BAB I PENDAHULUAN BAB 1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kulit manusia memiliki sistem perlindungan alamiah dari bahaya sinar ultraviolet (UV) dengan cara penebalan stratum korneum dan pigmentasi. Namun bila sinar UV yang terpapar pada kulit sudah berlebihan, diperlukan perlindungan tambahan untuk kulit, salah satunya dengan penggunaan tabir surya (Agustin dkk., 2013). Salah satu tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi tabir surya adalah pati kentang. Pati kentang biasanya diolah secara tradisional sebagai masker wajah yang mampu menghaluskan dan mencerahkan kulit, mencegah kulit kering serta menghilangkan jerawat (Kartikasari & Maspiyah, 2015), dan terbatas untuk bahan pangan dan eksipien sediaan tablet (Marliasari, 2010). Berdasarkan penelitian sebelumnya telah diketahui bahwa pati dapat dijadikan sebagai bahan yang bekerja sebagai tabir surya fisika. Penelitian Zulkarnain dkk. (2013), yaitu krim pati bengkuang 15%, 20% dan 25% memberikan nilai Sun Protection Factor (SPF) secara in vivo dengan hewan uji coba tikus sebesar 1,22; 1,52; dan 2,38. Nursal dkk. (2006) juga meneliti krim yang mengandung pati beras 10% dan 15% memiliki nilai SPF sebesar 1,95 dan 2,44 sedangkan krim yang mengandung pati jagung 10% dan 15% memberikan nilai SPF sebesar 3,05 dan 3,82. Penelitian Ernawati (2011) telah diketahui bahwa penambahan amilum pati bengkuang pada konsentrasi 15%, 20% dan 25% memberikan pengaruh yang
1
2
berbeda bermakna terhadap sifat fisik lotion meliputi viskositas, daya lekat dan daya sebar. Penelitian Nursal dkk. (2006) mengamati kestabilan fisik formula krim pati beras dan pati jagung pada konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%, hasil krim yang paling stabil dilihat dari perubahan pH dan viskositasnya yang tidak signifikan, yaitu krim dengan kandungan pati beras dan pati jagung masingmasing 10% dan 15% (Nursal dkk., 2006). Sediaan yang dipilih adalah krim tipe o/w, karena umumnya sediaan tabir surya adalah krim karena bersifat mudah menyebar merata di kulit, tidak lengket, tidak berminyak, melembapkan, dan mudah dibersihkan sehingga nyaman digunakan. Namun kekurangan sediaan krim yaitu dapat menjadi rusak bila terganggu sistem campurannya terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan pengaruh penyimpanan (Anwar, 2012). Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini diamati pengaruh variasi konsentrasi pati kentang yang dibuat sediaan krim tipe o/w dengan kadar 10%, 12,5%, 15%, 17,5% dan 20% terhadap sifat fisik krim selama penyimpanan satu bulan, dan diamati krim dengan konsentrasi pati kentang berapa yang memberikan kestabilan fisik yang paling baik. Selain itu pengukuran aktivitas tabir surya dilakukan denggan menggunakan metode in vivo terhadap kelinci putih betina yang telah diinduksi 8-methoxypsoralen (8-MOP) yaitu zat penstimulasi fotoaktivasi untuk mempercepat terjadinya eritema pada kulit kelinci.
3
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi pati kentang terhadap sifat fisik krim o/w selama penyimpanan satu bulan?
2.
Berapa konsentrasi pati kentang yang menghasilkan sediaan krim o/w paling stabil selama penyimpanan satu bulan?
3.
Berapa nilai SPF krim o/w pati kentang yang paling stabil terhadap kelinci putih betina yang telah diinduksi 8-methoxypsoralen (8-MOP)? C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 1.
Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi pati kentang terhadap sifat fisik krim o/w selama penyimpanan satu bulan.
2.
Mengetahui konsentrasi pati kentang yang menghasilkan sediaan krim o/w paling stabil selama penyimpanan satu bulan.
3.
Mengetahui nilai SPF krim o/w pati kentang yang paling stabil terhadap kelinci putih betina yang telah diinduksi 8-MOP.
D. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian pati kentang dalam bentuk krim bermanfaat sebagai tabir surya yang berasal dari bahan aktif alami dan stabil secara fisik, serta dapat menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih tabir surya yang relatif lebih aman digunakan.
4
E. Tinjauan Pustaka 1.
Pati Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
serbuk putih, tidak berasa dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk fotosintesis) dalam jangka panjang. Sumber pati utama di Indonesia adalah beras. Beberapa sumber pati lainnya yaitu jagung, kentang, tapioka, sagu, gandum, dan lain – lain (Whistler dkk., 1984). Pati banyak digunakan sebagai bahan eksipien dalam formulasi farmasi karena merupakan bahan yang tidak beracun dan tidak mengiritasi (Rowe dkk., 2009). Pati tersusun dari dua macam karbohidrat, yaitu amilosa dan amilopektin dalam komposisi yang berbeda-beda. Amilosa memberikan sifat keras karena cenderung mengalami kristalisasi, sedangkan amilopektin menyebabkan sifat lengket dan berperan terhadap proses pembentukan gel, sifat opaque dan viskositas (Rowe dkk., 2009). Amilosa terdiri dari rantai tidak bercabang, bila dilarutkan dalam air membentuk micelles. Amilosa dalam micelles berada dalam konformasi helisal yang dapat mengikat iodium dan memberikan warna biru yang khas. Amilopektin adalah polimer bercabang, bila dilarutkan dalam air dapat berinteraksi dengan iodium memberikan warna merah-ungu bukan warna biru tua seperti pada amilosa (Fessenden & Fessenden, 1996). Dalam industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil, dan pada industri kosmetika sebagai pengental (thickener), stabilizer dan adsorben. Bentuk asli pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang
5
sering disebut granula. Karakteristik seperti bentuk, ukuran, dan keseragaman granula tergantung jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi (Whistler dkk., 1984). Viskositas pasta pati saat di ukur di bawah kondisi yang sama menunjukkan bahwa viskostas pati kentang lebih besar dari tepung tapioka dan pati jagung. Hal ini disebabkan karena kandungan amilopektin pati kentang lebih besar dibandingkan jenis pati yang lain (Rowe dkk., 2009). Ukuran partikel pati yang kecil memberikan sifat fisika pati sebagai tabir surya. Ukuran partikel yang kecil akan memberi luas permukaan pati yang besar sehingga dapat menutupi permukaan kulit lebih luas. Disamping itu, sifat opaque pati yang tidak dapat ditembus cahaya tetapi dapat memantulkan sinar, bermanfaat untuk mencegah penetrasi radiasi sinar ultraviolet pada kulit (Nursal dkk., 2006). Semua pati bersifat higroskopis dan menyerap kelembapan atmosfer untuk mencapai kelembapan yang seimbang, sehingga produk yang mengandung pati harus disimpan dalam wadah tertutup rapat untuk mempertahan kadar air (Rowe dkk., 2009). Pati beras 10% dan 15% yang dibuat sediaan krim mempunyai aktivitas tabir surya dengan nilai SPF sebesar 1,95 dan 2,44 sedangkan pati jagung 10% dan 15% yang dibuat sediaan krim memberikan nilai SPF sebesar 3,05 dan 3,82 (Nursal dkk., 2006). Peningkatan konsentrasi pati bengkuang pada sediaan krim (15%, 20%, 25%) memberikan nilai SPF berturut-turut sebesar 1,22; 1,65; 2,38 (Zulkarnain dkk., 2013).
6
2.
Pati kentang Pati kentang adalah pati yang didapat dari umbi Solanum tuberosum L. yang
berbentuk serbuk sangat halus, putih, praktis tidak larut dalam air dingin dan dalam etanol. Jika dilihat secara mikroskopik, sebagian besar butir tunggal, tidak beraturan atau bulat telur ukuran 30 – 100 µm, atau bulat ukuran 10 – 35 µm. Hilus berupa titik pada ujung yang sempit dengan lamela konsentris jelas terlihat. Susut pengeringan tidak lebih dari 20,0% (Departemen Kesehatan RI, 2014). Kentang memiliki kandungan kimia antara lain karbohidrat 19 g, pati 15 g, serat pangan 2,2 g, lemak 0,1 g, protein 2 g, dan air 75 g. Pati kentang mengandung 20-23% amilosa, kandungan kelembapan sebesar 18%, nilai pH 5-8, susut pengeringan ≤ 20% dan suhu gelatinisasi pati kentang adalah 64 oC. Pati kentang larut dalam air panas pada suhu diatas suhu gelatinisasinya, tidak toksik maupun iritatif (Rowe dkk., 2009). 3.
Sinar matahari dan kerusakan kulit Spektrum sinar matahari memancarkan sejumlah energi tertentu pada
rentang panjang gelombang 300-400 nm, yang dikenal dengan sinar UV (Lowe dkk., 1996). Sinar UV terbagi menjadi tiga jenis, yaitu UVA (320-400 nm), UVB (290-320 nm) dan UVC (100-290 nm) (Yel dkk., 2014). Energi dari UVB lebih banyak masuk ke lapisan epidermis, dan menyebabkan luka bakar (sunburn) dan pigmentasi kulit (tanning), sedangkan energi dari dari UVA lebih masuk ke lapisan kulit yang lebih dalam yaitu dermis, yang menyebabkan kerusakan jaringan dermis dan reaksi fotosensitisitas, mengurangi elastisitas kulit, dan bersama UVB berperan dalam proses keganasan kulit. Sedangkan energi UVC
7
sudah terabsorpsi oleh lapisan ozon sehingga tidak mencapai permukaan bumi (Rieger, 2000). Sunburn adalah gejala eritema akut akibat radiasi UVB. Secara umum, eritema terjadi dalam beberapa jam setelah paparan UV dan mencapai maksimum pada 16-24 jam setelah paparan UV (Jansen dkk., 2013). Paparan sinar matahari dapat memiliki efek menguntungkan dan merugikan pada tubuh manusia, tergantung pada panjang gelombang sinar matahari, frekuensi paparan sinar matahari, intensitas sinar matahari yang dipaparkan dan sensitivitas masing-masing individu. Radiasi sinar matahari terdiri dari berbagai macam panjang gelombang yaitu sinar inframerah, sinar tampak, dan sinar UV. (Wilkinson dan Moore, 1982). 4.
Krim Krim adalah emulsi. Emulsi adalah dispersi koloid yang mengandung dua
zat yang tidak tercampur, biasanya air dan minyak, dimana carian yang satu (fase internal) terdispersi menjadi butir-butir kecil dalam cairan yang lain (fase eksternal) (Draelos, 2011). Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Krim yang terdiri dari emulsi minyak dalam air dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Departemen Kesehatan RI, 2014). Emulgator atau surfaktan dalam sediaan krim berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase yang tidak saling bercampur tersebut dengan cara mengurangi gaya tarik-menarik antar molekul dari kedua fase, sehingga emulgator berkenaan dengan peningkatan stabilitas emulsi (Budiman,
8
2008). Emulgator atau agen pendispersi bertanggung jawab untuk menjaga ke dua fase agar dapat bercampur dalam jangka waktu tertentu (Draelos, 2011). Semua emulsi memerlukan bahan antimikroba karena fase air
mempermudah
pertumbuhan mikroorganisme. Adanya pengawet sangat penting dalam emulsi minyak dalam air karena kontaminasi fase eksternal mudah terjadi (Departemen Kesehatan RI, 2014). Menurut Draelos (2011) tidak ada perbedaan definisi legal antara krim dan lotion. Penentuan emulsi disebut krim atau lotion ditentukan oleh viskositas. Jika emulsi kental, dapat dituang dari botol atau di pompa keluar, biasanya disebut sebagai lotion. Jika emulsi menggunakan botol atau tabung, dan tidak mudah mengalir, biasanya disebut sebagai krim. Emulsi umum nya memiliki dua kategori, yaitu emulsi oil in water (o/w) dan water in oil (w/o). Kedua nya didasarkan pada bahan yang membentuk fase internal dan fase eksternal nya. Tipe emulsi yang paling populer untuk digunakan pada produk perawatan kulit dan produk kosmesetika adalah tipe o/w (Draelos, 2011). Umum nya, krim tidak stabil secara fisik, namun berbagai eksipien di dalam formulasi krim dapat menstabilkan sifat fisik dari krim (Jones, 2008). Krim tipe o/w merupakan krim dengan fase terdispersi minyak dan fase pendispersi air. Adanya zat-zat polar yang bersifat lemak seperti setil alkohol dan asam stearat cenderung menstabilkan emulsi o/w dalam sediaan semipadat (Rowe dkk., 2009). Fase o/w di bidang kosmetik lebih nyaman dan mudah diterima oleh penggunanya karena tidak lengket dan mudah dicuci dengan air. Keuntungan lain krim o/w adalah sebagai pelembap kulit sehingga mencegah timbulnya dehidrasi
9
di stratum korneum, sebagai pelicin, atau pembersih. Sebaliknya, penggunaan krim fase air dalam minyak sangat terbatas, kecuali untuk obat yang larut dalam lemak (Ansel, 1989). Salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu sediaan emulsi yang baik adalah stabil secara fisika karena tanpa hal ini suatu emulsi akan segera kembali menjadi dua fase yang terpisah. Ketidakstabilan emulsi terlihat dengan terjadinya kriming, flokulasi, dan penggumpalan yang dapat disertai dengan pemisahan fase, perubahan kekentalan emulsi, serta terjadinya inversi fase (Jones, 2008). Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengamati sifat fisik krim diantara nya sebagai berikut : a.
Organoleptis Organoleptis sediaan di uji pada waktu tertentu untuk melihat
perubahan bentuk atau konsistensi, warna, dan bau dari sediaan selama penyimpanan (Jones, 2008). Pengamatan organoleptis dapat dilihat dengan adanya pemisahan fase atau pecahnya krim, ketengikan dan perubahan warna (Aryani, 2015). b.
Viskositas Viskositas adalah tahanan dari suatu cairan untuk mengalir. Viskositas
krim dipengaruhi oleh fase internal dan fase eksternal dari basis krim (Jones, 2008). Semakin tinggi viskositas, kemungkinan emulsi berpisah akan semakin rendah. Sesuai dengan hukum Stokes, kecepatan pemisahan berbanding terbalik dengan viskositas. Kecepatan pemisahan akan berkurang dengan meningkatnya viskositas sehingga krim menjadi lebih
10
stabil. Perubahan viskositas dapat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti perubahan kondisi fase dispers, medium dispers, emulgator, bahan tambahan lain dan lingkungan. Viskositas juga dipengaruhi oleh temperatur, yaitu viskositas suatu cairan akan menurun bila temperatur dinaikkan (Martin & Sinko, 2011). c.
Daya sebar Uji daya sebar bertujuan untuk mengetahui seberapa baik daya
menyebar suatu sediaan saat di aplikasikan ke kulit. Semakin besar daya menyebar suatu sediaan, maka pengaplikasian sediaan ke kulit juga semakin mudah, sehingga tidak perlu penekanan yang besar saat pemakaian. Daya sebar yang baik juga akan menjamin pelepasan zat aktif yang merata (Voight, 1994). d.
Daya lekat Daya lekat menggambarkan kemampuan krim untuk melapisi
permukaan kulit. Krim yang baik mampu melekat di kulit dengan waktu kontak yang cukup sehingga tujuan penggunaannya tercapai. Hal ini terkait dengan efektivitas kerja krim dan kenyamanan penggunaan (Voight, 1994). 5.
Komponen sediaan krim Formulasi suatu sediaan krim yang baik perlu memperhatikan kesesuaian
sifat bahan-bahan yang dipilih, yaitu kesesuaian sifat antara bahan aktif dengan bahan pembawanya (basis). Krim terdiri dari bahan aktif dan bahan dasar (basis krim). Sebagai bahan aktif digunakan pati kentang dan sebagai bahan dasar terdiri dari fase minyak dan fase air yang dicampur dengan penambahan bahan
11
pengemulsi (emulgator). Pengawet ditambahkan untuk melindungi sediaan dari mikroba. Bahan dasar dan bahan tambahan pada penelitian ini sebagai berikut : a.
Asam stearat Asam stearat adalah campuran asam organik padat yang diperoleh dari
lemak, sebagian besar terdiri dari asam oktadekanoat dan asam heksadekanoat. Pemerian zat padat keras, mengkilat menunjukkan susunan hablur putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin (Departemen Kesehatan RI, 1979). Asam stearat dalam sediaan topikal digunakan sebagai emulgator dan solubilizing agent. Asam stearat dinetralkan dengan alkali seperti trietanolamin dalam penyusunan krim (Rowe dkk., 2009). b.
Trietanolamin Trietanolamin atau TEA berwarna kuning pucat, cairan kental, dan
sedikit memiliki bau amonia. TEA larut dengan aseton, benzene 1:24, kloroform, dan etanol. Umumnya TEA digunakan sebagai agen alkali dan emulgator. TEA banyak digunakan pada formulasi sediaan topikal, utama nya dalam pembentukan emulsi. Jika dicampur dengan asam lemak seperti asam stearat, TEA membentuk sabun anionik dengan pH sekitar 8, yang dapat digunakan sebagai agen pengemulsi untuk menghasilkan emulsi o/w yang stabil. Konsentrasi TEA sebagai emulgator adalah 2-4%. TEA dapat berubah menjadi warna coklat jika terkena paparan cahaya dan udara, namun perubahan warna dapat dikurangi dengan menghindari paparan cahaya dan kontak dengan logam dan ion logam (Rowe dkk., 2009).
12
c.
Setil alkohol Setil alkohol memiliki nama kimia 1-hexadecanol, n-hexadecyl
alcohol, atau palmityl alcohol. Setil alkohol adalah campuran alkohol padat, berbentuk sisik, butiran, kubus atau lempengan yang licin, warna putih, bau khas lemah dan rasa tawar. Setil alkohol larut dalam etanol (95%) P dan dalam eter P, kelarutan bertambah dengan kenaikan suhu, dan praktis tidak larut dalam air. Setil alkohol mampu dicampur ketika dilarutkan dengan lemak, larutan dan parafin padat, dan isopropyl myristat. Setil alkohol memiliki titik lebur pada suhu 45°-50° C. Setil alkohol digunakan sebagai emulgator (Departemen Kesehatan RI, 2014). Pada lotion, krim, dan salep, setil alkohol digunakan karena sifat emolien, menyerap air, dan sebagai emulgator. Setil alkohol dapat meningkatkan stabilitas, memperbaiki tekstur, dan meningkatkan konsistensi. Sifat emolien setil alkohol bila digunakan di epidermis, akan melembutkan kulit dan memberikan tekstur “beludru”. Dalam emulsi oil-in-water, setil alkohol diketahui dapat meningkatkan stabilitas dengan bergabung dengan agen pengemulsi yang larut dalam air (Rowe dkk., 2009). d.
Minyak mineral Mineral mineral dikenal pula dengan parafin cair. Minyak mineral
merupakan campuran hidrokarbon yang diperoleh dari minyak tanah. Minyak mineral ini transparan, cairan minyak yang kental, tidak berfluorosensi atau hampir tidak berfluorosensi, tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa bila dingin, bila dipanaskan berbau lemah minyak
13
mineral. Mineral oil larut dalam eter P, kloroform P, minyak atsiri, dapat bercampur dengan hampir semua minyak lemak, tetapi tidak dapat bercampur dengan minyak jarak, dan praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%) P. Mineral oil berfungsi sebagai emolien dalam basis salep pada konsentrasi 0,1-95,0% (Rowe dkk, 2009). e.
Minyak wijen Minyak wijen atau sesame oil adalah cairan warna kuning pucat, bau
lemah, dan rasa tawar. Minyak wijen larut dalam karbon disulfida, kloroform, eter, heksan, dan minyak bumi. Minyak wijen tidak larut dalam air, dan praktis tidak larut dalam etanol (95%) P. Minyak wijen utama nya digunakan sebagai pelarut dalam formulasi farmasi, dan digunakan sebagai fase minyak pada formulasi emulsi (Rowe dkk., 2009). f.
Gliserin Gliserin berupa larutan tidak berwarna, hampir tidak berbau, kental,
higroskopis, dan rasa manis. Titik lelehnya 17,8°C. Dalam formulasi sediaan topikal dan kosmetik, gliserin digunakan untuk humektan dan emolien dengan konsentrasi sampai 30% dan sebagai gel vehicle aquous dengan konsentrasi 5-15% (Rowe dkk., 2009). g.
Metil paraben Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih
dari 100,5% C8H8O3, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Berbentuk serbuk hablur, berwarna putih, tidak berbau atau berbau khas lemah,dan rasa sedikit membakar. Metil paraben bersifat sukar larut dalam
14
air, benzen dan karbon tetraklorida. Mudah larut dalam air mendidih, dalam etanol dan dalam eter. Penggunaan metil paraben sebagai zat tambahan pengawet (Departemen Kesehatan RI, 2014). h.
Propil paraben Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih
dari 101,0% C10H12O3. Berupa serbuk hablur, berwarna putih, tidak berbau, dan tidak berasa. Sangat sukar larut dalam air dan gliserol P, mudah larut dalam etanol 95% P dan dalam aseton P, agak sukar larut dalam minyak lemak, dan mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Penggunaan propil paraben sebagai zat tambahan yaitu pengawet (Departemen Kesehatan RI, 2014). i.
Aquadest Aquadest atau air murni adalah air yang memenuhi persyaratan air
minum, yang dimurnikan dengan destilasi, penukar ion, osmosis balik atau proses lain yang sesuai, dan tidak mengandung zat tambahan lain. Aquadest merupakan cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau dan memiliki pH antara 5 – 7 (Departemen Kesehatan RI, 2014). 6.
Tabir surya Tabir surya adalah sediaan topikal mengandung bahan aktif yang dapat
berfungsi menghalangi dampak radiasi UV dengan cara menyerap, memantulkan atau menghamburkan radiasi UV (Lowe dkk., 1996). Pengembangan dan penggunaan tabir surya topikal selalu terkait dengan pencegahan efek akut dari radiasi matahari terutama sunburn (Schalka & Reis, 2011).
15
Tabir surya topikal umumnya adalah sediaan salep, krim, lostion atau spray. Tabir surya yang ideal biasanya terdiri dari kombinasi tabir surya fisika dan kimia, spektrum yang luas, substantif, tidak mengiritasi, tidak menimbulkan alergi, non comedogenic, dan ekonomis (Hassan dkk., 2013). Tabir surya berguna dalam melindungi kulit dari sinar UVA dan sinar UVB yang dapat membahayakan kulit. Ada dua macam jenis tabir surya, yaitu: a.
Tabir surya kimia (organik) Tabir surya jenis ini mengandung senyawa kimia yang memiliki
gugus kromofor dengan suatu gugus karbonil (Wilkinson dan Moore, 1982). Zat aktif dalam tabir surya organik bekerja dengan menyerap panjang gelombang spesifik dari radiasi UV, sehingga radiasi UV tidak dapat mencapai sel-sel di epidermis (Walters & Roberts, 2008). Terdapat 3 golongan senyawa yang sering digunakan sebagai tabir surya organik, yaitu penyerap UVB (turunan asam para amino benzoat (PABA), sinamat, salisilat), penyerap UVA (benzofenon, dibenzoil metan dan antranilat), dan generasi baru dengan spektrum penyerapan luas yaitu penyerap UVA dan UVB (ecamsule, silatriazole, bemotrizinol, dan bisoctrizole) (Hassan dkk., 2013). b.
Tabir surya fisika (anorganik) Tabir surya fisika mengandung senyawa yang mengandung partikel-
partikel buram (opaque). Senyawa dalam tabir fisika bekerja dengan cara memantulkan dan memencarkan semua radiasi pada rentang UV 290-320 nm, sehingga dapat mencegah atau meminimalkan kulit terbakar (sunburn)
16
dan pencoklatan kulit (suntan). Contoh dari tabir surya fisika adalah titanium dioksida, seng oksida, kalsium karbonat, kaolin, magnesium oksida, dan talk (Wilkinson dan Moore, 1982). Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas tabir surya anorganik adalah indeks reflektif, ukuran partikel dan ketebalan film (Hassan dkk., 2013). Karakteristik utama dari tabir surya fisika yaitu memiliki permeabilitas yang rendah terhadap kulit, stabil terhadap cahaya, dan tidak menunjukkan reaksi fototoksik atau fotoalergik (Schalka & Reis, 2011). 7.
Sun protection factor (SPF) Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan nilai Sun
Protection Factor (SPF) yang menggambarkan kemampuan tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003). SPF adalah data yang paling penting untuk mengukur efektivitas dari tabir surya yang diterima secara universal (Schalka & Reis, 2011). Pengukuran SPF dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu in vitro dan in vivo. Pengukuran SPF secara in vitro dapat dilakukan dengan analisis menggunakan spektrofotometri. Karakteristik absorbansi larutan sediaan tabir surya diukur pada panjang gelombang radiasi UV (Dutra dkk., 2004). Pengukuran secara in vivo tergantung pada Minimal Erythema Dose (MED) yang didefinisikan sebagai dosis terkecil (J m2) yang menghasilkan kemerahan dengan batas jelas di bagian yang terkena paparan sinar matahari, MED juga sering diukur sebagai waktu paparan yang dibutuhkan untuk menyebabkan eritema. Eritema utamanya disebabkan oleh UVB, sehingga nilai SPF merupakan indikasi efektifitas tabir
17
surya untuk mencegah kulit terbakar akibat UVB, dan tidak ada penilaian mengenai perlindungan UVA nya (Walters & Roberts, 2008). Nilai SPF didapatkan dari perbandingan antara MED kulit yang diolesi tabir surya atas MED kulit yang tidak diolesi tabir surya akibat paparan UVB (Kullavanijaya & Lim, 2005). Ada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran SPF seperti variasi dalam emisi spektrum dan jumlah radiasi dari sumber cahaya yang digunakan di laboratorium yang berbeda, durasi, kekuatan, keseragaman penggunaan tabir surya dan penilaian visual terhadap MED yang bersifat subjektivitas (Jansen dkk, 2013). FDA mensyaratkan tabir surya yang beredar di pasaran harus memiliki SPF dengan nilai minimum 2 (Draelos dan Thaman, 2006). Klasifikasi nilai SPF adalah sebagai berikut: a.
Nilai SPF 6-10, memberikan perlindungan rendah
b.
Nilai SPF 15-25, memberikan perlindungan sedang
c.
Nilai SPF 30-50, memberikan perlindungan tinggi
d.
Nilai SPF 50+, memberikan perlindungan yang sangat tinggi
Tabir surya dengan SPF-15 dapat menyaring 94% dari radiasi UVB, dan tabir surya SPF-30 dapat memberikan perlindungan lebih besar dari 97%. Tabir surya dengan SPF tinggi dapat meminimalkan kulit terbakar dan mencegah induksi hipersensitivitas akibat UVB (Kullavanijaya & Lim, 2005).
18
F. Landasan Teori Tabir surya mampu mengurangi pengaruh negatif sinar UV sehingga dapat digunakan sebagai agen pelindung kulit. Tabir surya yang bekerja secara fisika relatif lebih aman karena tidak menunjukkan reaksi fototoksik atau fotoalergik (Schalka & Reis, 2011). Penggunaan setil alkohol dan asam stearat sebagai basis krim o/w menghasilkan krim tabir surya dengan sifat fisik dan stabilitas fisik yang baik pada uji freeze thaw selama 6 siklus (Nirmala, 2015). Peningkatan konsentrasi pati bengkuang 15%, 20% dan 25% memberikan pengaruh yang berbeda bermakna terhadap sifat fisik lotion, meliputi viskositas, daya lekat dan daya sebar (Ernawati, 2011). Dari pengamatan kestabilan fisik formula krim dengan pati beras dan pati jagung pada konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20% dan 25%, hasil krim yang paling stabil dilihat dari perubahan pH dan viskositasnya yang tidak signifikan, yaitu krim dengan kandungan pati beras dan pati jagung masingmasing 10% dan 15% (Nursal dkk., 2006). Efektivitas suatu tabir surya ditentukan berdasarkan nilai SPF yang dapat diperoleh secara in vivo menggunakan subjek penelitian berupa kelinci yang telah diinduksi senyawa 8-MOP untuk mempercepat timbulnya eritema pada kulit kelinci (Ernawati, 2011).
19
G. Hipotesis 1. Variasi konsentrasi pati kentang diduga memberikan pengaruh berbeda bermakna terhadap sifat fisik krim o/w pati kentang, meliputi viskositas, daya lekat dan daya sebar selama penyimpanan satu bulan. 2. Formula krim o/w dengan konsentrasi pati kentang yang paling kecil memberikan stabilitas fisik krim yang lebih baik dibanding formula krim dengan konsentrasi pati kentang yang lebih besar. 3. Formula krim o/w pati kentang yang paling stabil memiliki nilai SPF yang memenuhi standar dengan nilai minimum sebesar 2 terhadap kelinci putih betina yang telah diinduksi 8-MOP.