BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Permasalahan Manusia mengenal berburu dan meramu sebagai cara awal untuk mempertahankan hidup. Alam sekitar dirasa manusia cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun ketika alam yang ditinggali dirasa tidak lagi sanggup untuk mencukupi kebutuhan manusia, diperlukan adanya kemampuan untuk produktif maka akhirnya manusia mengenal pengetahuan bercocok tanam. Asia Tenggara disebut sebagai salah satu dari 7 tempat di dunia yang merupakan daerah penemu budaya bercocok tanam, sekaligus asal mula tanaman padi. Masa panen merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu dan menjadi peristiwa besar bagi masyarakat setelah manusia mulai akrab dengan bercocok tanam. Waktu luang yang dimiliki manusia ketika menunggu panen, merangsang timbulnya tontonan dan upacara tari-tarian atau nyanyian. Hal tersebut dikuatkan dengan anggapan mengenai kepercayaan masyarakat tradisional bahwa benda dan segala yang ada di alam memiliki jiwa. Banyak daerah di Indonesia memiliki tradisi upacara atau taritarian yang berhubungan dengan alam, salah satunya ditunjukkan dengan ritual kesuburan (Suharto, 1999: 18-20). Tari-tarian yang menunjukkan hubungan manusia dengan alam juga ditemukan salah satunya di wilayah Banyumas, Jawa Tengah, yang disebut sebagai seni pertunjukan Lengger. Sejarah dan asal muasal pertunjukan Lengger di Banyumas tidak diketahui secara pasti, namun banyak penelusuran mengenai tari1
2
tarian dalam ritual kesuburan semacam Lengger yang ada di Indonesia. Seni pertunjukan Lengger juga telah dituliskan dengan lengkap dalam buku Javaanse Volksvertoningen karya Th. Pigeaud. Sunaryadi menuliskan anggapan Th. Pigeaud mengenai sebaran pertunjukan Lengger yang dimulai dari berbagai wilayah di pedalaman dan pesisir Jawa dari Banyuwangi hingga ke Cirebon. Sangat sulit untuk menentukan bagaimana dan kapan tepatnya Lengger lahir atau datang ke Banyumas (Sunaryadi, 2000: 2). Pertunjukan Lengger di Banyumas diwujudkan dalam dua ekspresi yaitu melalui penari perempuan dan penari laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Kedua penari baik laki-laki dan perempuan mempunyai peranan dan fungsi yang sama dalam masyarakat Banyumas yaitu sebagai media ritual dan hiburan. Perbedaannya, pertunjukan dengan penari perempuan dahulu berkembang di wilayah barat kabupaten Banyumas tepatnya sebelah barat sungai Serayu dan sangat dipengaruhi oleh budaya Sunda, sedangkan pertunjukan dengan penari lakilaki berkembang di sebelah timur Sungai Serayu, maka erat dengan budaya Jawa. Pada saat sekarang sudah sangat jarang ditemukan penari Lengger laki-laki di Banyumas. Fokus bahasan pada penelitian ini menitikberakan pada pertunjukan Lengger di Banyumas, terutama pada penari Lengger perempuan (secara biologis). Istilah Lengger di Banyumas dulunya merujuk pada penari laki-laki dan perempuan sekaligus, namun dalam penelitian ini peneliti membatasi pada penggunaannya sebagai penari perempuan. Peranan dan fungsi pertunjukan Lengger dalam ritual yang menghubungkan manusia dengan alam dimunculkan pada sifat-sifat feminin
3
dan juga dalam sosok perempuan, hal tersebut membuktikan adanya keterkaitan antara isu perempuan dan isu lingkungan. Peneliti dalam penelitian ini mencoba mendeskripsikan sejarah, peran dan fungsi seni pertunjukan Lengger sehingga dapat dilihat hubungan antara perempuan dengan alam. Hubungan antara perempuan dan alam disebut sebagai Ekofeminisme. Ekofeminisme sebagai salah satu teori etika lingkungan menawarkan cara pandang alternatif yaitu upaya penyelamatan lingkungan hidup melalui cara-cara perempuan. Perempuan melalui pengalaman-pengalaman yang erat akan nilai kasih sayang dan harmonis memunculkan sebuah etika kepedulian dalam upaya merawat lingkungan. Vandana Shiva seorang filsuf dari India menjelaskan etika kepedulian oleh perempuan dalam merawat alam dianggap sebagai hubungan yang tidak produktif. Perempuan yang bekerja di hutan, ladang dan sungai menciptakan perubahanperubahan penting dalam keseimbangan alam demi kehidupan yang berkelanjutan karena berkaitan langsung dengan alam. Perempuan memiliki pengetahuan sendiri untuk melestarikan kehidupan manusia dengan cara mencukupi kebutuhan – kebutuhan dasar akan pangan, gizi dan air (Shiva, 1997, 56-58). Shiva dan Maria Mies dalam buku Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan juga menjelaskan upaya kekeramatan sebagai pengetahuan perempuan, melalui kekeramatan itulah perempuan mengupayakan pelestarian. Penelitian ini sendiri akan mencoba menganalisa pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme terhadap perempuan dalam seni pertunjukan Lengger (Shiva & Mies, 2005: 194)
4
2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan persoalan yang akan dikaji sebagai berikut: a. Apa yang dimaksud dengan seni pertunjukan Lengger? b. Bagaimana pemikiran Etika lingkungan Ekofeminisme? c. Apa pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme mengenai perempuan dalam seni pertunjukan Lengger? 3. Keaslian Penelitian Penelitian ini mengkaji mengenai seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas, kemudian ditinjau dari salah satu teori etika lingkungan yaitu Ekofeminisme. Penelitian ini akan menelusuri pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme mengenai perempuan dalam seni pertunjukan Lengger. Sejauh penelusuran dan pengamatan mengenai karya-karya ilmiah dalam berbagai Fakultas di lingkungan Universitas Gadjah Mada serta di luar Universitas Gadjah Mada belum ada pembahasan mengenai kajian etika lingkungan Ekofeminisme pada seni pertunjukan Lengger, namun terdapat penelitian yang membahas mengenai Lengger, di antaranya : a. Sunaryadi, 2000, Lengger: Tradisi dan Transformasi, Yayasan Untuk Indoensia, Yogyakarta.
Buku ini mengupas tuntas mengenai Lengger
sebagai seni pertunjukan tradisional di Banyumas mulai dari pelaku, babakan dan khususnya perkembangan yang ada dalam seni pertunukan Lengger.
5
b. Yanti Heriyawati, 2004, Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat, S-2 Seni Pertunjukan, Universitas Gadjah Mada. Tesis ini memaparkan mengenai dua jenis tarian yang mempunyai karakteristik sama dengan Lengger yaitu doger dan ronggeng yang berkembang di Jawa Barat. Tesis ini juga menggambarkan bagaimana penari dalam seni pertunjukan kemudian diidentikan dengan isu prostitusi. c. Riris Fitriatin Nasihah, 2009, Kesenian Tari Lengger di Desa Giyanti, Kecamatan Selamerta, Kabupaten Wonosobo, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga. Penelitian ini menjelaskan deskripsi kesenian tari Lengger di Desa Giyanti, Wonosono yang meliputi sejarah, unsur pokok, struktur, prosesi petunjukan serta perubahan dan perkembangan. d. Sri Wahyuni, 1995, Laporan Hasil Penggalian Tari Lengger Calung di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, Program Studi Pendidikan Seni Tari, IKIP Yogyakarta. Penelitian ini mengulas sejarah, peranan dan fungsi Lengger calung yang terdapat di Pegalongan, Banyumas. Penelitian ini memfokuskan pembahasan pada uraian gerak tari dalam pertunjukan Lengger calung karena sesuai dengan bidang ilmu peneliti yaitu Pendidikan Seni Tari. Tulisan mengenai teori etika lingkungan Ekofeminisme sebagai objek formal penelitian telah banyak ditemukan baik berupa skripsi maupun tesis, di Fakultas Filsafat sendiri di antaranya; a. Susana Rita Kumalasanti, 1998, Ekofeminisme Sebagai Gerakan Alternatif pemberdayaan Perempuan di Indonesia (Refleksi Filsafat
6
Sosial atas Gerakan Pemberdayaan Perempuan), Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Skripsi ini menggunakan sudut pandang filsafat sosial dalam mengkaji Ekofeminisme sebagai gerakan alternatif pemberdayaan perempuan di Indonesia. b. Fatmawati Indah L.G, 2007, Konsep Ekofeminisme Vandana Shiva (Suatu Alternatif Pemecahan Permasalahan Lingkungan Hidup), Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini memaparkan secara menyeluruh konsep Ekofeminisme Vandana Shiva sebagai objek formal penelitian, yang kemudian dalam aktualisasinya digunakan sebagai alternatif permasalahan lingkungan hidup. c. Ahmad Sururi, 2010, Pemikiran Ekofeminisme dalam Perspektif Etika Lingkungan: Relevansinya Bagi Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia. Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Tesis ini menjelaskan konsep Ekofeminisme sebagai objek formal penelitian dan menjelaskan lebih menyeluruh mengenai berbagai aliran-aliran yang ada pada Ekofeminisme, kemudian melalui kacamata Ekofeminisme dilihat relevansinya bagi pelestarian lingkungan hidup di Indonesia. Peneliti menemukan banyak tulisan maupun penelitian yang mengkaji pertunjukan Lengger di Banyumas, namun yang menunjukkan keaslian penelitian ini dan membedakannya dengan penelitian lain adalah objek formal yang digunakan yaitu teori etika lingkungan Ekofeminisme sebagai sudut pandang dalam mengkaji seni pertunjukan Lengger di Banyumas. Fokus dalam penelitian ini merupakan pertunjukan Lengger di Banyumas yang mempunyai fungsi-fungsi
7
ritual yang menunjukkan hubungan antara perempuan dengan alam, hal itu salah satunya dimunculkan oleh penari Lengger yang merupakan seorang perempuan. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini juga mempunyai beberapa manfaat, antara lain bagi; a. Bagi Ilmu pengetahuan Penelitian ini diharapkan memperkaya kajian budaya yang ada di Indonesia khususnya kajian mengenai seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas, serta memperkaya kajian teori etika lingkungan, khususnya Ekofeminisme yang diterapkan melalui fenomena-fenomena yang ada pada masyarakat b. Bagi Filsafat Penelitian
ini
mengaktualisasikan
diharapkan
dapat
pemikiran-pemikiran
digunakan
filsafat
dan
untuk mencoba
mengkajinya ke dalam fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai kajian pustaka bagi perkembangan ilmu khususnya bidang filsafat. c. Bagi masyarakat dan bangsa Indoensia Penelitian ini diharapkan mengenalkan masyarakat pada seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas, serta membangkitkan kembali minat masyarakat khususnya dalam mengenal dan melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia dalam hal ini terutama seni pertunjukan Lengger.
8
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tiga tujuan utama yaitu: 1. Memberikan deskripsi mengenai seni pertunjukan Lengger di Banyumas. 2. Memberikan deskripsi mengenai pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme beserta aliran-alirannya. 3. Memaparkan analisa pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme mengenai perempuan dalam seni pertunjukan Lengger di Banyumas.
C. Tinjauan Pustaka Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya, memiliki keragaman seni tari sebagai media hiburan. Keragaman tarian yang ada di Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh bangsa-bangsa lain seperti India, Arab, Cina, Portugis, Inggris dan Belanda yang datang melalui jalur perdagangan. Tari-tarian yang mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan seni pertunjukan Lengger juga terdapat di berbagai daerah di Indoensia (Soedarsono, 2002: 4). Tarian yang memiliki karakteristik sama dengan pertunjukan Lengger di antaranya, tari ronggeng melayu yang telah populer, tari perkolong-kolong di Karo, moning-moning di Simalungun, ada lagi kapri dan gamat di pesisir Sumatera barat, di Banjarmasin disebut gendot, sedangkan di Palembang dinamakan pelanduk, namun yang paling populer dan subur terdapat pada provinsi Jawa Barat dengan berbagai sebutan di antaranya, kethuk, Lengger gunung, dombret, bajidoran, blentuk ngapung dan bangreng, yang populer dalam perkembangannya yaitu jaipongan (Soedarsono, 2002: 5).
9
Pertunjukan Lengger di Banyumas awalnya berkembang di daerah pedesaan oleh karena itu, kesenian ini akrab dengan nilai-nilai yang ada pada petani yang pada masa lalu sering dikaitkan dengan kepercayaan, alam gaib dan dunia roh. Seni pertunjukan Lengger di Banyumas, menampilkan penari perempuan atau laki-laki yang berdandan seperti perempuan. Penari perempuan biasanya disebut ronggeng, sedangkan yang laki-laki disebut Lengger, namun pada saat ini sebutan ronggeng bagi penari perempuan tidak lagi digunakan. Jadi, baik perempuan atau laki-laki, penari pada pertunjukan Lengger hanya disebut Lengger. Tinjauan pustaka ini juga memaparkan beberapa buku maupun penelitian yang mirip dengan objek material, di antaranya buku Lengger: Tradisi dan Transformasi oleh Sunaryadi (2000: 75-85) yang menghasilkan kesimpulan bahwa seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai sarana hibuan pada upacara marungan dan peringatan hari besar serta sebagai sarana ritual yaitu pada ritual bukak kelambu, upacara kaulan, baritan dan sedekah bumi. Penelitian tesis Yanti Heriyawati, 2004, Doger dan Ronggeng, Dua Wajah Tari Perempuan di Jawa Barat, S-2 Seni Pertunjukan, Universitas Gadjah Mada. Hasil penelitian dari tesis ini adalah mengenai seni pertunjukan rakyat yang ditarikan oleh seorang perempuan dalam hal ini ronggeng, seringkali mendapatkan penilaian negatif kaitannya dengan erotisme. Nilai-nilai ritual yang sakral dalam setiap pertunjukan Lengger menjadi luruh dan fungsinya sebagai media hiburan juga makin bergeser ke arah lain. Gerakan tubuh yang seharusnya dimaknai dengan sakral lalu diinterpretasikan dengan erotisme dan pornografi serta dianggap
10
berlebihan sehingga tidak dapat dihindari persoalan perilaku seks menjadi berkembang, yang akhirnya juga terjadi di luar konteks pertunjukan. Interaksi antara Lengger dan penari laki-laki malah menjadi bagian utama dalam pertunjukan. (Heriyawati, 2004: 77). Penelitian skripsi oleh Riris Fitriatin Nasihah, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, berjudul Kesenian Tari Lengger di Desa Giyanti, Kecamatan Selamerta, Kabupaten Wonosobo tahun 2009. Penelitian skripsi ini menghasilkan kesimpulan bahwa kebanyakan masyarakat belum memahami makna yang terkandung dalam kesenian tari Lengger, masyarakat hanya mengetahui kesenian tari Lengger berfungsi sebagai sarana hiburan saja, oleh karena itu dalam penelitian ini juga dipaparkan makna dan fungsi kesenian Lengger di antaranya, fungsi sosial, hiburan, ekonomi, agama. (Nasihah, 2009: vii) Sri Wahyuni, 1995, Laporan Hasil Penggalian Tari Lengger Calung di Desa Pegalongan, Kecamatan Patikraja, Kabupaten Banyumas, Program Studi Pendidikan Seni Tari, IKIP Yogyakarta. Penelitian ini fokus pada uraian gerak tari pada pertunjukan Lengger namun, secara garis besar penelitian ini juga menarik kesimpulan mengenai fungsi seni pertunjukan Lengger bagi masyarakat Banyumas sebagai sarana hiburan dan ritual. Seni pertunjukan Lengger sebagai sarana ritual berfungsi menjadi jembatan antara roh leluhur dan masyarakat, serta sebagai hiburan dan mempererat tali persaudaraan antar masyarakat (Wahyuni, 1995: 18). Berdasarkan tinjauan pustaka diatas dapat disimpulkan bahwa telah banyak penelitian yang mengkaji seni pertunjukan Lengger, namun yang membedakan penelitian ini terletak pada etika lingkungan Ekofeminisme sebagai objek formal.
11
D. Landasan Teori Etika lingkungan hidup dapat dipahami sebagai kritik atas etika yang hanya membatasi diri pada komunitas manusia. Etika lingkungan hidup beranggapan bahwa etika dan moralitas harus mencangkup komunitas biotis atau komunitas lingkungan. Norma-norma, nilai, dan prinsip yang dikenal pada komunitas manusia, seharusnya direfleksikan dan diterapkan pada komunitas biotis dan lingkungan, sehingga manusia bisa mengambil sikap atas persoalan dan pilihan moral yang terkait dengan isu lingkungan hidup (Keraf, 2006: 26-27). Etika lingkungan hidup mempunyai beberapa model teori di antaranya yaitu Shallow Environmental Ethics atau yang disebut Antroposentrisme, Intermediate Environmental Ethics atau Biosentrisme, dan Deep Environmental Ethics atau Ekosentrisme yang kemudian dikembangkan menjadi Hak Asasi Alam dan Ekofeminisme (Keraf, 2006: 31-32). Ekofeminisme mempunyai empat aliran yaitu; 1) Ekofeminisme Alam, 2) Ekofeminisme Spiritual, 3) Ekofeminisme Transformatif, 4) Ekofeminisme Global. Ekofeminisme sebagai gerakan etika lingkungan yang memberikan cara pandang baru di antara teori etika lingkungan lainnya terhadap krisis ekologi. Ekofeminisme berarti sebuah teori dan gerakan etika lingkungan yang ingin mendobrak etika pada umumnya, yakni yang bersifat Antroposentrisme (manusia adalah satu-satunya pertimbangan moral dan etis). Ekofeminisme ini juga mengkritik Androsentrisme, yaitu teori etika lingkungan yang berpusat pada laki-laki. Karren J. Warren mengungkapkan bahwa logika konseptual Androsentrisme memiliki tiga ciri utama yaitu; 1) berpikir tentang nilai secara hierarkis, 2) dualisme nilai, yang melakukan
12
penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki melawan perempuan, manusia melawan alam), 3) logika dominasi, yaitu struktur dan cara berfikir yang cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi. Ekofeminisme juga mengkritik Ekosentrisme yang masih saja melihat Antroposentrisme sebagai sebab dari krisis lingkungan (Warren, 2000: 3-20). Krisis lingkungan bagi Ekofeminisme tidak sekadar disebabkan oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentris, tetapi juga oleh cara pandang dan perilaku yang Androsentris yaitu cara pandang dan perilaku yang mengutamakan dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam (Khatimah: 2008: 4). Hubungan antara perempuan dan alam sesungguhnya telah ada sejak zaman pra-sejarah yang salah satunya dimunculkan melalui penggambaran Ibu Alam dan Dewi Kesuburan. Berangkat dari mitos-mitos di berbagai suku, etnis maupun suatu bangsa terdapat suatu pola yang sama mengenai keterkaitan antara perempuan dan alam. Sebagian masyarakat mempercayai bahwa perempuan memiliki kedekatan dengan alam lebih dari laki-laki. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya penggambaran Tuhan yang menggambarkan sifat-sifat Perempuan dan diyakini semasa zaman pra-sejarah sebagai Ibu Alam, misalnya kepercayaan Hindu terdapat festival Devi, juga di berbagai negara-negara non-barat perempuan memainkan peranan penting dalam ritual-ritual yang berkaitan dengan alam dan ritus kesuburan (Arivia, 2014: 27). Hubungan-hubungan antara perempuan dengan alam disebut sebagai Ekofeminisme. Rosmarie Putnam Tong (2008: 242) dalam Feminist Thought sedikit banyak menuliskan sejarah berkembangnya Ekofeminisme yang disebutkan
13
bahwa Ekofeminisme adalah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Istilah Ekofeminisme muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku Françoise d'Eaubonne yang berjudul Le féminisme ou la mort. Eaubonne mengungkapkan bahwa terdapat hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam. Eaubonne mengklaim bahwa pembebasan salah satu dari perempuan maupun alam tidak dapat terjadi secara terpisah. Kurang dari satu dasawarsa Eaubonne mempopulerkan istilah itu, Karen J. Warren melakukan spesifikasi lebih jauh asumsi dasar dari Ekofeminisme. Warren mengatakan: 1) terdapat keterkaitan penting antara opresi terhadap perempuan dan alam; 2) pemahaman terhadap alam dalam keterkaitan ini sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang memadai atas opresi terhadap perempuan dan opresi terhadap alam; 3) teori dan praktik feminis harus memasukkan perspektif ekologi, serta, 4) pemecahan masalah lingkungan harus menyertakan perspektif feminis. Keterkaitan antara perempuan dengan isu-isu ekologis juga diserukan oleh Vandana Shiva (1997: 4) memandang Ekofeminisme penuh dengan dimensi spiritualitas dalam memandang alam secara feminin. Pandangan ini berbeda dengan Feminis yang berangkat pada modernisme yang berdasar pada prinsip maskulinitas. Shiva menawarkan pendekatan holistik, yakni antara prinsip feminitas dan ekologi. Shiva juga membahas keterkaitan antara pembangunan dan ilmu pengetahuan modern dengan krisis ekologi yang tengah berlangsung. Pembangunan diartikan sebagai usaha peningkatan taraf hidup semua orang, yang juga berarti menjadikan kategori-kategori ekonomi, yakni kebutuhan, produktivitas dan pertumbuhan, sebagai kategori ekonomi barat. Perempuan dirugikan karena sengaja disingkirkan
14
dari kegiatan produktif pembangunan. Hal tersebut dikarenakan pembangunan menghancurkan produktivitas perempuan karena proyek-proyek atas nama pembangunan merebut pengelolaan dan pengendalian lahan, air dan hutan dari tangan perempuan. Ilmu
pengetahuan
modern
disisi
lain
juga
dianggap
Shiva
bertanggungjawab atas krisis lingkungan yang terjadi. Ilmu pengetahuan modern sering diasumsikan sebagai sistem pengetahuan yang universal dan bebas nilai. Metode yang merujuk pada logika yang bersifat universal dan netral juga dianggap bersifat objektif terhadap alam. Shiva menentang Francis Bacon sebagai bapak pengetahuan modern yang memberikan sumbangan besar dengan mencetuskan konsep lembaga penelitian modern dan ilmu industri, namun Bacon dinilai lalai terhadap alam, perempuan serta kaum pinggirian lain (Shiva, 1997: 20-21). Pembangunan dan ilmu pengetahuan modern yang bersifat patriarki disebut sebagai penyebab terjadinya krisis lingkungan. Perempuan justru dipercaya mampu menciptakan kehidupan dan memelihara alam melalui pemeliharaan sifat-sifat feminin. Perempuan di India melakukan pekerjaan yang tidak terlihat namun mutlak diperlukan. Perempuan mengusahakan pelestarian ekologi melalui pemenuhan kebutuhan akan alam dan manusia yaitu, pemenuhan kebutuhan pangan, gizi dan air. Para perempuan di hutan bekerja menghasilkan nafkah secara diam-diam, namun pekerjaan yang tidak tampak terebut dianggap tidak penting dan disingkirkan oleh pembangunan (Shiva, 1997: 58). Ilmu pengetahuan modern, sementara itu juga turut berperan dalam tersingkirkannya kaum perempuan dalam penyediaan pangan yang berkelanjutan.
15
Perempuan dan alam dianggap sebagai penghasil pangan melalui pertanian, yang mengalir dari hutan dan ternak ke ladang-ladang pertanian alami. Pekerjaan perempuan dalam pertanian alami mencerminkan prinsip-prinsip feminin dalam menjaga rantai produksi pangan. Pemanfaatan sumber daya melalui siklus daur ulang secara internal membuat pekerjaan perempuan dalam memadukan hutan, ternak dengan pertanian dianggap mampu memproduksi secara berkelanjutan. Pergantian paradigma pertanian alami menjadi yang disebut revolusi hijau atau pertanian ilmiah mulai menggeser peran perempuan dalam penyediaan pangan. Perempuan menyediakan rantai pangan yang dapat diperbarui melalui pupuk hujau dan pakan ternak organik ke ladang, lalu digantikan dengan pertanian reduksionis yang maskulin melalui mesin-mesin yang menghasilkan bahan kimia organik (Shiva, 1997: 124). Paradigma pembangunan serta revolusi hijau yang padat air juga mengakibatkan permasalahan kekeringan dan krisis air. Kekeringan di India lebih sering diakibatkan oleh ulah manusia ketimbang bencana alam. Masyarakat India sekitar tahun 1980 berjuang untuk bertahan hidup dari krisis kelangkaan air yang timbul akibat dari cara-cara pembangunan yang merusak lingkungan. Banyak sungai-sungai yang mengering, serta gunung digunduli atau justru ditanami berlebihan demi kepentingan dan keuntungan. Hutan-hutan yang dulunya menyediakan air dan dikelola secara alami dan berkelanjutan oleh perempuan kini menggurun dan minim air. Sendi-sendi kehidupan di desa-desa dirusak melalui menghilangnya sumber air. Pekerjaan perempuan dalam memelihara kehidupan
16
salah satunya dalam menyediakan air dirampas sehingga menimbulkan beban dan kejenuhan bagi perempuan (Shiva, 1997: 226). Vandana Shiva menengaskan bahwa pengetahuan perempuan yang muncul melalui kerja-kerja yang kaitannya dengan alam, mewujudkan sebuah upaya pemeliharaan dan pelestarian keanekaragaman hayati. Pekerjaan ini jelas berbeda dengan cara-cara pelestarian melalui kerja-kerja pembangunan yang berasal dari gagasan dominasi patriarki. Shiva dan rekannya Maria Mies (2005: 193) mengatakan bahwa dalam sebagian besar kebudayaan yang ada, perempuanlah yang menjadi pelindung dan pemelihara keanekaragaman hayati. Perempuanperempuan terus memproduksi, mengembangkan kembali, mengkonsumsi serta melestarikan keanekaragaman hayati dalam bidang pertanian, sayangnya dalam masyarakat kebanyakan, segala aspek dari kerja dan pengetahuan perempuan, peranan perempuan dalam pembangunan dan pelestarian keanekaragaman hayati telah diartikan sebagai non-kerja serta non-pengetahuan.
E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Penelitian skripsi ini penelitian ini dirasa cocok menggunakan model penelitian tentang masalah aktual apabila merujuk pada buku Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat karya Kaelan (2005: 260). Objek material penelitian ini adalah seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas, sedangkan objek formal penelitian ini yaitu etika lingkungan Ekofeminisme sebagai pandangan dasar dalam
17
melihat suatu fenomena. Penelitian ini akan mencari dan memaparkan konsep etika lingkungan Ekofeminisme dalam seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas. a. Sumber Penelitian Pengambilan data yang dilakukan melalui melalui studi pustaka. Pengumpulan data meliputi data primer maupun data sekunder. 1) Pustaka Primer Sunaryadi, 2000, “Lengger: Tradisi dan Transformasi”,
i.
Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta. 2) Pustaka Sekunder Bahan sekunder merupakan bahan yang diperoleh dari karya ilmiah yang digunakan peneliti sebagai bahan pelengkap dan tambahan. Bahan didapat dari karya ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi, buku, artikel surat kabar maupun jurnal yang berhubungan dengan tema penelitian. i.
Keraf, Sonny, 2006, “Etika Lingkungan Hidup”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
ii.
Tong, Rosemarie Putnam, 2008. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, third edition, Westview Press, USA.
iii.
Shiva, Vandana, Maria Mies, 1993, Ecofeminism, Zed, London.
iv.
Shiva,
Vandana,
1997,
Bebas
dari
Pembangunan,
Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India, terj.
18
Mansour Faqih. Buku Obor, Jakarta.Griffin, Susan, 1978, Woman and Nature: The Roaring Inside Her, Harper and Row, New York. v.
Starhawk,
1990,
“Power,
Authority,
and
Mistery:
Ecofeminism and Earth-Based Spirituality,” in Reweaving the World: The Emerge of Ecofeminism, ed. Irene Diamond and Gloria Ferman Orenstein, Siera Club Books, San Fransisco. 2. Jalan Penelitian a. Tahap Inventarisasi, yaitu pengumpulan data melalui studi kepustakaan yang kaitannya dengan objek formal dan material penelitian. b. Tahap klasifikasi data, yaitu pengelompokan data primer dan sekunder. c. Tahap analisis sintesis, yaitu menganalisa data primer dan sekunder kemudian mengeliminasi data-data yang dirasa tidak diperlukan, serta melakukan sintesa sesuai dengan gagasan dalam upaya memperkuat analisa penelitian.
3. Cara Analisis Data a. Metode Verstehen Metode ini digunakan pada tahap pengumpulan data. Data dalam penelitian ini merupakan data yang terdapat berupa simbol, maka metode
19
verstehen digunakan pada taraf pemahaman simbolik. Peneliti memahami bagian atau unsur makna yang dikumpulkan dalam penelitian ini. b. Metode Interpretasi Setiap pengumpulan data, peneliti sekaligus melakukan analisis. Peneliti menggunakan metode ini untuk menunjukkan arti, mengungkapkan serta mengatakan esensi makna filosofis yang terkandung dalam data secara objektif, apabila dalam bentuk bahasa asing, maka dilakukan pengalihan makna ke bahasa Indonesia melalui parafrase. c. Metode Hermeneutika Metode ini digunakan untuk menangkap makna esensial, sesuai dengan konteksnya. Proses penangkapan makna esensial ini dilakukan pada saat pengumpulan data. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan analiss menggunakan penafsiran terhadap data, sehingga esensi makna dapat ditangkap dan dipahami.
F. Hasil yang Diharapkan Penelitian ini diharapkan mendapat hasil sebagai berikut : 1. Memperoleh deskripsi mengenai seni pertunjukan Lengger 2. Memperoleh pemahaman mengenai pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme. 3. Memaparkan analisa pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme mengenai perempuan dalam seni pertunjukan Lengger.
20
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini merupakan gambaran umum mengenai isi dari keseluruhan pembahasan, yang bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam mengikuti alur pembahasan yang terdapat dalam penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: BAB I berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakakang permasalahan, tinjaun pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang ingin dicapai dalam penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II membahas objek material penelitian yaitu seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas. Pembahasan mengenai objek material meliputi sejarah, perjalanan serta peranan dan fungsi seni pertunjukan Lengger di Banyumas. BAB III membahas mengenai objek formal yaitu mengenai etika secara umum, lingkungan hidup, serta ruang lingkup etika lingkungan beserta teori-teori etika lingkungan. Bab ini akan memaparkan teori-teori etika lingkungan Antroposentrisme, Biosentrisme, Ekosentrisme, Hak Asasi Alam dan khususnya akan membahas lebih dalam Ekofeminisme beserta aliran-alirannya sebagai objek formal penelitian. BAB IV berisi analisa pemikiran etika lingkungan Ekofeminisme mengenai perempuan dalam seni pertunjukan Lengger yang ada di Banyumas. Bab V merupakan penutup, di dalamnya memuat rangkaian penulisan penelitian yang berisikan kesimpulan dan saran.