BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Proses pendidikan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia dari Kota Sabang di Provinsi Aceh sampai dengan Kota Merauke di Provinsi Papua, baik itu di wilayah perkotaan maupun pedesaan bahkan pendidikan juga dilakukan di daerah-daerah
pedalaman.
Salah
satu
yang
menjadi
tantangan
untuk
memajukan pendidikan di indonesia adalah menjangkau wilayah pedalaman karena pembangunan pendidikan yang bermutu dan merata di seluruh wilayah Indonesia merupakan cita-cita besar yang belum terwujud (Akuntono, 2011). Terlepas dari kesulitan yang harus dihadapi pemerintah Indonesia untuk memajukan pendidikan, tentunya guru memegang peranan penting dalam menentukan pencapaian tujuan pendidikan nasional (Bahri, 2011).
Sistem
pendidikan di Indonesia mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU No. 14 Tahun 2005). Kutipan Undang-undang tersebut menunjukkan bahwa pemahaman akan jati diri seorang guru pada setiap jenjang pendidikan menjadi kunci keberhasilan dalam mengajar. Mengajar yang efektif tidak dapat disederhanakan menjadi bentuk teknik-teknik mengajar belaka, namun bersumber dari pemahaman identitas dan integritas guru. Semua guru yang efektif menunjukkan satu karakteristik, yaitu pemahaman yang kuat akan identitas mereka menjadi bagian
1
2
dalam mengajar dan dapat menggabungkan dirinya sendiri dengan pelajaran maupun
siswa-siswanya
dalam
satu
jalinan
kehidupan
(Palmer,
2007;
Ashshiddiqi, 2013). Pemahaman akan identitas dan integritas sangatlah penting bagi seorang guru sebagaimana memahami siswa dan pelajaran dalam rangka menghasilkan proses belajar mengajar yang efektif. Menurut Palmer, (2007) mengajar membentuk sebuah cerminan bagi jiwa guru, bila seorang guru mau melihat ke dalam cermin itu dan tidak lari dari apa yang ia lihat, maka ia dapat mencapai pengetahuan diri (self-knowledge) dan proses ini menempatkan guru sebagai pembelajar aktif sepanjang hayat, mendukung guru mengetahui perkembangan siswa maupun pelajaran, meningkatkan efektivitas dan martabat profesi guru. Pekerjaan guru itu mulia, yakni bersifat krusial tidak hanya bagi proses pembelajaran siswa dan perkembangannya, tetapi juga bagi vitalitas masyarakat karena itu, mengajar secara umum dikatakan sebagai profesi menolong (Bernard, 1991) dan pekerjaan yang sangat dihargai namun sekaligus melelahkan (Smylie, Miller & Westbrook, 2008). Pugach (dalam Ashshiddiqi, 2013) menegaskan bahwa individu yang memilih untuk mengajar, tidak hanya akan memperoleh kepuasan dari penghargaan yang diberikan oleh profesi mengajar tetapi juga ketika memenuhi tuntutan-tuntutan profesi tersebut. Kedudukan guru sangatlah strategis dalam setiap usaha-usaha pokok peningkatan kualitas pendidikan, namun posisi strategis guru sangat dipengaruhi pula oleh faktor kemampuan dalam memenuhi tuntutan kinerjanya sebagai seorang guru profesional. Bahri (2011), mengatakan bahwa tugas dan peranan guru dalam proses pembelajaran diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan maupun pada aspek
3
nilai sehingga sebagai seorang pendidik, keberadaan guru tak hanya berkewajiban menyampaikan materi pelajaran (transfer of knowledge) kepada siswa tetapi juga berkewajiban menyampaikan skill dan nilai (transfer of skill and transfer of value). Salah satu pekerjaan yang paling penting di dunia yang membutuhkan ketabahan yaitu mengajar, karena seorang guru harus melakukan banyak hal dengan baik dalam waktu yang bersamaan dan memiliki lebih banyak klien, yaitu siswa yang berkumpul pada waktu yang sama (Slavin, 1991; Darling-Hammond & Baratz-Snowden, 2005). Pratle dan Rury (dalam Ashshiddiqi, 2013) menegaskan bahwa setiap guru haruslah memiliki kapasitas untuk melakukan evaluasi diri (self-evaluation) tentang kepuasan mendalam pada sesuatu yang dilakukan dengan baik dan menyesali untuk sesuatu yang gagal dilakukannya. Darling-Hammond, dan Baratz-Snowden (2005), mengungkapkan bahwa pengetahuan yang secara esensial dimiliki oleh seorang guru professional, yaitu : 1) pengetahuan tentang konten (content knowledge) yaitu pengetahuan mengenai materi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa; 2) pengetahuan konten
pedagogic
(paedagogical
content
knowledge),
yaitu
bagaimana
merepresentasikan topik materi pelajaran sehingga mudah dipahami oleh siswa; 3) Pengetahuan pedagogik umum (general paedagogical knowledge), yaitu pemahaman tentang prinsip-prinsip dari pengajaran (strategi instruksional) dan manajemen kelas; 4) Pengetahuan tentang pembelajar (siswa) dan belajar (knowledge of learners and learning). Penelitian Vallance (dalam Ashshiddiqi, 2013), berdasarkan pengalaman guru-guru di Australia, menunjukkan bahwa karakteristik dari seorang guru professional, yaitu : 1) memiliki ketrampilan mengatur kelas yang cukup dan etos
4
kerja untuk menghadapi batas-batas waktu pekerjaan dan harapan yang masuk akal, 2) memiliki komitmen kuat kepada totalitas diri seorang siswa, sehingga kebutuhan-kebutuhan siswa dipenuhi secara langsung, terutama siswa yang kurang berbakat secara akademik; 3) mencintai tiap-tiap siswa dengan afeksi yang nyata; dan 4) membuat komitmen personal kepada keuntungan siswasiswa mereka. Kinerja guru dalam proses pembelajaran di kelas, dapat terlihat pada kegiatannya dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi proses pembelajaran yang intensitasnya dilandasi oleh sikap moral dan profesional seorang guru. Menurut Bahri (2011) kinerja guru adalah kualitas maupun kuantitas pekerjaan, kreativitas, tanggung jawab, kerjasama, dan disiplin kerja/loyalitas yang harus dimiliki oleh guru dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya secara professional. Literatur menunjukkan sulitnya memperoleh seperangkat kriteria universal untuk mendefinisikan pedalaman, di Amerika Serikat definisi yang paling umum untuk wilayah pedalaman adalah setiap tempat di mana penduduknya kurang dari 2.500 orang dan tidak berhubungan langsung dengan kota yang berjarak 30 mil dari pusat kota (Miller, 1993). McSwan, Scoot, dan Haas (1995) menulis tentang masyarakat pedalaman di Australia memastikan bahwa setidaknya ada empat dimensi pada pengertian pedalaman yaitu ukuran, lokasi geografis, budaya, dan akses ke layanan fasilitas dari masyarakat perkotaan maka wilayah pedalaman dapat diketahui berdasarkan setidaknya dua hal yaitu konsep geografis dan representasi sosial. Pendidikan di Indonesia mendefinisikan wilayah pedalaman sebagai daerah khusus yang ditetapkan melalui Permendikbud No. 34 Tahun 2012
5
tentang kriteria daerah khusus dan pemberian tunjangan khusus bagi guru. Daerah khusus, yaitu: a) daerah yang terpencil atau terbelakang, b) daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil, c) daerah perbatasan dengan negara lain, d) daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain; dan/atau, e) pulau kecil terluar. Penjelasan mengenai definisi wilayah pedalaman atau daerah khusus lebih terperinci diuraikan pada pasal dua, yaitu : 1)
Kriteria daerah yang terpencil atau terbelakang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a adalah sebagai berikut : a. Akses transportasi sulit dijangkau dan mahal disebabkan oleh tidak tersedianya jalan raya, tergantung pada jadwal tertentu, tergantung pada cuaca, satu-satunya akses dengan jalan kaki, memiliki hambatan dan tantangan alam yang besar; b. Tidak tersedia dan/atau sangat terbatasnya layanan fasilitas umum, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas listrik, fasilitas informasi dan komunikasi, dan sarana air bersih; dan/atau c. Tingginya harga-harga dan/atau sulitnya ketersediaan bahan pangan, sandang, dan papan atau perumahan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
2)
Kriteria daerah dengan kondisi masyarakat adat yang terpencil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b adalah adanya resistensi masyarakat lokal terhadap perubahan nilai-nilai budaya, sosial, dan adat istiadat.
3)
Kriteria daerah perbatasan dengan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf c adalah sebagai berikut:
6
a. Sebagai kawasan laut dan kawasan daratan pesisir yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yang meliputi batas laut teritorial (BLT), batas zona ekonomi eksklusif (ZEE), batas landas kontinental (BLK), dan batas zona perikanan khusus; dan/atau b. Sebagai kawasan perbatasan darat yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. 4) Kriteria daerah yang mengalami bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d adalah sebagai berikut: a. Minimnya fasilitas perlindungan keamanan, baik fisik maupun nonfisik; b. Hilangnya fasilitas sarana pelayanan umum berupa fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas listrik, fasilitas informasi dan komunikasi, dan sarana air bersih; dan/atau c. Ditetapkan sebagai daerah bencana alam, bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain oleh pejabat Pemerintah yang berwenang. 5)
Kriteria pulau kecil terluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah pulau dengan luas area kurang atau sama dengan 2000 Km² (dua ribu kilometer persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum Internasional dan Nasional. Gambaran mengenai definisi pedalaman di atas, menunjukkan bahwa
untuk menjadi guru di wilayah pedalaman tentunya memiliki banyak tantangan dibandingkan dengan guru-guru yang bertugas di wilayah perkotaan, tantangan mendasar yang harus dihadapi, yaitu : 1) kondisi internal, yang terdiri atas upaya
7
pemenuhan kebutuhan hidup, kesempatan untuk pengembangan karir, dan peningkatan kesejahteraan guru menjadi suatu hal yang menyulitkan; (2) kondisi eksternal, yang terdiri dari sulitnya akses informasi, komunikasi, transportasi, dan jalan yang menjadi kendala atau masalah (Bahri, 2011). Papua termasuk salah satu provinsi di Indonesia yang berhubungan dengan wilayah perbatasan luar negeri, sebagaimana yang dinyatakan oleh The Australia Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD), yaitu; Merauke, Pegunungan Bintang, Supiori and Keerom merupakan empat kabupaten yang berada di wilayah perbatasan (aipd.or.id).
Gambar 1. Peta Provinsi Papua (aipd.or.id)
Pembangunan pendidikan di wilayah provinsi Papua tentunya memiliki kendala-kendala tertentu karena luasnya wilayah yang membuat jarak menjadi berjauhan, status gizi yang rendah di wilayah pegununungan dan peradaban masyarakat tradisional. Pembangunan pendidikan di Papua dilakukan secara
8
kontekstual parsial, kontekstual dalam arti menyesuaikan dengan budaya sosial ekonomi masyarakat dan parsial dengan melakukan pemetaan wilayah ke dalam beberapa lingkaran; lingkaran pertama untuk wilayah kota, kedua untuk daerah pinggiran, ketiga untuk daerah terpencil dan keempat adalah daerah-daerah terisolasi. Pendidikan di wilayah kota dan daerah pinggiran difokuskan pada peningkatan mutu, sedangkan untuk daerah lainnya lebih menitikberatkan pada membuka dan meluaskan akses pendidikan (Akuntono, 2011). Proses belajar mengajar di pedalaman Papua memiliki tata kelola khusus yang disesuaikan dengan tingkat ekonomi masyarakat dan letak geografisnya. Program yang diterapkan oleh Dinas Pendidikan Propinsi Papua, yaitu; sekolah umum dipadukan dengan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dimana jenjang pendidikan dasar (SD) dipecah menjadi dua; kelas satu sampai tiga dipadukan dengan PKBM, sedangkan kelas empat sampai enam berada satu atap di kecamatan dan berasrama. Untuk menjangkau anak-anak dari daerah terpencil dibangun sekolah-sekolah kecil yang dipadukan dengan PKBM di daerahnya dan setelah dapat membaca atau menulis anak-anak tersebut melanjutkan di sekolah berasrama tingkat kecamatan (Akuntono, 2011). Salah seorang guru yang mengabdi di wilayah pedalaman Papua khususnya di Kabupaten Keerom, mengatakan bahwa untuk sampai di lokasi sekolah tempat ia mengajar dibutuhkan waktu kurang lebih satu minggu bahkan bisa lebih karena tergantung pada situasi dan kondisi di perjalanan. “Saya berangkat ke sekolah tempat mengajar harus bersama-sama teman lainnya tidak bisa kalau jalan sendiri. Diawali dari tempat tinggal saya yaitu di Sentani (Kabupaten Jayapura), naik angkutan kota menuju Kabupaten Keerom kurang lebih dua jam perjalanan untuk bergabung bersama-sama teman di lokasi yang sudah kami tentukan bersama. Lalu kami menyewa mobil untuk mengantar kami sampai di ujungnya aspal di salah satu kampung tua bernama kampung Nawa. Mata pencaharian masyarakat di kampung itu salah satunya adalah berburu jadi tidak selalu ada pria dari
9
warga kampung itu yang ada di tempat ketika kami sampai di kampung Nawa, karena untuk melanjutkan perjalanan harus menggunakan jasa pemandu yaitu beberapa pria yang tau pasti jalan menuju sekolah, kamipun menunggu pemandu sampai beberapa hari di kampung itu, pernah suatu kali kami mencoba berjalan tanpa pemandu namun kami tersesat sehingga kami tidak pernah lagi mencoba tanpa menggunakan pemandu. Lokasi sekolah hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari kampung tersebut menembus hutan selama tiga hari karena tidak adanya jalan setapak ataupun jalan yang sudah diaspal, perjalanan menuju sekolah dapat menggunakan jalur sungai bisa dua hari tapi sulitnya kalau air sedang surut karena kami akan berhenti di beberapa tempat menunggu sampai air pasang, sehingga kami lebih memilih melalui jalur darat. Bersama pemandu kami berjalan menembus hutan belantara, dalam perjalanan kamipun setiap harinya harus sudah tiba di kampung tua di sore hari agar bisa istirahat dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Di hutan tersebut terdapat beberapa kampung yang sudah tidak lagi berpenduduk karena hidupnya masih nomaden atau berpindah-pindah tempat maka kami dapat memanfaatkan kampung tua itu untuk beristirahat di malam hari. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan hingga tiba di sekolah tempat kami mengajar dan tinggal untuk beberapa saat. Dari gambaran singkat bagaimana guru tersebut bisa sampai ke lokasi mengajar menunjukkan, bahwa guru pedalaman tidak hanya sekedar mengajar tetapi juga harus mampu mengatasi masalah lainnya, seperti; minimnya sarana keselamatan dan keamanan bagi guru tersebut, pengiriman kurikulum, sulitnya transportasi, kurangnya pelatihan guru, ketidakamanan dalam alokasi guru (keterbatasan jumlah guru), dan kurangnya literatur buku yang tersedia di sekolah pedalaman (Barter, 2008). Dimensi yang luas dari pendidikan siswa dan kebutuhan manusia memberikan tuntutan yang mencakup ketrampilan guru, pemenuhan kebutuhan psikologis siswa dan mandat-mandat birokratis yang bisa membatasi kebebasan para guru (Eggen & Kauchak, 2010). Bernard (dalam Wood, 1990) menegaskan bahwa mengajar adalah salah satu profesi yang penuh dengan tekanan, dan resiko stress yang tinggi muncul menjadi ciri inheren dari pekerjaan guru. Parkay dan Stanford (2008) menjelaskan bahwa terdapat realitas dasar yang menggambarkan bahwa mengajar begitu menuntut, yaitu : 1) hasil
10
mengajar, bahkan dalam situasi yang terbaik, tidak bisa diprediksi atau konsisten, 2) sulit menentukan secara pasti, dan bisa saja tidak mungkin, apa yang dimengerti atau tidak dimengerti oleh siswa, tentang apa yang diajarkan oleh guru, 3) kemampuan guru mempengaruhi tingkah laku siswa sebetulnya cukup terbatas, 4) adanya peran dari guru yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
orang
lain
dengan
contoh,
5)
mengajar
interaktif
dikarakteristikkan oleh kegiatan yang berubah secara cepat, dan multidimensi. Myburgh dan Poggenpoel (2002), dalam penelitiannya di Afrika Selatan menemukan bahwa transformasi dalam sistem pendidikan dan sekolah menyebabkan guru tidak mampu memahami peran dan identitas mereka sendiri yang akhirnya para guru mengalami masalah dan stres. Fenomena-fenomena yang melingkupi profesi guru dalam kondisi sekarang mengakibatkan guru mudah tertekan dan akhimya mengalami stress, masalah-masalah yang kemudian muncul akibat hal tersebut terwujud dalam berbagai bentuk perilaku merusak (destruktif) seperti penyalahgunaan narkoba/ alkohol, absensi, dan merusak hubungan sosial (antara guru dengan peserta didik, rekan kerja, dan keluarga mereka) (Toifur & Prawitasari, 2003; Myburgh & Poggenpoel, 2002). Beberapa kasus-kasus yang menggambarkan ketidakmampuan guru dalam memahami identitas dan integritasnya dipublikasikan melalui media cetak maupun elektronik sangatlah bervariasi diantaranya; dua orang guru dilaporkan kepada pihak Badan Kepegawain Daerah (BKD) di Kota Bima Provinsi Nusa Tenggara Timur karena tidak menjalankan tugasnya selama 2 tahun (Bima, 2013); Seorang guru pegawai negeri sipil (PNS) Pada tanggal 23 April 2013 yang telah bertugas selama 12 tahun ditangkap oleh kepolisian Polsek Tamansari
11
Jakarta Utara karena menggunakan dan mengedarkan narkoba (Alfiyyatur, 2013). Beberapa kasus perceraian dikalangan PNS didominasi oleh kalangan guru, seperti yang dilaporkan oleh Badan Kepegawaian Daerah Kota Solo bahwa dari 2012 hingga April 2013 mencapai tiga puluh sembilan pengajuan perceraian dimana mayoritas PNS yang bercerai berasal dari kalangan guru di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, pemicu perceraian tersebut dikarenakan perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan faktor ekonomi (Aryono, 2013). Keinginan untuk menjadi guru-guru di wilayah pedalaman tentunya belum banyak dimiliki oleh banyak orang, penelitian yang dilakukan oleh Barter (2008) di Kanada menunjukkan bahwa terdapat kesulitan untuk menarik minat dan mempertahankan tenaga pendidik berkualitas seperti guru dan administrator di wilayah pedalaman, karena lulusan perguruan tinggi lebih tertarik ke pusat-pusat perkotaan, disamping itu bekerja di pedalaman oleh beberapa lulusan perguruan tinggi hanya dijadikan sarana sementara untuk mendapatkan pekerjaan di perkotaan. Guru yang telah mengabdi di wilayah pedalaman, menunjukkan bahwa mereka telah memahami makna identitas dan integritasnya dengan baik sebagai seorang guru, seperti yang disampaikan oleh dua orang guru yang bertugas di pedalaman yaitu; adanya kebanggaan ketika masyarakat pedalaman sadar akan pentingnya pendidikan; ada kepuasan yang dirasakan ketika memberikan pengajaran kepada murid-murid yang polos dan lugu di sekolah yang terpencil; dan mendidik bukanlah kewajiban tapi pengabdian yang tulus untuk memotivasi para siswa dapat melanjutkan pendidikan (Hambali, 2011).
12
Kesulitan-kesulitan tertentu di wilayah pedalaman telah dihadapi guru dengan baik, seperti; sulitnya transportasi jalan ke lokasi sekolah; tidak adanya penerangan listrik; tidak adanya akses informasi/ komunikasi; dan harus berhadapan
dengan
kondisi
masyarakat
yang
jauh
tertinggal.
Hal
ini
menunjukkan bahwa guru pedalaman menemukan unsur-unsur kebahagiaan dalam profesinya tersebut. Hidayat (dalam Wati, 2008) mengatakan bahwa terdapat tiga unsur penting dalam kebahagiaan yang dapat dirasakan manusia, yaitu;
kebahagiaan
fisik
(physical
happiness),
kebahagiaan
intelektual
(intellectual happiness), dan kebahagiaan spiritual (spiritual happiness). Kebahagiaan fisik mengutamakan aspek fisik berupa material, seperti kecantikan, ketampanan dan keindahan, kebahagiaan ini sifat sementara karena terjadi dalam proses alamiah kehidupan. Kebahagiaan intelektual, seperti kepintaran, kecerdasan dan beragam prestasi yang dapat dicapai seseorang. kebahagiaan ini merupakan wujud kepuasan atas daya nalar dan artikulatif pikiran yang berhasil menemukan sebuah prestasi intelektual. Kebahagiaan spiritual,
menyangkut
dengan
pengalaman
spiritual
seseorang
yang
menghubungkan dirinya dengan Tuhan sebagai sang penciptanya. Yun, Ding-chu, dan Zhi-hui (2010), dalam penelitian survey di Provinsi Sichuan Tibet dengan menggunakan metode penelitian kualitatif menunjukkan faktor yang mendukung kebahagiaan guru menjalankan tugasnya di wilayah pedalaman, yaitu; adanya harmoni yang baik dalam hubungan keluarga, kesehatan dalam pekerjaan, hubungan interpersonal yang baik, dan peningkatan pendapatan merupakan faktor lainnya dalam mendukung kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Myburgh dan Poggenpoel (2002) di Afrika Selatan, seorang guru merasakan kebahagiaan sebagai pribadi yang
13
profesional terjadi dalam interaksi dengan peserta didik dan bekerja bersama sebagai sebuah tim dengan guru lain. Kajian tentang kebahagiaan merupakan tema yang sangat penting, bahkan pada saat ini dalam bidang psikologi berkembang pendekatan baru yang disebut dengan psikologi positif yang memfokuskan kajiannya pada aspek-aspek positif manusia, dan salah satu kajian utamanya adalah tentang kebahagiaan. Psikologi positif sebagai perspektif baru menangani penelitian mengenai kesejahteraan, kualitas hidup, kekuatan dan sumber daya yang dimiliki individu (Seligman 2005). Komponen utama kebahagiaan yaitu memiliki perasaan positif dan kesenangan, berada pada tingkat kepuasan yang tinggi selama beberapa periode, dan tidak adanya perasaan negatif seperti depresi dan kecemasan (Bekhet, Zauszniewski, & Nakhla, 2008). Beberapa ahli psikologi mendefinisikan kebahagiaan sebagai hasil penilaian terhadap diri dan kehidupan yang didalamnya memuat aspek emosi positif seperti kenyamanan dan kegembiraan yang meluap-luap pada aktivitas positif yang didukung oleh berkurang atau hilangnya perasaan negatif. Seligman (2005) mengatakan bahwa dalam perspektif psikologi positif banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang diantaranya adalah kemampuan bersyukur, optimisme, kemampuan mencintai, keharmonisan keluarga, kepuasan hidup, dan lain sebagainya. Tatarkiewicz
(dalam
Bekhet,
Zauszniewski,
&
Nakhla,
2008)
mendefinisikan Kebahagiaan sebagai suatu kepuasan yang abadi, lengkap, dan meyakini kepuasan hidupnya yang menjadi satu kesatuan.
Diener (dalam
Bekhet, Zauszniewski, & Nakhla, 2008) mengatakan, bahwa kebahagiaan didefinisikan merupakan hasil
evaluasi afektif pada kehidupan seseorang
14
dimana nilai positif lebih menguasai nilai negatif dalam kehidupannya. Lu, Gilmour, dan Kao (2001), menegaskan makna kebahagiaan adalah suatu konsep multidimensional yang terdiri dari dua unsur yaitu emosional dan kognitif. Tentunya hanya beberapa individu yang mau dan bisa hidup dalam dunia yang serba terbatas, namun tidak bagi para guru-guru yang mendidik para pelajar di daerah-daerah pedalaman, seperti yang telah diuraikan diatas. Hal itu tetap mereka jalani dengan penuh semangat dan dedikasinya untuk terus mendidik anak-anak bangsa agar memperoleh pendidikan yang wajar dan berkualitas. Pengabdian dan dedikasi para guru tersebut sangat mendukung dan memotivasi guru-guru lainnya dalam menjalankan tugasnya sebagai guru professional dengan meningkatkan kinerjanya yang lebih baik. Pradiansyah (dalam Aziz, 2011) mengatakan bahwa kebahagiaan guru akan menentukan efektivitas pentransferan ilmu pada anak didik, yang artinya; ketika seorang guru merasa bahagia ia dapat menyesuaikan dirinya pada identitas maupun integritas yang dimilikinya sehingga dengan mudah mengikuti cara dan kecepatan berpikir siswanya, sehingga seorang siswa memperoleh suatu pengetahuan secara utuh. Penelitian tentang kebahagian pada para pendidik adalah penelitian yang sangat penting mengingat profesi tersebut adalah profesi yang sangat strategis dalam memajukan kehidupan suatu bangsa melalui praktik pendidikan.
B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka sebagai rumusan masalah penelitian penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
15
1.
Bagaimana kebahagiaan guru yang bertugas di pedalaman Papua ?
2.
Apa karakter positif yang mendukung kebahagiaan guru-guru dalam memenuhi tuntutan kinerjanya secara profesional di pedalaman Papua ?
C. Tujuan dan Manfaat 1.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan peneliti diatas, maka penelitian ini bertujuan : a) Untuk
mengkaji
dan
menganalisis
secara
mendalam
nilai-nilai
kebahagiaan guru di pedalaman Papua. b) Untuk mengeksplorasi karakter positif yang diwujudkan dalam proses belajar-mengajar di pedalaman Papua. 2.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang akan dilakukan, terdiri atas : a) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah terhadap perkembangan ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi pendidikan yang berhubungan dengan nilai-nilai kebahagiaan seorang guru. b) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi guru, orang tua, pendidik, dan masyarakat mengenai nilai-nilai kebahagiaan yang dimiliki oleh seorang guru di wilayah pedalaman dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, serta hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai metode pemahaman dan penerapan nilai-nilai kebahagiaan bagi seorang guru.
16
D. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya Penelitian yang hendak dilakukan mengacu pada beberapa penelitian dengan guru sebagai respondennya dan beberapa variable yang mendukung kebahagiaan guru dalam menjalankan profesinya, terdapat perbedaan dan persamaan yang beragam dengan penelitian ini. Beberapa penelitian-penelitian tersebut diantaranya, yaitu; Penelitian survey di Provinsi Sichuan Tibet China yang dilakukan oleh Yun, Ding-chu, & Zhi-hui, (2010). Tujuan dari penelitian ini membandingkan pendapatan (income) yang didapatkan oleh guru-guru di wilayah perkotaan dan pedesaan dan mengeksplorasi kebahagiaan guru berdasarkan pendapatan ketika bekerja di wilayah tertentu. Interpretasi data melalui kuesioner kepuasan guru dari pendapatan ekonominya dan evaluasi diri mengenai kebahagiaan yang dipadukan dengan hasil wawancara mendalam mengenai penghasilan dan kebahagiaan guru. Penelitian yang hendak dilakukan penulis, menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis yang difokuskan pada kebahagiaan ketika menjalankan tugas sebagai guru di pedalaman Papua dan interpretasi data yang akan dilakukan berasal dari empat jenis pengumpulan informasi dasar yaitu : observasi (partisipan dan nonpartisipan), wawancara (open-ended), dokumen (pemerintah), dan bahan audiovisual (foto, film, dan rekaman video) (Cresswel, 2007). Penelitian dengan menggunakan metode korelasional yang melibatkan guru sekolah dasar oleh Aziz (2011) di Provinsi Jawa Timur bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara pengalaman spiritual dengan tingkat kebahagiaan pada guru agama di tiga kabupaten yaitu kabupaten Trenggalek,
17
Tulung Agung dan Pacitan sejumlah 247 orang. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik analisis product moment berdasarkan daily spiritual experience scale dan approach to happiness questionnaire. Perbedaan pada penelitian ini tentunya terletak pada metode kualitatif yang menggunakan pendekatan fenomenologis untuk mengetahui kebahagiaan guru di pedalaman Papua, selain itu subyek penelitian. Selain itu nilai kebahagiaan tidaklah terfokus pada salah satu guru bidang studi seperti pada penelitian tersebut yang menggunakan subyek guru bidang studi agama dalam mengungkap hubungan pengalaman spiritual
dengan kebahagiaan seorang
guru. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Barter (2008) di Kanada dengan metode kualitatif melalui pendekatan grounded theory yang didasarkan atas teori konstruktivisme dan literatur reviuw, penelitian ini bertujuan secara praktis untuk mengungkap
masalah
pendidikan
di
pedalaman
dengan
mengekslorasi
pengalaman mahasiswa ketika bekerja sebagai guru di pedesaan. Sebelum mengeksplorasi pengalaman responden, Barter (2008) memberikan pelatihan pendidikan bagi beberapa mahasiswa lalu menempatkan mereka bekerja sebagai guru di pedalaman. Penelitian tersebut bertujuan untuk menentukan desain, dan implementasi kurikulum di masa depan, pelatihan guru, perekrutan serta meningkatkan pembangunan masyarakat di daerah pedesaan sedangkan pada penelitian yang hendak dilakukan lebih pada pemanfaatan makna kebahagiaan guru di pedalaman sebagai metode pemahaman dan penerapan nilai-nilai kebahagiaan seorang guru melalui pendekatan fenomenologis.
18
Myburgh dan Poggenpoel (2002) melakukan penelitian di provinsi Gauteng Afrika Selatan yang menggunakan design metode penelitian kualitatif, eksploratif deskriptif dan kontekstual. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menjelaskan pengalaman guru di lingkungan sekolah yang mengalami transformasi dalam sistem pendidikan sehingga dapat diperoleh pedoman peningkatan kesehatan untuk guru.
Analisis data bersumber dari hasil focus
group interviews yang kemudian dianalisis menggunakan metode descriptif Tesch dimana seorang coder independen menganalisis data secara terpisah dari peneliti. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada wilayah penelitian, jumlah responden dan lebih mengungkap variable nilai-nilai kebahagiaan
guru
di
pedalaman
dengan
menggunakan
pendekatan
fenomenologis. Penelitian oleh Tkach dan Lyubomirsky (2006) menggunakan analisis statistik
berdasarkan
Subjective
Happiness
Scale,
Happiness-increasing
Strategies, dan Big Five Inventory pada lima ratus mahasiswa dari beragam etnis yang memiliki tiga tujuan, yaitu; pertama, mendapatkan strategi empiris dalam bentuk afiliasi sosial, berpesta (clubbing), pengendalian mental, mengejar tujuan penting, kenyamanan pasif, kenyamanan aktif, keagamaan, dan upaya langsung mencapai kebahagiaan
yang
digunakan
untuk
mempertahankan tingkat
kebahagiaan; kedua mengevaluasi kekuatan dari strategi individu sebagai strategi yang paling kuat untuk mencapai kebahagiaan; ketiga, menguji model kebahagiaan jangka panjang dengan meneliti hubungan antara ciri-ciri kepribadian, strategi kebahagiaan, dan kebahagiaan subyektif. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan
terletak
pada
metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis dalam
19
menganalisis kebahagiaan guru di wilayah pedalaman. Meskipun variabel penelitian yang akan diteliti sama yaitu tentang kebahagiaan, namun penelitian tersebut menggunakan mahasiswa sebagai responden penelitiannya dan penelitian yang hendak dilakukan lebih terfokus pada nilai-nilai kebahagiaan yang dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugasnya di pedalaman Papua. Penelitian lainnya yang menggunakan variable kebahagiaan oleh tim peneliti lintas negara oleh Fave, Brdar, Freire, Vella-Brodrick dan Wissing (2010) melalui design penelitian Mix Method (penelitian kualitatif dan kuantitatif). Subyek penelitian berasal dari tujuh negara yaitu
Australia, Kroasia, Jerman, Italia,
Portugal, Spanyol dan Afrika Selatan yang menetap di wilayah perkotaan. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meneliti definisi dan komponen kebahagiaan,
yaitu;
hal-hal
yang
bermakna,
tingkat
kebahagiaan
dan
kebermaknaan, serta hubungan antara kebahagiaan, kebermaknaan dan kepuasan hidup. Penelitian ini menggunakan kuesioner Eudaimonic and Hedonic Happiness Investigation berisi delapan pertanyaan yang berkaitan dengan kebahagiaan dan kebermaknaan, Socio-Demographic Questionnaire untuk mengetahui informasi mengenai latar belakang tiap subyek, skala kepuasan hidup digunakan untuk menilai secara kuantitatif dimensi hedonic kebahagiaan responden penelitian. Penelitian yang hendak dilakukan berlokasi di wilayah pedalaman Papua dan lebih terfokus pada variable kebahagiaan guru pedalaman yang dianalisis melalui metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologis. Perbedaan-perbedaan penelitian tersebut diatas yang telah diuraikan, menunjukkan bahwa studi
fenomenologis guru di wilayah pedalaman Papua
masih bersifat orisinil dan belum dikaji oleh peneliti-peneliti sebelumnya.