BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Subjective well-being merupakan sejauh mana individu mengevaluasi kehidupan yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu kognitif dan afektif. Tingkat subjective well being yang tinggi ditandai dengan adanya evaluasi kognitif, yaitu berupa tingginya kepuasan hidup (life satisfaction) serta evaluasi afektif berupa tingginya afek positif (positive affect), dan rendahnya afek negatif (negative affect) (Diener, 2009). Subjective well-being termasuk dalam positive psychology. Berbeda dengan penelitian psikopatologi yang berbicara mengenai prevensi, dampak afek negatif dan terapi, psikologi positif lebih melihat bagaimana cara untuk meningkatkan kualitas hidup pribadi yang sehat (Utami, 2012). Individu dengan tingkat subjective well-being yang tinggi lebih baik dalam menjalin relasi, dalam pekerjaan, dan koping stress (Pavot & Diener, 2004). Dalam penelitian lain, subjective well-being juga berpengaruh terhadap tingkat kesehatan. Rendahnya tingkat subjective well-being individu dapat mengakibatkan rendahnya kualitas kesehatan dan longevity individu pada kemudian hari (Diener & Chan, 2011). Tingginya tingkat subjective well-being pada individu berusia dewasa tengah dapat mengurangi berbagai resiko penyakit seperti darah tinggi dan serangan jantung. Sebaliknya, rendahnya tingkat subjective well-being dapat menyebabkan penyakit darah tinggi (Steptoe dkk. dalam Diener & Chan, 2011). Rendahnya tingkat subjective well-being sering dirasakan oleh pekerja usia dewasa tengah yang akan memasuki usia dewasa akhir, khususnya pegawai negeri sipil (Indrayani, 2013). Pegawai negeri sipil berusia 50-59 tahun sering mengalami permasalahan terkait dengan tingkat kesejahteraan. Pada usia tersebut terjadi masa transisi, yaitu pensiun
1
2 (Pradono & Purnamasari, 2012). Kim dan Moen (2001) menyebutkan masa pensiun sebagai masa transisi paruh baya (midlife transition). Masa transisi yang terjadi tidak hanya sebatas dari bekerja menjadi tidak bekerja saja, namun melibatkan konteks yang lebih besar. Perubahan pada masa tersebut didukung oleh status kesehatan, tanggungan anak, pasangan yang juga akan menghadapi pensiun, dan lain-lain. Dari berbagai profesi sebagai pegawai negeri sipil, salah satunya adalah guru. Profesi guru menurut Ghufron (2010) umumnya merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditempati oleh pegawai negeri sipil. Dengan kata lain, guru merupakan pegawai negeri sipil yang berprofesi sebagai pendidik. Penelitian mengenai kesejahteraan pada guru sekolah menengah di Surabaya oleh Natasya (2013) menunjukkan hasil yang beragam pada tingkat subjective well-being. Dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa masih ada beberapa guru yang kurang merasa puas pada berbagai ranah kehidupannya dan memiliki afek negatif yang tinggi. Beberapa permasalahan yang ditemukan antara lain stres, jenuh, dan kecewa dengan sikap siswa. Selain itu guru berusia dewasa madya juga memberikan les tambahan di luar sekolah hingga berjualan online shop untuk menambah penghasilan. Hal ini menunjukkan bahwa secara finansial guru masih merasa kurang cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti kebutuhan keluarga, kesehatan, dan lain-lain. Masalah sertifikasi masih ditemukan pada guru yang akan pensiun. Hingga pertengahan tahun 2015, masih ada guru-guru berusia diatas 50 tahun yang mengeluhkan belum mendapatkan sertifikasi. Meskipun telah mencoba berkali-kali, namun masih tetap gagal dalam mendapatkannya. Jika setelah pensiun guru belum tersertifikasi, maka guru
3 tidak akan mendapatkan uang tunjangan pensiun yang besarnya satu kali gaji pokok sebulan (Wijaya, 2015). Wawancara yang dilakukan kepada lima orang guru di daerah Yogyakarta mendukung permasalahan tersebut. Lima orang tersebut terdiri dari tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan berusia antara 52-59 tahun. Seorang guru laki-laki dan seorang guru perempuan menyatakan bahagia selama ini menjalani kehidupan sebagai guru. Subjek juga bahagia sebentar lagi akan pensiun, dikarenakan telah jenuh mengajar dan menantikan saat-saat melakukan kegiatan di luar pensiun, apalagi mereka sudah tidak memiliki tanggungan anak. Namun demikian, tiga orang lainnya menyatakan percampuran rasa senang dan sedih ketika menjadi guru dan mengenai datangnya pensiun. Dua orang menyatakan adanya beberapa kekecewaan, salah satunya tunjangan yang beberapa kali terlambat diberikan. Ketika ditanya mengenai persiapan pensiun, baik subjek yang sudah mengikuti pembekalan pensiun maupun yang belum mengikuti mengaku masih belum jelas dengan kegiatan yang akan dilakukan. Kemudian tiga orang tersebut juga menyatakan adanya kekhawatiran mengenai tanggungan anak yang masih sekolah dan biaya hidup yang semakin tinggi dibanding dengan gaji guru yang tidak seberapa, apalagi subjek sebentar lagi akan menghadapi pensiun dan akan kehilangan tunjangan-tunjangan sebagai guru. Dua dari tiga subjek tersebut juga mengeluh adanya penyakit fisik yang mulai muncul yaitu vertigo dan darah tinggi, serta sempat beberapa kali dirawat inap di rumah sakit. Salah seorang mengeluhkan terkadang gelisah dan susah tidur di malam hari. Seorang kepala sekolah menyatakan rendahnya kesejahteraan yang dirasakan pada guruguru di sekolahnya yang masih memiliki tanggungan dalam keluarga, terutama jika ia adalah seorang single parent. Kekhawatiran akan kehidupan finansial karena tidak lagi menerima tunjangan sertifikasi setelah pensiun dapat mengakibatkan rendahnya tingkat subjective well-being guru.
4 Selain mempengaruhi kualitas diri, rendahnya tingkat subjective well-being guru tentu dapat berpengaruh pada kinerja guru dalam mendidik siswa. Dalam kesehariannya guru mengalami berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi dapat berhubungan dengan afek negatif dan afek positif yang berpengaruh pada kondisi emosi dan well-being guru (Natasya, 2013). Faktor yang mempengaruhi subjective well-being individu bermacam-macam, antara lain: self-esteem, hubungan sosial, ekstraversi, dan lain-lain (Diener, 2009). Pada dewasa tengah, menyebutkan bahwa keterlibatan dalam kegiatan sangat mempengaruhi tingkat well-being individu, karena dengan terus berkegiatan individu dapat tetap aktif serta merasa berguna, sehingga terhindar dari afek negatif (MacEwen, Barling, Kalloway & Higginbottom, 2001; Natasya, 2013). Menurut Caltabiano dan Ricciardelli (2012) kunci penting well-being dari individu yang bekerja antara lain keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan, manajemen finansial yang baik, dan perencanaan terhadap pensiun. Kurangnya persiapan dalam menghadapi pensiun dapat berpengaruh negatif pada wellbeing individu. Rasa gelisah dan sulit tidur di malam hari yang dialami oleh guru pada preliminary study dapat menjadi pertanda adanya kecemasan. Kecemasan yang dialami terkadang tidak disadari secara langsung oleh individu, namun cenderung terlihat melalui beberapa tanda seperti sulit tidur dan menurunnya tingkat kesehatan menjelang pensiun. Kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan yang berkelanjutan akan berdampak pada keseimbangan emosional individu dan akhirnya akan termanifestasi dalam berbagai keluhan fisik (Hawari dalam Setyaningsih & Mu’in, 2013). Penelitian oleh Utomo, Sekarini, dan Mudjillah (2012) pada 34 orang PNS di Solorejo yang berusia 56-59 tahun menunjukkan adanya kecemasan pada PNS dalam menghadapi pensiun. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 26 lansia atau 76,46%
5 mengalami kecemasan ringan, 6 lansia atau 17,64% tidak mengalami kecemasan, dan 2 lansia atau 5,88% mengalami kecemasan sedang. Penelitian di Kanada oleh MacEwen dkk. (2001) menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat kecemasan individu yang akan memasuki masa pensiun dengan tingkat subjective well-being individu. Disebutkan pula bahwa dua hal yang penting pada penyesuaian menghadapi pensiun adalah kesejahteraan finansial (financial well-being) dan keterlibatan pada aktivitas. Saat pensiun, rasa aman secara finansial bisa terancam karena persiapan yang tidak mencukupi. Selain itu, hal yang mempengaruhi hubungan antara keduanya adalah keterlibatan pada aktivitas. Individu yang memiliki aktivitas di luar pekerjaan cenderung memiliki tingkat kecemasan yang rendah dan subjective well-being yang tinggi. Di Indonesia, penelitian Yuniar, Basoeki, dan Budiono (2006) pada PNS pra pensiun di RSUD Dr. Soetomo menunjukkan adanya hubungan negatif antara kecemasan menghadapi pensiun dengan kesejahteraan psikologis. Sejauh penemuan peneliti, belum ditemukan penelitian mengenai hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan subjective well-being pada pegawai negeri sipil, khususnya guru di Provinsi DIY sehingga membuat peneliti tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan sementara bahwa tingkat subjective well-being individu dipengaruhi oleh kecemasan menghadapi pensiun. Diasumsikan bahwa semakin tinggi subjective well-being individu, maka semakin baik pula penyesuaian diri individu dengan masa menjelang pensiun. Dapat diasumsikan pula bahwa semakin tinggi kecemasan individu dalam menghadapi pensiun, maka semakin rendah subjective well-being individu tersebut, begitu juga sebaliknya semakin rendah tingkat kecemasan individu dalam menghadapi pensiun, maka semakin tinggi subjective well-being individu tersebut.
6 B. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan subjective well-being pada guru yang bertatus sebagai pegawai negeri sipil yang mendekati masa pensiun.
C. Manfaat Penelitian Peneliti berharap nantinya penelitian mengenai “Hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan subjective well-being pada pegawai negeri sipil” bisa memberikan manfaat, yaitu: 1. Manfaat Teoritis Menambah khasanah ilmu di bidang psikologi klinis, terutama untuk mengetahui hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan subjective well-being pada PNS. 2. Manfaat Praktis Memberikan sumbangan data penelitian mengenai hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan subjective well-being pada pegawai negeri sipil. Bagi peneliti, manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan bagi penelitian lebih lanjut mengenai subjective well-being pada pegawai negeri sipil.