BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang (alasan pemilihan kasus) Juvenile idiopathic arthritis (JIA) merupakan penyakit peradangan sendi kronik yang paling banyak ditemukan pada anak-anak.1 Juvenille idiopathic arthritis oleh International League of Association for Rheumatology (ILAR) didefinisikan sebagai arthritis yang tidak diketahui penyebabnya, pada anak usia kurang dari 16 tahun yang berlangsung menetap selama minimal 6 minggu. Penyakit ini didiagnosis setelah menyingkirkan penyebabpenyebab yang lain.2 Arthritis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaaan fisik dengan ditemukan tanda peradangan yaitu tumor (bengkak) pada persendian atau menemukan dua dari gejala kelainan sendi yaitu dolor (nyeri pada gerakan sendi), kalor (peningkatan suhu di daerah sendi) dan functio lesa (gerakan sendi terbatas).3,4 Jing-Long Huang menyebutkan bahwa 1 dari 1000 anak-anak di dunia menderita JIA.5 Insidensi dan prevalensi yang dilaporkan sangat bervariasi, karena JIA merupakan diagnosis klinis dari kumpulan gejala yang heterogen dan belum ada diagnosis tes secara spesifik. Data yang ada kadang berada di bawah insidensi dan prevalensi yang sesungguhnya karena underdiagnosis dan banyak penelitian yang pernah dilakukan berdasarkan penemuan klinis.5 Pada penelitian yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, selama kurun waktu Januari 2001 sampai dengan 31 Desember 2006 didapatkan 35,9% pasien JIA dari 198 pasien dengan keluhan utama Arthritis.6 Penatalaksanaan jangka panjang JIA meliputi penggunaan obat-obatan secara optimal, tata laksana non farmakologi, pencegahan komplikasi, mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan, alur rujukan dan perawatan, edukasi manajemen penggunaan alat penunjang psikososial pasien.
mandiri pasien dan
2
JIA merupakan penyakit kronis yang bisa mengalami remisi dan flare, sehingga dibutuhkan pemantauan, pencatatan dan pendampingan yang baik untuk memastikan anak mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai untuk kondisi JIA dan kondisi lain yang menyertai. Kerjasama antara orangtua, kader, puskesmas dan rumah sakit daerah diperlukan agar anak mendapatkan tata laksana jangka panjang yang baik dan berkesinambungan. Orangtua diharapkan dapat memahami secara penuh bahwa anak dengan penyakit JIA memerlukan terapi yang intensif, berkesinambungan dan pelayanan kesehatan yang optimal. 1
2
Pasien yang akan kami amati adalah remaja, laki-laki berumur 13 tahun yang berasal dari Magelang. Remaja dengan penyakit kronis memerlukan perhatian khusus karena kondisinya yang berbeda dengan remaja yang sehat. Dia dapat mengalami gangguan dalam setiap sektor tumbuh kembangnya, sehingga diperlukan penanganan baik secara medis maupun sebagai motivator dalam semua aspek kehidupan secara komprehensif. Kerjasama dari multidisipliner seperti dari dokter, psikolog, okupasi-terapis, fisioterapis, dan ahli gizi diperlukan untuk penatalaksanaan pasien dengan penyakit kronis. Penatalaksanaan yang optimal penting untuk keberhasilan pengobatan, dengan melibatkan kesehatan mental, memantau perkembangan anak dan melibatkan keluarga. 7 B. Deskripsi Kasus Singkat Pasien merupakan anak laki-laki usia 13 tahun 9 bulan, merupakan pasien rutin di poliklinik alergi dan imunologi dengan diagnosis Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) sejak bulan Mei 2012. Pasien datang pertama kali ke poliklinik alergi dan imunologi dengan keluhan utama nyeri tulang (rujukan dokter spesialis saraf dengan diagnosis suspek Rheumatoid arthritis).Dari anamnesa dengan pasien dan orangtua didapatkan sejak kurang lebih 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri dan kekakuan sendi di kedua lutut dan pergelangan kaki, kemudian berobat ke dokter spesialis anak didiagnosis sebagai infeksi virus, diberikan obat dan diminum teratur,kontrol 2 kali ke dokter spesialis anak tersebut, nyeri sudah berkurang, bisa berjalan tetapi dengan aktivitas yang terbatas. Orangtua juga membawa berobat ke dokter spesialis saraf didiagnosis sebagai penyakit rheumatik, diberi obat 3 macam, tetapi tidak ada perbaikan, kemudian orangtua membawa pasien ke RSUP DR Sardjito.
Pada kunjungan pertama di RSUP DR Sardjito yaitu tanggal 16 Mei 2012
didiagnosis sebagai JIA pauciarticular/oligoarticular dengan kriteria usia kurang dari 16 tahun, nyeri sendi simetris dan tidak berpindah-pindah, kekakuan sendi dan keterbatasan gerak, keterlibatan 4 sendi dan berlangsung selama lebih dari 6 minggu ( 3 bulan). Dilakukan eksklusi untuk penyakit lain yaitu Demam Rhematik akut dengan kriteria Jones: Mayor hanya didapatkan arthritis, tetapi tidak didapatkan nodul subkutan, khorea, eritema marginatum, maupun karditis. Pada Kriteria minor juga hanya didapatkan arthalgia, tidak didapatkan demam, Elektrokardiogram (EKG) dalam batas normal, dilakukan pemeriksaan C- reactive protein (CRP) dan Laju Enap Darah (LED. Anak didignosis sebagai JIA
3
pausiartikuler dan diberi terapi ibuprofen 40 mg/kgBB/hari sesuai dengan protokol JIA pausiartikuler. Pada kunjungan yang kedua, yaitu tanggal 18 Mei 2012, anak mengeluh nyeri dada dengan kualitas menusuk dan tajam di dada kiri, menjalar ke tulang belikat kiri atas,anak dibawa ke instalasi gawat darurat RSUP DR Sardjito dan dikonsulkan ke sub bag kardiologi. Dilakukan EKG dengan hasil irama sinus,Dilakukan pemeriksaan Rontgen thoraks dengan hasil normal, dilakukan pemeriksaan urin rutin dengan hasil normal, dilakukan pemeriksaan SGOT dengan hasil 19 (normal) dan SGPT dengan hasil 11 (normal), albumin didapatkan hasil 4,18 (normal). Anak didiagnosis dengan JIA pauciartikuler dan mendapat terapi sesuai dengan protokol yaitu Ibuprofen 40 mg/kgBB/hr, Methotrexat per oral 10-15 mg /m2/minggu dan asam folat 1 mg tablet dalam 1 minggu sekali. Pada kunjungan ketiga, yaitu tanggal 30 Mei 2012, anak merasakan keluhan yang bertambah. Didapatkan nyeri pada regio genu dekstra dan sinistra, pada ankle joint dekstra dan sinistra, pada interphalang proksimal digiti I pedis dekstra et sinistra dan ditemukan nyeri tekan epigastrium. Anak didiagnosis dengan JIA pausiartikuler ,extended. Pasien dilakukan pemeriksaan darah Rutin, SGOT dan SGPT, Rontgen Genu, CRP, ASTO, Rheumatoid Factor, LED , ANA dan Ds DNA dan konsul ke dokter spesialis mata untuk mengetahui adakah uvueitis. Hasil pemeriksaan darah didapatkan LED I : 34 mm/jam (0-15) Angka Leukosit 8700/ l (4,8-10,8) Netrofil 28,2% (43,0-65,0), Lymphosit 60,1 % (20,5-45,5), monosit 7,8% (5,5-11,7), eosinofil 3,9 % (0,9-2,9) Hemoglobin 14,9 g/dL ( 14,0-18,0), Hct 42 % (42-52%) MCV 83,8 (80-94) MCH 29,5 (27-31) MCHC 35,4 (32-36) Angka Trombosit 395.000 (130-400.000), Rheumatoid Factor negatif. Hasil pemeriksaan urin rutin dalam batas normal. Hasil foto Rontgen genu didapatkan kesan tidak didapatkan tanda arthritis pada ankle joint.. Dilakukan juga eksklusi untuk penyakit Sistemik Lupus Eritematous dengan didapatkan arthalgia, tetapi tidak didapatkan ruam malar, diskoid lupus, fotosensitivitas, ulkus mukokutaneus, nefritis, serositis, tidak juga didapatkan keterlibatan susunan saraf pusat seperti kejang, nyeri kepala. tidak didapatkan sitopenia. Hasil ANA test dan Ds DNA juga negatif. Pada kunjungan keempat, yaitu tanggal 7 Juni 2012, keluhan anak bertambah. Sejak 9 hari sebelum masuk RS anak mengeluh nyeri dari telapak kaki, betis, lutut sampai kedua paha bertambah, nyeri berdenyut sehingga sampai tidak bisa berjalan. Anak juga mengeluh
4
seluruh tubuh tiba-tiba lemas sudah berlangsung selama 2 minggu, frekuensi 1-2x/hari, berhenti/membaik sendiri. Riwayat anak tiba-tiba tertidur sebentar juga sering terjadi. Riwayat kejang dengan demam didapatkan pada ibu dan kakak kandung, riwayat kejang tanpa demam pada bude dan cucu bude. Anak juga sering merasakan badan seperti ada yang mendorong dari belakang, kemudian dikonsulkan ke sub bagian neurologi didiagnosis sebagai epilepsi atonik, diberikan terapi Asam Valproat 15 mg/kgBB/hari. EEG dilakukan dengan hasil dalam batas normal. Sampai bulan Desember 2012,
pasien masih sering
merasakan serangan seperti didorong dari belakang, walaupun sudah berkurang. Pada bulan November, anak sering mengeluh pusing dan pilek, sehingga dilakukan MRI, didapatkan hasil : penebalan mucosa sinus ethmoidalais dan maxillaris dextra (sinusitis), direncanakan kontrol ke bagian THT bila ada keluhan. Pada tanggal 3 Januari 3013 terjadi keluhan kembali berupa nyeri pada sendi kaki dan tangan terasa kaku (sendi lutut, sendi kecil jari- jari dan pergelangan tangan dan sendi kaki), anak disarankan untuk dirawat, diberikan terapi Methotrexat subkutan 0,5 mg/kgBB sejak tanggal 4 Januari 2013 setiap minggu sekali, ibuprofen 10 mg/kgBB/x , metylprednisolon tablet 1 mg/kgBB/hari dilanjutkan mulai minggu ke 37 dan depakene 15 mg/kgBB/hari. Hasil pemeriksaan darah didapatkan LED 5 mm/jam (0-15) Jumlah Leukosit 10.910 / l(4,8-10,8) Netrofil 54,3% (43,0-65,0), Lymphosit 32.4 % (20,5-45,5), monosit 5,5 % (5,5-11,7), eosinofil 1,5 % (0,9-2,9) Hemoglobin 12,2 g/dL ( 14,0-18,0), Hct 35,7 %(42-52%), MCV 81,4(80-94) MCH 27,8(27-31), MCHC 34,2 (32-36), jumlah trombosit 381.000 (130400.000), SGOT 22 U/L (< 40), SGPT 11 U/L( <42), BUN 10.0 mg/dL ( 6-20) dan Creatinin 0,62 mg/dL (0,6-1,3). Hasil pemeriksaan Rontgen manus AP/lateral tidak didapatkan pembengkakan jaringan lunak, struktur dan trabekulasi tulang baik, kesan tidak didapatkan kelainan pada manus bilateral. Pada tanggal 19 Febuari 2013 pasien dirawat dengan keluhan nyeri pada kaki, nyeri di lambung saat bangun tidur,
nyeri pinggang kanan dan kiri. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan terdapat tanda peradangan (bengkak, rubor, dolor, kalor dan functio lesa) pada sendi kaki dan dilakukan pemeriksaan nyeri ketok costovertebral angel (CVA) sinistra positif. Hasil pemeriksaan darah didapatkan didapatkan
LED 6 mm/jam (0-15) Jumlah
Leukosit 13.950 / l (4,8-10,8) Netrofil 75,9 % (43,0-65,0), Lymphosit 14,9 % (20,5-45,5), monosit 5,5 % (5,5-11,7), eosinofil 1,5 % (0,9-2,9) Hemoglobin 13,1 g/dL ( 14,0-18,0), Hct 40,4 % (42-52%) , MCV 83,4(80-94), MCH 27,1(27-31), MCHC 32,5 (32-36), Jumlah
5
Trombosit 327.000 (130-400.000), SGOT 17 U/L (<= 40), SGPT 12 U/L ( <42) BUN 18,3 mg/dL ( 6-20) Creatinin 0,69 mg/dL (0,6-1,3), CRP <5. Morfologi Darah Tepi (MDT) dilakukan dengan kesan normositik normokromik, reaktivitas neutrofil, dengan kesimpulan hasil gambaran proses infeksi bakterial. Hasil pemeriksaan urin rutin dengan hasil protein +-, leukosit esterase 25. Kultur urin dilakukan dengan hasil didapatkan kuman Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap antibiotik Amikasin, Ampisillin/Sulbactam, Cefoxitin, Cefpiron, Ceftazidim, Ceftriaxon, Erythromisin, Trimethoprim, Sulfamethoxazol, dilakukan pemeriksaan USG traktus Urinarius dengan hasil Cystitis, tak tampak kelainan pada kedua Ren, dilakukan juga pemeriksaan mikroalbuminuria dengan hasil mikroalbumin <5 mg/dL( 5-20). Hasil anti nuclear antibody (ANA ) test : 15,93 ( negatif< 20), Anti double strand (Ds DNA) 12,6 (negatif 0-200 IU/ml) dan Anti-cyclic Citrulinated Peptide (anti CCP) antibodi < 3,0 RU/ml ( <5). Dilakukan pelacakan untuk karditis, tidak didapatkan tanda karditis berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, EKG dan ekhokardiografi. Orangtua mengeluh anak tiba-tiba tertidur, lemas dan sering sakit kepala. Kemudia dikonsulkan ke divisi neurologi dan didiagnosis dengan suspek epilepsi atonik dd absence, kemudian dilakukan EEG dan Brain Mapping dengan hasil dalam batas normal tetapi low voltage, tidak ditemukan pola EEG iritatif maupun hipofungsi. Pemeriksaan Elektroneuromyografi (ENMG) saraf perifer keempat ekstremitas sampai dengan radiks spinalis dilakukan pada tanggal 21 Febuari 2013 diperoleh hasil dalam batas normal. Pada tanggal 28 Febuari 2013 dilakukan pemeriksaan foto thoraco lumbal AP/lateral dengan hasil tak tampak kelainan pada vertebra thoraco lumbal, dan foto Cervical AP/Lateral dengan hasil didapatkan paraspinal musculospasme cervicalis. Dilakukan konsultasi dengan dokter spesialis radiologi didapatkan hasil kemungkinan penyebab berasal dari jaringan lunak karena dari tulang didapatkan gambaran normal. Dilakukan konsultasi ke bagian Instalasi Rehabilitasi Medis (IRM) disarankan untuk dilakukan cryoterapi ekstremitas /joint tangan kanan dan kiri, Cryo dan Transcutaneus Electro Neuro Stimulation (TENS) lutut kanan dan kiri (mulai paha) dan dilakukan exercise setiap hari untuk mencegah kkontraktur. Dilakukan konsultasi ke bagian Penyakit dalam sub bag Rheumatologi, didiagnosis sebagai Spondyloarthropati. Pada tanggal 22 Juli 2013, anak dirawat dengan keluhan tidak bisa berjalan dan nyeri pada pergelangan kaki.Lima hari sebelum masuk RS anak mengeluh batuk, pilek dan demam, oleh orangtua anak dibawa ke dokter umum, keluhan membaik. Hari berikutnya, anak mulai merasakan nyeri di lutut, betis, pergelangan kaki dan telapak kaki, anak tidak bisa berjalan. Anak didiagnosis dengan JIA poliartikuler dan diberikan terapi injeksi intraartikuler dengan
6
Triamsinolon Acetonide dan Lidokain dengan perbandingan 1:1 , ibuprofen tablet 400 mg 3 kali sehari dan hidroksiklorokuin tablet 150 mg 2 kali sehari . Anak juga diberikan metylprednisolon tablet 1 mg/kg BB/hari. Pada pemeriksaan fisik pada bulan November 2013 didapatkan pasien sadar, tidak tampak kesakitan, nyeri tulang sudah jauh berkurang, anak sudah bisa berjalan biasa, tangan sudah bisa dilakukan untuk beraktivitas sejak sebulan yang lalu, tidak didapatkan demam , batuk maupun pilek tak ada. Laju nadi 88 kali per menit, laju pernapasan 22 kali per menit, suhu aksila 36,7oC. Berat badan50,0 kg, tinggi badan 152 cm, lingkar kepala 57,0 cm, lingkar lengan atas 22 cm dengan status gizi BMI : 21,2, BMI/U : 0
7
Dari alloanamnesis dengan ibu pasien didapat keterangan bahwa riwayat kehamilan anak dalam kandungan 9 bulan, dari ibu G3P2 Ao. Selama hamil, berat badan ibu naik 9 kg, ibu sempat flek perdarahan dan asmanya kambuh saat usia kandungan 6,5 bulan. Ibu rajin minum tablet besi dan asam folat, ibu tidak mual, tidak muntah dan rutin menjalani pemeriksaan selama hamil di dokter spesialis kandungan. Anak lahir ditolong oleh dokter spesialis kandungan di RSI Magelang secara Sectio Caesaria karena pembukaan tidak ada, berat badan lahir 3500 gram, panjang badan lahir 49 cm. Setelah lahir dikatakan langsung menangis. Riwayat post partum dikatakan kontrol ke SpA, anak mendapatkan imunisasi lengkap sesuai PPI. Riwayat makanan sejak lahir sampai umur 4 bulan hanya mendapatkan ASI. Sejak umur 4 bulan sudah dicoba mulai diberikan bubur susu. Sejak umur 12 bulan anak mendapatkan nasi lunak dan lauk, kemudian usia 2,5 tahun sudah nasi dengan lauk sesuai menu keluarga sampai sekarang sayur, lauk dan kadang-kadang buah. Perkembangan motorik kasar , motorik halus, bahasa dan sosial pasien sesuai dengan usianya. Saat ini pasien duduk di kelas 2 SMP di magelang. Prestasi sekolah anak baik, anak ikut serta dalam lomba Matematika tingkat nasional. Riwayat imunisasi dikatakan lengkap sesuai dengan yang dianjurkan dokter saat itu. Anak tinggal bersama orangtua( kedua kakak kost di luar kota) di rumah ukuran 20x10 m2,terdiri dari 4 kamar tidur, 2 kamar mandi dan WC, dapur menggunakan kompor gas, lantai marmer, dinding tembok, atap genteng. Pendapatan kedua orangtua setiap bulan lebih dari 5 juta rupiah. C. Tujuan Untuk melihat luaran jangka panjang dan jangka pendek pada pasien JIA, mendampingi dan memberikan intervensi kepada
pasien JIA secara berkesinambungan
sehingga terjadi remisi, perkembangan fisik dan mental yang optimal, tidak terjadi efek samping obat yang berat dan tidak terjadi komplikasi.
8
D. Manfaat Manfaat untuk pasien diharapkan dengan pemantauan dan intervensi yang baik dan berkesinambungan anak dengan JIA dapat mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, mencegah timbulnya komplikasi dan mendapatkan prognosis yang lebih baik . Manfaat untuk keluarga adalah keluarga mendapatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai penyakit anak baik kondisi-kondisi terkait, komplikasi, prognosis dan manajemen yang diterapkan sehingga dapat bekerja sama dalam menangani penderita tersebut. Peranan keluarga sangat penting dalam keberhasilan tatalaksana anak dengan JIA karena diperlukan kesabaran, ketelatenan dan dukungan dari seluruh keluarga supaya anak tetap semangat menjalani serangkaian tata laksana JIA. Manfaat untuk peserta PPDS I adalah menambah pengetahuan tentang penyakit JIA tatalaksana terapi yang komprehensif pada anak dengan JIA baik aspek medis, tumbuh kembang, psikologis dan hal-hal yang mempengaruhinya. Dengan melakukan pemantauan pada anak dengan JIA sehingga dapat mencapai hasil yang seoptimal mungkin dengan terapi yang komprehensif, dan komplikasi dapat dihindari. Manfaat untuk rumah sakit antara lain dengan tatalaksana anak dengan JIA yang komprehensif mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit dapat ditingkatkan dan dapat memberikan luaran yang optimal dalam penanganannya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
Uraian Penyakit
Juvenile idiopathic arthritis (JIA) merupakan penyakit peradangan sendi yang kronik dan merupakan penyakit rematik yang paling banyak ditemukan pada usia anak-anak dan remaja. Berdasarkan kriteria International League Against Rheumatism (ILAR) tahun 1997 JIA didefinisikan sebagai penyakit radang sendi yang menetap selama lebih dari 6 minggu dan terjadi sebelum anak berusia 16 tahun. Juvenile idiopathic arthritis (JIA) dibuat dengan diagnosis eksklusi terhadap arthritis yang tidak diketahui penyebabnya seperti infeksi, onkologi dan penyebab rhematik yang lain.2,5,7 Faktor lingkungan seperti infeksi diduga berpengaruh sebagai pencetus penyakit pada individu yang secara genetik berpotensi menderita JIA yang sering menetap sampai dewasa dan bisa menjadi morbiditas jangka lama seperti kecacatan fisik.8 Juvenile idiopathic arthritis diklasifikasikan menjadi 7 subtipe, yaitu :2 1. Oligoartikuler, melibatkan 4 sendi atau kurang. Tipe ini adalah tipe yang paling banyak ditemukan. 2. Poliartikuler (RhF negatif), melibatkan 5 sendi atau lebih, tidak ditemukan antibodi Rheumatoid factor (RhF) pada pemeriksaan darah. 3. Poliartikuler (RhF positif), melibatkan 5 sendi atau lebih, ditemukan antibodi Rheumatoid factor (RhF) pada pemeriksaan darah, tipe ini yang paling menyerupai arthritis rheumatik pada dewasa. 4. Sistemik, berhubungan dengan gsmbaran sistemik seperti demam tinggi, trancient episodic erytematous rash, limfadenopati dan hepatoslenomegali 5. Enthesis, dahulu dikenal sebagai Juvennile spondyloarthropathy, merupakan arthritis kronik yang diserai dengan enthesis yaitu inflamasi pada insersi tendon, ligamen atau fascia tulang. 6. Psoriatic, melibatkan sendi besar dan kecil secara asimetris, terdapat psoariasis atau bukti diathesis psoriasis (2 dari kriteria berikut : riwayat keluarga, nail pits atau onycholysis atau dactylitis). 7. Undifferentiated arthritis.
9
10
Pada penelitian yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan tipe oligoarthritis sebanyak 40,8%, tipe poliarthritis faktor Rheumatoid negatif 32,4%, tipe sistemik 16,9%, tipe poliarthritis faktor Rheumatoid positif 7,1 % dan arthritis dengan entesitis 2,8%. Terbanyak didapatkan pada usia 5-10 tahun dengan usia termuda 1 tahun 10 bulan dengan usia tertua 15 tahun. Pada anak perempuan lebih banyak didapatkan tipe sistemik dan poliarthritis sedangkan pada anak laki-laki lebih banyak terjadi tipe oligoarthritis. Lama sakit berkisar 6 bulan hingga 6 tahun dengan rerata 19,3 bulan, tipe sakit terlama didapatkan pada tipe poliarthritis faktor Rheumatoid positif yaitu selama 29 bulan sedangkan tersingkat pada tipe sistemik disebabkan karena manifestasi yang lebih berat dijumpai pada tipe sistemik, sehingga menyebabkan pasien segera mencari pertolongan. 6 Keluhan terbanyak pasien JIA adalah nyeri sendi sebanyak 94,4% dan deformitas sendi sebanyak 18,3 % lebih banyak ditemukan pada tipe poliarthritis Faktor Rheumatoid negatif. Kecacatan ditemukan sebanyak 15 hingga 28% pada pasien JIA yang berusia 7-15 tahun.6 Gambaran umum dari semua subtipe JIA adalah arthritis. Gejala sistemik banyak tejadi pada JIA subtipe sistemik dan poliartikuler termasuk kelelahan, penurunan berat badan, anemia, anoreksia dan demam. Inflamasi sendi menyebabkan sendi dan rasa tidak nyaman terutama kekakuan sendi pada pagi hari. Sendi-sendi besar lebih banyak terserang walaupun semua sendi bisa terlibat seperti sendi servikal, thoraco lumbal dan temporomandibular. Ketidaknormalan pertumbuhan jarang terjadi, tetapi dapat menyebabkan perawakan pendek (short stature) atau gangguan pertumbuhan yang terlokalisir seperti bony overgrowth, prematurely fused epiphyses dan limb length discrepancies. Manifestasi di luar artikuler misalnya osteopenia, nodule rheumatoid dan atrofi otot. Penyakit kardiopulmoner juga jarang ditemukan, pericarditis bisa terjadi sampai 9%, tetapi temponade sangat jarang. Dapat pula terjadi Myocarditis dan endokardiitis.9 Penatalaksanaan JIA merupakan kombinasi antara anti peradangan, imunomodulatory dengan terapi okupasional dan fisioterapi, pembedahan, nutrisi, psikososial dan educational partnership antara pasien dan orangtua. Medikasi JIA bisa menggunakan nonsteroidal antiinflamatory drugs (NSAIDs), disease modyfying antirheumatoic drugs (DMARDs) atau obatobatan imunosupresive dan kortikosteroid sistemik, kortikostreoid intra artikuler dan agent modyfying biologic. NSAIDs
digunakan untuk mengatasi nyeri sendi, kekakuan dan demam yang
berhubungan dengan artrhtitis sistemik. NSAIDs digunakan 3 kali sehari dengan monitor
11
level serum. Dengan frekuensi ketidak normalan enzim hepar yang makin besar menyebabkan kemungkinan penyakit berhubungan dengan Reye syndrome. NSAIDs yang disetujui oleh Food and Drugs Administration (FDA) pada JIA adalah tolmetin, naproxen, ibuprofen, diklofenak, ketoprofen, indometasin, piroksikam, fenoprofen, sulindac dan meloxicam. Efek samping saluran pencernaan yang serius jarang terjadi, tetapi 28-75% dari pasien yang mengalami gangguan saluran pencernaan mengalami gastritis dan atau duodenitis. Naproksen berhubungan dengan pseudoporphyria, indometasin menyebabkan efek sistem saraf pusat seperti nyeri kepala dan disorientasi. Efek samping pada organ ginjal seperti nekrosis papillary atau kerusakan fungsi tubulus jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada penggunaan NSAIDs lebih dari 2 jenis. Pediatrik rheumatologis membatasi penggunaan kortikosteroid karena beberapa efek samping yang merugikan pada tulang dan pertumbuhan. Kortikosteroid diberikan pada kondisi severe fever, serositis, dan macrophage activation syndrome atau sebagai terapi penghubung supaya pengobatan lebih efektif. Kortikosteroid waktu kerja panjang seperti Triamsinolon yang diinjeksi intraartikuler mempunyai efikasi yang lebih baik bila dibandingkan intravena maupun per oral. Penelitian yang dilakukan oleh Beth S Gothlieb et at menunjukkan bahwa 70% pasien dengan oligoartritis tidak mengalami reaktivasi penyakit pada sendi yang dinjeksi intraartikuler selama 1 tahun dan 40% setelah lebih dari 2 tahun. Efek samping injeksi intraartikuler ini adalah subkutaneus atrofi, yang bisa dicegah dengan injeksi saline sejumlah kecil ke dalam sendi dan dikuti dengan penekanan pada tempat injeksi. Long acting triamsinolon lebih efektif dan lebih tahan lama dibanding injeksi kortikosteroid yang lain. 9 Methotrexat
merupakan terapi utama pada pasien dengan poliartritis. Sebuah
penelitian yang dilakukaan oleh Philip dkk 10, menyebutkan bahwa peningkatan 10-15% methotrexat 15 mg/m2 setiap minggu bisa efektif untuk pasien yang tidak responsif dengan 10g/m2. Efikasi yang paling baik diperoleh pada pasien dengan extended oligoarthtitis. Tidak jelas apakah pasien berhenti mengkonsumsi methotrexat akan kambuh pada 60% pasien setelah menghentikan terapi methotrexat. Penggunaan methotrexat pada pasien yang mengalami inaktif disease selama lebih dari 1 tahun berhubungan dengan rendahnya rata-rata munculnya kembali keluhan nyeri dan kekakuan sendi atau flare up, tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada penderita yang berhenti minum methotrexat antara 3 bulan dengan 1 tahun. Methotrexat diberikan saat perut kosong karena biovailabilitasnya turun karena makanan. Pada dosis 10mg/m2 per minggu tidak ada perbedaan bermakna
12
antaraperoral maupun parenteral, meskipun parenteral lebih mudah ditoleransi. Methotrexat subcutan diberikan dosis lebih dari 12 mg/m 2. Methotrexat harus diminum dengan asam folat 1 mg/minggu diberikan 1 hari setelah dosis metotreksat. Asam folat dapat mengurangi terjadinya mual, ulserasi mukosa oral, dan mungkin ketidaknormalan fungsi hepar tanpa mengurangi efektifitas methotrexat. Pada pasien poliartritis JIA dengan rheumatoid faktor negatif, hampir sebagian besar NSAIDs tidak efektif . Penggunaan NSAID lebih ke mengendalikan gejalanya. Methotrexat diberikan lebih awal dengan dosis awal 10 mg/m 2 per minggu, jika kurang efektif boleh diberikan lebih dari 15 mg/m2 per minggu dan diberikan secara parenteral. Alternatif yang lain adalah digunakan sulfasalazine dan leflunomide. Bila belum efektif boleh diberikan anti TNF meskipun belum ada bukti apakah penggunaan metotreksat dikombinasi dengan anti TNF lebih efektif apabila hanya anti-TNF tunggal saja.9,11 A. Prognosis dan Outcome Prognosis dan outcome JIA sangat bervariasi berdasarkan tipe dan derajat keparahan penyakit. Banyak anak dengan JIA mempunyai prognosis yang memuaskan dan hampir bebas dari keterbatasan fisik. Prognosis pada JIA sering ditentukan oleh 3 pengukuran utama, yaitu : frekuensi remisi, functional impairment, dan kerusakan tulang. Rata-rata remisi bermacammacam diantara beberapa kelompok JIA, dikarenakan terjadi perbedaan dalam pendekatan dan penelitian, tetapi terdapat persamaan pelaporan bahwa remisi tertinggi terdapat pada tipe oligoartikuler sebanyak 36-84%. Poliartikuler JIA mempunyai angka remisi sebanyak 12,5% sampai 65%, sedangkan tipe sitemik mempunyai angka remisi sebanyak 0-75%. Keterlambatan dalam merujuk pasien JIA dan penanganan yang tidak adekuat mempunyai prognosis yang buruk. JIA poliartikuler dengan rheumatoid factor positif, antibodi cyclic citrullinated peptides, HLA-DR4, nodule dan keterlibatan sendi-sendi kecil sejak awal penyakit mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding JIA oligoartikuler yang biasanya mempunyai outcome yang baik. Begitu juga dengan pasien arthritis sistemik yang tergantung pada kortikosteroid untuk mengendalikan gejala sistemik dan mempunyai angka trombosit lebih dari 600x103 /uL setelah 6 bulan sakit juga mempunyai prognosis yang buruk. Pasien dengan sistemik dan poliartikuler JIA akan berlanjut menjadi penyakit rheumatik yang aktif pada saat dewasa sebanyak 50-70% sedangkan tipe oligoartikuler
sebanyak 40-50%.
Diperkirakan sebanyak 20 % pasien pada saat dewasa mempunyai ketidak mampuan fungsional tingkat sedang sampai berat dan sebanyak 30-40% mempunyai kecacatan jangka
13
panjang sampai menyebabkan tidak bekerja. Pembedahan tulang termasuk joint replacement diperlukan sebanyak 25-50%.9,10 ,11 C. Survival Tingkat kematian pada JIA relatif rendah apabila ditangani dengan adekuat. Di Amerika serikat dan Kanada jarang terjadi kematian (29 dari 10.000 pasien), dan kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan onset JIA sistemik. 10,12 Angka kematian sebesar 0,4% sampai 2% terjadi pada pasien dengan sistemik arthritis dengan penyebab utama amyloidosis dan macrophage activation syndrome.11 D. Komplikasi Ada beberapa komplikasi yang terjadi pada JIA, antara lain Macrophage Activation Syndrome (MAS). MAS merupakan komplikasi JIA yang mengancam nyawa, lebih sering terjadi pada
JIA sistemik, yang ditandai dengan pansitopenia, gangguan fungsi hati,
gangguan koagulasi dan gejala neurologis dan diduga disebabkan karena aktivasi dan proliferasi yang tidak bisa dikendalikan dari limfosit T dan makrofag berdiferensiasi sehingga menyebabkan hemofagositosis dan produksi sitokin yang berlebihan. MAS serupa dengan Haemophagocytic Lymphohistiocytosis (HLH) dan MAS mengacu pada HLH sekunder pada penyakit rheumatik. MAS paling sering terjadi pada sistemik JIA, tetapi dapat ditemui juga pada penyakit rheumatik lain seperti JIA poliartikular, SLE dll. MAS berpotensi menyebabkan kematian terutama pada pasien yang terjadi keterlibatan multisistem atau bila diagnosis terlambat. Komplikasi yang lain adalah uveitis. Uvetis merupakan inflamasi kronik nongranulomatosa yang menyerang iris dan body ciliar yang akhirnya menyebabkan kerusakan. JIA merupakan penyakit sistemik non infeksius yang paling sering berhubungan dengan uveitis pada anak-anak. Uveitis dikelola oleh dokter spesialis mata dan rawat bersama dengan dokter anak. Amyloidosis merupakan komplikasi JIA dimana terdapat penumpukan protein amyloid pada jaringan. Merupakan komplikasi yang jarang terjadi di Amerika utara, tetapi banyak dijumpai di bebereapa bagian di Eropa. Amyloidosis bermanifestasi sebagai proteinuria, sindroma nephrotik, hepatopslenomegali atau anemia yang bisa menyebabkan gagal ginjal.9
14
Komplikasi lain yang umum dari JIA adalah gangguan pertumbuhan ( seperti perbedaan panjang kaki ) . Sendi yang terlibat ( seperti lutut ) memiliki peningkatan aliran darah karena sifat inflamasi arthritis lokal . Peningkatan aliran darah mendorong daerah pertumbuhan tulang ( lempeng pertumbuhan ) untuk aktivitas maksimum dan dengan demikian kaki yang terlibat lebih panjang dari non - anggota tubuh yang terlibat. Namun, sebagai penyakit berlangsung , sifat kronis arthritis dapat merusak wilayah
lempeng
pertumbuhan menyebabkan fusi prematur dan dengan demikian kaki yang terlibat akan terhambat relatif terhadap ekstremitas tidak terlibat. Banyak pasien mengalami nyeri sedang dari sendi yang terlibat mengakibatkan terbatasnya penggunaan wilayah tersebut . Akibatnya, hilangnya kalsium dari tulang dapat mengakibatkan osteoporosis.
15
E. Kerangka konseptual Terapi ESO
Ranitidin
Nyeri perut
AINS (ibuprofen)
Gangg tidur Perubahan mood
Ulkus Peptikum FARMAKOLOGI
sementara Rambut Rontok
J I
Methotrexat
Sakit kepala
Terapi
A
Mual, muntah, nyeri perut
Sukralfat
Insomnia Hidroksiklorokuin Bingung
Uveitis
Banyak pada oligoartikuler, ANA +
Steroid
Gangguan Tidur Striae/acne
Konsul Kulit
Berat badan &nafsu makan Glaukoma
Non Farmakologi
Dukungan psikososial
Dukungan keluarga, guru &teman
Konsul Mata Stop steroid, obat tetes mata, evaluasi
Konseling Psikolog, terapi relaksasi dan distraksi
Fisoterapi Aquatic exercise
Renang
Gambar 1. Kerangka konseptual 1.
DARAH RUTIN, SGOT/SGPT, BUN/CREAT
TERAPI
EFEK SAMPING 16 OBAT EFEKTIVITAS TERAPI
FARMAKOLOGI
NON FARMAKOLOGI
KETAATAN BEROBAT
DIET FISIOTERAPI RENANG
KOMPLIKASI
GANGGUAN PERTUMBUHAN CALSIUM OSTEOPOROSIS EVALUASI RO TIAP 6 BULAN,BONE DENSITOMETRI
J KONTRAKTUR
I
KEHILANGAN MASSA OTOT&KELEMAHAN OTOT
A
GLAUKOM STOP STEROID
KATARAK UVEITIS
STOP HIDROKSIKLOROKUIN
MAS Lebih sering terjadi pada SoJIA
pGALS,CRP,LED
AKTIVITAS PENYAKIT MENTAL
TUMBUH KEMBANG
PERKEMBANGAN FISIK
Gambar 2. Kerangka konseptual 2.
KONTROL RUTIN KE POLI MATA
PERIKSA DARAH RUTIN, FUNGSI HATI DAN FUNGSI GINJAL
BAB III METODE A. Waktu Pemantauan Pemantauan pasien kasus panjang direncanakan selama 18 bulan, tetapi pengamatan berlangsung selama 24 bulan dikarenakan pada bulan ke 18 pengamat ditugaskan stase luar ke Halmahera Barat sebagai bagian dari tugas belajar dari Kementrian Kesehatan, dari bulan Agustus 2015 sampai bulan Januari 2016, sehingga laporan hasil pemantauan dilakukan pada bulan Maret 2016.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan No
Kegiatan
Rencana Pelaksanaan
Realisasi
1.
Pengambilan pasien
September 2013
Oktober 2013
2.
Pembuatan proposal
Desember 2013
Desember 2013
3.
Seminar proposal
Januari 2014
Januari 2014
4.
Pelaksanaan pengamatan
Januari 2014- Juni 2015
Januari 2014-Januari 2016
5.
Pengolahan hasil
Juni 2015
Febuari 2016
6.
Ujian Long-case
Juli 2015
Maret 2016
17
18
B. PEMANTAUAN
Pengelolaan pasien ini
meliputi berbagai aspek, yaitu aspek
terapi,
pemantauan komplikasi, pemantauan tumbuh kembang , perkembangan pubertas dan psikologis. Aspek terapi yang perlu dipantau adalah kepatuhan dalam pengobatan sesuai protokol JIA, memantau efektifitas pengobatan yang dinilai dengan keberhasilan pengobatan (remisi),
akitivitas penyakit yang dinilai dengan pemeriksaan
laboratorium dan efek samping obat. Pemantauan komplikasi penyakit pada pasien JIA meliputi uveitis, glaukoma dan destruksi tulang. Pemantauan tumbuh kembang dipantau dengan mengamati pertumbuhan berat bdan dan tinggi badan. Perkembangan pubertas dipantau dengan mengamati perkembangan seks sekunder menggunakan Tanner. Perkembangan psikologis meliputi kejadian depresi, pemantauan kualitas hidup,fungsi
kognitif, kepribadian remaja dukungan
sosial dari keluarga dan
lingkungan sekolah karena pasien adalah remaja dengan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan dalam jangka waktu lama Variabel yang diamati Variabel yang diamati dalam pemantauan kasus panjang ini antara lain sebagai berikut. 1. Keberhasilan Pengobatan (Remisi) -
Definisi operasional: Clinical remission on medication (CRM) didefinisikan ketika pasien mengalami penyakit yang tidak aktif selama 6 bulan berturutturut dengan pengobatan, sedangkan clinical remission off medication (CR) didefinisikan ketika pasien mengalami penyakit yak tidak aktif selama 12 bulan tanpa pengobatan.
-
Cara pengukuran: dinilai dengan pGALS-a screening examination of the muskuloskeletal system in school-age children
-
Waktu pengukuran: setiap bulan
-
Pengukur: pengamat dibantu residen stase alergi imunologi
-
Kondisi awal pasien saat dipantau adalah dengan penyakit yang aktif, dibuktikan dengan pGALS: nyeri dan kekakuan sendi di lutut, tangan, pergelangan kaki dan tangan, kesulitan dengan berjalan dan bangun dari duduk ke berdiri.
19
-
Kondisi akhir pemantauan : belum terjadi remisi.
2. Pemeriksaan Laboratorium Darah : Darah Rutin, Fungsi Hati, Fungsi Ginjal, CRP, LED -
Definisi operasional: Pemeriksaan darah rutin, fungsi hati dan fungsi ginjal CRP dan LED digunakan untuk memantau perkembangan penyakit dan efek samping obat.
-
Cara pengukuran: darah vena diambil untuk dilakukan pemeriksaan hematologi rutin
-
Waktu pengukuran: setiap 6 bulan
-
Pengukur: dokter SpPK
-
Target: hasil laboratorium normal untuk usia pasien
-
Kondisi awal pemantauan : darah rutin, fungsi hati dan fungsi ginjal normal.
-
Kondisi akhir pemantauan : darah rutin, fungsi hati dan fungsi ginjal normal.
3. Uveitis -
Definisi operasional: Uveitis adalah peradangan inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid) dengan berbagai penyebabnya
-
Cara pengukuran: menggunakan oftalmoskop lampu celah, opthalmoskopik indirek dan direk, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi.
-
Waktu pengukuran: setiap 6 bulanselama 4 tahun, kemudian setiap tahun.
-
Pengukur: dokter spesialis mata.
-
Target: deteksi dini kejadian uvuetis.
-
Kondisi awal pemantauan : darah rutin, fungsi hati dan fungsi ginjal normal.
-
Kondisi akhir pemantauan : darah rutin, fungsi hati dan fungsi ginjal normal
4. Glaukoma -
Definisi operasional:glaukoma adalah penyakit yang menyerang saraf mata (optic nerve) manusia, hingga terjadi kerusakan struktur dan fungsional saraf yang bersesuaian yang disebabkan oleh efek peningkatan tekanan okular pada papil saraf optik.
-
Cara pengukuran: pemeriksaan ketajaman penglihatan, tonometri, gonioskopi, oftamlmoskopi dan pemeriksaan lapangan pandang dan tes provokasi di poli mata.
-
Waktu pengukuran: setiap 6 bulan selama 4 tahun, kemudian setiap tahun.
20
-
Pengukur: dokter spesialis mata.
-
Target: deteksi dini kejadian glaukoma
-
Kondisi awal pemantauan : tidak terjadi glaukoma.
-
Kondisi akhir pemantauan : terjadi glaukoma pada mata kanan dan kiri, sidah diberikan obat tetes mata dan kondisi terakhir terjadi perbaikan, dilihat dari tekanan intraokuler yang menurun dibandingkan sebelumnya.
5. Destruksi tulang -
Definisi operasional: erosi atau kerusakan tulang
-
Cara pengukuran: pemeriksaan radiologi tulang ekstremitas
-
Waktu pengukuran: setiap 6 bulan
-
Pengukur: bagian radiologi dan dokter spesialis Radiologi
-
Target: deteksi dini osteoporosis.
-
Kondisi awal pemantauan : tidak terjadi destruksi tulang
-
Kondisi akhir pemantauan : tidak terjadi destruksi tulang
6. Rehospitalisasi -
Definisi operasional: rawat inap kembali yang terjadi pada masa pengamatan dengan indikasi akibat kondisi atau keadaan yang berhubungan dengan masalah flare, retinopati, kerusakan tulang, efek samping obat, dan nutrisi yang terkait riwayat JIAnya.
-
Cara pengukuran: melihat catatan rekam medik dan menanyakan langsung.
-
Waktu pengukuran: setiap bulan
-
Pengukur: dokter pendamping (residen)
-
Target: Tidak terjadi rehospitalisasi dengan usaha preventif peemberian suplementasi kalsium, edukasi nutrisi, kontrol teratur dan edukasi fisioterapi.
-
Kondisi akhir pemantauan : pasien masih sering rehospitalisasi pada saat nyeri sendi kambuh yang tidak membaik dengan AINS dan harus diberikan injeksi steroid intraartikuler.
7. Pertumbuhan -
Definisi operasional: bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interselular, berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.
21
-
Cara pengukuran: berat badan dengan timbangan badan, panjang badan dengan berdiri menggunakan microtoise.
-
Waktu pengukuran: setiap bulan
-
Pengukur: dokter
-
Target: Pertumbuhan optimal
-
Kondisi awal pemantauan : pertumbuhan optimal
-
Kondisi akhir pemantauan : pertumbuhan optimal
8. Perkembangan Fisik, kognitif, sosial dan kepribadian remaja -
Definisi operasional: remaja adalah seseorang yang berumur 12-22 tahun yang sedang mengalami proses peralihan dari masa anak-anak yang terus mengalami perkembangan sampai dewasa. Perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak, kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik. Perkembangan kognitif Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar, berpikir, dan bahasa.. Perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik, sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain
-
Cara pengukuran: dengan pemeriksaan fisik, anamnesis dan konseling
-
Waktu pengukuran: setiap bulan
-
Pengukur: Psikolog anak
-
Target: tidak terjadi hambatan dalam perkembangan remaja.
C. Intervensi
1. Tindakan diagnostik Pemantauan Remisi: dilakukan tiap bulan pada saat pasien kontrol ke rumah sakit atau saat dilakukan kunjungan rumah. Remisi dinilai dengan pGALS-a screening examination of the muskuloskeletal system in school-age children yang tediri dari jumlah sendi yang aktif ( sendi dengan bengkak atau keterbatasan gerak dan nyeri atau kekakuan saat digerakkan), sendi dengan keterbatasan gerak, PedsQL Versi 4.0-inventori kualitas hidup anak (laporan anak dan orangtua anak usia 8-18 tahun), pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui inflamasi ( Laju Enap darah, C-reaktive Protein), Functional Assessment (Childhood Health Assessment Questionnare)
22
Deteksi dini kerusakan tulang: monitor tulang
setiap 6 bulan dengan cara
pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan Mata untuk mendeteksi uveitis dan glaukoma: pemeriksaan mata dilakukan oleh dokter Spesialis mata setiap 6 bulan. Konseling Psikologis : untuk menilai perkembangan kognitif, kepribadian dan sosial, dilakukan setiap 3 bulan. 2. Terapi Sesuai dengan protokol JIA yaitu dengan NSAID, Methotrexat, Metylprednisolon dan hidroksiklorokuin. 3. Diet Nutrisi disesuaikan kalori berdasarkan umur dan berat badan dan diberikan suplementasi kalsium. Kebutuhan kalori/protein= RDA untuk umur TB (sesuai height-agex BB ideal Height-age: umur dimana TB saat ini berada pada persentil-50 BB ideal: persentil ke-50 BB menurut height-age saat ini
Tabel 2. RDA untuk bayi dan anak
Anak
Umur (tahun)
BB (kg)
TB (cm)
13-15
50
152
Kalori Protein Cairan (kkal/kg/hari) (g/kg/hari) (ml/kg/hari)
60
1,5
50-60
tahun
Evaluasi 4. Rencana edukasi Menjelaskan tentang pengobatan sesuai dengan protokol JIA, efek samping yang mungkin terjadi beserta dengan penatalaksanaannya Menjelaskan tentang komplikasi dan permasalahan yang timbul terkait JIA Menjelaskan tentang pentingnya pemantauan secara ketat dan deteksi dini munculnya gangguan pada tumbuh kembang anak Menjelaskan lagi tentang pentingnya fisoterapi
23
Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang (mata, darah, radiologi tulang, pemeriksaan lain yang diperlukan) untuk mengetahui ada tidaknya kelainan dan memantau kelainan yang sudah terdeteksi Menjelaskan tentang konseling psikologis yang harus diberikan pada anak 5. Kunjungan rumah -
Definisi operasional : kunjungan keluarga dalam upaya mendeteksi kondisi keluarga dalam kaitannya dengan permasalahan pasien untuk kepentingan atau konseling dengan cara melihat langsung kondisi rumah dan lingkungan pasien serta melihat kegiatan dan kondisi keseharian pasien, diantaranya kepatuhan minum obat, cara penyuntikkan, nutrisi anak, dan penilaian rumah sehat.
-
Cara pelaksanaan : Kunjungan rumah dilakukan untuk memonitor kondisi pasien, kondisi rumah dan lingkungan tempat tinggal serta penilaian rumah sehat serta dukungan keluarga terhadap kondisi pasien secara keseluruhan, memberikan edukasi tentang perilaku hidup bersih dan motivasi kepada anak dan orangtua. Pedoman rumah sehat berdasar Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat Depkes tahun 2005.
-
Waktu pelaksanaan : dilakukan minimal dua kali selama pengamatan
-
Penanggungjawab pelaksanaan : pengamat
6. Penilaian kualitas hidup -
Definisi operasional : bertambahnya kemampuan dalam struktur tubuh dan fungsi tubuh yang lebih kompleks termasuk perubahan emosi, psikososial terkait interaksi dengan lingkungan.
-
Cara pelaksanaan : melakukan penilaian kualitas hidup/,
PedsQL Versi 4.0-
inventori kualitas hidup anak (laporan anak dan orangtua anak usia 8-18 tahun) -
Waktu pelaksanaan : sebelum, selama, dan setelah pengamatan
-
Penanggungjawab pelaksanaan : pengamat dengan arahan psikolog dan diisi oleh pasien dan orang tua pasien
-
Kondisi akhir pemantauan : kualitas hidup meningkat bila nyeri sendi jarang kambuh.
7.
Dukungan psikososial
-
Definisi operasional : memberikan dukungan psikososial yang dihadapi oleh pasien JIA seperti membantu pasien, orang tua, keluarga dekat, teman dan guru di sekolah melewati reaksi emosional mereka mengasuh anak dengan penyakit
24
kronis, dapat bersikap optimis dan bersemangat mengisi kehidupannya dan diharapkan pasien dapat bertindak bijaksana dan positif untuk senantiasa menjaga kesehatan diri serta berperilaku sehat. -
Cara pelaksanaan : dengan konseling keluarga, memberikan edukasi tentang perjalanan penyakit dan komplikasi, kunjungan rumah dan sekolah. Materi konseling berupa pemberian informasi, edukasi, dan motivasi dituangkan dalam buku harian pasien.
-
Waktu pelaksanaan : selama pengamatan
-
Penanggung jawab pelaksanaan : pengamat dibantu oleh psikolog.
8. Analisis Kasus -
Analisis kasus dilakukan dengan pengambilan data pada masing-masing variabel dan melihat pencapaian dari target (outcome) yang diharapkan pada masingmasing variabel dan melihat bagaimana respon outcome terhadap intervensi yang diberikan.
-
Analisis kemajuan atau pencapaian remisi pasien JIA dengan membandingkan data awal pada saat memulai pemantauan dengan data saat akhir pemantauan selama 18 bulan. Hasil akhir kemudian dibandingkan dengan standar masingmasing variabel yang seharusnya dapat dicapai oleh anak dengan JIA. Keterbatasan dalam pencapaian kemudian akan dianalisis dan dibahas lebih lanjut berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada.
25
9. Pengumpulan Data Tabel 3. Jadwal pengumpulan Data NO
JENIS PEMANTAUAN
PELAKSANAAN (BULAN PEMANTAUAN) 1
1.
Pemantauan
pengobatan
sesuai Protokol JIA 2.
Pemantauan
Efek
samping
Pengobatan 3.
Pemantauan
Keberhasilan
Pengobatan Pemantauan 4 uveitis . 5.
Destruksi Tulang
6.
Perkembangan
kognitif,
kepribadian dan sosial 7
Kunjungan Rumah
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
BAB IV HASIL PEMANTAUAN LONGITUDINAL Pasien diikuti secara prospektif selama 18 bulan, dari bulan Januari 2014 sampai Juli 2015. Pada bulan Agustus 2015 pengamat mendapatkan tugas ke Jailolo, Halmahera Barat selama 6 bulan sampai bulan Januaru 2016, sehingga pelaporan hasil akhir pengamatan dilakukan bulan Maret 2016. Setiap bulan pasien kontrol ke poliklinik alergi imunologi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta untuk pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pemantauan yang dilakukan adalah pemantauan terhadap efektifitas pengobatan (remisi), ketaatan minum obat, efek samping pengobatan, aktifitas penyakit (Darah rutin, CRP/LED), protokol pengobatan yang diberikan, fisioterapi,
komplikasi JIA, penilaian kualitas hidup, pemantauan
pertumbuhan dan status gizi, dukungan psikososial dan kunjungan rumah. Sebagian besar program yang telah direncanakan dapat dijalankan dengan baik. a. Keberhasilan Pengobatan (Remisi) Keberhasilan terapi ditentukan dengan aktivitas penyakit yang terbagi menjadi 3 kategori berdasarkan kriteria European League against Rheumatism
: A) Complete remission-
Clinical remission without disease activity ,without abnormal joints, B) Partial remission – certain disease activity, C) Non-remission (aktivitas penyakit berlanjut atau terulang kembali dengan sendi yang abnormal). Pengukuran dilakukan dengan
pGALS dan pemeriksaan
penunjang dengan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologi. Selama pemantauan pasien masuk dalam kategori tidak terjadi remisi. b. Pemantauan aktivitas penyakit Pemantauan aktivitas penyakit seharusnya dilakukan dengan pemeriksaan darah rutin, CRP atau LED karena peningkatan angka CRP, LED dan leukosit ditemukan pada fase aktif penyakit. Seharusnya pemeriksaan ini dilakukan setiap bulan saat kontrol, tetapi menjadi tidak rutin karena keterbatasan waktu saat kontrol dan pasien merasa baik, hanya nyeri yang kadang-kadang timbul saja. Selama pemantauan, hasil laboratorium darah rutin, CRP dan LED pasien terlihat seperti dalam tabel berikut:
26
27
Tabel 4. Pemantauan Aktivitas Penyakit 1
4
6
7
9
11
12
13
18
Hb (g/dL)
13,8
14,4
13,9
13,7
13,3
14,8
13,7
15,5
10,4
Hct (%)
41,1
42
39,8
39,2
39,3
43.3
41.3
46.4
33,6
WBC (103/mmk)
6.2
9.9
7.61
8,9
10,25
9.5
15.5
10.50
8.8
Neutrofil (%)
43
65
47,9
43,7
44,6
63
60
55.7
51
Limfosit(%)
43
26
41,5
45,3
42,6
23
32
32.6
33
Monosit(%)
14
9
9,7
8,7
8,0
12
7
6.9
7
Basofil(%)
1
0
0,9
0,3
2,4
3
0
0.4
0
Eosinofil(%)
0
0
0
2,0
2,4
0
1
2.4
9
PLT (103/mmk)
320
275
362
324
387
267
276
308
399
MCV
84,9
87,1
84,3
82,9
86,2
83,0
90.4
87.4
68.7
MCH
28,5
29,9
29,4
29,0
29,1
28,4
30.0
29.3
21.3
MCHC
33,6
34,3
34,3
34,9
33,7
34.2
33.2
33.5
31.0
CRP
<5
LEDI/II
<0.20
6/12
3
(mm/Jam) SGOT (U/L)
25.3
22.8
20
18,0
19,0
21.1
27.0
19
SGPT (U/L)
13.6
12.1
10
11,0
11,0
11.9
20.0
11
BUN(mg/dL)
27.3
22.9
9.10
13,3
11,87
44.0
11.4
Creat (mg/dL)
0,7
0,88
0,7
0,78
0.87
0.48
0.83
ANA Ds DNA (IU/mL)
23,4
0,526 9,3
Selama 18 bulan pemantauan, hasil laboratorium menunjukkan hasil normal, tidak terdapat anemia, leukopenia maupun trombositopenia. Hasil laboratorium fungsi hati dan fungsi ginjal juga normal, menunjukkan bahwa penggunaan MTX dalam jangka waktu yang lama tidak menyebabkan penurunan fungsi hati dan fungsi ginjal pada pasien yang diamati. Laju Enap Darah juga normal yang menunjukkan bahwa walaupun sampai akhir pemantauan tidak terjadi remisi, tetapi JIA tidak menjadi aktif. Pemeriksaan ANA test juga normal. ANA test positif berpengaruh terhadap prognosis penyakit yang buruk dan resiko terjadi uveitis yang lebih sering terjadi pada pasien dengan ANA test positif.
28
c. Komplikasi JIA Beberapa komplikasi serius JIA antara lain : 1. Uveitis. Uveitis adalah peradangan pada uvea, yang biasa terjadi pada anak dengan JIA tipe oligoartikuler. Uveitis tidak menyebabkan gejala pada tahap awal penyakit, sehingga anak dengan uveitis bisa tidak mengeluh tentang mata merah, nyeri pada mata atau penglihatan kabur, sehingga penting untuk dilakukan pemeriksaan yang teratur. Selama pemantauan dilakukan konsultasi ke bagian mata setiap 6 bulan, pada bulan ke 0, 6, 12 dan 18 untuk mencegah terjadinya Uveitis. Berdasarkan hasil pemeriksaan mata, tidak didapatkan uveitis. 2. Glaukoma. Glaukoma bisa terjadi karena proses peradangan karena uveitis. Tekanan bola mata yang meningkat disebabkan karena pemberian kortikosteroid tetes mata yang mengalami uveitis. Pada bulan ke 15 pemantauan, pasien mengeluh pandangannya kabur, kemudian dikonsulkan ke bagian mata, didignosis dengan Glaukoma. Untuk menurukan tekanan intraokular diberikan tetes mata brizolamide ophthalmic suspension 1% dan latanoprost 0.05 mg. 3. Katarak. Katarak terjadi ketika terdapat kekeruhan lensa yang bisa disebabkan karena efek samping kortikosteroid pada JIA. Selama pemantauan, tidak didapatkan katarak pada pasien. 4. Masalah
pertumbuhan.
Selama
pemantauan,
tidak
didapatkan
masalah
pertumbuhan. Komplikasi pertumbuhan yang biasa pada JIA adalah perbedaan panjang kaki, yang disebabkan karena pada sendi yang terlibat, misalnya sendi lutut, karena terjadi inflamasi karena arthritis terjadi peningkatan aliran darah pada area pertumbuhan tulang (growth plate) dengan aktivitas yang maksimal sehingga menyebabkan tulang yang terlibat menjadi lebih panjang. Selain itu, pada JIA yang progresif bisa terjadi kerusakan area growth plate yang menyebabkan premature fusion sehingga sendi yang telibat menjadi lebih pendek dibanding dengan sendi yang tidak terlibat. Selama pemantauan dilakukan pemeriksaan radiologi tulang setiap 6 bulan. Tidak didapatkan perbedaan ukuran panjang tulang yang terlibat. Pada JIA yang baerat pertumbuhan secara umum (tinggi badan) bisa rendah, yang kemudian bisa membaik kaetika kondisi JIA
29
lebih baik dan akhirnya bisa catch up pertumbuhan. Tinggi badan anak berdasarkan umur menurut kurva WHO berada dalam -1
d. Pemantauan efek samping pengobatan Tabel 5. Efek samping pengobatan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Mual/muntah
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sariawan
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
METHOTREXAT
30 Alopecia/rambut rontok
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Perubahan Mood
-
-
-
-
-
+
+
+
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
Rash
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Peptic Ulcer
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
-
-
-
Sakit kepala
-
-
+
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
-
+
+
+
-
Gangguan Hematologi (anemia,
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Peningkatan SGOT/SGPT leukopenia, trombositopenia)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Infeksi
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
+
-
-
-
-
-
-
Gangguan Gastrointestinal
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
+
-
-
-
Lightheadness
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Insomnia
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
Nervousness
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mimpi buruk
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Bingung
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Uveitis
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
Gangguan Gastrointestinal
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
-
-
+
+
-
-
-
-
Rash
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
--
-Perubahan mood
-
-
-
-
-
+
+
+
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
Gangguan tidur
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
Steroid Acne
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
-
-
+
+
-
-
+
+
Bengkak
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Berat badan bertambah dengan
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
Nafsu makan meningkat moon facies
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
Gangguan tidur
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
Psychosis
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kelemahan Otot
-
-
-
-
-
-
-
-
+
+
-
-
-
+
+
+
-
-
HIDROKSIKLOROKUIN
NSAID
STEROID
Selama pemantauan didapatkbeberapa efek samping obat yang tidak berbahaya. Efek samping MTX berupa rambut rontok pada pengamatan bulan 7 dan 8, perubahan mood ditemukan pada pengamatan bulan ke 6,7,8 dan 13. Peptic Ulcer dan gangguan intestinal yang bisa disebabkan karena hidroksiklorokuin yang membaik dengan pemberian ranitidn dan sukralfat ditemukan pada pengamatan bulan ke 5,6,7,8,9,10 dan 13,14 15. Sakit kepala sering dikeluhkan pada bulan 3,8,9,15,16,dan 17, sedangkan infeksi berupa batuk pilek sering terjadi pada bulan ke 9,10 dan 11. Insomnia dan gangguan tidur berupa sulit untuk memulai tidur, tidur sering terjaga dan bangun di waktu dini hari sering ditemukan pada bulan ke 7,8,11,12,13,14,15,16,17,18 bisa merupakan efek samping hidroksiklorokuin dan steroid tetapi bisa juga disebabkan karena nyeri terutama pada malam hari , karena sejak ditemukan
31
gangguan penglihatan berupa glaukoma, kemudian steroid dan hidroksiklorokuin dihentikan, kadang masih juga ditemukan gangguan tidur. Efek samping steroid berupa acne dikeluhkan pasien pada pengamatan bulan ke 6,7, 13,14 dan 17, 18 yang membaik setelah diberikan lotion jerawat oleh bagian kulit. Terdapat penambahan berat badan dan nafsu makan yang meningkat akibat steoid pada bulan 9,10,11 dan 16,17,18 tetapi pertambahan berat badan tidak terlalu banyak hanya 1-2 kg sejak awal pemantauan. Pasien sering mengalami otot lemah pada bulan ke 8,9, 14,15 dan 16 yang bisa disebabkan karena efek samping steroid. Pada pengamatan bulan ke 18 terdapat gangguan penglihatan kabur, kemudian diperiksa oleh bagian mata dan ditemukan glaukoma.
32
5. Pemantauan pertumbuhan dan status gizi Pemantauan pertumbuhan dilakukan setiap bulan pada saat pasien kontrol ke rumah sakit. Pertumbuhan dinilai dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap bulan saat kontrol ke poliklinik anak ataupun saat kunjungan rumah. Pengukuran status gizi berdasarkan berat badan (BB) menurut tinggi badan (TB) dengan menggunakan grafik pertumbuhan WHO 2006. Tabel 6. BMI selama pemantauan. Pemantauan bulan ke
BB (kg)
TB (cm)
BMI
Z score
Status Gizi
Bulan ke- 1
49
159
19,38
0
Gizi Baik
Bulan ke- 2
49
159
19,38
0
Gizi Baik
Bulan ke- 3
50
159
19,77
0
Gizi Baik
Bulan ke- 4
49
159
19,38
-1
Gizi Baik
Bulan ke- 5
49
160
19,14
-1
Gizi Baik
Bulan ke- 6
49
160
19,14
-1
Gizi Baik
Bulan ke- 7
50
160
19,53
0
Gizi Baik
Bulan ke- 8
50
160
19,53
0
Gizi Baik
Bulan ke- 9
51
160
19,92
0
Gizi Baik
Bulan ke- 10
52
160
20,31
0
Gizi Baik
Bulan ke- 11
52
160
20,31
0
Gizi Baik
Bulan ke- 12
50
160
19,53
0
Gizi Baik
Bulan ke- 13
51
160
19,92
0
Gizi Baik
Bulan ke- 14
50
161
19,30
-1
Gizi Baik
Bulan ke- 15
50
161
19,30
-1
Gizi Baik
Bulan ke- 16
52
161
20,07
0
Gizi Baik
Bulan ke- 17
52
161
20,07
0
Gizi Baik
Bulan ke- 18
52
162
19,84
0
Gizi Baik
33
Gambar 3. Grafik BMI pasien menurut umur berdasarkan WHO 2007 Selama 18 pemantauan, pertumbuhan fisik tidak banyak terjadi perubahan. BMI pasien terendah 19,14 dan tertinggi 20,31, dengan interpretasi status gizi baik.
e. Protokol Pengobatan yang diberikan Selama pemantauan pasien menggunakan protokol pengobatan dengan NSAID, ibuprofen 40 mg/kgbb/hari, methotrexat per oral 10 mg/m2/minggu, methotrexat 10 mg/m2/minggu subcutan, hidroksikloroquin 6 mg/kgbb/hari, asam folat 1 mg/minggu, metylprednisolon 0,5-1 mg/kgbb/hari dan injeksi steroid intraartikuler. Methotrexat sc dan metylprednisolon diberikan bila aktivitas penyakit meningkat. Selama pemantauan dilakukan 3 kali injeksi intraartikuler yaitu pada bulan 3 dilakukan di sendi metacarpal, bulan 15 di sendi patella dan metarcarpal, dan bulan ke 18 disendi patella, metacarpal dan ankle.
Tabel 7. Pengobatan yang diberikan
34 Bulan pemantauan OBAT
DOSIS
1 NSAID
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
40 mg/kgbb/h
Ibuprofen Methotexat po
10 mg/m2/mgu
Methotrexat sc
10 mg/m2/mgu
Hidroksikloroquin
6mg/kgbb/hr
po Asam Folat
1mg/mggu
Metylprednisolon
0,5-1
po
mg/kgbb/hr
Steroid
injeksi
intraartikuler Calcium Mycophenolate
1g/m2/hari
mofetil (MMF)
6. Penilaian Kualitas Hidup Kualitas hidup dinilai dengan pemeriksaan PedsQL. Hasilnya menunjukkan bahwa anak memiliki penurunan kualitas hidup, terdapat masalah fungsi fisik secara keseluruhan. Aspek sosial dan emosi anak membaik selama pemantauan. Pada awal terdiagnosis JIA dari hasil pemeriksaan psikolog didapatkan adanya gangguan penyesuaian. Selama pemantauan dilakukan beberapa kali konsultasi dan pemeriksaan oleh psikolog anak kemudian diajarkan untuk melakukan teknik relaksasi terhadap nyeri yang ditimbulkan dan dari hasil pemeriksaan didapatkan bahwa pasien memahami tentang penyakitnya, terkadang merasa kawatir terhadap penyakitnya, apakah bisa disembuhkan atau bisa mematikan, anak sudah bisa menerapkan teknik relaksasi walaupun tidak selalu berhasil.
16
17
18
35
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Fungsi fisik Fungsi Emosi Fungsi Sosial Fungsi sekolah
Total nilai PedsQL
bulan bulan bulan bulan bulan bulan bulan bulan bulan ke-1 ke-4 ke-7 ke 9 ke 10 ke 12 ke-13 ke-16 ke-19 Gambar 4. Grafik Pemantauan Kualitas Hidup Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa fungsi fisik tertinggi didapat pada bulan pengamatan ke 7, pada saat ini nyeri sendi jarang kambuh, dan selama dua bulan, yaitu pada bulan ke 6-7 pasien bebas nyeri tulang tanpa pengobatan. Pada tabel pemantauan kualitas hidup ini terendah pada bulan ke 9,10 dan 12. Pasien mengalami kekambuhan nyeri sendi yang lama, dikarenakan aktivitas yang berlebihan saat liburan sekolah dan bepergian ke luar kota, semakin memberat 2 bulan kemudian yang dicetuskan karena terdapat infeksi influenza yang berat. 7. Dukungan psikososial Pada awal pemantauan dilakukan edukasi kapada orang tua dan pasien mengenai penyakit, terapi, pentingnya ketaatan minum obat,efek samping terapi, komplikasi penyakit dan pencegahannya, fisioterapi, pentingnya kontrol ke RS dan konseling ke psikolog untuk penanganan penyakit yang kronis, dukungan sosial dan prognosis penyakit. Edukasi sangat diperlukan pada penyakit kronis ini. Selama pemantauan didapatkan dukungan psikososial terhadap pasien yang membaik, sehingga terjadi kesadaran akan penyakit, pentingnya tatalaksana yang komprehensif dan teknik relaksasi untuk mengatasi nyeri. Permasalahan pada pasien ini adalah masalah kekambuhan penyakit. Selama pemantauan, beberapa kali penyakit kambuh menjadi semakin parah yang disebabkan karena faktor stress, trauma fisik dan infeksi. Sebagaimana psikologis remaja, pasien ingin bisa melakukan kegiatan seperti pada remaja umumnya yaitu berolahraga sepakbola, atau lari keliling lapangan atau kegiatan remaja lain yang membutuhkan aktivitas fisik yang berat seperti wisata gunung, dan masa orientasi sekolah sedangkan kekambuhan penyakit pada JIA sering disebabkan karea faktor
36
stress, trauma fisik dan infeksi. Meskipun pasien sudah diberi pengertian tentang faktorfaktor yang menyebabkan kekambuhan penyakit dan sekolah juga sudah memberikan dispensasi untuk kegiatan fisik, namun saat pasien sehat, tidak merasakan sakit, dia ingin terlihat sebagaimana remaja pada umumnya, sehingga melakukan aktivitas fisik yang berat yang menyebabkan kekambuhan penyakit. 8. Kunjungan rumah Pasien tinggal di Magelang. Jarak antar rumah lebih dari 10 meter dan bukan wilayah padat penduduk. Keluarga pasien tidak memelihara hewan ternak. Tempat sampah terbuka dan tidak permanen (keranjang). Dinding rumah terbuat dari tembok yang sudah disemen, lantai keramik, atap genting dengan ventilasi dan cahaya cukup pada semua ruangan terdapat jendela yang bisa dibuka. Sumber air dari sumur. Kamar mandi terdapat 2 masing-masing dengan menjadi satu dengan WC. WC jongkok leher angsa dan closet duduk. Pembuangan akhir tinja ada dalam sumur yang jauhnya lebih dari 10 meter dari sumber air/sumur. Cara pembuangan air limbah dengan memnggunakan pipa, yang dialirkan ke selokan terbuka didepan rumah yang mengalir ke sungai yang 25 meter ada didepan rumah. Rumah pasien berjarak 100 meter dari jalan raya besar Magelang-Temanggung, dengan banyak pohon rindang, sehingga polusi udara kecil. Bahan bakar untuk memasak menggunakan kompor gas. Penilaian kondisi perumahan dilakukan sesuai dengan kriteria rumah sehat menurut Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Departemen Kesehatan RI 2005).
Tabel 8. Penilaian kesehatan rumah pada awal dan akhir pemantauan Aspek
Kriteria
Skor
Penilaian Komponen rumah (Bobot 31) Langit-langit
a. Tidak ada
0
Nilai Awal Akhir
37 b. Ada, kotor, sulit dibersihkan dan rawan kecelakaan c. Ada, bersih, tidak rawan kecelakaann a. Bukan tembok b. Semipermanen/setengah tembok/pasangan bata yang tidakdiplester/papan/tidak kedap air c. Permanen, papan kedap air a. Tanah
Dinding
Lantai
Jendela kamar tidur Jendela
ruang
b. c. a. b. a.
Papan/anyaman bambu/plesteran Ubin/keramik Tidak ada Ada Tidak ada
1 2 0 1
62
62
2
62
62
0 1 2 0 1
62
62
31
31
31
31
62
62
62
62
62
62
100
100
100
100
0
keluarga
b. Ada
1
Ventilasi
a. b. c. a. b. c. a. b. c.
Tidak ada Ada, luas ventilasi permanen < 10% luas lantai Ada, luas ventilasi permanen > 10% luas lantai Tidak ada Ada, lubang ventilasi dapur < 10% luas lantai dapur Ada, lubang ventilasi dapur > 10% luas lantai dapur Tidak terang (tidak dapat digunakan untuk membaca) Kurang terang sehingga kurang jelas untuk dipergunakan membaca norma) Terang dan tidak silau, dapat dipergunakan membaca normal Sarana Sanitasi (Bobot 25)
0 1 2 0 1 2 0 1 2
a. b. c. d. e. a. b. c. d. e.
Tidak ada Ada, bukan milik sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan Ada, milik sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan Ada, bukan milik sendiri dan memenuhi syarat kesehatan Ada, milik sendiri dan memenuhi syarat kesehatan idak ada sehingga tergenang tidak teratur di halaman rumahdiresapkan tetapi mencemari sumber air (jarak Ada, dengan sumberkeairselokan < 10 m) Ada,dialirkan terbuka Ada, diresapkan dan tidak mencemari sumber air (jarak air > 10 m) Ada, dialirkan ke selokan tertutup
0 1 2 3 4 0 1 2 3 4
Lubang
asap
dapur Pencahayaan
Sarana air bersih
Sarana pembuangan
air
limbah
Aspek
Kriteria
Skor
Penilaian Jamban (Sarana pembuang-an kotoran
Sarana pembuangan
a. Tidak ada b. Ada, bukan leher angsa, tidak ada tutup, disalurkan ke c. sungai/kolam Ada, bukan leher angsa, ada tutup, disalurkan ke sungai/kolam d. Ada, bukan leher angsa, septic tank e. Ada, leher angsa, septic tank a. Tidak ada b. Ada, tidak kedap air, terbuka c. Ada, kedap air, terbuka
0 1 2 3 4 0 1 2
Nilai Awal
Akhir
100
100
50
38
sampah
d.
Membuka jendela
a. b. c. a. b. c. a. b. c. a. b. c. a. b. c.
kamar Membuka
jendela
ruang keluarga Membersihkan halaman rumah Membuang bayi/balita
tinja ke
jamban
Membuang sampah ke tempat
Ada, kedap air, tertutup Perilaku penghuni (Bobot 44) Tidak pernah dibuka Kadang-kadang Setiap hari dibuka Tidak pernah dibuka Kadang-kadang Setiap hari Tidak pernah Kadang-kadang Setiap hari Dibuang ke sungai / kebun / kolam/sembarangan Kadang-kadang ke jamban Setiap hari ke jamban Dibuang ke sungai / kebun / kolam / sembarangan Kadang-kadang ke tempat sampah Setiap hari ke tempat sampah
75
3 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2 0 1 2
44 88 44 88
88
88
88
88
88
88
1136
1249
sampah Total hasil penilaian (Rumah sehat = 1068-1200, rumah tak sehat =< 1068
Hasil kunjungan pertama menunjukkan skor 1136, tergolong rumah sehat.
Perilaku
hidup bersih dan sehat sudah dilterapkan yakni ibu rajin membersihkan lantai rumah, kamar mandi, menyapu halaman, membuang sampah pada tempatnya. Kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun terutama setelah buang air besar dan sebelum makan atau menyiapkan makanan diterapkan pada seluruh penghuni rumah. Selama pemantauan, terjadi perbaikan skor rumah sehat menjadi 1249, dengan perilaku sering membuka jendela ruang tengah dan kamar tidur, serta mengganti tempat sampah yang kedap air dan tertutup.
39
Gambar 5. Kondisi rumah sehat
40
BAB V PEMBAHASAN Seorang anak laki-laki berusia 13 tahun mempunyai keluhan nyeri di lutut, pergelangan kaki kanan dan kiri, jari tangan kiri, dirawat di bangsal Melati 1 RSUP Dr. Sardjito untuk mendapatkan injeksi intraartikuler di sendi lutut. Pasien didiagnosis dengan Juvenile idiopathic arthritis (JIA) Poliartikuler dengan faktor rheumatoid negatif saat usia 12 tahun 9 bulan, setelah dilakukan eksklusi terhadap penyakit lain seperti Lupus eritematous sistemik, demam rheumatik akut dan keganasan. Tujuan penatalaksanaan JIA adalah meredakan nyeri, mengembalikan fungsi, mencegah deformitas dan mengontrol inflamasi. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah meminimalkan efek samping pengobatan, meningkatkan proses tumbuh kembang, rehabilitasi dan edukasi. Permasalahan utama pada pasien ini adalah sulitnya mencapai kondisi remisi, penyakit yang kambuh/flare dan pasien memasuki usia remaja dengan penyakit kronis, terutama berkaitan dengan masalah psikososial. JIA merupakan penyakit arthritis yang paling banyak ditemukan pada anak-anak dan remaja yang memerlukan terapi jangka panjang karena bisa menyebabkan kerusakan sendi dan bisa berlanjut sampai dewasa. Penanganannya cukup kompleks meliputi protokol pengobatan dengan pemberian NSAID, DMARDS dan kortikosteroid, ketaatan
minum obat,
penanganan efek samping obat,
pencegahan
komplikasi akibat penyakit, dukungan psikososial, fisioterapi, manajemen diit dan olahraga, edukasi tentang prognosis penyakit, dimana kesemuanya itu akan mempengaruhi hidup pasien dan keluarganya. Penanganan yang jangka panjang memerlukan biaya yang cukup besar juga rentan menimbulkan masalah psikososial. Selain itu usia remaja merupakan masa transisi dimana pada masa itu terjadi perubahan fisik dan psikososial dan disertai pencarian identitas diri dan kebebasan. Hal ini menjadikan tantangan pasien dengan JIA, keluarga, dokter, psikolog, perawat, dietician, ahli fisioterapi, teman-teman dan guru di sekolah. JIA merupakan penyakit rheumatik kronis yang paling banyak ditemukan pada anak dan sering menyebabkan disabilitas jangka panjang dan pendek pada anak. Etiologi JIA masih tidak diketahui dengan pasti, tetapi faktor genetik dan lingkungan diduga berperan penting dalam patogenesis JIA. Berdasarkan silsalah kekeluargaannya, banyak anggota keluarga dari pihak ayah dan ibu, yaitu ayah, kakek dan 2 paman penderita dari pihak ayah,
39
40
nenek dan bibi dari pihak ibu, diketahui menderita penyakit sendi. Kerusakan beberapa gen diketahui menjadi penyebab perkembangan JIA pada keluarga yang menderita nyeri sendi. Kerentanan terhadap JIA, insidensi dan keparahan penyakit ditemukan sangat bervariasi pada berbagai macam etnis. Polimorfisme genetik sitokin dan reseptornya menjadi predisposisi untuk kerentanan penyakit.15 Gejala JIA bisa berubah sepanjang waktu, bahkan bisa hari demi hari, kadang pasien merasa baik, tetapi beberapa waktu kemudian pasien merasa lelah, kaku dan nyeri sendi. Inilah yang dinamakan flare atau flare-up. Pasien mengalami flare pada pemantauan bulan ke 9 setelah mengalami penyakit inaktif selama 2 bulan sebelumnya. Flare pada saat itu dipicu oleh infeks i influenza
dan aktivitas fisik yang berlebihan, dimana pasien ikut
berwisata ke Malang dengan teman-teman disekolah, dengan mengendarai bis dengan suhu yang dingin dan posisi kaki yang tertekuk selama berjam-jam. Setelah itu selama berwisata di Malang pasien mengalami stress fisik karena berjalan kaki lama dan membawa barangbarang bawaan yang berat. Pada saat flare ini pasien mengalami kekambuhan nyeri di lutut kanan dan kiri, ankle kiri, tangan kiri, rahang dan leher. Pasien dirawat dan mendapatkan injeksi kortikosteroid intrartikuler. Flare adalah timbulnya kembali manifestasi penyakit setelah mencapai penyakit inaktif. Significant flare terjadi bila pasien perlu pengobatan yang lebih intensif. Dalam setahun setelah mengalami penyakit inaktif, kemungkinan terjadi flare adalah 42,5% (95% CI 39% sampai 46%) untuk semua flare dan 26,6% (24% sampai 30%) untuk flare yang signifikan.
Flare bisa dipicu oleh berbagai sebab seperti infeksi, stress
psikis dan fisik dan perubahan protokol pengobatan, tetapi hampir sebagian besar flare terjadi tanpa sebab. Sistem imunitas adaptif dan
natural berperan penting dalam patogenesis JIA.
Bagian-bagian tertentu dari HLA-DR berhubungan dengan berbagai bagian subtipe JIA, menggambarkan peran sentral sistm imun adaptif dalam etiologi JIA. Sel B juga berperan penting dalam JIA, diindikasikan dengan antinuclear antibody titers positif. Pada JIA, jumlah sel B yang tinggi ditemukan pada infiltrat synovial yang mengalami inflamasi.13
Pasien
tidak dilakukan pemeriksaan HLA karena tidak tersedia di Indonesia. Pada saat flare ini, dilakukan pemeriksaan ANA tes hasilnya negatif. ANA test positif lebih sering ditemukan pada pasien sengan sistemik juvenile idiopathic arthritis (sJIA). JIA dengan hasil ANA test positif juga beresiko terjadi inflamasi pada mata.
41
Remisi berdasarkan etimologi berasal dari kata Remittere berkurang. Remission
menurut
yang berarti kembali;
kamus kedokteran berarti suatu pengurangan atau
berkurangnya manifestasi suatu penyakit sedangkan berdasarkan wiki adalah suatu keadaaan hilangnya aktifitas penyakit pada pasien dengan penyakit kronis dengan kemungkinan kembalinya ke aktifitas penyakit. Remisi adalah suatu keadaan hilangnya aktifitas penyakit, bukan perubahan atau transisi 17. American Rheumatism Association (ARA) membagi remisi menjadi 3 kriteria yaitu :1) Remisi komplit; 2) remisi sebagian; 3) penyakit aktif dengan sensitivitas 72% dan spesifitas 90%. Remisi harus memenuhi 5 atau
lebih syarat
selama minimal 2 bulan
berturut-turut yaitu : 1) kekakuan di pagi hari tidak lebih dari 15 menit; 2) tidak lelah; 3) tidak ada nyeri sendi (riwayat); 4) tidak ada aketerbatasan gerak atau nyeri saat digerakkan; 5) tidak ada pembengkakan jaringan lunak pada sendi atau tendon; 6) LED <30 mm/jam (perempuan) dan <20 mm/jam (laki-laki).
18
European League Against Rheumatism
(EULAR) menetapkan 3 kriteria yaitu :1) Complete remission-clinical remission tanpa penyakit aktif; 2)Partial remission-aktivitas penyakit jelas tanpa sendi abnormal; 3) non remission (aktifitas penyakit berlangsung atau berulang dengan sendi abnormal). 19 Menurut Taciana A.P.Fernandes, saat ini sudah ada konsensus tentang kriteria remisi JIA yang berbeda dengan dewasa yaitu : Clinical remission on medication (CRM) yang didefinisikan sebagai kondisi pasien dengan penyakit inaktif selama 6 bulan berturut-turut selama pengobatan dan clinical remission off medication (CR) yang didefinisikan sebagaipenyakit inaktif selama 12 bulan tanpa pengobatan. Kriteria penyakit inaktif dan clinical remission berdasarkan Wallace et al yaitu : 1) tidak ada arthritis aktif disemua sendi; 2) tidak ada demam, rash rheumatoid, serositis, splenomegaly atau limfadenopati generalisata; 3)tidak ada uveitis aktif berdasarkan pemeriksaan opthalmology; 4) nilai LED atau CRP normal; 5) penilaian dokter pada Visual analogue scale berkisar antara inaktif sampai sangat berat, berada pada score terbaik yang memungkinkan. Selama pengamatan, pasien tidak mengalami remisi, pasien masih mengalami penyakit aktif sampai 18 bulan pengamatan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Taciana et all yang menyebutkan bahwa pasien JIA poliartikuler dengan faktor rheumatoid negatif sebanyak 45,5% mengalami penyakit inaktif dan 54,5% dalam kondisi persisten aktif selama lebih dari 1 tahun.
42
Beberapa peneliti menggambarkan
hasil remisi
pada pasien JIA. Ada banyak
penelitian yang menggambarkan pasien dengan JIA mengalami arthritis aktif sampai dewasa, berkisar antara 20-60% berdasarkan penelitiannya. Oen et al menyatakan lebih dari 60% dan 39% mencapai CR. Sebagian besar tejadi pada JIA tipe extended oligoartikuler atau poliartikuler banyak yang menetap dengan keterbatasan gerak terhadap aktivitas sehari-hari dan mengalami diabilitas fungsional yang berat. Kemungkinan mencapai CR setelah 10 tahun sebesar 37, 47, 23 dan 6% untuk soJIA, oligoartikuler, poliartikuler dengan RF – dan RF +. Frekuensi penyakit inaktif dan CR pada pasien poliartikuler RF- adalah 18,30,23 dan 30% pada penelitian yang dilakukan oleh Taciana, Wallace, Oen dan Minden et al. 13 Selama pemantauan pasien mendapat terapi sesuai protokol arthritis rheumatoid yang sudah dilakukan revisi yaitu dengan pemberian
NSAID, injeksi steroid,
methotrexat,
hidroksikloroquin dan asam folat. Nyeri merupakan gejala yang paling sering dan dominan pada pasien JIA. Pada sebuah penelitian JIA poliartikuler, 76% pasien melaporkan >60% hari dengan pemberian
methotrexate, tumour necrosis factor-alpha inhibitor atau keduanya, serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh North American pediatric rheumatologist yang menyebutkan bahwa 77% pasien anak yang sudah diberikan dosis adekuat disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDS) dan obat antiinflamasi mengalami nyeri. Patogenesis nyeri pada pasien JIA adalah multifaktorial. Banyak faktor yang mempengaruhi onset dan menetapnya nyeri muskuloskeletal pada pasien JIA, termasuk faktor biologis seperti genetik, anatomis dan faktor yang berhubungan dengan penyakit, faktor psikososial misalnya coping dan cognitive health beliefs dan konteks sosiokultural/lingkungan seperti riwayat nyeri pada orangtua meskipun mekanisme ini tidak diketahui dengan pasti. Beberapa faktor yang merupakan prediktor nyeri pada pasien JIA antaralan hubungan alamiah keluarga seperti keharmonisan keluarga dan konflik dalam keluarga,distress psikologis orangtua yang meningkat dan riwayat orangtua dan keluarga dengan nyeri. Peran emosi negatif pengalaman nyeri pasien JIA mendapat perhatian lebih. Emosi dapat berpengaruh pada persepsi nyeri dan menimbulkan gangguan fungsional berkepanjangan. Nyeri pada JIA dieksaserbasi dengan perubahan mood, stress dan coping. Saat ini belum ada pedoman penatalaksanaan nyeri yang ditetapkan pada pasien JIA. Sesuai dengan model biopsikososial kontrol nyeri, tim multidispliner termasuk dokter, perawat,
43
fisioterapis, ocupational terapis dan psikolog merupakan pendekatan yang paling efektif dalam mengendalikan nyeri pada anak dengan arthritis. Tatalaksana inflamasi sendi yang awal dan agresif dikombinasi dengan farmakologis dan non farmakologis dengan target meningkatkan coping nyeri dan memperbaiki fungsi fisik . Tidak ada penelitian yang secara khusus meneliti tentang tatalaksanan nyeri pda JIA. Pendekatan farmakologis standar untuk tatalaksana athritis aktif meliputi
NSAIDs,
DMARDS seperti methotrexate dan yang lebih terkini dengan terapi biologis seperti antitumour necrosis factor-alpha agents seperti etarnecept atau inhibitor kostimulasi T cell seperti abatacept. Penatalaksanaan pada penyakit akut yang flare dengan kortikosteroid sistemik dalam jangka waktu singkat atau injeksi steroid intra-artikular. Penelitian yang meneliti luaran anak dengan JIA menunjukkan bahwa berbagai macam terapi untuk JIA berhasil menurunkan nyeri dan memperbaiki
kualitas hidup. Evaluasi yang dilakukan pada 521 anak yang
diberikan methotrexate selama 6 bulan meninjukkan respon perbaikan pada nyeri, fungsi fisik dan kemampuan beraktivitas yang lebih baik yang serupa dengan pemberian eyarnecept dan abatacept. 20 Pasien selama pemantauan mendapatkan NSAIDs merupakan
NSAIDs
ibuprofen 40 mg/kgbb/hari.
lini pertama untuk pengobatan antiinflamasi pada JIA, karena
mempunyai efek analgesik dan antiinflamasi, namun
tidak mempengaruhi progresivitas
penyakit dan tidak mencegah kerusakan sendi. NSAIDs dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak, tetapi toksistas dapat terjadi sehingga perhatian terhadap toksisitas dan efek samping harus diketahui, yaitu gangguan tidur dan nyeri perut yang tidak spesifik, namun lebih jarang dan kurang parah bila dibandingkan dengan dewasa. 2 Methotrexate(MTX) merupakan DMARD konvensional yang digunakan secara luas dengan efikasi yang baik selama lebih dari 20 tahun pada beberapa penelitian di Amerika. Methotrexate direkomendasikan sebagai terapi inisial untuk semua subtipe JIA, setelah pemberian
NSAIDs atau injeksi steroid intraartikuler pada oligoartikuler ringan.
Methotrexate bisa diberikan secara oral dan subkutan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa MTX subkutan mempunyai bioavailabilitas yang tinggi dibandingkan dengan oral sehingga terjadi peningkatan peralihan dari oral ke subkutan. Dosis
MTX 15 mg/m2 per
minggu baik subkutan maupun oral efektif pada sebagian besar paasien yg tidak responsif pada dosis 10 mg/m2 per minggu. Dosis eskalasi tidak menunjukkan keuntungan seperti yang
44
terlihat pada sebuah RCT JIA yang mengalami respon inkomplete pada dosis 15 mg/m2 tidak menunjukkan perbaikan respon pada dosis 25mg/m2. Pada sebuah kohort, dosis MTX lebih tinggi juga tidak menunjukkan perbaikan jumlah sendi scara bermakna. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Cipriani dkk yang menunjukkan bahwa peningkatan dosis MTX menjadi 25 dan 30 mg/minggu atau dosis trtinggi yang bisa dotoleransi, terlihat optimal berbasis bukti ilmiah untuk terapi MTX pada arthritis rheumatoid. Meskipun MTX oral lebih disukai karena harganya murah dan lebih nyaman untuk pasien,
namun bioavalaibilitas tertinggi dicapai oleh MTX parenteral
didukung oleh
beberapa penelitian pasien mengalami eksaserbasi setelah mengganti parenteral ke MTX oral pada dosis yang sama. Pada beberapa penelitian, formula MTX subkutan merupakan tantangan untuk dokter dan pasien karena menimbulkan nyeri dan rasa tidak nyaman. Efek samping ini terjadi pada pasien kami pada pengamatan bulan ke 15, setelah mendapat suntikan MTX subkutan, pasien merasa sangat nyeri di kulit tempat suntikan dan nyeri-nyeri otot yang hebat. Efikasi dan toksisitas MTX berkaitan dengan dosis absorbsi MTX, bukan rute pemberian. Bioavailabilitas MTX dicapai
oleh MTX parenteral
sehingga saat ini
banyak digunakan protokol terapi awal dengan dosis tinggi MTX dan mengganti menjadi parenteral apabila respon klinis terhadap MTX oral tidak adekuat. Methotrexat efektif dan dapat ditoleransi dengan baik, dengan efek samping utama adalah
gangguan saluran
pencernaan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penghentian MTX bisa terjadi flare sebanyak 60%.
Pemberian MTX
lanjutan sampai 1 tahun pada penyakit inaktif bisa
menurunkan angka flare.2,21, 22,23,24,27 Pasien yang kami pantau menerima MTX oral 15 mg/m2 sekali seminggu, beberapa kali saat pasien mengalami arthritis aktif sehingga
MTX oral diganti menjadi MTX
subkutan kemudian terjadi perbaikan klinis. Pada pengamatan bulan ke 16 terjadi flare yang ke-3 yang tidak berespon dengan MTX subkutan. Pasien diberikan mofetil mycophenolat (MMF). Mofetil mycophenolat (MMF) adalah obat immunosupressive yang bekerja dengan mengurangi aktivitas sistem imun. MMF merupakan pro-drug untuk asam mycophenolic suatu bagian dari imunosipresive yang dikembangkan untuk pengobatan rheumatoid arthritis. Mycophenolic acid menghambat jalur de noovo sintesis purin dan mempunyai efek yang lebih besar pada anti proliferatif pada limfosit dibanding sel yang lain.
Pada arthritis
rheumatoid juga berfungsi untuk mengurangi peradangan pada sendi sehingga mengurangi
45
bengkak dan nyeri.pada beberapa penelitian, mofetil mycophenolat terbukti memperikan perbaikan klinis pada pasien yang refrakter terhadap DMARDS. Pengobatan dengan MMF dapat menurunkan titer faktor rheumatoid, tingkat imunoglobulin (Ig A, Ig G dan Ig M) dan total jumlah sel T (CD2). Dosis 2 gram/m2 lebih efektif dibanding dosis yang lebih kecil termasuk juga dosis pulse. Efek samping yang paling banyak dilaporkan adalah gangguan pencernaan seperti mual, muntah, nyeri perut dan diare. Efek samping yang lain adalah nyeri kepala, dizziness, kesulitan untuk tidur, tremor dan rash.. Efek samping yang jarang namun berat adalah pembengkakan di kaki dan wajah, peningkatan tekanan darah, lekopenia dan trombositopenia, infeksi bakterial.
25,26
Pada pemberian hari ke 20, pasien mengalami efek
samping, nyeri sendi yang hebat, kesulitan untuk tidur, badan lemas dan sulit konsentrasi. MMF kemudian dihentikan dan dilanjutkan dengan injeksi steroid intraartikuler. Injeksi intra-artikuler kortikosteroid sudah dikenal baik sebagai terapi yang penting dan efektif untuk JIA. Pengobatan arthritis yang cepat pada anak yang sedang tumbuh dan berkembang, dapat menghindari atau meminimalkan
masalah kontraktur, leg length
discrepancy dan atrofi otot.27 Banyak peneliti yang merekomendasikan sebagai terapi lini pertama pada pasien JIA oligoartikuler yang tidak berespon terhadap NSAIDs. Injeksi kortikosteroid intraartikuler juga direkomendasikan pada semua arthritis aktif yang tidak berespon baik dengan disease modifying anti-rheumatic drugs (DMARDs), terlepas dari tingkat aktivitas penyakit, gambaran prognostik atau kontraktur sendi, diberikan bersamaan atau tanpa dengan terapi JIA yang lain. Steroid kerja panjang merupakan pilihan untuk injeksi intraartikuler. Injeksi intraartikuler yang diberikan sebaiknya adalah triamcinolon hexacotonide (THA),karena mempunyai efikasi yang paling tinggi. Pada satu randomized controlled trial (RCT) anak dengan arthritis sendi lutut bilateral diberikan THA terjadi perbaikan klinis yang lebih lama dibanding triamcinolon acetonide (TA).
Meskipun
demikian, THA tidak tersedia di banyak negara. Steroid kerja panjang lain yang dikenal baik adalah triamcinolon acetat (TA) yang bisa digunakan sebagai alternatif THA. Injeksi intraartikuler diharapkan membuat perbaikan klinis selama minimal 4 bulan, bisa diulang sesuai dengan kebutuhan. Erbil Unsal dan Balahan Makay di Turki meneliti 37 pasien yang diinjeksi dengan TA pada 95 sendi dengan total 125 injeksi intraartikuler. Setahun kemudian dilakukan evaluasi dengan hasil remisi lengkap berlangsung minimal 6 bulan sebanyak 62 dari 95 injeksi (65%). Pengobatan sendi yang kontraktur berhasil pada 35 dari 51 sendi (69%). Pada pasien dengan oligoarthritis, 21 dari 26 (81%) sendi yang diinjeksi mengalami remisi lengkap pada bulan ke enam . Pada JIA tipe lain, mempunyai 6 bulan remisi yang
46
secara signifikan lebih rendah (P<0,01), 41 dari 69 (59%) sendi yang diinjeksi dibandingkan dengan bentuk oligoarthritis.28
Durasi respon klinis yang lebih pendek menggambarkan
dibutuhkan terapi sitemik yang lebih tinggi. 21,22,27,29 Pasien yang kami pantau mendapatkan injeksi intraartikuler 5 kali, pada saat arthtitis menjadi aktif dan tidak membaik dengan MTX subkutan. Respon yang terjadi setelah injeksi intraartikuler adalah perbaikan klinis, dengan berkurangnya nyeri sendi, perbaikan kualitas hidup yang ditandai dengan aktivitas di sekolah dan di rumah yang membaik. Hidroksiklorokuin merupakan obat antimalaria yang digunakan dalam pengobatan penyakit reumatik. Hidroksiklorokuin bekerja dengan menghambat sintesis DNA, RNA dan protein dengan berinteraksi dengan asam nukleat. Efek immunosupresifnya bekerja melalui beberapa mekanisme termasuk perubahan pada pH lisosom dan mengganggu dalam proses pembentukan antigen, stabilisasi membran lisosom, inhibisi reaksi antigen-antibodi, supresi respon limfosit dan inhibisi kemotaksis netrofilhidroksiklorokuin diabsorbsi dengan baik di usus dengan bioavailabilitas 74%. Pada sebuah meta analisis diungkapkan bahwa hiroksiklorokuin yang diberikan pada pasien rheumatoid arthritis mempunyai efek menengah dengan toksisitas yang rendah. Hidroksiklorokuin aman digunakan pada pasien. Frekuensi efek samping yang berat jarang ditemukan meskipun digunakan dalam jangka panjang. Pada pasien dewasa, gangguan gastrointestinal terjadi pada 10% pasien sedangkan pada anak-anak lebih rendah. Efek sistem saraf pusat berupa sakit kepala, insomnia, gugup, mimpi buruk dan bingung. Pemeriksaan mata sebelum dan rutin setelah penggunaan klorokuin dilakukan karena efek samping yang paling diperhatikan adalah toksisitas okular yang jarang terjadi tapi bisa menyebabkan kebutaan, tetapi tidak akan terjadi apabila dosis diberikan kurang dari 6,5 mg/kgbb/hari.
30
Selama pemantauan, dilakukan
pengawasan efek samping NSAIDs
dengan
pemeriksaan kreatinin serum, urinalisis, pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati dilakukan sebelum pengobatan awal atau segera setelah NSAID diberikan.
Secara periodik
direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan keratinin serum, urimalisis, darah lengkap dan fungsi hati dua kali setahun untuk pasien yang rutin setiap hari mendapat NSAIDs atau setahun sekali pada pasien yang 3 sampai 4 hari per minggu mendapatkan NSAIDs. Pemantauan MTX dilakukan dengan pemeriksaan serum kreatinin, darah lengkap dan fungsi hati sebelum pengobatan awal MTX. Segera setelah pengobatan awal dilakukan pemeriksaan ulang kreatinin serum, darah lengkap dan fungsi hati. Secara umum, pemeriksaan laboratorium direkomendasikan 1 bulan setelah pengobatan awal MTX dan 1-2 bulan setelah
47
peningkatan dosis MTX.
Setelah mendapatkan dosis MTX yang tetap,apabila hasil
laboratorium sebelumnya normal, pemeriksaan ulang kreatinin serum, darah lengkap, dan fungsi hati
dilakukan setiap 3-4 bulan. Pengurangan dosis MTX dilakukan bila terjadi
peningkatan fungsi hati
2 kali lipat, dan penghentian pemberian MTX bila fungsi hati
meningkat 3 kali lipat. 22 Selama pemantauan 18 bulan terjadi efek samping obat AINS seperti mual dan nyeri perut yang membaik dengan pemberian ranitidin dan sucralfat. Tidak didapatkan penurunan fungsi hati dan fungsi ginjal. Pasien sering mengalami gaangguan tidur dan mimpi buruk yang bisa disebabkan karena efek samping MTX dan AINS. Gangguan tidur yang terjadi pada penderita JIA berhubungan dengan derajat nyeri yang dialami pasien. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 14 anak JIA yang dibandingkan dengan kontrol 16 anak dengan usia dan jenis kelamin yang sama menunjukkan anak dengan JIA 2 kali mempunyai gangguan tidur berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur dan terbangun pada dini hari. Tujuh puluh sembilan persen pasien JIA mengalami mimpi menyeramkan atau buruk dibandingkan dengan 38% kontrol. Pada penelitian yang dilakukan Zamir et al, 75% pasien JRA poliartikuler mengalami gangguan tidur. Aspirin dan ibuprofen dapat meningkatkan waktu terjaga pada malam hari dan persentase terbangun pada malam hari sehingga menurunkan efisiensi tidur. Ibuprofen juga menyebabkan lambatnya onset tidur stadium dalam. Beberapa obat DMARDS seperti MTX dan hidroksiklorokuin juga menyebabkan iritasi saluran pencernaan yang bisa mengganggu tidur dan kortikosteroid juga menyebabkan insomnia yang berat. Ganggaun tidur yang terjadi pada pasien JIA merupakan prediktor penting untuk gejala parah, penampilan di sekolah dan seberapa baik pasien beradaptasi hidup dengan penyakit kronis. 31 Selama pengamatan, pasien rutin periksa ke bagian mata untuk skrinning uveitis, sebagai salah satu efek samping dari hidroksiklorokuin. Pada pengamatan bulan ke 16, pasien mengalami nyeri kepala dan penurunan ketajaman penglihatan. Setelah dilakukan pemeriksaan, didapatkan tekanan intraokular mata meningkat dan didiagnosis sebagai glaukoma.
Efek glaukoma terjadi pada 14-48% pasien JIA dengan uveitis dan bisa
menyebabkan kerusakan penglihatan yang irrreversibel. Pada pasien ini tidak didapatkan uveitis. Peningkatan tekanan intra okuler sering disebabkan oleh banyak faktor. Disfungsi trabekular meshwork dan peningkatan resistensi sinekia yang eksaserbasi yang disebabkan karena kortikosteroid. Setelah mengalami keluhan ini, hidroksiklorokuin dan kortikosteroid dihentikan kemudian dievaluasi selama 2 minggu. Obat yang digunakan untuk glaukoma-
48
uveitis adalah topikal beta bloker dan sistemik inhibitor karbonik anhidrase. Alpha agonis (terutama brimonidin) diberikan dengan hati-hati pada anak berusia kurang dari 5 tahun karena bisa menyebabkan suprsi sistem saraf pusat (misalnya mengantuk dan depresi kardiorespiratori). 32 JIA merupakan salah satu penyakit kronis yang berdampak panjang terhadap terhadap pasien dan keluarganya. Ketaan minum obat berperan penting dalam remisi pada JIA. Pasien yang kami amati ketaatan minum obatnya kurang karena pasien merasa berat badan bertambah, terlihat gemuk dan berjerawat bila minum steoid dalam jangka waktu lama dan dosis tinggi. Diperlukan pengawas minum obat (PMO) dan konseling psikolog diperlukan untuk mengatasi masalah psikologi pasien berkaitan dengan ketaatan minum obat dan keluarganya berkaitan dengan penyakit kronis. Pasien yang kami amati rutin mendapatkan bimbingan dan konseling psikolog, baik di RSUP DR Sardjito maupun di RSJ Magelang, karena domisili pasien di Magelang. Remaja sering sekali merasa bahwa mereka tidak sakit, tidak ingin sakit dan tidak berbeda dengan remaja sebayanya. Pada beberapa kesempatan, pasien merasa sehat, bisa melakukan pekerjaan yang sebetulnya tidak bisa atau beresiko terhadap sakitnya bila dikerjakan. Hal ini membuat kekahawatiran orangtua dan keluarga sehingga orangtua cenderung menjadi terlalu protektif dan terlalu membantu. 33 Setelah pasien dan orangtua melakukan konseling dengan psikolog, diberikan solusi bahwa pada saat sehat, penyakit sedang tidak aktif, orangtua memberikan kesempatan dan tugas-tugas harian yang sesuai dengan umurnya. Dampak pada anak tercermin pada perkembangan psikososial, keterlibatannya dengan teman sekolah dan prestasi di sekolah.
Sering pasien merasa
bermasalah dengan perselisihan kecil dengan temannya dan sensitif dengan kritik yang disampaikan oleh temannya atau ketidaktahuan guru mengena kondisi penyakit anak. Komunikasi yang baik antara dokter, pasien, guru, teman sekolah, dan orangtua diperlukan untuk perkembangan yang optimal. Hal ini terjadi pada saat terjadi flare yang dipicu karena letak kelas pasien yang berada di posisi bertingkat sehingga menyebabkan pasien harus naik turun tangga menyebabkan terjadi trauma fisik sehingga erjadi flare. Setelah dilakukan kunjungan ke sekolah, komunikasi dengan orangtua, guru dan teman disekolah kemudia pasien dipindah ke kelas yang letaknya mudah dijangkau untuk meminimalkan resiko trauma.
49
Dampak terhadap keluarganya antara lain status psikososial keluarga, aktifitas dan status ekonomi keluarga serta peran keluarga dalam masyarakat. Pasien yang saya amati berumur 15 tahun yang merupakan remaja menengah. Pada pertumbuhan dan pubertas, remaja menengah lebih dominanan terjadi perkembangan kognitif dan psikososial. Selain itu remaja sangat sadar dengan penampilannya. Pasien di sekolah merupakan anak yang pandai yang terbiasa mendapatkan peringkat sejak sekolah di SD. Pasien ini menderita JIA sejak tahun 2012, saat itu pasien duduk di sekolah menengah pertama. Masalah yang dihadapi adalah sering tidak masuk sekolah karena sakit dan berkurangnya fungsi kognitif karena obat-obatan Beberpa area psikososial misalnya lepas ketergantungan dari orangtua, hubungan dengan keluarga dan hubungan dengan teman sebaya merupakan masalah yang harus dihadapi oleh remaja dengan penyakit kronis. Remaja dengan kondisi kronis aktifitasnya sering terhambat akibat faktor fisik, mental atau masalah sensoris yang disebabkan karena kondisi anak terkait dengan penyakitnya seperti mudah lelah, nyeri tulang sering ke dokter atau sering dirawat di rumah sakit. Anak dengan kondisi kronis sering dijauhi teman sebayanya atau khayalannya sendiri bahwa teman-temannnya tidak mau bergaul dengannya. Mereka sering merasa terasing dan ditolak dari lingkungannya sehingga menarik diri dari lingkungannnya. Pada awal pengamatan, pasien ini pernah merasakan perasaan demikian. Setelah beberapa kali dilakukan konseling dengan psikolog, perasaan tsb tidak muncul lagi. Sampai saat ini pasien banyak memiliki teman sebaya baik di sekolah maupun di rumah, dengan aktivitaas remaja yang sering dilakukan tidak banyak mnggunakan aktivitas fisik. Dengan teman-temannya pasien sering berdiskusi dan bertukar ide tentang masalah-masalah di sekolah atau tentang hobby remaja seperti bermain game di rumah atau belajar desain grafis bersama. Dukungan teman sebaya ini penting untuk perkembangan remaja dengan penyakit kronis supaya dapat tumbuh secara optimal. Penatalaksanaan remaja dengan penyakit kronis harus melibatkan kesehatan mental, memantau perkembangan anak dan melibatkan keluarga. Pendidikan kesehatan kesehatan harus dijelaskan pada remaja tentang perjalanan penyakitnya dan keterbatasan pengobatan. Selama pemantauan, pengamat banyak berdiskusi dengan pasien dan keluarganya
sering berkomunikasi tentang penyakitnya.
Keluarga juga sudah baik merespon terhadap emosi pasien. 34 Orangtua dan kakak pasien bisa mendengarkan dan memberikan waktu yang cukup kepada pasien untuk mengemukakan perasaan, kekhawatiran dan harapannya.
50