19
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sampai tahun 1980 ada lebih dari 250 pendekatan dalam psikoterapi yang tercatat dalam Handbook of Psychotherapy (Herink, 1980). Sekarang sudah milenium ke 3, berapa banyak jumlah psikoterapi yang tercatat. Apabila pendekatan paranormal ataupun terapi gerak yang dikembangkan padepokan lemah putih di bawah pimpinan Mulyono Suryosudarmo di Kartasura juga bisa termasuk dalam kategori psikoterapi yang ada di Indonesia. Kemudian terapi musik, yang dikembangkan oleh Djohan dari Institute Seni Indonesia (ISI) juga merupakan psikoterapi, maka mungkin jumlahnya ada beratus psikoterapi bahkan mungkin ribuan yang tentu saja akan menambah jumlah psikoterapi. Apabila psikoterapi adalah proses penyembuhan
batin
maka
dapat
di
observasi
banyaknya
jenis
penyembuhan di bumi kita ini (Prawitasari, 2002) Dewasa
ini
pendekatan
psikoterapi
mutakhir
lebih
banyak
berkembang seperti Psikoterapi Psikoanalisis klasik yang dicetuskan oleh Sigmund Freud pada pertengahan 1890-an dan telah dimodifikasi oleh banyak neo-Freudian. Psikoterapi Adler atau Psikologi Individual juga muncul dan banyak dipraktekkan oleh psikoterapis. Kemudian terdapat juga Psikoterapi Analitis (Jungian) yang dikembangkan oleh Carl G. Jung. Jung adalah neo-Freudian yang memandang libido sebagai energi psikis umum, bukannya energi seksual (Ellis, 1994).
20
Pada awal 1940an, Carl Rogers juga mengembangkan PersonCentered atau Client-Centered Therapy. Walaupun tidak dipraktekkan dalam bentuk ortodoks pada masa sekarang, psikoterapi ini banyak diterapkan dan dipadukan dalam praktek oleh banyak ilmuwan dan terapis. Kemudian pada tahun 1955 Albert Ellis mengembangkan sebuah model Cognitive Behavior Therapy modern yang dikenal dengan nama Rational-Emotive Therapy. Ellis memadukan terapi kognitif Adler dengan terapi perilaku dari John Watson dan Skinner. Salah satu psikoterapi yang cukup populer adalah Behavioral Psychotherapy yang dicetuskan oleh John Watson dan Mary C. Jones pada 1920an dan kemudian dipopulerkan oleh Joseph Wolpe dan B. F. Skinner pada era 1950an. Psikoterapi lain yang berkembang adalah
Gestalt Therapy yang
merupakan hasil kerja Fritz Perls pada awal 1940an. Selain itu juga berkembang psikoterapi berdasarkan teori eksperiensial, eksistensial, dan Humanistik. Kemudian terdapat juga psikoterapi Transactional Analysis yang dikembangkan oleh Eric Berne pada pertengahan 1950an (Ellis, 1994). Selain perkembangan psikologi Barat, juga berkembang psikologi Timur-Barat (East-West Psychology). Istilah ini merujuk pada integrasi antara praktik psikologi, filsafat, dan agama-agama Timur atau Oriental dengan teori dan praktik psikologi Barat. Pendekatan Timur yang digunakan antara lain berasal dari Confucianism, Taoism, Hinduism, Buddhism, dan Shufism Islam. Sedangkan pendekatan Barat yang
21
digunakan antara lain teori Psikoanalisis, Behavioristik, dan Humanistik. Perpaduan ini mencakup beberapa kondisi yang melampaui batasan ego dan tingkat kepribadian yang digambarkan dalam psikologi Barat. Teori Barat
memperoleh
pemahamannya
mengenai
fenomena
melalui
pendekatan intelektual dan objektif. Psikologi Barat menganggap distorsi realitas sebagai patologis, sedangkan realitas sebagai persepsi dalam kesadaran, dan diri (self) terpisah dari yang dipersepsikannya (Wallock, 1994). Titik pertemuan antara tradisi Barat dan Timur dalam psikologi dapat dirunut
jauh
dari
William
James
yaitu
sejak
psikologi
mulai
memperhitungkan konteks spiritual dalam jiwa manusia. Kondisi ini kemudian membawa kepada sebuah ketertarikan dan usaha untuk melihat tradisi Timur dalam memandang manusia. Telah banyak tokoh-tokoh yang berusaha memandang manusia dari konsep Timur (Asia). Misalnya Heidegger, Erich Fromm dan Hubert Benoit (Smith, 2001). Bahkan C.G. Jung, menulis mengenai tradisi Tao dalam memandang konsep mengenai manusia (Karcher, 1999). Termasuk juga pengaruh doa pada kesehatan fisik dan mental (Dossey, 1996). Roger Walsh menggambarkan tiga tingkatan dan tujuan psikoterapi yaitu; pertama. Terapi tradisional yaitu mengurangi patologi dan meningkatkan
penyesuaian
diri.
Kedua.
Eksistensial
yaitu
mengkonfrontasi pertanyaan dan permasalahan eksistensi. Ketiga. Soteriologis yaitu mencerahkan dan bersifat transenden. Walsh kemudian
22
menyatakan bahwa psikologi dan terapi Barat berfokus pada dua tingkatan awal (pertama dan kedua), sementara pemikiran Timur berfokus pada tingkatan ketiga (Wallock, 1994). Sudut pandang Timur lebih dinamis dan organik, melihat seluruh kosmos sebagai satu realitas tidak terpisahkan, spirit dan materi pada waktu yang sama. Tujuan praktik Timur adalah untuk menguak realitas dan mencapai pencerahan. Tradisi Timur telah mengembangkan sebuah pendekatan empiris dan personal yang berbeda dengan cara Barat yang saintifik, impersonal, dan objektif. Sebagai lawan dari pemikiran analitis– logis, pengetahuan berbasis pengalaman lebih ditekankan. Dalam tradisi Timur, pemahaman dengan cara kontemplatif–meditatif dianggap akurat, sedangkan tradisi Barat hanya menggunakan sensasi-empiris dan model konsep-kognisi. Meditasi adalah salah satu praktik utama dalam metode Timur untuk meraih pencerahan. Perpaduan teori-teori psikologi Barat dengan Timur ini kemudian mengarah kepada psikologi Transpersonal yang membawa insight dari tradisi dan juga psikologi modern (Wallock, 1994) Dibelahan Asia kita melihat salah satu psikoterapi Timur yaitu Naikan Therapy yang berasal dari Jepang. Terapi ini dikembangkan oleh Ishin Yoshimoto dan menjadi populer karena keberhasilan penerapannya dalam sistem penjara di Jepang. Saat ini, Naikan Therapy diterapkan dalam perawatan untuk orang-orang yang terkena kecanduan, gangguan psikosomatis, neurotis, masalah keluarga, dan berbagai permasalahan
23
psikologis lainnya. Naikan Therapy juga diterapkan dalam berbagai pelatihan untuk pekerja, sekolah, dan rumah sakit. Anggapan umum Naikan Therapy adalah bahwa eksistensi kita didukung dalam cara tidak terhitung oleh dunia kita, terutama dunia sosial, walaupun kita menerima banyak hal dari orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Praktik Naikan Therapy dirancang untuk menyeimbangkan masa lalu yang salah dipersepsikan.
Terdapat
banyak
variasi
metode
Naikan
Therapy,
diantaranya nichijo, naikansha, mensetsu dan shuchu (Reynolds, 1994b). Berikutnya, Morita Therapy yang dikembangkan oleh Shoma Morita, seorang Psikiater Tokyo sekitar tahun 1930-an. Seperti halnya Naikan Therapy, Morita Therapy mendasarkan pada Budhism. Teorinya mengenal istilah bahwa pada dasarnya kecemasan, ketakutan dan bentuk ketidaknyamanan lainnya adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Oleh karena itu terapinya bertujuan bukan untuk membebaskan keberadaan simptom (gejala) yang ada, namun lebih kepada penerimaan keadaan secara lebih realisitis dengan tidak mengabaikan penderitaan yang sedang dialami, guna melakukan apa yang perlu dilakukan dari waktu ke waktu. Dalam Morita Therapy, pasien biasanya di opname dan menjalani tahapan retret perawatan (Reynolds, 1994a). Selanjutnya,
ada
juga
praktik
meditasi
Zen
Budhism
yang
memberikan dan memfasilitasi klien dalam membangun hubungan dengan hidupnya, mengalami jiwanya yang otentik dalam keterhubungan, dan
24
menjalani setiap momen dalam hidup. Kemudian lebih jauh lagi praktik Zen Budhism ini dapat meningkatkan penghargaan terhadap nilai kehidupan keluarga dan hubungan personal (Hoebericts, 2004). Prinsip yang penting dalam praktek Zen Budhism adalah koan yaitu pertanyaan atau pernyataan yang diajukan oleh seoran guru Zen Budhism kepada muridnya sebagai objek untuk melakukan meditasi. Tujuan utama koan adalah untuk membawa murid kepada sebuah pemahaman bahwa pikiran mudah tersesat dan mudah dibingungkan dengan hukum-hukum sebab akibat. Sehingga ketika murid mengalami kebuntuan intelektual dan emosional, diharapkan kemudian muncul sebuah kilatan pemahaman yang dalam kajian psikologi kognitif kemudian disebut sebagai insight (Smith, 2001). Pelatihan Zen Budhism ini telah terbukti memberikan manfaat untuk meningkatkan penyesuaian psikologis, kemerdekaan pribadi dan ketenangan seseorang., dan dalam proses meditasi Zen Budhism ini terdapat aspek-aspek yang menguatkan hubungan gurumurid (MacPhyllamy, 1986) Praktek meditasi ini merupakan teknik atau metode latihan yang digunakan untuk melatih perhatian, yang bertujuan meningkatkan taraf kesadaran, yang selanjutnya dapat membawa proses-proses mental yang dapat lebih terkontrol secara sadar. Ada 2 tujuan akhir dari praktek meditasi sebagai teknik psikoterapi, yaitu; pertama, agar seseorang dapat memiliki perkembangan insight yang paling dalam tentang proses mental di dalam dirinya yaitu insight tentang kesadaran identitas dan realitas.
25
Kedua, agar seseorang memperoleh perkembangan kesejahteraan psikologis dan kesadaran yang optimal (Walsh 1983; Subandi, 2002). Psikoterapi sekarang juga sudah memasukkan meditasi menjadi salah satu teknik penyembuhan pasien (Bernstein, Carlson & Schmidt, 2007). Di dunia tasawuf islam, khususnya Indonesia kita juga mengenal model psikoterapi yang menggunakan lidah dan hati sebagai instrumen dzikirnya yang meliputi tafakkur, riyadhah dan mujahadah dalam terapinya dan
menjadikan
Tuhan
sebagai
sentralnya.
Dzikir
ini
dapat
mengenyahkan berbagai bisikan, kewas-wasan, kekhawatiran yang ada dalam jiwa dan menggantinya dengan ketenangan, kerelaan, rasa aman dan cinta. Dengan dzikir ini, jiwa orang yang sakit mempunyai rasa percaya diri kepada, di dalam dan bersama Allah SWT. Ia tidak lagi berpikir tentang berbagai penyakit dan aib pada dirinya. Ia menghadap dengan sepenuh hati kepada Allah SWT sehingga ia menjadikan dirinya berada
dalam
keakraban
bersama-Nya.
Dengan
demikian
maka
tenteramlah hatinya yang sedang risau, sebagaimana yang Tuhan firmankan,............“Ingatlah dengan berdzikir kepada Allah SWT, hati menjadi tenteram,” (QS. Ar-Ra‟d, 28). Karena, ...........“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,” (QS. Qaaf, 16) (An Najar, 2004). Dzikir sebagai instrumen terapi ini dapat memberikan dampak pada aspek psikologis
seperti
pemecahan
masalah,
pemahaman
individuasi, dan pemaknaan hidup (Subandi, 2005).
diri,
proses
26
Ki Ageng Suryomentaram, dengan olah kawruh jiwa sebagai perangkat analisis olah rasa memberikan kontribusi bagi pengembangan kesejahteraan dan kualitas hidup dengan model analisis diri yang berbasiskan pada “rasa” sebagai landasan introspeksi diri (Yoshimichi, 2006). Dalam konteks masyarakat tradisional Jawa penghayatan akan ilmu dalam bentuk utamanya adalah ngelmu, hal ini merujuk pada bentuk mistis spiritual yang tidak hanya intelektual semata namun juga intuitif, sehingga rasa memiliki kemampuan untuk mengetahui aspek-aspek intuitif terhadap realitas (Stange, 1998). Rasa juga merupakan inti sari manusia dan titik tertinggi dalam kehidupan rohani sebab adanya tali hubungan yang erat dengan Tuhan (Drijarkara, 1989). Rasa juga bersifat hakiki yang menembus kedalaman kepribadian dan merupakan pengalaman estetis atas kemampuan pencerahan rohani individu (Prihartanti, 2004). Apabila rasa sebagai sarana, alat dan piranti dari intuisi menuju bisikan hati (Stange, 1998), maka rasa juga merupakan organ kognitif yang tidak hanya bersifat inderawi semata namun juga merupakan kedalaman untuk menerobos inti kesadaran transpersonal (Prihartanti, 2004). Psikoterapi adalah hal fundamental dalam psikologi. Psikoterapi juga merupakan praktek dari berbagai teori yang dikembangkan dalam penelitian psikologi. Dengan hadirnya psikologi lintas budaya konsep psikoterapi yang berkembang di dunia Timur mendapat tempat sebagai bagian dari kontribusinya terhadap kesejahteraan dan kualitas hidup manusia, dibuktikan dengan hadirnya psikologi Transpersonal. Hadirnya
27
psikologi
Transpersonal
membantu
proses
kebangkitan
dengan
menggunakan teknik-teknik yang mempertajam intuisi dan memperdalam kesadaran personal dan transpersonal tentang diri (Vaughan,Wittine, & Walsh, 1996). Kemajuan ini membuktikan bahwa pendekatan dalam memahami manusia tidak hanya melalui pendekatan fisik semata namun juga jiwa atau rasa, komunitas pelajar kawruh jiwa memberikan prioritasnya atas rasa untuk berpikir dan bertindak (Yoshimichi, 2006). Pemahaman jiwa dikembangkan oleh Ki Ageng Suryomentaram dibangun tidak dengan teori-teori yang abstrak namun lebih mengedepankan hal yang kongkrit dan nyata. Menyentuh aspek interaksi kehidupan manusia dan sifatnya yang intersubjektif dan intrasubjektif serta pengujiannya didasarkan pada penghargaan
rasanya
sendiri
(Jatman,
2000).
Darminta
(1980)
menyebutkan bahwa olah kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram dengan mawas dirinya merupakan bentuk refleksi diri dalam mengalami pengalaman spiritual yang menghadirkan hal-hal yang transenden ke dalam dirinya. Ngudari reribet dengan nyawang karep adalah bagian olah rasa dari kawruh
jiwa
Ki
Ageng
Suryomentaram.
Sebagaimana
umumnya
masyarakat Jawa yang lebih mementingkan rasa, kawruh jiwapun mementingkan rasa sebagai olah rasa penelitian dirinya melalui mawas diri (Atmosoetidjo, 2003). Kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram dalam hal ini penelitian penulis ingin menyajikan sebuah konsep yang memiliki
28
kekhasan juga merupakan konstruksi dalam meneliti dirinya sebagai sebuah kecerdasan yang memberi sumbangan pemikiran bagi bangunan psikologi nusantara utamanya psikoterapi, sebagaimana yang telah ditulis pendahulunya
oleh
Darmanto
Jatman
tentang
konsep
rasa
Suryomentaram untuk analisis perilaku orang Indonesia dan Nanik Prihartanti dengan konsep rasa untuk mengurangi gangguan penyesuaian diri (Prawitasari, 2006).
B. Pertanyaan Penelitian Bagaimana pengalaman Responden dengan kawruh jiwanya dalam mengetahui dan memahami persoalan rasa serta bagaimana cara menyelesaikan
dan
menangani
persoalan
(ngudari
reribet)
yang
dialaminya sendiri secara interpersonal maupun intrapersonal sebagai sebuah psikoterapi.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara kawruh jiwa menjadi sebuah konsep psikoterapi yang berbasiskan rasa.
D. Manfaat Penelitian Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah penelitian ini dapat digunakan dan dipraktekkan sebagai konsep ngudari reribet dalam menangani persoalan yang berbasiskan rasa.
29
Penelitian ini secara toeritis diharapkan dapat menambah khasanah wacana ilmu dan pengetahuan serta pengembangan teori di bidang keilmuan psikoterapi.
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang bertemakan tokoh Ki Ageng Suryomentaram yang kajiannya secara psikologi sudah beberapa kali dilakukan di antaranya: 1. Tesis Darmanto Jatman (1985) dengan judul “Ilmu Jiwa Kramadangsa Satu Usaha Eksplisitasi dan Sistematisasi dari Wejangan Ki Ageng Suryomentaram”, dengan pendekatan kualitatif. Bagaimana Tesis penelitian ini merumuskan sebuah konsep ilmu jiwa kramadangsa yang bisa disejajarkan secara ilmiah dengan konsep psikologi modern yang disertai dengan tema dalam masing-masing konsep. Perbedaan dengan penelitian penulis adalah khususnya penekanannya pada topik penelitian (Darmanto
Jatman
“Mensistematisasi
Wejangan
Ki
Ageng
Suryomentaram”, penelitian penulis “mengetahui dan memahami rasa sebagai konsep psikoterapi kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram”) dan sumber data penelitian (Darmanto Jatman menggunakan pendekatan pengalaman dirinya sebagai data lapangan, sedangkan penelitian penulis menggunakan pengalaman Responden yang ada di komunitas kawruh jiwa Ki Ageng Suryomentaram dan data literatur sebagai data triangulasi).
30
2. Disertasi Nanik Prihartanti (2003) dengan judul “Kualitas Kepribadian
Ditinjau
dari
Konsep
Rasa
Suryomentaraman
dalam
Perspektif Psikologi”, dengan pendekatan kualitatif angket dan kuantitatif statistika. Penelitian ini memaparkan bagaimana kepribadian yang sehat dan kesejahteraan psikologis itu bisa diraih secara pendekatan konsep rasa Ki Ageng Suryomentaram. Perbedaan peneliltian Nanik Prihartanti dengan penelitian penulis adalah pada topik penelitian (Nanik Prihartanti dengan “kualitas kepribadian”, sedangkan penelitian penulis dengan “pengalaman
memahami
dan
memilah-milah
rasa
sebagai
jalan
psikoterapi”) dan metode penelitian yang digunakan (Nanik Prihartanti dengan “kualitatif angket dan kuantitatif statistika”, sedangkan penelitian penulis dengan “kualitatif fenomenologi dan literatur sebagai data triangulasi”).