1
Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Perkembangan teknologi, terutama media TV, ternyata tak dapat dielakkan memberi pengaruh besar tentang segala sesuatu hal yang dilakukan oleh remaja. Hal ini didukung oleh keluasan jangkauan TV ke seluruh pelosok daerah di Indonesia. Berdasarkan laporan
Departemen Penerangan Republik Indonesia
(Haqani, 2004) hingga akhir tahun 1997 jumlah pesawat TV di Indonesia tercatat kurang lebih 20 juta buah. Angkanya besar, sebesar pengaruhnya bagi pola sikap dan perilaku pada para pemirsanya. Perkembangan media TV telah banyak menimbulkan berbagai kontroversi dan disamping itu pula dukungan yang tak henti-hentinya dari para pemirsanya yang setia. Media TV berkembang dengan menampilkan program-program acara yang menarik diantaranya film dan sinetron. Film dan sinetron memang memiliki dua dimensi. Di satu sisi, ia merupakan produk budaya suatu masyarakat, artinya film dan sinetron dianggap sebagai refleksi dari budaya yang berlaku dalam masyarakat. Di sisi lain, film dan sinetron merupakan produk industri yang menekankan pada keuntungan yang sebesar-besarnya. Film dan sinetron yang murni hanya sebagai wujud kreativitas anggota masyarakat memang sudah semakin banyak tetapi tetap saja masih kurang. Akibatnya banyak yang beredar dalam masyarakat adalah film atau sinetron yang perhitungan bisnisnya sangat tinggi. Oleh karena itu, film atau sinetron yang dibuat adalah film atau sinetron sebagian besar hanya memuaskan mata penonton. Mereka menggunakan pemain yang kebanyakan perempuan sebagai daya tarik dengan berbagai tindak eksploitasi yang merugikan perempuan itu sendiri dan perempuan secara umum karena mengukuhkan stereotip yang ada. Tapi, kalangan pengusaha dan orangorang di belakang industri media massa selalu menolak dikatakan eksploitasi. Mereka berdalih bahwa itu adalah kreativitas.
2
Dalam sebuah sinetron yang menempati peringkat atas, ternyata masih terus terjadi eksploitasi tubuh dan wajah bintang yang cantik dan ganteng. Sementara dalam karakter kepribadiannya, sinetron selalu menampilkan tokoh perempuan cuma dalam dua kutub yang sangat ekstrem. Kalau tidak jahat sekali, dia baik sekali; kalau tidak penyabar luar biasa, ia pemarah dan culas luar biasa; kalau tidak pandai, ia tolol sekali. Kebanyakan tokoh utamanya harus muda dan memiliki kecantikan yang ‘diimpikan’ banyak perempuan. Perempuan tua atau perempuan dengan tubuh besar dan kurang cantik menurut ukuran yang distandarkan produser menjadi tokoh belakang yang boleh ditertawakan karena ketololannya. Selain film dan sinetron, iklan pun juga bias gender dengan menampilkan para pemeran yang cantik dan ganteng dengan slogan yang seakanakan mengedepankan penampilan fisik dimana feminimitas jika berwajah cantik dan maskulin jika memiliki bentuk tubuh yang atletis. Hal yang perlu kita perhatikan adalah bahwa dari hasil penelitian sebuah lembaga riset di Jakarta menunjukkan bahwa masyarakat telah menghabiskan waktu 2,6 jam setiap hari untuk memandang kotak “ajaib” tersebut. Kelompok pelajar yang berusia 10-19 tahun menghabiskan 3,1 jam perhari, disusul oleh ibu-ibu rumah tangga 2,8 jam sehari, dan karyawan 2,3 jam sehari (Haqani, 2004), penelitian tersebut membuktikan betapa televisi dari segi waktu memungkinkan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu, dan dari penelitian tersebut pula kita dapat melihat bahwa anak-anak dan remajalah yang merupakan kalangan yang lebih banyak meluangkan waktu untuk menonton dan juga memiliki peluang lebih besar dalam menyerap setiap informasi yang didapat dari televisi. Hurlock (1978) menyatakan bahwa pengaruh paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga.
Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam
pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya. Sedang kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak. Hal ini juga berarti
3
bahwa dari keluargalah setiap anak mendapatkan dasar akan siapa dan bagaimana dirinya kelak. Sampai saat ini, keluarga masih tetap menerapkan bagian terpenting dari jaringan sosial anak sekaligus sebagai lingkungan pertama anak selama tahuntahun formatif awal untuk memperoleh pengalaman sosial dini, yang berperan penting dalam menentukan hubungan sosial di masa depan dan juga perilakunya terhadap orang lain. Tulisan ini mencoba mengemukakan sebuah pemikiran yang terlintas atas dasar penilikan terhadap tayangan-tayangan TV yang bias gender Karya ini mencoba mengungkapkan bentuk-bentuk tayangan-tayangan TV yang bias gender dan peran kelurga dalam mengatasinya. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk tayangan TV yang bias gender? 2. Bagaimanakah peran keluarga dalam mengatasi tayangan TV yang bias gender? C. Tujuan Penulisan Berikut pemaparan tujuan penulisan karya tulis ini: 1. Untuk mengetahui seperti apakah bentuk tayangan TV yang bias gender. 2. Untuk mengetahui bagaimanakah peran keluarga dalam mengatasi tayangan TV yang bias gender. D. Manfaat Penulisan Adapun manfaat yang diharapkan
dari penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah sebagai berikut : 1. Manfaat dari segi teoritis Sebagai salah satu bahan referensi bagi para pelaku aktif dalam dunia pertelevisian agar dapat lebih meningkatkan tayangan-tayangan yang
4
berkualitas dan sifatnya membangun kematangan sikap para pemirsanya terkhususnya dalam memandang kesetaraan gender. 2. Manfaat Praktis a.
Pemerintah, agar senantiasa memberi dukungan moril dan materil dalam pengembangan tayangan yang memberi dampak positif bagi para pemirsa
b.
Masyarakat, sebagai masukan bahwa betapa perlunya pendampingan yang lebih intens dan berkualitas terhadap anggota keluarga dalam menyaksikan tayangan televisi.
c.
Universitas, sebagai bahan penelitian selanjutnya, dalam rangka pengembangan tema ini.
d.
Penulis, meningkatkan kekritisan dalam berfikir dan mengolah masalah di sekitar lingkungan dan sebagai sebuah latihan yang tiada akhir dalam penulisan karya ilmiah
5
Bab II Kajian Pustaka A. Pengertian Keluarga Akibat struktur dan peran yang dipunyai oleh para anggotanya sangat bervariasi dari suatu masyarakat ke masyarakat lain, sehingga istilah keluarga tidak mudah didefinisikan.
Keluarga didefinisikan oleh Irwan Abdullah
(Hapsari, 2007) sebagai susunan dari orang-orang yang saling berhubungan darah atau berkawin, meskipun tidak selalu. Saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, dan bahkan emosi. Secara tradisional, keluarga diartikan sebagai dua atau lebih orang
yang dihubungkan dengan pertalian darah,
perkawinan atau adopsi (hukum) yang memiliki tempat tinggal bersama (Wahini, 2005). Sedang Morgan (Wahini, 2005) menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu grup sosial primer yang didasarkan pada ikatan perkawinan (hubungan suami-istri) dan ikatan kekerabatan (hubungan antar generasi, orang tua – anak) sekaligus. Namun secara dinamis individu yang membentuk sebuah keluarga dapat digambarkan sebagai anggota dari grup masyarakat yang paling dasar yang tinggal bersama dan berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan individu maupun antar individu mereka. Bila ditinjau berdasarkan Undang-undang no.10 tahun 1972, keluarga terdiri atas ayah, ibu dan anak karena ikatan darah maupun hukum. Hal ini sejalan dengan pemahaman keluarga di negara barat, keluarga mengacu pada sekelompok individu yang berhubungan darah dan adopsi yang diturunkan dari nenek moyang yang sama (Wahini, 2005). Zanden (Wahini, 2005) mengemukakan bahwa keluarga dalam hubungannya dengan anak diidentikan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, efektif dan ekonomis.
Di
6
dalam keluargalah kali pertama anak-anak mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, sosial, mental, emosional dan spritual. Zanden (Wahini, 2005) menyatakan bahwa ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain, oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat) selain faktor genetik. Megawangi
(1999) menjelaskan bahwa ada tiga elemen utama dalam
struktur internal keluarga, yaitu 1) Status sosial, dimana dalam keluarga nuklir distrukturkan oleh tiga struktur utama, yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anakanak. Sehingga keberadaan status sosial menjadi penting karena dapat memberikan identitas kepada individu serta memberikan rasa memiliki, karena ia merupakan bagian dari sistem tersebut, 2) Peran sosial, yang menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya dan 3) Norma sosial, yaitu standar tingkah laku berupa sebuah peraturan yang menggambarkan sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial. B. Fungsi Keluarga Suprihatin (Wahini, 2005) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah bertanggung jawab dalam menjaga dan menumbuh kembangkan anggotaanggotanya. Pemenuhan kebutuhan para anggota sangat penting, agar mereka dapat mempertahankan kehidupannya, yang berupa: 1.
Pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial,
2.
Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal dalam rangka mengembangakan intelektual, sosial, mental, emosional dan spritual.
7
Satoto (Wahini, 2005) mengemukakan bahwa apabila kebutuhan dasar anggota keluarga dapat dipenuhi, maka kesempatan untuk berkembang lebih luas lagi dapat diwujudkan, yang akan memberikan kesempatan individu maupun keluarga mampu merealisasikan diri lebih luas lagi dalam berbagai aspek kehidupan mereka, misal aspek budaya, intelektual dan aspek sosial. Adapun kebutuhan manusia tersebut terbagi ke dalam: 1.
Kebutuhan makan, minum dan seks.
2.
Kebutuhan akan rasa aman,
3.
Kebutuhan kasih sayang,
4.
Kebutuhan akan penghargaan
5.
Kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan potensi diri sendiri dan aktualisasi diri. Bila ditinjau berdasarkan Peraturan Pemerintah RI no 21 tahun 1994
mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu: 1
Fungsi Keagamaan Dalam keluarga dan anggotanya fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2
Fungsi Sosial Budaya Fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan, sehingga dalam hal ini diharapkan ayah dan ibu untuk dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi, kebudayaan dan sistem nilai moral kepada anaknya.
3
Fungsi Cinta kasih
8
Hal ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Cinta menjadi pengarah dari perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang bijaksana. 4
Fungsi Melindungi Fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga.
5 Fungsi Reproduksi Fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa. 6
Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan Fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang.
7
Fungsi Ekonomi Fungsi keluarga sebagai unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga.
8
Fungsi Pembinaan Lingkungan Memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
C. Pengertian Televisi Televisi merupakan media komunikasi, entah sebagai benda material maupun sebagai tontonan (Spectacle). Sebagai benda material, televisi merupakan komoditas atau objek konsumsi; sebagai tontonan, televisi adalah gugusangugusan ikon dan simbol, citra-citra audiovisual yang bermakna. Julukan televisi
9
ada beberapa macam yakni : alat elektronik, jendela dunia (window of the world), dan kotak dungu (Stupid box) serta kotak ajaib (Miracle box) (Budiman, 2002). Budiasih (2005) mengemukakan bahwa televisi memang memiliki kelebihan yang tidak dapat dipungkiri , televisi adalah benda yang unik. Ia menyatukan kelebihan koran dan radio, bisa dilihat dan didengar. Di Televisi, semua sajian menjadi nyata dan hidup. Tidaklah mengherankan jika pengaruhnya sangat dahsyat. Pada Dasawarsa 1930-an televisi mulanya hanya berbentuk layar kecil sekitar empat inci dan mengharuskan orang yang muncul di layar memakai baju mencolok agar menghasilkan gambar yang kontras. Pada 1932, stasiun televisi percobaan dibuat di Amerika, tapi baru empat tahun kemudian, stasiun ini memulai siaran. Sebelum Perang Dunia II, sejumlah orang di New York telah memiliki televisi penerima. Sayangnya, permulaan yang ajaib ini harus terlambat karena Jepang menyerang Pearl Harbour pada tahun 1941. Perhatian orang lebih tertuju pada pertahanan Negara (Budiasih, 2005) Pada tahun 1945, ketika Indonesia merdeka, di Amerika adalah masa transisi sesudah perang. Saat itu dibuat kembali siaran untuk masyarakat umum.. Pada masa itu ternyata stasiun televisi cepat diterima masyarakat sebagaimana mereka cepat membangun puingpuing perang . Televisi dengan ukuran layar sekitar satu halaman folio disebut ukuran big screen dengan harga setengah harga dari mobil baru. Itulah sebabnya, televisi juga menjadi simbol status. Hanya orang elitlah yang memiliki. Pada 1950-an, televisi telah meluas diseluruh Amerika sehingga masyarakat waktu itu disebut generasi televisi. Sepuluh tahun kemudian, sembilan puluh persen warga Amerika telah memiliki televisi. Rata-rata mereka menontonnya selama lima jam/ hari (Budiasih, 2005). Di indonesia, televisi menjadi keajaiban yang nyata. ketika pada 1962 lahir Televisi Republik Indonesia (TVRI). Barulah di akhir 1980-an, muncul stasiun telervisi swasta. Hingga 1998 (Sebelum krisis moneter) delapan puluh persen masyarakat Indonesia sudah menonton televisi. Sejak dikeluarkannya SK Menteri Penerangan No.111 Thn. 1990, industri dan bisnis berubah menjadi demikian
10
maraknya. Awalnya adalah tahun 1987/1988 ketika RCTI diizinkan siaran untuk pertama kalinya dengan menggunakan dekoder (decoder), yang kemudian diikuti oleh SCTV (1989), TPI (1991), AN-teve (1993), dan Indosiar (1994) (Siregar, 2001). D. Bentuk-bentuk Bias Gender dalam Tayangan Televisi Perkembangan media TV telah banyak menimbulkan berbagai kontroversi dan disamping itu pula dukungan yang tak henti – hentinya dari para pemirsanya yang setia. Media TV berkembang dengan menampilkan program-program acara yang menarik diantaranya film dan sinetron. Film dan sinetron memang memiliki dua dimensi. Di satu sisi, ia merupakan produk budaya suatu masyarakat, artinya film dan sinetron dianggap sebagai refleksi dari budaya yang berlaku dalam masyarakat. Di sisi lain, film dan sinetron merupakan produk industri yang menekankan pada keuntungan yang sebesar-besarnya. Adapun beberapa bentuk bias gender pada tayangan televises yaitu sebagai berikut: 1. Stereotipe gender dalam sinetron Hanifah (2006) mendefinisikan stereotipe sebagai suatu pelabelan negatif yang diberikan masyarakat kepada jenis kelamin tertentu, umumnya terhadap perempuan. Sebagai contoh, masyarakat menganggap laki-laki itu rasional, kuat, aktif, pasif, dsb. Sebaliknya, perempuan itu emosional, penakut, pasif, dsb. Stereotipe itu kemudian menjadi dasar untuk membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dianggap tidak pantas menjadi pemimpin karena dalam mengambil keputusan lebih mengandalkan perasaan daripada rasio. De Vito (Badri, 2006) menyatakan bahwa setiap individu mempunyai stereotipe atitudinal yaitu tentang kelompok bangsa, kelompok agama, kelompok ras, atau barangkali tentang kaum penjahat, kaum tuna susila, guru, atau tukang pipa. Jika individu memiliki kesan melekat ini, individu seringkali, bila berjumpa dengan salah seorang anggota kelompok tadi, melihat orang itu terutama sebagai anggota kelompok tersebut. Sebagai
11
permulaan, ini mungkin memberikan orientasi yang membantu. Tetapi, ini dapat menimbulkan masalah bila individu kemudian menganggap semua karakteristik yang melekat pada kelompok itu berlaku juga untuk orang itu tanpa menyadari bahwa setiap orang adalah pribadi yang khas. Stereotipe negatif sangat terlihat dalam perfilman di Indonesia. Karena kebanyakan tayangan tersebut merupakan pengabdian atau reproduksi dari penstereotipan kaum pria terhadap peran tradisional kaum wanita. Pria dan wanita digambarkan sebagai sesuatu yang mempunyai kegiatan yang berbeda dan memutuskan hal-hal yang berbeda pula. Wanita digambarkan sebagai manusia yang selalu peduli dengan rumah tangga dan penampilan fisik mereka, sementara kepedulian pria adalah pekerjaan, bisnis, dan sebagainya. Bahkan dalam beberapa sinema perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang jahat, bengis dan jauh dari kelembutan. Badri (2006) mengemukakan bahwa belakangan ini muncul stereotipe wanita dalam sinetron sebagai mahluk yang judes dan sadis terutama pada tayangan-tayangan yang menunjukkan hedonisme. Stereotipe tersebut dapat di lihat dalam hampir semua sinetron yang mempunyai jam tayang utama. Mulai seorang ibu yang jahat terhadap anaknya hingga remaja perempuan yang egois, judes dan licik. Bahkan peran pembantu perempuan yang dulunya banyak digambarkan sebagai perempuan penurut terhadap majikan, kini banyak digambarkan sebagai perempuan yang licik, jahat, bersekongkol dengan majikan untuk menyakiti perempuan lain. Menurut Badri (2006) bentuk komunikasi verbal dan nonverbal yang dihadirkan sinetron semakin mempertegas stereotipe ini., Dalam berbagai sinetron, cerita-cerita disajikan dalam kerangka besar yang sama; tentang cinta dan persoalan keluarga, dengan plot yang berliku-liku. Para tokoh dalam sinetron dianggap mewakili impian kaum perempuan terutama para ibu rumah tangga karena mereka selalu ditampilkan dalam keadaan cantik, dengan busana yang indah-indah, dalam rumah-rumah yang megah. Artinya, ketertarikan terhadap sinetron disebabkan karena konstruksi-konstruksi atas
12
citra perempuan yang ditampilkan, yaitu cantik, kaya dan hidup bahagia. Dari melodrama ini para penonton belajar bahwa kecantikan feminin bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan bisa diraih. Pada akhirnya, dengan konstruksi yang diciptakan tersebut, perempuan justru menemukan ruang untuk melihat feminitas sebagai sebentuk identitas yang terus berubah (shifting identity), bisa dilekatkan dan dilepaskan kapan saja mereka menginginkannya. Perempuan, melalui penampilan mewah sinetron juga mendapatkan kesempatan untuk merasakan aktivitas dan kompetensi konsumsi yang eksklusif. Kemudian Badri (2006) menambahkan bahwa pada beberapa kasus, terlihat kecenderungan bahwa ada efek sinetron yang ditampilkan secara berlebihan untuk lebih bisa memancing emosi para penonton (misalnya adegan sadis dan kejam yang dilakukan oleh ibu mertua kepada menantu perempuannya). Adegan-adegan ini ditampilkan dengan asumsi bahwa perempuan—yang dilekatkan dengan stereotip emosional—suka dengan adegan-adegan yang melankolis. Tema seksualitas perempuan menurut Badri (2006) juga bukan hal baru di dalam dunia film. Kisah pelacuran dan perdagangan perempuan sebenarnya sudah muncul dalam perfilman Indonesia sejak beberapa dekade lalu. Namun kini hal itu justru menjadi suatu ikon satu paket dengan berbagai sifat buruk perempuan yang muncul di layar kaca. Pilihan seksualitas telah lama menjadi kajian para pemikir karena seksualitas berhubungan dengan identitas individu dan bagaimana masyarakat menerima anggotanya. Masyarakat cenderung menundukkan anggotanya agar patuh pada norma-norma yang terbentuk di masyarakat melalui sanksi sosial yang berhubungan dengan suatu tindakan anggota masyarakat yang dipandang menyimpang dari yang umum. Seksualitas remaja perempuan sebagai akibat dari konstruksi budaya modern telah
memunculkan
beragam
pandangan,
terutama
terhadap
remaja
perempuan ibu kota. Tapi dalam beberapa sinetron, hal ini sepertinya
13
merupakan sesuatu yang lumrah. Lagi-lagi kebanyakan perempuan tetap menjadi korban, sebagai pihak yang hamil, dan kemudian menerima berbagai konsekuensi dari konstruksi sosial yang dibangun berdasarkan liberalisme kehidupan maka kini. Dalam kajian budaya, seks dan gender dilihat sebagai konstruksikonstruksi sosial yang secara intrinsik terimplikasi dalam persoalan-persoalan representasi. Seks dan gender lebih merupakan persoalan kultural ketimbang alam. Meski ada juga pemikiran feminis yang menekankan pada perbedaan esensial antara laki-laki dan perempuan, kajian budaya cenderung mengeksplorasi gagasan tentang karakter identitas seksual yang spesifik secara historis, tidak stabil, plastis dan bisa berubah. Tapi bukan berarti kita bisa dengan gampang membuang identitas seksual kita dan menggantinya dengan yang lain, karena meskipun seks adalah suatu konstruksi sosial, ia adalah konstruksi sosial yang mengkonstitusi kita melalui tekanan-tekanan kekuasaan dan identifikasi-identifikasi dalam psikis kita. Dengan kata lain, konstruksi sosial adalah sesuatu yang diregulasi dan memiliki konsekuensi (www.kunci.or,id, 2005). Tayangan televisi pada jam malam, maka akan terlihat sekali betapa eksploitasi tubuh perempuan masih menjadi komoditas penting dalam perfilman kita. Namun belakangan ini dikemas dalam bentuk komedi sebagai kedok atas seksualitas yang ditonjolkan. Melihat tayangan-tayangan tersebut sebenarnya penonton tidak diajak untuk tertawa, melainkan bagaimana menikmati tubuh perempuan-perempuan yang menjadi pemeran dalam sinetron tersebut. Alih-alih ingin membuat penonton tertawa, tetapi justru membuat jantung penonton (laki-laki) mungkin berdebar-debar menyaksikan komersialisasi tubuh dalam tayangan tersebut. Belakangan ini seiring dengan membludaknya sinetron-sinetron mistik di televisi, lagi-lagi perempuan menjadi ikon negatif dalam tayangan mistik. Maka muncullah stereotipe bahwa kebanyakan mahluk-mahluk halus jahat seperti jin dan setan
14
kebanyakan berjenis kelamin perempuan. Mitos Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong sebagai sosok “perempuan” dari alam gaib yang sudah terpatri di benak masyarakat Indonesia (Jawa) sejak berabad-abad silam sepertinya mendasari munculnya siluman perempuan baru belakangan ini. Maka muncullah stereotipe bahwa perempuan selain judes, jahat, cerewet, licik, ngeseks, buka-bukakan, juga sebagai makhluk yang gila pujaan. Di sini pujaan digambarkan secara lebih ekstrem dalam tayangan mistik, karena lebih kepada
pujaan
berupa
materi
atau
persembahan.
Ini adalah realitas, dan sudah menjadi sebuah stereotipe di kalangan penggemar sinetron. Stereotipe perempuan yang jelas (yang dibuat laki-laki) menjadikan tayangan perempuan dalam sinetron yang ditampilkan sekarang inipun bisa dikatakan belum mendidik masyarakat dan belum bisa menjadi tuntunan. Pasalnya, perempuan dalam sinetron masih menjadi objek dan lakilakilah yang kemudian mengkonstruksinya menjadi stereotype 2. Diskriminasi Gender dalam Sinetron Aripurnami (Badri, 2006) memaparkan bahwa dari kajian yang pernah ada tentang film-film yang diproduksi pada masa sebelum tahun 1970-an tampaknya peran perempuan digambarkan hanya sebagai pelengkap dalam keseluruhan cerita. Kalaupun peran perempuan menjadi peran utama, peran itu berkaitan dengan pandangan bahwa posisi perempuan ada di lingkup domestik, sebagai ibu, istri, kekasih atau anak perempuan yang penurut. Sebaliknya, pada laki-laki peran yang ditampilkan selalu berkaitan dengan aktivitas di lingkup publik, pengambil dan penghasil keputusan yang masuk akal. Kelas sosial menyebabkan perbedaan masalah dan strategi perempuan menghadapi hidup. Meskipun perempuan kelas menengah juga mengalami subordinasi dari laki-laki pada kelas sosial yang sama, perempuan kelas sosial yang lebih bawah bisa mengalami subordinasi dari perempuan kelas sosial yang lebih tinggi dan laki-laki dari kelas sosial yang sama dengan dia. Contoh paling dekat adalah para pekerja rumah tangga.
15
Badri (2006) berpendapat meskipun hampir setiap sinetron menyatakan bahwa kisah yang disajikan hanyalah fiksi belaka. Tapi tak terlalu sulit kiranya bagi penonton untuk melihat bahwa konflik yang diangkat dalam cerita tersebut, disadari atau tidak, banyak bersumber pada berbagai peristiwa konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Seperti, perceraian, pelecehan seksual, jatuh cinta, hingga pembunuhan, manipulasi dan korupsi, ketidakadilan dalam sistem hukum, penindasan kelas buruh dan sebagainya. Dipandang dari sisi lain menurut Badri (2006) persoalan-persoalan konkrit di masyarakat memang tetap menyelinap dalam jalinan cerita-cerita sinetron. Tak perduli dengan tujuan sang penulis skenario, misalnya, yang secara sadar hendak menciptakan karya fiksi. Namun sinetron bukan semata-mata cermin dari persoalan tersebut. Sinetron bukan pula merupakan realitas kedua setelah apa yang disebut dengan realitas pertama, yakni peristiwa di masyarakat itu sendiri, berlangsung. Sebaliknya, persinggungan jalinan kisah sinetron dengan peristiwa konkrit kehidupan sehari-hari, membuka jalan yang lebih lebar bagi sosialisasi nilai-nilai dominan. Menjadi jelaslah bahwa sinetron bukan bagian dari realitas masyarakat itu sendiri. Yakni ketika kita sadari bahwa langsung atau tidak langsung, sinetron telah ikut membentuk pola pikir masyarakat. Berbagai citra ideal tentang sosok perempuan – bertanggung jawab dalam urusan domestik, pengutamaan sifat keibuan, tawakal dan pasrah pada keadaan, hingga mengakui keunggulan laki-laki sebagai kodrat – seperti diusung oleh alur cerita sinetron tersebut, merupakan turunan dari nilai-nilai patriarki yang mau mengatakan bahwa pada dasarnya dunia ini adalah milik laki-laki. Lalu kenapa perempuan kabanyakan menjadi tokoh utama dalam sinetron Indonesia? Kesan selintas disebutkan bahwa peminat terbanyak sinetron Indonesia adalah perempuan. Walaupun kisah dalam sinetron adalah rekaan atau fiktif, namun hal itu mencerminkan serpihan-serpihan gambaran sebuah realitas hidup. Untuk memperoleh citra utuh sebuah realitas, maka tugas penonton untuk menyatukan serpihan tersebut. Persoalannya, tidak
16
semua penonton mempunyai bakat khusus menyatukan berbagai serpihan tadi. Menurut Badri (2006) sejumlah sinetron kerap menampilkan perempuan sebagai sosok yang bermakna negatif. Dari kebanyakan sinetron, perempuan memang tampil sebagai profil yang buruk: perempuan penggoda, istri yang merangsang suaminya untuk korupsi, remaja puteri yang menjadi perek (perempuan eksperimen) karena broken home, mertua nyinyir yang membuat menantunya menderita, ibu kandung cerewet yang membuat anaknya menjadi beradalan di luar rumah, dan seterusnya. Tetapi itulah kenyataan sinetron kita dalam menggambarkan perempuan, selalu saja terlunta-lunta, tidak berdaya dan dipermainkan nasib. Seolah perempuan Indonesia ini begitu bodoh, tidak mampu berbuat apapun dan kemudian ‘diperparah’ dengan haus harta (yang digambarkan dengan perebutan). Itulah gambaran buram perempuan dalam sinetron, termasuk yang bernuansa relijius sekalipun. Karena perempuan selalu digambarkan stereotipe dan dalam nuansa ekstrim baik kanan (untuk menggambarkan perempuan hebat namun kebablasan dalam bersikap baik kepada laki-laki ataupun pada perempuan) atau kiri (perempuan yang bodoh, naif dan sangat tidak berdaya). 3. Ketimpangan Gender dalam Sinetron Suhendar (2004) berpendapat bahwa dalam keseharian, seringkali gender dan seks dimaknai oleh sebagian orang sebagai hal yang sama. Padahal, sesungguhnya keduanya adalah hal yang berbeda. Gender lebih mengacu pada identitas kultural yang melekat pada satu jenis kelamin tertentu. Sedangkan seks lebih mengacu pada identitas jenis kelamin secara biologis Menurut Suhendar (2004) orang yang berjenis kelamin, secara biologis memiliki konsekuensi kodrati. Contohnya, orang disebut perempuan karena akan memikul konsekuensi kodrati dari jenis kelamin yang disandangnya. Seorang perempuan mau tidak mau akan menjalankan fungsi-fungsi seks yang tidak dijalankan oleh laki-laki, seperti melahirkan, menyusui, dan berbagai aktivitas
17
keperempuanannya yang bersifat alamiah. Perbedaan jenis kelamin secara biologis seringkali membuat salah satu pihak diperlakukan tidak adil dalam ruang sosial. Perempuan dengan berbagai aspek-aspek kodratinya selalu diposisikan dalam ruang privat atau ranah domestik. Sedangkan lelaki diposisikan dalam ruang publik. Program televisi yang turut menghadirkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terlihat sekali dalam produk sinema sinetron. Sebuah penelitian sederhana dengan cara mengamati produk sinetron yang diproduksi production house ternama pada tahun 2000 mencatat sekitar 85 persen memojokkan perempuan. Dalam kebanyakan sinetron lebih banyak memberi gambaran perempuan yang hanya berkutat di dapur, kasur, dan ruang keluarga. Aktivitas, karir, dan prestasi perempuan hanya ada di awal cerita – itu pun kalau ada – selebihnya perempuan berkutat dengan berbagai kesedihan hidup yang akhirnya jatuh kepangkuan laki-laki yang diposisikan sebagai ‘dewa penyelamat’. Ini jelas tidak adil. Harus ada keberanian dari para sineas dan pengelola televisi untuk membalikkan ketidakadilan tersebut. Kendati orang tahu bahwa sinetron bukan realitas masyarakat Indonesia sehari-hari. Namun sinetron adalah realitas jiwa dan khayalan masyarakat Indonesia umumnya yang suka bermimpi untuk melarikan diri dari penderitaan dan kemiskinan (kerjabudaya, 2003). Bias gender menurut Badri (2006) justru kerap kali hadir di sejumlah tayangan TV. Dalam tayangan sinetron, umumnya kehidupan perempuan "dipotret" hanya sebatas pada peran-peran domestik (rumah tangga) atau individu yang tidak lebih pintar dari laki-laki, yang posisinya hanya menjadi pelayan laki-laki, serta berbagai stereotip yang mengarahkan bahwa perempuan adalah jenis kelamin yang tidak qualifide untuk masuk dalam ruang publik. Sinetron-sinetron yang ada jarang yang menampilkan perempuan sebagai sosok pengambil keputusan dalam berbagai kebijakan publik, perempuan masih dianggap sebagai peran pembantu dalam kehidupan
18
publik. Misalnya, dalam sebuah sinetron seorang perempuan seringkali ditampilkan sebagai sekretaris dan jarang yang ditampilkan sebagai direktris atau pemimpin sebuah lembaga publik. Aripurnami (Badri, 2006) menyatakan bahwa persolan seperti ini adalah seolah-olah pandangan mengenai perempuan hanya satu dan itu dibayangkan berlaku tunggal. Sementara dalam kenyataan sehari-hari kita bisa lihat bahwa gambaran tentang perempuan amat beragam dan terkait dalam lingkup yang lebih luas. Dalam kenyataanya, sering ditemui perempuan yang terlibat dalam pasar kerja, sebaliknya kita juga dapat melihat bahwa laki-laki tidak hanya melakukan pekerjaan di lingkup publik.
19
Bab III Metode Penulisan A. Jenis Tulisan Tulisan ini bersifat kajian pustaka (library research). Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif sehingga menunjukan suatu kajian ilmiah yang dapat dikembangkan dan diterapkan lebih lanjut. B. Obyek Tulisan Objek dalam penulisan karya ilmiah ini adalah peranan keluarga dalam mengatasi informasi yang bias gender pada tayangan televisi. Hal ini menyangkut peranan keluarga dalam mensosialisasikan kesetaraan gender dalam keluarga sekaligus mengatasi informasi yang bias gender pada televisi yang diterima oleh anggota keluarga khususnya anak dan remaja. C. Pungumpulan Data Data-data yang dipaparkan dalam tulisan ini diperoleh dari literatur yang relevan. Pengambilan data dilakukan dengan cara mengumpulkan literatur sebanyak-banyaknya dan disadur bagian-bagian yang relevan dengan topik yang sedang dibahas. D. Prosedur Untuk memepermudah pemahaman terhadap masalah yang dikaji, maka dalam tulisan ini dibagi menjadi dua sub pokok bahasan, yaitu 1. Peranan keluarga dalam proses sosialisasi kesetaran gender 2. Peranan keluarga dalam mengatasi informasi bias gender pada tayangan televisi.
20
Bab IV Pembahasan A. Peranan Keluarga dalam Proses Sosialisasi Kesetaran Gender Pembedaan antara pria dan wanita tampak jelas dimulai dari keluarga. Pada lingkungan keluarga inilah yang merupakan tempat sosialisasi pertama dan pembentukan pola pikir seorang pria dan wanita dalam mengenali perannya masing-masing. Sebagaimana telah dijelaskan pada halaman sebelumnya, bahwa menurut Megawangi (1999) ada tiga elemen struktur internal keluarga, yang salah satunya mengacu pada fungsi sosial. Dalam hal ini, digambarkan oleh peran dari masing-masing individu atau kelompok berdasar status sosial dalam suatu sistem sosial (misal anak, ayah dan ibu). Artinya, setiap status sosial tertentu harapannya dalam interaksi dengan individu/kelompok akan ada fungsi dan peran, yang didasarkan bukan pada ciri pribadi individu melainkan karena status sosial yang dipegangnya. Semisal saja, anak mempunyai kewajiban untuk menghormati dan patuh pada orangtua dan sebaliknya orangtua berkewajiban juga memberikan cinta, perhatian dan kasih sayang pada anaknya. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis Parson & Bales (Megawangi, 1999), bahwa orangtua mempunyai dua peran, yaitu 1) Instrumental, yang dilakukan oleh bapak/suami dan 2) peran emosional/ekspresif, yang biasanya disandang oleh seorang ibu/istri.
Kedua peran tersebut dijalankan oleh keluarga yang juga
merupakan intsitusi dasar (fundamental unit of society) dalam rangka membentuk individu bertanggung jawab, mandiri, kreatif dan hormat melalui proses sosialisasi terus menerus kepada anak-anaknya. Sedang bila dilihat menurut fungsinya, keluarga salah satunya berperan dalam melaksanakan proses sosialisasi.
Zanden (Wahini, 2005) menyatakan
bahwa fungsi keluarga adalah sebagai wahana terjadinya sosialisasi antara individu dengan warga yang lebih besar. Sama halnya dengan yang tertuang
21
dalam Peraturan Pemerintah RI no.21 tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, salah satu fungsi dari delapan yang ada adalah sosialisasi dan pendidikan, yaitu fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya dimasa yang akan datang. Cara yang dapat dilakukan keluarga dalam proses sosialisasi adalah sebagai berikut: Pertama, pengkondisian/pelaziman. Karena kita tahu dan tidak dapat disangkal lagi bahwa anak ialah manusia yang pasif sepenuhnya dalam sosialisasi, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan sebagian besar sikap dan tingkah lakunya dilakukan sebenarnya melalui proses ini, yang diciptakan oleh orangtua atau anggota keluarga lain yang telah dewasa dengan pemberian mekanisme hukuman atau imbalan dalam hal ini setiap perilaku yang mengarah kepada peran gender tertentu misalnya bermain dengan boneka atau senjata mainan tidak memerlukan hukuman melainkan imbalan dan itu dilakukan dengan adil atau dtidak memihak pada salah satu permainan yang melambangkan peran gender tertentu, hukuman pun dapt diberikan tapi bukan karena anak mengarah pada satu peran jenis kelamin tertentu tetapi dihukum jika melakukan hal yang salah misalnya jika anak mencuri dan sebagainya. Kedua, pemodelan (pengimitasian dan pengindentifikasian).
Cara imitasi
biasanya berlangsung dalam waktu singkat untuk sekedar meniru aspek luar dari tokoh/model yang diidealkannya. Sebaliknya, jika anak menginginkan dirinya sama (identik) dengan tokoh idolanya maka peniruan akan terjadi lebih mendalam karena tidak hanya peniruan tingkah laku tapi juga totalitas dari tokoh atau model tersebut (identifikasi) sehingga di sini orangtua (keluarga) perlu memberi contoh perilaku yang baik bagi anaknya. Peran kedua orang tua atau keluarga yang berbeda jenis kelamin sangat penting pada proses ini dikarenakan jangan sampai ada pihak jenis kelamin yang dominant dan penghargaan akan peran masing-masing jenis kelamin dalam anggota keluarga yang lebih tua juga harus ditunjukkan.
22
Dan ketiga, internalisasi yaitu cara yang mempersyaratkan anak (dengan sukarela) untuk menyadari bahwa sesuatu hal, seperti norma, nilai dan tingkah laku memiliki makna tertentu yang berharga bagi dirinya atau bagi masyarakat kelak untuk dijadikan panutan, pedoman atau tindakan yang lama kelamaan hal tersebut akan menjadi bagian dari kepribadiannya, semisal anak dicontohkan dengan perbuatan-perbuatn yang dilarang agama atau yang tidak diharapkan masyarakat pada umumnya contohnya perilaku seks yang menyimpang dan lainlain. B. Peranan Keluarga dalam Mengatasi Informasi Bias Gender Pada Tayangan Televisi. Anak
sebagai
bagian
anggota
keluarga
dalam
pertumbuhan
dan
perkembangannya tidak akan terlepas dari lingkungan dimana dia dirawat/diasuh atau awal diperolehnya pengalaman belajar bagi seorang anak.
Dalam
keluargalah kali pertama anak berinteraksi terutama dengan ibunya setelah anak dilahirkan dan melalui kegiatan menyusui.
Hubungan ini akan berkembang
sesuai tahapan usia anak. Dari sinilah anak akan dan selalu berusaha untuk menyesuaikan diri melalui pengalaman belajar agar diterima di lingkungan sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat; dengan syarat punya kesempatan untuk berhubungan dengan orang lain (sosialisasi), mampu berkomunikasi dan berbicara yang dapat diterima (dimengerti) orang lain dan memiliki motivasi belajar yang menyenangkan. Untuk hal ini diperlukan suatu dukungan orang lain, karena pengalaman sosial dini kali pertama diperoleh di dalam rumah maka keluargalah yang paling tepat menentukan terjadinya proses sosialisasi pada anak. Karena keluarga berfungsi untuk menjaga dan menumbuh-kembangkan anggotanya, maka diperlukan orangtua yang bijaksana, sebab sikap orangtua akan mempengaruhi cara mereka memperlakukan anak dan mempengaruhi perilaku anak. Pada dasarnya hubungannya orangtua-anak tergantung pada sikap
23
orangtua, dimana hal ini juga diperoleh melalui pengalaman belajar sebelumnya dari orangtua mereka (Hurlock, 1978). Jika dikaitkan dengan bagaimana mengatasi arus informasi yang bias gender yang berasal dari televisi maka ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu: 1.
Proses sosialisasi kesetaran gender yang konsisten. Proses
sosialisasi
kesetaraan
gender
dalam
keluarga
haruslah
berlangsung dengan baik dan menjadi satu konsep yang konsisten serta telah menjadi bagian dari setiap anggota keluarga sehingga ketika informasi bias gender yang mereka dapatkan dari televisi tidak mudah mengubah pemikiran mereka. 2.
Pelaksanaan fungsi keluarga dengan baik Peraturan Pemerintah RI no 21 tahun 1994 mengenai penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, telah dirumuskan delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu: a. Fungsi Keagamaan Dalam keluarga dan anggotanya fungsi ini perlu didorong dan dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan agamis yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Fungsi keagaamn juga memandang bahwa setiap orang sama dihadapan Tuhan, baik status maupun jenis keelamin, yang membedakan adalah keimanan seseorang. b. Fungsi Sosial Budaya Fungsi ini memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam satu kesatuan, sehingga dalam hal ini diharapkan ayah dan ibu untuk dapat mengajarkan dan meneruskan tradisi, kebudayaan dan sistem nilai moral kepada anaknya. Hal tersebut juga
24
berarti mengambil hal-hal positif mengenai peran gender dalam setiap kebudayaan dan meninggalkan yang kurang baik. c. Fungsi Cinta kasih Hal ini berguna untuk memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya serta hubungan kekerabatan antar generasi, sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh cinta kasih lahir dan batin. Cinta menjadi pengarah dari perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang bijaksana. Hal ini terwujud dari sikap saling menghargai peran masing-masing. d
Fungsi Melindungi Fungsi ini dimaksudkan untuk menambahkan rasa aman dan kehangatan pada setiap anggota keluarga dengan menciptakan keadilan serta kenyamanan tidak hanya pada anggota keluarga jenis kelamin tertentu.
e Fungsi Reproduksi Fungsi yang merupakan mekanisme untuk melanjutkan keturunan yang direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia yang penuh iman dan takwa. Hal tersebut juga berarti apapun jenis kelamin anak yang dikandung tetap diterima dengan penuh rasa syukur. f
Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan Fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya di masa yang akan datang. Hal ini juga berarti menanamkan peran masingmasing tidak karena dominan atau tidak melainkan memperkenalkan peran masing-masing jenis kelamin dengan seimbang. Serta memberikan pendampingan dan juga bimbingan bahkan pengontrolan ketika menonton televisi.
25
g
Fungsi Ekonomi Fungsi keluarga sebagai unsur pendukung kemandirian dan ketahanan keluarga. Hal ini juga berarti setiap anggota keluarga apaun jenis kelaminnya turut berperan dalam perekonomian keluarga.
h
Fungsi Pembinaan Lingkungan Memberikan kepada setiap keluarga kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, seimbang sesuai dengan daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis. Hal ini juga berarti memandang bahwa setiap jenis kelamin melaksanakan perannya sesuai dengan perannya tidak berdasarkan jenis kelamin tapi berdasarkan kompetensi.
26
Bab V Penutup A. Kesimpulan Keluarga sebagai wahana utama dan pertama terjadinya sosialisasi pada anak. Karena pertama, anak kali pertama berinteraksi dengan ibunya (dan anggota keluarga lain); kedua pengalaman dini belajar anak (terutama sikap sosial) awal mula diperoleh di dalam rumah dan ketiga, keluarga sesuai peran dan fungsinya diidentikan sebagai tempat pengasuhan yang didalamnya mencakup proses sosialisasi yang sekaligus bertanggung jawab untuk menumbuh-kembangkan anggota keluarganya, dengan tidak boleh mengabaikan faktor nilai, norma dan juga tingkah laku yang diharapkan baik dalam lingkungan keluarga ataupun lingkungan yang lebih luas (masyarakat). Dalam mengatasi arus informasi yang bias gender yang berasal dari televisi maka ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu: 1.
Proses sosialisasi kesetaran gender yang konsisten. Proses
sosialisasi
kesetaraan
gender
dalam
keluarga
haruslah
berlangsung dengan baik dan menjadi satu konsep yang konsisten serta telah menjadi bagian dari setiap anggota keluarga sehingga ketika informasi bias gender yang mereka dapatkan dari televisi tidak mudah mengubah pemikiran mereka. 2.
Pelaksanaan fungsi keluarga dengan baik Delapan fungsi keluarga sebagai jembatan menuju terbentuknya sumberdaya pembangunan yang handal dengan ketahanan keluarga yang kuat dan mandiri, yaitu: a. Fungsi Keagamaan b. Fungsi Sosial Budaya c. Fungsi Cinta kasih d. Fungsi Melindungi
27
e. Fungsi Reproduksi f. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan g. Fungsi Ekonomi h. Fungsi Pembinaan Lingkungan B. Saran Betapa menariknya, jika televisi dalam hal ini film dan sinetron yang mengangkat realitas perempuan Indonesia, terutama penindasan, ketidakadilan, perjuangan, dan peranan perempuan. Bukan sekedar mengangkat perempuan pekerja kelas atas dalam sinetron-sinetron Indonesia, atau anak perempuan yang gaul, kenes, dan atau punya kemampuan supra-natural. Tetapi tentang dunia perempuan (kebanyakan) itu sendiri. Ini jelas sangat menarik untuk diangkat. Perjuangan penari-penari tradisional di jalan-jalan ibukota yang mencari nafkah untuk keluarga, kisah para mbok bakul di pasar Kebayoran Lama, kisah para nelayan di Cilincing, kisah para buruh perempuan di Tangerang, kisah ibu-ibu rumah tangga yang kerap mendapat kekerasan rumah tangga, kisah perempuan malam, yang dianggap sampah masyarakat karena bekerja di malam hari, dan kisah-kisah perempuan yang selama ini tak diperlihatkan dalam layar televisi kita.
28
Daftar Pustaka Badri, M. 2006. Perempuan dalam Sinetron: Stereotipe, Diskriminasi, dan Ketimpangan Gender. http://duniaesai.com/gender/gender11.htm. (online) diakses 20 Mei 2007. Budiasih,K.2005.Berani Nolak TV. Bandung : Mizan. Budiman,K.2002.Di depan Kotak Ajaib : Menonoton Tv Sebagai PraktikKonsumsi.Yogayakarta : Galang Press. Hanifah, L. 2006. KamusJender. http://situs.kesrepro.info/gendervaw/referensi.htm. (online) diakses 20 Mei 2007. Hapsari, R, I. 2007. Menguak Seksisme dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. //www.parasindonesia.com/read.php?gid=523. (online) diakses 20 Mei 2007. Haqani,L.2004.Nestapa Remaja Modern:Lingkaran Setan dalamPeradaban Modern.Bandung:Pustaka Ulumuddin. Hurlock, E., 1978. Child Development. Sixth Edition. New York: Mc Graw Hill Inc. Kerjabudaya. 2003. Subordinasi Perempuan: panggung fashion sampai sinetron. Http://mkb.kerjabudaya.org. (online) diakses 20 Mei 2007. Kunci, 2005. Politik, Teori, Metode, dan Medan Minat Kajian Budaya. Kunci Cultural Studies Center, Yogyakarta. www.kunci.or.id. (online) diakses 20 Mei 2007. Megawangi, R., 1999. Membiarkan Berbeda. Bandung: Mizan. Peraturan Pemerintah RI no.21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Siregar,A.2001.Menyingkap Media Penyiaran:Membaca Televisi Melihat Radio Yogyakarta:LP3Y. Wahini, M. 2005. Keluarga Sebagai Tempat Pertama Pada Anak. http://pkukmweb.ukm.my/~library/abrafm.htm. (online) diakses 20 Mei 2007.