BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pterygium merupakan penyakit pada permukaan mata yang merupakan pertumbuhan berbentuk segitiga terdiri atas epitel konjungtiva bulbi dan jaringan ikat subkonjungtiva yang mengalami hipertrofi, bisa terjadi pada sisi lateral maupun medial dan pertumbuhannya mengarah ke kornea (Tan, 2002). Pterygium banyak ditemukan di daerah tropis dan sub tropis yang terletak di dekat garis ekuator (Tan, 2002). Di Indonesia angka kejadian pterygium pada penduduk diatas 21 tahun mencapai 10% (Gazzard et al., 2002). Beberapa faktor risiko yang telah diketahui antara lain berpredisposisi genetik, mekanisme imun dan iritasi kronik dari lingkungan termasuk sinar ultraviolet, angin dan debu, walaupun etiologi pastinya masih belum jelas diketahui (Lee dan Jeong, 1987). Pterygium telah dilaporkan berkaitan dengan kejadian astigmatisme dan menurunkan tajam penglihatan (Gazzard et al., 2002). Pterygium tingkat lanjut juga akan mengakibatkan kekeruhan kornea yang berujung pada gangguan penglihatan bahkan bisa menyebabkan kebutaan. Penatalaksanaan utama dari pterygium adalah pengangkatan pterygium secara bedah.
Teknik operasi pterygium telah banyak berkembang, berbagai
penelitian telah dilakukan untuk mencari teknik terbaik dalam
mengatasi
perdangan, mencegah kekambuhan dan kenyamanan pasien. Teknik transplantasi autograft konjungtiva ditemukan lebih baik dalam mencegah kekambuhan
1
2
dibandingkan dengan teknik bare sclera maupun transplantasi amnion ( Özer et al., 2009). Dalam melakukan penempelan cangkok konjungtiva terdapat dua teknik yang dapat dilakukan dengan penjahitan dan menggunakan lem fibrin. Penggunaan lem fibrin pada teknik cangkok konjungtiva limbal telah dikembangkan untuk meningkatkan kenyamanan pasca operasi, mengurangi peradangan dan kekambuhan. Operasi pterygium dengan teknik transplantasi auto-konjungtiva menggunakan lem fibrin dapat dilakukan dalam waktu yang lebih cepat dan mempunyai tingkat peradangan yang lebih ringan pasca operasi dibandingkan dengan teknik penjahitan dengan benang polyglactin 10.0 (Srinivasan et al., 2009). Lem fibrin merupakan material biologis yang bersifat adesif terdiri atas komponen fibrinogen dan komponen trombin. Lem fibrin komersial yang beredar saat ini terbuat dari plasma beku donor untuk komponen fibrinogen dan plasma beku segar bovine untuk komponen trombinnya. Karena bersumber dari serum donor dan bovine maka kemungkinan penularan penyakit viral maupun bakterial akan meningkat. Sumber lem fibrin yang lain adalah dengan menggunakan darah pasien sendiri atau disebut lem fibrin autologus. Karena bersumber dari darah pasien sendiri maka akan menekan kejadian trasmisi penyakit maupun reaksi alergi (Man et al., 2001). Penggunaan lem fibrin baik lem fibrin komersial maupun lem fibrin autolog pada bidang mata masih terbatas. Beberapa penelitian telah membuktikan efektivitas dan keamanan lem fibrin komersial. Srinivasan et al. pada tahun 2009
3
telah melakukan penelitian operasi pterygium menggunakan lem fibrin komersial dengan merek dagang Tiseel® dibandingkan dengan teknik penjahitan dengan benang polyglactin 10-0, sementara itu Harvey et al.
pada tahun 2005
menggunakan lem fibrin komersial dengan merek dagang Beriplast P® yang dibandingkan dengan teknik penjahitan menggunakan nylon 10.0. Hasil dari penelitian-penelitian tersebut menyatakan bahwa lem fibrin komersial aman digunakan dan mempunyai efektivitas yang setara dengan teknik penjahitan karena mempunyai waktu operasi yang lebih pendek dan tingkat inflamasi pasca operasi yang lebih rendah dibadingkan dengan teknik penjahitan (Srinivasan et al., 2009 dan Harvey et al., 2005). Enus dan kawan-kawan pada tahun 2009 melakukan penelitian penggunaan lem fibrin autolog untuk menempelkan cangkok konjungtiva pada hewan coba dan dalam hasilnya dinyatakan bahwa penggunaan lem fibrin autolog lebih efektif dibandingkan dengan teknik penjahitan karena waktu operasi yang lebih singkat dan stabilitas penempelan cangkok yang baik (Enus et al., 2009). Uji klinis pemakaian lem fibrin autolog
dalam bedah pterygium inflamasi telah
dilakukan dan didapatkan hasil bahwa hiperemia pasca operasi lebih rendah dibandingkan dengan teknik jahitan (Rifada, 2010). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya penggunaan lem fibrin komersial maupun lem fibrin autolog yang dalam operasi pterygium lebih banyak dibandingkan dengan teknik jahitan. Hingga saat ini belum didapatkan laporan mengenai perbandingan klinis penggunaan lem fibrin
4
komersial dengan lem fibrin autolog pada operasi pterygium sehingga peneliti merasa perlu melakukan penelitian ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Apakah terdapat perbedaan pada kecepatan operasi, kenyamanan pasien pasca operasi, dan derajat hiperemis pada operasi pterygium dengan teknik autograft konjungtiva antara yang menggunakan lem fibrin autolog dibandingkan dengan lem fibrin komersial?” C. Keaslian Penelitian Pada penelitian ini penulis akan meneliti perbedaan autograf konjungtiva pasca eksisi pterigium primer yang direkatkan dengan menggunakan lem fibrin (Beriplast-P) dibandingkan dengan lem fibrin autolog setelah aplikasi mitomycin C. Follow up akan dilakukan pada hari ke-2, minggu ke-1, 2, dan 4 pasca operasi, pada tiap follow up akan dinilai keluhan subyektif seperti rasa nyeri, mata berair, rasa mengganjal, dan rasa gatal dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS). Penelitian ini juga akan menilai lamanya operasi dan derajat hiperemis konjungtiva. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai lem fibrin baik autolog maupun komersial yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 1.
5
Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti
Tahun
Uy et al.
Metode
Hasil
2005
Case series intervensional prospektif pada 22 mata
Waktu operasi dan gejala pasca operasi kelompok lem fibrin (Beriplast®) lebih rendah dibanding jahitan (nylon 10.0) secara signifikan.
et
2008
Prospektif terandomisasi pada 60 mata
Waktu operasi & gejala operasi kelompok lem (ReliSealTM) lebih dibanding kelompok teknik secara signifikan.
Srinivasan et al.
2009
Prospektif terandomisasi dengan masking pada pengamat pada 40 mata
Perlekatan graft pada kelompok lem fibrin (Tiseel®) sama kuat dibandingkan kelompok jahitan (polyglactin 10-0), tingkat peradangan kelompok lem fibrin lebih rendah dibandingkan kelompok jahitan.
Rifada
2010
Uji klinis acak terkontrol pada 28 mata
Derajat hipermis pasca operasi kelompok lem fibrin autolog lebih rendah dibanding kelompok jahitan.
Penelitian ini
2013
Uji klinis kuasi eksperimental
Durasi operasi, kenyamanan pasca operasi dan proporsi hiperemis konjungtiva antara lem fibrin autolog dan lem fibrin komersial
Midha al.
pasca fibrin rendah jahitan
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kecepatan operasi, kenyamanan pasien dan derajat hiperemis pasca operasi pada operasi pterygium dengan teknik autograft konjungtiva antara yang menggunakan lem fibrin autolog dengan lem fibrin komersial.
6
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perbandingan kecepatan operasi, kenyamanan pasien pasca operasi dan derajat hiperemis pada operasi pterygium dengan teknik autograft konjungtiva antara yang menggunakan lem fibrin komersial dengan lem fibrin autolog.
2. Manfaat Praktis Lem fibrin autologus diharapkan dapat digunakan pada operasi pterygium sebagai alternatif pengganti lem fibrin komersial untuk penempelan tandur konjungtiva bulbi.