BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Pemilihan umum (Pemilu) dimaknai sebagai sarana kedaulatan rakyat. Melalui Pemilihan Umum juga diyakini akan melahirkan wakil dan pemimpin yang dikehendaki rakyatnya. ”Pesta demokrasi” di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami perubahan dasar berpijak pada karakteristik masing-masing. Umumnya sistem pemilihan umum yang dipakai ada dua yakni sistem proposional dan sistem distrik. Pemilihan umum di Indonesia sudah dilaksanakan berkali-kali yakni pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009. Pemilihan umum 1955 merupakan pemilihan umum yang pertama kali diadakan di Indonesia yaitu pada masa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu 1955 berasaskan pada langsung, umum, bebas, rahasia dan kebersamaan. Dengan asas kebersamaan ini setiap individu diakui kesamaan hak dan kedudukannya sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum. Oleh karena itu pada pemilihan umum 1955 semua wakil rakyat dipilih melalui pemilihan umum dan tidak ada yang diangkat (Asshidique 1994:168). Sampai tahun 2009, Indonesia telah menyelenggarakan 10
kali
pemilihan umum. Pemilu untuk pertama kalinya diselenggarakan tahun 1955. Setelah pemilu pertama ini, Pemilu baru dilaksanakan enam belas
tahun kemudian tepatnya yaitu tahun 1971. Pemilu kedua ini digelar dalam konteks politik yang berbeda, karena ada proses transfer kekuasaan dari rezim Soekarno ke rezim Orde Baru pada tahun 1966. Posisi Soeharto dalam Orde Baru yang berhasil membawa Indonesia keluar dari kekacauan ekonomi yang diwarisi presiden Soekarno dan keinginannya untuk mendistribusikan sebagian dari keuntungan pertumbuhan ekonomi kepada para pendukung sangatlah kuat (R William Lidle.1992:16). Pada era Orde Baru, saluran aspirasi politik dibelenggu dengan hanya memperbolehkan adanya dua partai politik (Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan satu Golongan Karya (Golkar). Kondisi ini memperkecil kemungkinan partisipasi secara penuh berbagai kelompok / golongan politik yang ada di Indonesia. Bahkan pada saat itu pemerintah berkuasa melakukan dominasi politik di segala bidang dengan Golkar. Pada masa Orde baru atau pemerintahan Soeharto terjadi 6 kali Pemilu (1971,1977,1982,1987,1992,1997) hanya dapat menghasilkan mayoritas para wakil rakyat yang tidak mampu membawa aspirasi rakyat dengan sangat baik. Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem per- wakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar Pada era Soeharto, rezim Orde Baru melakukan pengendalian politik secara total terhadap desa. Desa diintegrasikan ke dalam formasi “negara modern”. Segala keputusan dan peraturan negara mengikat seluruh
warga desa di seluruh Indonesia. Apalagi di zaman Orde Baru, formasi negara modern yang hirarkhis semakin ketat dan sentralistik. Melalui berbagai perangkat peraturan, terutama UU No. 5/1974 dan UU No. 5/1979, desa dikendalikan oleh tangan-tangan birokrasi dari istana negara, kementerian dalam negeri, propinsi, kabupaten dan sampai kecamatan. Partai politik telah berlaku sebagai sarana artikulasi aspirasi-aspirasi lokal dalam kerangka yang sifatnya parochial (karena partai-partai dengan dukungan lokal terbesar juga kuat di tingkat nasional) dan rupanya memberikan, bersama-sama lembaga-lembaga legeslatif lokal, seperangkat struktur dalam mana rakyat dapat memulai mengorganisasikan masyarakat baru yang telah digoncangkan dari tambatan tradisional oleh dasa warsa kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, dan revolusi (R. Willim Lidle 1992:2).
Sejak
kemerdekaan
tanggung
jawab
utama
administrasi
pemerintahan dipegang oleh pamong praja dibawah departemen dalam negeri dengan partai-partai memainkan peran pembantu cukup penting mewakili kepentingan-kepentingan lokal kepada pemerintah. Desa sesungguhnya merupakan basis utama dari pembangunan suatu bangsa karena di desa inilah warga masyarakat secara langsung terlibat dalam kegiatan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Sehubungan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk menulis bagaimana peran perangkat desa dalam menghadapi pemilu pada masa pemerintahan Soeharto tahun 1977. Apakah terjadi sebuah pergeseran fungsi terhadap perangkat-perangkat
desa mengingat pada era Soeharto sangat mendominasi di berbagai bidang termasuk dalam pemilu. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah Peran Perangkat Desa Pada Pemilihan Umum Tahun 1977 di Boyolali 2. bagaimanakah Persepsi Masyarakat ketika pemilu tahun 1977 di Boyolali. C. Tujuan Penelitian Sejalan dengan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendiskripsikan peran perangkat desa dalam menghadapi pemilu tahun 1977 dan bagaimana situasi ketika pemilu tahun 1977 di Boyolali. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipertimbangkan sebagai bahan masukan bagi Universitas Kristen Satya Wacana terutama Program Studi Pendidikan Sejarah adalah sebagai sumbangan pengetahuan dan sebagai bahan materi Sejarah Politik. 2. Manfaat Praktis a.
Sarana menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada masyarakat Boyolali pada umumnya dan generasi muda pada khususnya
b. Partisipasi dan tanggung jawab sebagai warga Negara untuk melaksanakan tugas sesuai hak dan kewajiban.