BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Banyaknya pemotongan sapi betina di Rumah Potong Hewan (RPH) menjadi hal yang harus diperhatikan untuk mencegah atau mengontrol pemotongan terhadap sapi betina yang masih produktif. Menurut Rianto (2010), tingginya pemotongan sapi betina produktif yang tidak diikuti dengan peningkatan laju pertambahan populasi menyebabkan populasi ternak sapi semakin menurun. Sapi betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan atau keperluan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan; serta hewan betina besar yang umurnya melebihi 8 tahun atau sudah beranak lebih dari 5 kali dan tidak produktif lagi; ataupun menderita cacat tubuh yang bersifat genetis, maka tidak dilarang untuk dipotong, seperti dalam UU No.18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif disingkirkan untuk dijadikan ternak potong). Maraknya pemotongan sapi betina usia produktif di RPH merupakan indikator menurunnya kemampuan penyediaan atau kesulitan memperoleh sapi siap potong (Tawaf dkk., 2013). Salah satu faktor penyebab banyaknya sapi betina produktif dipotong, yaitu peternak kebanyakan memelihara ternak sebagai usaha sampingan yang berfungsi sebagai tabungan disaat mereka memerlukan uang,
1
2
sehingga disinyalir masih banyak dijumpai penjualan dan pemotongan sapi betina yang masih dalam usia produktif yang tidak hanya melanggar undang-undang tetapi juga menghambat peningkatan populasi sapi betina. Jumlah sapi betina akan menurun sehingga pedet yang dihasilkan juga akan menurun dan imbangan jumlah pemotongan dengan populasi sapi akan besar (Fauzi dkk., 2013). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Tawaf dkk. (2013), jumlah sapi lokal betina usia produktif yang dipotong di 20 RPH selama periode studi adalah sebanyak 2.489 ekor atau sekitar 31,08 % dari jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Berdasarkan kategori umurnya, sebesar 65,29% (1.623 ekor) dengan kisaran bobot 117 kg – 354 kg sapi betina yang dipotong tersebut masih berumur dibawah 4 tahun dan jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan sekitar 150.000 hingga 200.000 ekor. Soejosopoetro (2011) juga mengungkapkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina Peranakan Ongole (PO) produktif melampaui ambang batas diatas 12 % dari jumlah total pemotongan sapi. Hal ini menggambarkan bahwa selain pemotongan, sapi lokal betina tersebut telah dijadikan alternatif untuk memenuhi kekurangan pasokan sapi lokal jantan siap potong di RPH, juga didorong oleh pelaksanaan pengawasan dan pengendalian terhadap pemotongan sapi lokal betina di RPH yang masih sangat lemah, padahal mengenai pengawasan ini telah diamanatkan dalam UU No.18 tahun 2009. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan populasi ternak betina produktif, salah satunya dengan mengembangkan sistem reproduksinya. Kemampuan
reproduksi
ternak
merupakan
faktor
yang
menentukan
3
perkembangan populasi ternak (Rianto, 2010). Ternak betina produktif yang merupakan bibit-bibit sapi unggul perlu selalu berada dalam kondisi yang sehat dan baik untuk menghasilkan keturunan yang baik. Oleh karena itu, status reproduksi diharapkan berada dalam kondisi maksimal (Richards, 1994). Untuk memastikan status reproduksi seekor hewan, maka harus mengetahui kadar hormonnya. Kadang-kadang seekor hewan betina yang majir tidak menunjukkan gejala klinis sehingga sulit diberikan diagnosa, maka dari itu keadaan ini dapat diketahui dengan mengukur kadar hormon kelaminnya (Cunningham, 2002; Hana, 2004). Hormon progesteron (P4) erat kaitannya dengan status reproduksi, dimana meningkatnya hormon P4 dan menurunnya hormon estrogen menyebabkan kegagalan atau tidak terjadinya ovulasi serta tidak timbulnya tanda estrus (Toelihere, 1995), sehingga memungkinkan terjadinya penurunan tingkat kebuntingan sapi dan meninggikan frekuensi pemotongan sapi betina di RPH. Penelitian tentang hormon P4 yang berkaitan dengan reproduksi telah banyak dilakukan, contohnya perbandingan kadar P4 terhadap serum atau feses. Namun, belum banyak penelitian yang mengulas tentang perbandingan kadar P4 hasil isolasi cairan ovarium. Perlunya penelitian ini untuk mengetahui kadar P4 pada cairan folikel ovarium guna mengetahui status reproduksi sapi dan menjelaskan secara ilmiah penyebab banyaknya pemotongan hewan betina yang terjadi di RPH.
4
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar hormon progesteron (P4) pada cairan folikel ovarium sapi dengan diameter < 5 mm dan diameter > 5 mm untuk mengetahui kadar progestron pada folikel ovarium guna mengetahui status reproduksi sapi, dan memberikan penjelasan secara ilmiah penyebab banyaknya pemotongan hewan betina yang terjadi di Rumah Potong Hewan (RPH).
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kisaran kadar hormon progesteron (P4) yang terdapat pada cairan folikel ovarium sapi dengan diameter < 5 mm dan folikel dengan diameter > 5 mm sehingga dapat digunakan sebagai referensi untuk menentukan status reproduksi sapi, serta memberikan ajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan pemotongan sapi betina usia produktif.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sapi Betina Produktif Sapi betina produktif adalah sapi yang telah melahirkan kurang dari lima kali atau berumur di bawah delapan tahun atau sapi betina yang berdasarkan pemeriksaan reproduksi dinyatakan memiliki organ reproduksi normal serta dapat berfungsi optimal sebagai sapi indukan dan bebas penyakit hewan menular. Sapi tersebut tergolong calon indukan yang baik untuk menjaga kelestarian sapi lokal (Tawaf dkk., 2013). Sesuai pendapat Soejosopoetro (2011) bahwa sapi betina dikatakan produkif yaitu sapi yang tidak mempunyai cacat fisik dan dapat difungsikan dengan baik, serta dapat menghasilkan keturunan atau bibit unggul yang sehat dan baik pula.
B. Ovarium Ovarium adalah organ reproduksi betina yang paling penting karena menghasilkan sel gamet betina (ovum) dan hormon seks betina (estrogen dan progesteron) (Bearden dkk., 2004). Fungsi ovarium ada dua, yaitu endokrin (estrogen dan progesteron) dan eksokrin (pelepasan sel telur). Ovarium terdiri dari: korteks, yang terdiri atas folikel ovarium, prekursornya dan produk akhirnya; serta medulla, yang terdiri dari jaringan ikat padat regular dan ekstensif saraf serta vasa darah. Ovarium digantung oleh mesovarium (Hafez dan Hafez, 2000). Menurut Bearden dkk. (2004) ovarium sapi digambarkan berbentuk seperti
5
6
almond, namun bentuknya berubah seiring dengan
pertumbuhan folikel atau
terbentuknya korpus luteum. Pada sapi, letak ovarium berada di margo lateralis apertura pelvis kranialis. Ukuran rata-ratanya sekitar 35 mm x 25 mm x 15 mm. Ukurannya bervariasi antar sapi, dan ovarium yang aktif lebih besar daripada ovarium yang tidak aktif. Oleh karena itu, salah satu ovarium sering lebih besar daripada yang lain. Sapi, kuda, dan kambing merupakan hewan monotocous, biasanya melahirkan satu anak setiap periode kebuntingan, sehingga satu ovum diproduksi setiap siklus estrus.
A. Folikulogenesis Folikulogenesis merupakan proses kompleks yang diatur oleh faktor parakrin dan autokrin (Demeestere, 2005) yang terdiri dari perkembangan ukuran folikel, penambahan jumlah lapisan sel granulosa, perkembangan sel teka interna dan sel teka eksterna, pembungkusan ovum oleh kumulus oophorus, serta peningkatan cairan rongga folikel (Hardjopranjoto, 1995). Beberapa endokrin dan faktor lokal ikut serta dalam proses kompleks pertumbuhan folikel ovari dan pematangan oosit (Demeestere, 2005). Folikulogenesis ditandai dengan adanya proliferasi dan diferensiasi komponen sel pada folikel. Selama folikulogenesis terjadi dinamika folikel, yaitu perubahan tahap perkembangan folikel mulai dari folikel primordial sampai folikel tersier termasuk perubahan ekspresi mRNA yang mengkode reseptor gonadotropin, hormon steroid dan diikuti seleksi folikel (Amstrong dan Webb, 1997). Dinamika folikel dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk
7
memperkirakan waktu ovulasi pada sapi. Pada dinamika folikel, folikel ovaria pada ruminansia berkembang secara searah dan berulang, memiliki 2 hingga 3 gelombang folikel (Gambar 1) disetiap siklusnya (Hafizuddin dkk., 2012). Perkembangan folikel akan menyediakan lingkungan yang optimal untuk maturasi oosit sehingga siap untuk fertilisasi. Folikulogenesis berhubungan dengan perkembangan sekelompok folikel dengan berbagai tahap perkembangan, kemudian sejumlah folikel akan terseleksi untuk berkembang lebih lanjut (Amstrong dan Webb, 1997). Pertumbuhan dan perkembangan folikel distimulasi oleh kombinasi aksi Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) pada sel-sel folikel. FSH dan LH masing-masing berikatan pada reseptor spesifik pada permukaan sel-sel granulosa dan sel teka (Hafizuddin dkk., 2012). Stadium pertumbuhan folikel sebagian besar folikel mengalami atresia terutama pada tahap yang bergantung pada hormon gonadotropin. Kurangnya reseptor terhadap hormon gonadotropin pada folikel dan adanya faktor penghambat pertumbuhan yang berasal dari folikel dominan menekan pertumbuhan folikel kecil semenjak periode pertumbuhan folikel preantal (Triwulaningsih dkk., 2001). Menurut Webb dkk. (2004), folikulogenesis dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu rekruitmen, seleksi dan dominasi (Gambar 1).
8
Gambar 1. Gelombang folikel dan tahapan folikulogenesis sapi selama siklus estrus (Ireland dkk., 2000).
Fase Rekruitmen. Pada dua hari pertama, adalah persiapan sekelompok folikel untuk muncul dan melakukan rekruitmen (Gordon, 2003). Rekruitmen merupakan tahap pertumbuhan pool folikel yang cepat. Pertumbuhan ini terjadi dari folikel primordial menjadi folikel primer dan folikel sekunder (Webb dkk., 2004). Setiap folikel sehat yang berdiameter 2 mm memiliki kesempatan untuk tumbuh menjadi folikel dominan yang siap untuk diovulasikan (Gordon, 2003). Rekruitmen terjadi pada hari ke-3 dan ke-4, ukuran folikel rekruitmen berkisar antara 0 hingga 5 mm yang akan memilih satu folikel bertahan dan tumbuh menjadi folikel dominan yang berukuran 5 hingga 15 mm. Selama fase ini, hormon LH lebih rendah dibandingkan FSH yang bekerja sama dalam menginduksi pertumbuhan folikel. Folikel mulai memproduksi estradiol untuk mendukung pematangan dari folikel (Bearden dkk., 2004). Fase Seleksi merupakan proses dimana satu atau lebih dari folikel rekruitmen dipilih untuk
9
pertumbuhan lebih lanjut menjadi folikel subordinat (Webb dkk., 2004). Dari kelompok folikel kecil tersebut, salah satu diantaranya akan terseleksi dan tumbuh menjadi folikel dominan, sedang folikel lainnya akan terhenti pertumbuhannya dan menuju atresia (Hafizuddin dkk., 2012). Fase Dominasi merupakan proses perkembangan folikel dominan yang cepat dan perkembangan folikel subordinat akan tertekan oleh folikel subordinat disebabkan oleh meningkatnya Follicle Growth Inhibiting Factor (FGIF) yang diproduksi oleh folikel dominan. FGIF akan menghambat proliferasi sel granulosa yang menstimulasi FSH dan aktivitas aromatase, selain itu juga menghambat vaskularisasi folikel subordinat (Webb dkk., 2004). Setelah folikel mencapai ukuran maksimal, folikel dominan juga akan mengalami atresi dan regresi. Atresi dari folikel dominan akan menyebabkan pertumbuhan gelombang folikel baru. Selama periode siklus estrus terjadi 2 hingga 3 gelombang folikel. Pada gelombang yang kedua, folikel dominannya akan menjadi folikel anovulatori sedangkan folikel dominan dari gelombang ketiga akan mengalami ovulasi. Pada gelombang ketiga terjadi luteolisis Corpus Luteum (CL) yang menyebabkan penurunan kadar progesteron (P4), LH secara terus-menerus mengalami peningkatan karena umpan balik positif dari estradiol sehingga LH dapat menginduksi folikel dominan untuk ovulasi (Maidaswar, 2007).
10
Tahap-tahap Perkembangan Folikel Menurut Collado-Fernandez dkk. (2012), perkembangan folikel dimulai dari folikel primordial, folikel primer, folikel sekunder, dan folikel tertier (Gambar 2).
Gambar 2. Folikulogenesis dan pertumbuhan oosit pada mamalia (ColladoFernandez dkk., 2012).
Pertumbuhan Folikel
Fol. Primer
Ovulasi
Fol. Sekunder
Fol. Tertier
Fol. de Graaf
Gambar 3. Histologi pertumbuhan dan perkembangan folikel (Yatim, 1994).
Folikel Primordial. Perkembangan oosit sejak masih fetus yang kemudian berdiferensiasi menjadi folikel primordial. Sebelum masuk meiosis,
11
terjadi proliferasi folikel primordial yang mana rigi genital berdiferensiasi menjadi oogonia, untuk selanjutnya menjadi folikel primer. Diakhir kelahiran, oosit masak dan dewasa, terisi mRNAs, protein, substrat metabolik, dan organelaorganela. Bahan-bahan tersebut digunakan untuk mendukung fertilisasi, genom, kariogami dan pemulaan pembelahan divisi zigot sampai dimulai aktivasi embrio genom. Folikel Primer. Oosit primer yaitu pada masa diploten dari profase meiosis I, diselubungi oleh satu lapisan sel pragranulosa dan membran dasarnya membentuk folikel primordial. Folikel primordial kemudian akan atresia. Pertumbuhan berikutnya menjadi folikel primer memiliki ciri lapisannya diisi oleh proliferasi sel granulosa kuboid seperti pada Gambar 3. Oosit primer (tahap diktioten) mulai membesar, inti oosit akan membesar dan disebut vesikel germinal. Selapis sel folikel berubah dari pipih menjadi kuboid. Folikel ini disebut folikel primer unilaminer. Kemudian sel folikel berproliferasi melalui mitosis dan membentuk epitel berlapis atau lapisan granulosa. Folikel tersebut menjadi folikel primer multilaminer dimana terdapat pertautan antara sel-sel folikel (Junqueira dan Carneiro, 2005). Beberapa saat postnatal, oosit primer tetap dalam tahap profase dan tidak mengalami pembelahan meiosis I dengan adanya Oosit Maturation Inhibitor (OMI) yang dikeluarkan oleh sel folikel (Guerin, 2003). Folikel Sekunder. Selama proses perkembangan folikel, sel granulosa kuboid akan terus juga berkembang dan selanjutnya lapisan teka yang menyuplai darah bebas sebagai sumber nutrisi. Folikel mengalami fase antral sekunder, preantral, dan antral sebelum mengalami pematangan dan ovulasi. Bentuk rongga antral ketika folikel mencapai diameter 200-500 mm terisi penuh oleh cairan folikel,
12
yang menjadi sumber oksigen, molekul buffer, karbohidrat, asam amino, faktor pertumbuhan, hormon dan molekul lainnya. Selain itu, pembentukan antrum mengarah ke diferensiasi sel granulosa mural, pada batas bawah membran dan ditandai dengan peran endokrinnya yang khusus. Oosit Matang. Sel kumulus, berkaitan erat dengan pematangan oosit. Kompleks kumulus oosit dalam folikel tumbuh oosit mengalami peningkatan volume 100-300 kali lipat yang didukung oleh meningkatnya sel granulosa sekitarnya (Mclaughin dan Mciver, 2009). Folikel Tertier dan Folikel de Graaf. Sel-sel lapisan granulosa menepi ke dinding folikel dan membentuk bukit kecil sel-sel yang mengikat oosit yang disebut kumulus oophorus dan menonjol ke antrum folikuli (Gambar 3). Sel kumulus ini akan mensekresikan asam hialuronat dalam jumlah banyak dan diakumulasikan pada bagian intraseluler yang menyebabkan disosiasi kumulus. Oosit tidak akan berkembang lagi. Sel granulosa yang menyusun lapisan pertama di sekitar oosit yang berlekatan dengan zona pelusida disebut korona radiata, yang menyertai oosit setelah meninggalkan ovarium sampai beberapa saat di tuba falopii. Meskipun sel granulosa dan oosit mengalami degenerasi selama atresia, sel-sel teka interna tetap aktif mensekresikan steroid seperti androgen ovarium (Junqueira dan Carneiro, 2005). Corpus Luteum (CL). Pada fase luteal, sel granulosa menghasilkan steroid yaitu P4. Sel granulosa akan membentuk parenkim besar-besar dan mengandung lutein. Sel teka membentuk stroma seperti fibroblast. Sel granulosa lutein mengandung pigmen lutein (kuning) atau butir lipoid (tidak berwarna) yang merupakan campuran fosfatida dan serebrosida,
13
sedangkan sel teka lutein lebih kecil dan mengandung kolesterol. CL pada kuda, sapi dan karnivora berwarna kuning karena mengandung lutein (Hartono, 1992).
B. Siklus Estrus Siklus estrus didefinisikan sebagai waktu diantara periode estrus. Ratarata panjang siklus estrus sama pada semua hewan ternak, walaupun lebih pendek untuk domba. Panjang estrus kira-kira 17 hari untuk domba; 21 hari pada sapi, kerbau, dan rusa; 22 hari untuk kuda, dan 20 hari untuk babi. Variasi individu terlihat pada semua spesies. Siklus estrus berkisar antara 17 hingga 24 hari dianggap normal pada sapi. Periode siklus estrus terbagi menjadi 4 fase, yaitu: proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus yang sering digambarkan dengan istilah fase folikuler dan fase luteal. Selain empat fase tersebut juga ada fase anestrus. Anestrus adalah fase di mana tidak terjadi siklus birahi pada hewan, misalnya saat terjadi kebuntingan dan setelah kelahiran. Periode estrus ini berlangsung secara siklik dan berurutan, kecuali untuk periode anestrus di kawin musiman seperti domba, rusa, dan kuda, serta anestrus selama kehamilan dan periode postpartum awal untuk semua spesies. Proestrus adalah fase persiapan. Proestrus dimulai dengan regresi CL dan menurunnya P4 serta melanjut sampai awal estrus. Adanya penurunan hormon P4 menjadi hormon FSH dikeluarkan lebih banyak untuk pertumbuhan folikel. Folikel yang tumbuh menghasilkan estradiol untuk memulai fase estrus. Ciri utama dari proestrus adalah terjadinya pertumbuhan folikel yang cepat. Akhir dari periode ini adalah pengaruh estrogen pada sistem saluran reproduksi dan gejala
14
tingkah laku mendekati estrus dapat diamati. Estrus. Estrus didefinisikan sebagai periode waktu ketika betina menerima pejantan dan akan membiarkan untuk dikawini. Lamanya estrus bervariasi antar spesies. Lama Estrus berkisar antara 12 hingga 18 jam pada sapi. Dan juga, sapi di lingkungan panas memiliki lama estrus yang lebih pendek (10 sampai 12 jam) dari rata-rata 18 jam untuk sapi di iklim dingin. Ovulasi yang berkaitan dengan estrus terjadi 10 hingga 12 jam setelah akhir estrus. Estradiol yang dihasilkan oleh folikel de Graaf semakin tinggi kadarnya sehingga menyebabkan perubahan-perubahan pada organ reproduksi secara maksimal. Uterus tegang dan suplai darah ke uterus bertambah. Servik dan vulva mengendor. Vulva membengkak dan terdapat mukus transparan yang menggantung (Toelihere, 1995). Metestrus. Periode metestrus diawali dengan berhentinya estrus dan berlangsung selama sekitar 3 hari. Dan juga merupakan fenomena yang dikenal sebagai pendarahan metestrus terjadi pada sapi, muncul di sekitar 90% dari semua periode metestrus pada sapi muda dan 45% pada sapi dewasa. Sel-sel granulosa dari folikel yang telah ovulasi berkembang menjadi sel lutein yang bertanggung jawab dalam pembentukan CL. Sapi terlihat lebih tenang dan tidak agresif (Noakes dkk., 2001). Diestrus dikarakteristikkan sebagai periode dalam siklus estrus ketika CL berfungsi penuh sehingga P4 dalam darah meningkat. P4 mempengaruhi saluran reproduksi seperti adanya penebalan endometrium sebagai persiapan untuk menampung embrio dan pembentukan plasenta jika terjadi kebuntingan. CL regresi pada hari ke-16 dan ke-17 jika tidak terjadi kebuntingan (Bearden dkk., 2004).
15
C. Cairan Folikel Cairan folikel adalah cairan yang mengisi antrum folikel tersier (Bearden dkk., 2004), merupakan eksudat plasma hasil sekresi dari oosit dan sel granulosa (Eppig, 2001). Pada saat perkembangan folikel, sel granulosa bertambah dan memproduksi cairan yang disebut liquor folikuli dan ditimbun diantara sel-sel folikel sehingga terbentuk rongga disebut antrum folikuli yang berisi cairan tersebut. Cairan ini terdiri atas beberapa makromolekul seperti glikosaminoglikan, protein dan steroid (P4, androgen, estrogen) (Junqueira dan Carneiro, 2005). Konsentrasi hormon tersebut berbeda-beda sesuai dengan ukuran, pertumbuhan folikel, tahapan siklus estrus, dan status kesehatan dari tahapan atresia dari folikel ovarium (Kor dan Morandi, 2013). Fungsi cairan folikel meliputi fungsi regulasi dari sel granulosa; mempersiapkan folikel untuk pembentukan CL berikutnya; faktor stimulasi dan penghambatan dalam cairan untuk mengatur siklus folikel; volume cairan yang diproduksi pada saat ovulasi juga penting, bersama dengan sekresi oviduktal dari lingkungan dimana metabolisme sperma, kapasitasi, dan pengembangan embrionik awal berlangsung (Hafez dan Hafez, 2000). Cairan folikel juga memiliki berbagai fungsi yang berhubungan dengan oosit, yaitu pemeliharaan meiotic arrest, perlindungan terhadap proteolisis, ekstrusi selama ovulasi, peningkatan spermatozoa attraction, motilitas dan reaksi akrosom, dan buffering terhadap pengaruh adverse haematic (Orsi dkk., 2005). Terdapat tiga fase pembentukan cairan folikel. Cairan primer (“liquor”) diproduksi sampai sesaat sebelum ovulasi ketika tingkat akumulasi mengalami kenaikan secara tiba-tiba. Cairan sekunder diproduksi pada saat tersebut, dan
16
mungkin di bawah pengaruh lonjakan hormon gonadotrophic. Cairan tersier diproduksi dalam folikel yang kolaps setelah ovulasi. Cairan primer berasal dari intraseluler, sedangkan cairan sekunder telah dikaitkan dengan transudasi dari kapiler teka. Cairan folikel sebagian terdiri dari sekresi folikel dan sebagian dari eksudat plasma. Komposisinya mencerminkan perubahan dalam proses sekresi dari lapisan granulosa dan teka interna dan perubahan dalam komponen plasma karena proses fisiologis atau patologis (Kor dan Moradi, 2013). Dalam folikel antral besar (tetapi tidak dalam folikel kecil), cairan folikel berisi 17β-estradiol dengan kadar yang sangat tinggi pada fase folikuler dan P4 sebagai pendekatan ovulasi. Ovarium polikistik, namun memiliki kadar androstenedion yang tinggi (Hafez dan Hafez, 2000). Hormon pituitari, FSH, LH, dan prolaktin, ditemukan dalam cairan folikel. Konsentrasi yang lebih rendah dari LH dibandingkan dengan FSH mungkin sebagian disebabkan oleh pengikatan LH pada sel teka bagian luar membran basal, sedangkan sel-sel granulosa memiliki reseptor untuk kedua FSH dan LH. Konversi estrogen ke estradiol oleh sel granulosa dirangsang oleh FSH, sedangkan LH merangsang produksi P4 oleh sel granulosa. Prolaktin menghambat sintesis P4 oleh sel granulosa (in vitro), dan P4 yang lebih tinggi terlihat pada cairan folikel ketika prolaktin rendah. Prostaglandin (PGF2α dan PGE2) ditemukan dalam cairan folikel dari folikel Graafian sebagai waktu pendekatan ovulasi (Bearden dkk., 2004).
17
D. Progesteron (P4) Dua kelas hormon yang diproduksi oleh ovarium adalah estrogen dan progesterone (P4). Estrogen dan P4 diklasifikasikan sebagai steroid dan memiliki kolesterol sebagai prekursor umum (Bearden dkk., 2004). Menurut Hafez dan Hafez (2000), P4 mengandung 21 atom karbon, termasuk 2 karbon rantai samping yang melekat pada C17 seperti gambar di bawah ini (Gambar 4).
17
Gambar 4. Molekul hormon progesteron (Hafez dan Hafez, 2000).
Progesteron atau disebut juga P4, merupakan hormon steroid yang terlibat dalam siklus estrus betina (Toelihere, 1995). Hormon P4 diproduksi dan dilepaskan ke dalam darah oleh CL pada ovarium, tetapi juga terdapat di adrenal korteks, plasenta, dan testes. CL terbentuk setelah folikel telah mengalami ovulasi. Sel-sel luteal yang lebih besar dari granulosa asal adalah sel-sel yang mensekresikan P4 utama dalam CL, tetapi sel-sel luteal kecil dari teka asal mensekresikan P4 jika dirangsang oleh LH (Bearden dkk., 2004). Pada saat estrus, konsentrasi hormon ini rendah dan mulai berkembang setelah ovulasi. Pada saat sapi dibuahi dan bunting, hormon P4 dalam darah tetap tinggi sampai menjelang partus untuk mempertahankan kebuntingan dengan menghasilkan suatu lingkungan endometrial yang sesuai bagi kelanjutan hidup dan perkembangan
18
embrio. Bila sapi tidak konsepsi, maka CL akan mulai berdegenerasi kira-kira hari ke-17 dari siklus estrus dan P4 akan menurun sampai konsentrasi minimalnya pada hari ke 20 hingga ke 23 pada saat sapi kembali estrus (Toelihere, 1995). Fungsi penting P4 yaitu: (1) penghambatan perilaku seksual; (2) pemeliharaan
kebuntingan
dengan
menghambat
kontraksi
uterus
dan
mempromosikan perkembangan kelenjar di endometrium; (3) mempromosikan pengembangan alveolar dari kelenjar mamari (Bearden dkk., 2004). Fungsi P4 sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain seperti esterogen. Hormon P4 secara normal bekerjasama dengan esterogen dan hanya menghasilkan sedikit pengaruh khusus bila bekerja sendiri. Hormon P4 menstimulir pertumbuhan sistem glanduler pada endometrium uterus yang telah disensitifkan terlebih dahulu oleh esterogen. Hormon P4 menghambat produksi FSH dan LH, sehingga mencegah terjadinya estrus, ovulasi dan siklus estrus. Hormon P4 bekerjasama dengan estrogen menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sistem alveolar kelenjar mammae (Toelihere, 1995). Konsentrasi P4 serum darah dapat menentukan keadaan hewan tersebut dalam keadaan infertil, normal, berahi, dan bunting sehingga dapat digunakan untuk deteksi berahi, pemeriksaan kebuntingan dan mengetahui kondisi patologis lainnya (Hartantyo, 1995).
Sintesis Hormon Progesteron Pregnenolon berfungsi sebagai prekursor utama untuk semua hormon steroid lainnya yang disintesis oleh ovarium, testis, atau adrenal. Tampaknya langkah rate-limiting untuk sintesis P4 adalah rantai samping pembelahan
19
kolesterol oleh P450scc (Melmed dan Conn, 2005). Pregnenolon kemudian diubah menjadi P4 oleh kerja dua buah enzim retikulum endoplasma halus, yaitu 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (3β-HSD) dan 5,4 isomerase. P4 mengalami hidroksilasi pada posisi C21 untuk membentuk 11-deoksikortikosteron (DOC), yang merupakan mineralokortikoid aktif (yang menahan ion Na+) (Murray dkk., 2009). Dengan demikian, kekurangan baik di P450scc atau 3β-HSD memiliki efek mendalam pada sintesis semua steroid (Gambar 5) (Melmed dan Conn, 2005). P4 diproduksi dalam ovarium pada semua tahap perkembangan folikel sebagai perantara untuk sintesis androgen dan estrogen tetapi menjadi produk sekretorik utama selama fase peri- dan postovulatori (luteal). Sintesis P4 berada di bawah kontrol FSH selama tahap awal dari folikulogenesis, dan diikuti penerimaan reseptor LH sehingga menjadi sensitif terhadap LH dalam siklus ovarium nanti. Sintesis P4 oleh CL dirangsang selama awal kebuntingan dengan meningkatkan kadar chorionic gonadotropin. Selain itu, plasenta mengeluarkan P4 level tinggi selama kebuntingan, meskipun isozim yang berbeda dari 3β-HSD terlibat dalam sintesis ini (Melmed dan Conn, 2005).
20
Gambar 5. Jalur sintetis dan struktur dari progestin utama dan corticoid ditemukan pada manusia. Enzim utama yang terlibat dalam sintesis dicetak tebal (Melmed dan Conn, 2005).
Metabolisme Hormon Progesteron Sekitar 96-99 % P4 berikatan dengan protein serum, terutama albumin 5054% dan transcortin 43-48%. P4 dimetabolisme terutama oleh hati dan sebagian besar untuk prenanediol dan pregnanolon. Pregnanediol dan pregnanolon terkonjugasi dalam hati. Metabolit P4 yang diekskresikan melalui empedu dapat dikonjugasikan dan selanjutnya dikurangi konsentrasinya melalui metabolisme usus kemudian diekskresikan dalam feses. Glukoronida dan konjugasi sulfat pregnanediol dan pregnanolon diekskresikan dalam empedu dan urin. Preparat P4 oral dimetabolisme usus dengan aktivitas kurang progestasional, sintesis progestin dapat mengubah flora usus dan mempengaruhi kadar P4 ini. Ekskresi P4 yang
21
berupa derivate 17α-hydroxyprogesterone ditemukan dalam feses sebesar 40-68%. Sedangkan pada urin sebesar 1,2-5,4% yang diekskresikan selama lebih dari 100 hari. Metabolit P4 yang ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit pada susu. Ekskresi melalui susu ini bukanlah jalan utama untuk ekskresi P4 dan metabolitnya karena sapi biasanya bunting dan laktasi secara serempak dan dapat diindikasikan bahwa uptake P4 pada glandula mamae bukanlah bagian dari proses ekskresi hormon ini (Nguyen dkk., 2012).
BAB III MATERI DAN METODE
A. Materi Materi yang digunakan adalah cairan folikel yang diisolasi dari ovarium sapi potong yang termasuk kriteria menurut Soejosopoetro (2011) (tidak cacat fisik dan dapat difungsikan dengan baik) dari Rumah Potong Hewan (RPH) Giwangan, Yogyakarta. Folikel yang digunakan untuk diambil cairannya memiliki ukuran yang bervariasi. Pada penelitian ini, folikel diseleksi dan dibagi atas 2 kelompok berdasarkan ukuran diameternya, yaitu diameter folikel yang berukuran < 5 mm dan diameter > 5 mm. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) Kit untuk mengukur kadar hormon progesteron (P4), dissposible shirynx ukuran 5 cc, jangka sorong, coolbox, tabung falcon steril, mikropipet dan tabung mikro. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada.
B. Metode 1. Pengambilan Sampel dan Koleksi Cairan Folikel Besar dan Kecil Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013. Pengoleksian ovarium dilakukan secara random dalam satu bulan penelitian sampai
22
23
memenuhi jumlah target total ovarium yang terkumpul. Penelitian dilakukan dengan beberapa tahap yaitu, ovarium yang dikoleksi bersumber dari sapi potong yang tidak sedang bunting dan pada tahap siklus reproduksi yang berbeda-beda di Rumah Potong Hewan Giwangan, Yogyakarta. Ovarium diambil segera setelah pemotongan dan disimpan dalam tas steril berisi es, lalu dibawa ke Laboratorium Fisiologi untuk diambil cairan folikelnya. Ovarium sapi yang telah dikoleksi lalu diukur dan diklasifikasikan berdasarkan ukuran folikel kecil dan folikel besar dengan menggunakan jangka sorong. Ukuran folikel kecil atau besar ditentukan berdasarkan diameternya, untuk folikel kecil diameter < 5mm (folikel sedang dalam masa pertumbuhan) sedangkan untuk folikel besar diameter > 5mm (folikel sudah matang). Langkah selanjutnya, yaitu dilakukan aspirasi pada setiap folikel. Pada penelitian ini cairan folikel diisolasi dengan menggunakan spuit 5 cc dengan metode aspirasi dari folikel ovarium sapi lalu dimasukkan ke dalam tabung mikro. Tabung mikro kemudian disimpan dalam lemari es sampai akan dianalisis dengan uji ELISA. Pemeriksaan hormon progesteron (P4) dilakukan dengan metode ELISA commercial kit (DRG® Progesterone ELISA EIA1561).
24
2. Analisis Hormon Progesteron (P4) dengan Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) Kadar hormon P4 dalam cairan folikel sapi berfolikel besar dan kecil dianalisis menggunakan ELISA commercial kit. ELISA kit menggunakan produk DRG Progesterone Enzyme Immunoassay Kit (DRG® Progesterone ELISA EIA-1561) yang diproduksi oleh DRG International, Inc, Amerika. Prinsip dari uji ELISA adalah reaksi kompleks antigen-antibodi dengan melibatkan peran enzim konjugasi anti spesimen imunoglobin dan substrat sebagai indikator dalam reaksi. Teknik ini merupakan uji serologik kuantitatif dan
dilakukan
dengan
menggunakan
pelat
mikrotiter
(Layla
dan
Poewadikarta, 1993). Proses ELISA dan pembacaan hasil ELISA dilakukan di Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Semua sampel dan kit P4 diletakkan dalam temperatur ruangan (25oC). Sebanyak 25 μl larutan standar, kontrol dan sampel dimasukkan ke dalam sumuran dengan menggunakan pipet dissposable tip yang selalu diganti dengan yang baru setiap memasukkan larutan standar sampel-sampel ke dalam sumuran untuk menghindari kontaminasi, kemudian diinkubasi selama 5 menit dalam suhu ruangan. Langkah berikutnya adalah menambahkan dengan 200 μl Enzym Conjugate ke dalam setiap sumuran kemudian dicampur selama 10 detik. Proses berikutnya adalah membiarkan sampel dan Enzym Conjugate di dalam temperatur ruangan selama 60 menit. Inkubasi tersebut dimaksudkan untuk memberi kesempatan sampel dan Enzym Conjugate berkompetisi untuk
25
berikatan dengan antibodi. Setelah diinkubasi selama 60 menit, keluarkan dengan cepat isi dari sumuran lalu dilakukan pencucian sumuran sebanyak tiga kali dengan menggunakan Wash Solution (400 μl per sumuran). Letakkan sumuran pada kertas penyerap untuk membersihkan sisa droplet yang ada di dalam sumuran secara keseluruhan. Setelah mikroplat benar-benar kering, diberi 200 μl Substrat Solution. Mengingat substrat sangat rentan terhadap cahaya, maka dalam tahap ini larutan disimpan di dalam ruangan yang bebas cahaya dan diinkubasikan lagi dalam waktu 15 menit pada suhu ruangan. Reaksi diakhiri dengan menambahkan larutan penyetop (Stop Solution) sebanyak 100 μl ke dalam masing-masing sumuran untuk menghentikan reaksi enzimatik. Selanjutnya, sumuran dimasukkan ke dalam ELISA Reader dengan panjang gelombang 450 nm ± 10 nm. Dianjurkan bahwa untuk membaca sumuran sekitar 10 menit setelah penambahan Stop Solution. Hasil perolehan data yang berupa Optical Density (OD) diinterpolasikan secara computerized dengan menggunakan rumus umum: y= -a Ln(x) + b (Anonim, 2007).
3. Analisis Data Hasil ELISA diolah menggunakan program komputasi komputer Microsoft Excel 2007. Pengolahan diawali dengan memasukkan hasil pembacaan dari ELISA reader, kemudian dari nilai baca pada sumuran standard dan nilai standard pada tabel yang tersedia dalam kit ELISA dilakukan pembuatan grafik logaritma. Dari grafik logaritma tersebut maka
26
akan didapatkan fungsi logaritma (y= -a Ln(x) + b) yang kemudian digunakan untuk mencari nilai kadar hormon tertentu dalam cairan folikel dari nilai baca yang tertera pada hasil ELISA. Hasil ELISA dianalisis secara statistik menggunakan metode Independent t-test dengan bantuan program komputasi SPSS.