS maupun agen pereduksi lainnya seperti merkaptoetanol pada saat
!16
preparasi gel elektroforesis, loading buffer dan running buffer, selain itu pemanasan sampel juga tidak diperlukan (Walker, 2002). Muatan native protein dapat dipengaruhi oleh pH gel. Jika pH gel lebih kecil dari titik isoelektrik (pI) protein sampel, maka akan menghasilkan muatan positif pada protein, dan jika lebih tinggi dari pI protein maka akan memberikan muatan akhir negatif (Gallagher, 1999). Secara umum, pada pH 2,0 hingga 4,0 maka protein akan bermuatan positif, dan akan bermuatan negatif pada pH diatas 8.0. Protein sampel harus memiliki pI < 7.0 agar memiliki muatan negatif dan dapat bermigrasi menuju anoda. Coomassie blue dan silver staining umum digunakan sebagai pewarna gel elektroforesis. Pewarnaan dengan cara silver staining dilakukan dengan menggunakan reagen AgNO3. Pewarnaan ini memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pewarnaan dengan menggunakan pewarna coomassie blue. Pada proses pewarnaan gel poliakrilamid dengan metode silver staining terjadi komplek antara protein dan pewarna asam sulfonat (de Moreno dkk., 1986). F. Landasan Teori Alginat merupakan biopolimer yang telah banyak digunakan dalam industri makanan, farmasi, dan bioteknologi karena sifatnya yang mukoadesif, biokompatibel, biodegradabel, dan tidak meninggalkan residu berbahaya di dalam tubuh. Dalam kondisi yang sesuai
dan dengan bantuan CaCl2 sebagai penaut
silang, alginat dapat membentuk nanopartikel yang menjanjikan bagi
sistem
!17
pemb awa dan penghantaran obat bagi protein seperti DNA, rNA, enzim, ataupun vaksin (Irianto, 2013). Konjugasi protein penanda pada nanopartikel telah dilakukan dalam pengembangan sistem penghantaran obat tertarget untuk melaksanakan terapi yang lebih aman dan efektif (Scott dkk., 2012). Antibodi anti-EpCAM (9C4) merupakan protein antibodi monoklonal yang diproduksi dari tikus untuk mengenali dan mengikat senyawa EpCAM yang diekspresikan oleh sel kanker payudara manusia. Asam amino lysin dan N-terminal asam amino sebagai gugus fungsional penyusun protein antibodi merupakan sasaran biokonjugasi molekul dengan nanopartikel (Wong, 2000). EDAC dapat memperantarai reaksi konjugasi gugus amina primer pada asam amino dengan gugus karbonil molekul lain (Carter, J.M., 1996). Alginat merupakan suatu polimer yang memiliki banyak gugus karboksilat. Karbonil alginat dapat diaktivasi oleh EDAC dan menghasilkan senyawa intermediet aktif O-asil-isourea. Senyawa intermediet aktif tersebut akan berikatan secara kovalen dengan gugus amin primer pada antiEpCAM membentuk ikatan amida yang menghubungkan antara alginat dengan anti-EpCAM. Oleh karena itu, reaksi biokonjugasi antara nanopartikel berpolimer alginat dengan anti-EpCAM dapat dilakukan dengan menggunakan katalis EDAC. Teknik elektroforesis yang paling umum digunakan untuk mengkarakterisasi molekul yang telah terkonjugasi adalah gel elektroforesis menggunakan akrilamid. Prinsip metode ini adalah pemisahkan protein berdasarkan perbedaan bobot atau ukuran molekulnya (Wong dan Jameson, 2012). Metode elektroforesis
!18
Native-PAGE dilakukan tanpa menggunakan SDS maupun agen pereduksi lainnya seperti β-merkaptoetanol, sehingga akan mempertahankan bentuk asli protein dan tidak akan mampu memutus ikatan amida antara alginat dan BSA atau antiEpCAM. Native-PAGE telah terbukti dapat menunjukkan konjugasi yang terbentuk antara polimer pektin dengan protein BSA secara lebih baik dibandingkan dengan SDS-PAGE (Mufyda, 2015 dan Juhairiyah, 2015). Protein RIP MJ-30 yang telah diformulasikan dalam polimer alginat – CaCl2 dan terkonjugasi dengan anti-EpCAM akan memiliki bobot molekul yang lebih besar dibandingkan dengan nanopartikel alginat – CaCl2 - RIP MJ-30 yang tidak terkonjugasikan dengan anti-EpCAM. Protein dengan ukuran lebih besar akan memiliki jarak migrasi lebih pendek saat bergerak pada gel yang diberi aliran medan listrik menuju anoda. G. Hipotesis 1.
Protein RIP MJ-30 dapat diformulasikan dalam bentuk nanopartikel dengan polimer alginat – CaCl2.
2.
Nanopartikel alginat – CaCl2 – RIP MJ-30 dapat dikonjugasikan dengan antibodi anti-EpCAM melalui reaksi pembentukan ikatan amida dengan katalis EDAC.
3.
Nanopartikel alginat – CaCl2 – RIP MJ-30 terkonjugasi antibodi anti-EpCAM dapat dianalisis menggunakan metode elektroforesis native-PAGE.