1
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Penelitian Kewajiban membuat faktur pajak (tax invoice) merupakan salah satu mata rantai kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang diawali dari melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) menurut Untung Sukardji (2010:79). Padahal dalam pelaksanaannya, Pengusaha Kena Pajak memegang peranan penting sebagai ujung tombak penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebab seluruh aktifitas mulai dari pemungutan kepada pembeli Barang Kena Pajak (BKP)/Penerima Jasa Kena Pajak (JKP) sampai pada pelaporan kepada Kantor Pelayanan Pajak seluruhnya berada pada pundak Pengusaha Kena Pajak. Dalam melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai kepada pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak menggunakan sebuah bukti pemungutan yang disebut faktur pajak. Faktur pajak tersebut terdiri dari dua lembar. Lembar pertama diserahkan kepada pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak. Sedangkan lembar kedua disimpan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagai bukti telah dilakukannya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, Dino Ardiansyah (2013) Sistem pembuatan dan pengiriman faktur pajak tersebut menimbulkan banyak masalah dalam pelaksanaannya. Faktur pajak cacat atau faktur pajak
2
fiktif adalah salah satunya. Faktur pajak cacat timbul jika penjual yang membuat faktur pajak melakukan kesalahan penulisan atau membuat faktur pajak yang tidak memenuhi peraturan yang ada di dalam UU PPN 2009 sehingga faktur pajak tersebut tidak dapat digunakan dalam pengkreditan baik oleh pihak penjual atau pembeli. Terungkapnya sejumlah kasus perpajakan menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak agar segera dibenahi sehingga kemampuan keuangan negara tidak makin terbatas. Penyimpangan dalam bidang perpajakan ini salah satunya adalah pemalsuan faktur pajak oleh individu atau perusahaan – perusahaan. Pada siaran pers Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada hari selasa, 29 November 2011 dengan judul “Pengguna Faktur Pajak Fiktif Dituntut 4 Tahun Penjara” . Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Barat II telah melakukan penyidikan terhadap wajib pajak PT. SAH yang dikendalikan oleh pengusaha AW dan ONW, karena diduga melakukan tindak pidana perpajakan berupa penggunaan faktur pajak fiktif. Wajib Pajak diduga telah menggunakan faktur pajak fiktif atau faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang sebenarnya pada tahun pajak 2001 dan 2003. Nilai kerugian negara akibat perbuatan terdakwa sebesar Rp. 458 juta. Wajib Pajak tersebut merupakan pengguna faktur pajak dari penerbit faktur pajak yang telah disidik oleh Direktorat Jenderal Pajak sebelumnya dan terbukti bersalah berdasarkan putusan Mahkamah Agung.
3
Sepanjang 2008 – 2013 diperkirakan terdapat seratus kasus faktur pajak fiktif yang merugikan negara sekitar 1,5 triliun dan terbilang sebanyak 50% kasus pengemplangan pajak bermodus faktur pajak fiktif. Menurut Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Yuli Kristiono mengatakan penerbitan faktur pajak fiktif memang modus yang digemari oleh para pengusaha nakal untuk mengemplang pajak, Ardyan Mohammad (2014) Menurut Direktorat Jenderal Pajak ketidakpatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) serta pengawasan wajib pajak yang masih terbilang longgar menyebabkan kinerja penerimaan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) tidak optimal maka dengan itu dilakukan terus menerus pembenahan administrasi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk mengatasi kebocoran di area tersebut dengan menggunakan tiga poin kunci yang menjadi sasaran pembenahan Ditjen Pajak adalah PKP, Faktur Pajak dan pelaporan SPT PPN .Advertorial (2013) Melihat banyaknya kasus penyalahgunaan faktur pajak fiktif membuat Pemerintah mencari cara yang efektif untuk menanggulanginya, sejak tahun 2013 Direktorat Jenderal Pajak menerapkan kebijakan baru yang tertuang dalam peraturan PER-08/PJ/2013 sebagai penyempurna peraturan PER24/PJ/2012, poin terpenting dalam peraturan baru ini adalah mengenai perubahan penomoran seri faktur pajak dimana dalam PER-08/PJ/2013 penomoran seri faktur pajak tidak dilakukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak melainkan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sebelumnya dalam
4
PER–13/PJ/2010 nomor urut faktur pajak ditentukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak secara berurutan. Firninda Yosi Anggraini Putri (2014). Tidak semua Pengusaha Kena Pajak (PKP) akan diberikan jatah nomor faktur pajak, kantor Pelayanan Pajak akan lebih selektif dalam memberikan nomor pajak, hanya pengusaha yang dianggap layak dan diyakini keberadaannya diberikan nomor faktur pajak, yaitu mereka yang telah melakukan kegiatan verifikasi dan registrasi ulang. Pernyataan ini terdapat dalam PER-05/PJ/2012 tentang Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak Tahun 2012. Lima garis besar poin – poin perubahan sebelum dan sesudah penerapan penomoran faktur pajak disamping banyak hal yang diubah. Peraturan tentang Faktur Pajak sebelumnya PER–13/PJ/2010 yaitu : 1. Otorisasi pemberian nomor seri, mengatur bahwa nomor urut faktur pajak ditentukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak secara berurutan. 2. Syarat diberikan nomor seri faktur pajak, mengatur bahwa tidak ada syarat khusus, baik Pengusaha Kena Pajak ataupun non Pengusaha Kena Pajak dapat membuat nomor sendiri. 3. Identitas Pengusaha Kena Pajak khususnya alamat dan jenis barang/jasa, tidak ditegaskan. 4. Penunjukan dan penandatanganan faktur pajak, mengatur bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak disyaratkan melampirkan fotokopi kartu identitas yang sah.
5
5. Diatur dan digunakan istilah faktur pajak cacat. Peraturan tentang Faktur Pajak sesudahnya Per–24/PJ/2012 yaitu : 1. Otorisasi pemberian nomor seri, mengatur bahwa nomor seri faktur pajak diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan mekanisme yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. 2. Syarat diberikan nomor seri Faktur Pajak, mengatur bahwa nomor Seri faktur pajak diberikan kepada Pengusaha Kena Pajak yang telah diregistrasi ulang dan Pengusaha Kena Pajak baru yang telah diverifikasi dalam rangka pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. 3. Identitas Pengusaha Kena Pajak khususnya alamat dan jenis barang/jasa, ditegaskan bahwa keterangan faktur pajak mengenai alamat dan jenis barang/jasa harus diisi sesuai dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya. 4. Penunjukan dan Penandatanganan faktur pajak, mengatur bahwa pejabat/pegawai penandatangan faktur pajak yang berhak yaitu Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan ke Kantor Pelayanan Pajak surat penunjukkan penandatangan faktur pajak ; dan fotokopi kartu identitas yang sah (dilegalisasi oleh pejabat berwenang). 5. Istilah “Faktur Pajak Cacat” diganti dengan “Faktur pajak tidak lengkap” agar sinkron dengan ketentuan Undang – Undang Perpajakan.
Ketentuan Umum
6
Berdasarkan aturan PER-24/PJ/2012 ini, nomor seri Faktur Pajak hanya dapat diberikan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang : 1. Telah dilakukan registrasi ulang Pengusaha Kena Pajak (PKP) sesuai dengan PER-05/PJ/2012 dan perubahannya atau telah dilakukan verifikasi dalam rangka pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. 2. Telah melakukan update alamat sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, apabila terjadi perubahan alamat. 3. Telah mengajukan surat permohonan kode aktivasi dan password 4. Telah menerima surat pemberitahuan kode aktivasi dari Kantor Pelayanan Pajak. 5. Telah menerima pemberitahuan password melalui e-mail 6. Telah mengajukan surat permintaan nomor seri faktur pajak 7. Telah memasukkan kode aktivasi dan password dengan benar pada saat mengajukan permintaan nomor seri faktur pajak. 8. Telah menyampaikan SPT masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 3 (tiga) masa pajak terakhir berturut – turut yang telah jatuh tempo pada tanggal surat permohonan nomor seri faktur pajak disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). PER-24/PJ/2012 masih memberikan kelonggaran kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan terbitnya peraturan PER-08/PJ/2013 tentang perubahan atas peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-24/PJ/2012 sebelumnya Tentang Bentuk, Ukuran dan Tata Cara Pengisian, Keterangan, Prosedur Pemberitahuan
7
Dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata cara Pembatalan Faktur Pajak. Dengan isi yang sama tetapi lebih dijelaskan pada Pasal 19 Ayat 3 yang berbunyi terhitung mulai tanggal 1 Juni 2013 seluruh Pengusaha Kena Pajak wajib menggunakan Kode dan nomor seri faktur pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER24/PJ/2012. Jadi selama Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum memperoleh surat pemberitahuan nomor seri faktur pajak dari Direktorat Jenderal Pajak wajib menggunakan kode dan nomor seri faktur pajak sesuai dengan PER-13/PJ/2010 sampai dengan tanggal 31 Mei 2013. Dari beberapa pernyataan diatas dapat penulis simpulkan bahwa perubahan kebijakan baru mengenai penomoran seri faktur pajak yang tertuang dalam PER08/PJ/2013, bertujuan untuk menetralisir penyalahgunaan faktur pajak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, dimana mekanisme pelaksanaan lebih diperketat, sehingga diharapkan penerimaan kas negara dari faktur pajak bisa terserap lebih maksimal. Untuk mengetahui dan menguji kembali penelitian yang dilakukan oleh Firninda Yosi Anggraini Putri (2013) yang berjudul “Analisis Penerapan Kebijakan Faktur Pajak Terbaru” adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dan hasilnya adalah dengan adanya kebijakan penerapan faktur pajak terbaru yaitu meminimalkan penyalahgunaan faktur pajak fiktif, sedangkan kelemahan dalam kebijakan ini waktu yang dibutuhkan PKP lebih banyak dan menjadi tidak efisien karena harus terlalu sering ke Kantor
8
Pelayanan Pajak. Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Siti Hawa Kamelia (2008) dengan Judul “ Analisis Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak sebelum dan sesudah Penerapan Program e-SPT dalam melaporkan SPT Masa PPN ” (Studi kasus KPP Pratama Pasar Minggu) adapun penelitian ini menggunakan uji statistik non parametrik yaitu uji wilcoxon match pairs test dan korelasi spearman rank. Dan hasilnya adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara kepatuhan wajib pajak sebelum dan sesudah program e – SPT dalam melaporkan SPT Masa PPN yang diterima. Dari uji wilcoxon match pairs test dua arah menunjukkan nilai z-hitung -2,824. Karena nilai signifikansinya dibawah 0.05 yaitu 0.005. Jadi penerapan program e-SPT sangat efektif bagi wajib pajak. Dengan demikian dilihat dari hasil penelitian terdahulu khususnya penelitian Siti Hawa Kamelia dengan kasus penerapan program e-SPT dimana program ini masih terbilang kebijakan baru yang harus dipenuhi wajib pajak, juga sebagai sarana kewajiban perpajakan, sedangkan penulis tertarik untuk mengangkat topik pada penerapan penomoran faktur pajak dimana program ini juga merupakan kebijakan terbaru dan termasuk kedalam modernisasi perpajakan. Sekilas tentang modernisasi perpajakan, dimana modernisasi ini adalah pelayanan dengan menggunakan sistem komunikasi dan teknologi informasi terkini yang dikenal dengan sebutan e-system antara lain e-payment (pembayaran pajak secara online), e-registrasion (pendaftaran wajib pajak melalui internet), e-filling (pelaporan pajak melalui internet), e-spt (pengisian SPT dengan program yang disediakan oleh DJP), e-counseling (konsultasi secara online) dan yang paling terbaru adalah e-nofa (elektronik nomor faktur atau penomoran faktur pajak) dan
9
diterapkan mulai 1 Juni 2013. Dimana semua kebijakan ini harus dipatuhi oleh Pengusaha Kena Pajak ( PKP ) untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Dan penulis tertarik untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepatuhan PKP tersebut dalam pelaporan SPT masa PPN yang diterima. Karena sejumlah Pengusaha Kena Pajak dalam transaksi wajib membuat faktur pajak dan melaporkan SPT masa PPN setiap bulannya. Dengan banyaknya program kebijakan terbaru di Kantor Pelayanan Pajak maka penulis tertarik untuk meneliti salah satu dari kebijakan modernisasi perpajakan itu. E-Nofa atau penomoran faktur pajak dipilih penulis untuk mengetahui sejauhmana tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) menerima peraturan baru tersebut dan sejauhmana antusias Pengusaha Kena Pajak (PKP) sesudah adanya kebijakan baru tersebut. Dengan belajar dari penelitian terdahulu maka penulis termotivasi untuk membahas masalah ini dengan judul “Analisis Kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Sebelum dan Sesudah Penerapan Penomoran Faktur Pajak dalam pelaporan SPT Masa PPN” (Studi Kasus KPP Jakarta Pratama Menteng Dua). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sesudah diterapkan penomoran faktur pajak dalam melaporkan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterima sebagai sarana pemenuhan kewajiban perpajakan.
10
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang diuraikan di atas, pembahasan masalah untuk penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah terdapat perbedaan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebelum dan sesudah penerapan penomoran faktur pajak dalam pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterima ? 2. Seberapa besar perbedaan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak sebelum dan sesudah penerapan penomoran faktur pajak dalam pelaporan SPT Masa PPN yang diterima ? C. Tujuan dan kegunaan penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dilakukan oleh penulis adalah untuk menganalisis perbedaan tingkat kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam pelaporan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterima sebelum dan sesudah penerapan penomoran faktur pajak. 2. Kegunaan Penelitian a. Manfaat Akademis Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti untuk menambah Ilmu Pengetahuan dan pengalaman di bidang ekonomi khususnya dibidang Ilmu Perpajakan
11
terutama mengenai pengetahuan kepatuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebelum dan sesudah Penerapan penomoran faktur pajak dalam SPT masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterima. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan perbandingan untuk penelitian – penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kemajuan administrasi dan modernisasi perpajakan. b. Manfaat Praktis 1) Bagi Penulis Menambah wawasan dan mengetahui perkembangan tentang banyaknya kebijakan – kebijakan baru di bidang ekonomi khususnya perpajakan. 2) Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) Dengan adanya penelitian ini Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengetahui perkembangan penerapan penomoran faktur pajak, melalui cara yang tepat sehingga lebih terarah dan efesien dalam pelaporan khususnya SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) .