BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sirih (Piper betle Linn) dapat digunakan sebagai antibakteri karena mengandung 4,2% minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari betephenol yang merupakan caryophyllen
isomer
eugenol,
(seskuiterpen),
allylpyrocathecine, kavikol,
kavibekol,
cineol
methyl
estragol
dan
eugenol, terpinen
(Sastroamidjojo, 1997). Ekstrak daun sirih dapat menghambat pelekatan, pertumbuhan, dan aktivitas glukosiltransferase dari bakteri Streptococcus mutans yang menjadi bakteri penyebab utama terjadinya karies gigi (Nalina dan Rahim, 2006). Eugenol sebagai salah satu komponen terbesar ekstrak daun sirih dinilai kurang praktis jika digunakan secara langsung sehingga perlu dibuat dalam bentuk sediaan yang tepat. Rute bukal merupakan rute administrasi obat melalui mukosa bukal (antara gusi dan gigi) yang dapat memberikan efek lokal dan sistemik. Rute ini sesuai untuk sediaan sustained release dan dapat memberikan absorpsi obat yang maksimal karena kontak langsung dengan membran absorbsi. Beberapa bentuk sediaan bukal antara lain tablet, patch, film, salep, gel, dan powder (Raghavendra et al., 2013). Patch menjamin dosis yang tepat dibanding sediaan salep dan gel. Patch juga lebih fleksibel dan lebih mudah ditoleransi oleh pasien dibanding sediaan tablet (Patel et al., 2007). Mukoadhesi mempengaruhi fleksibilitas dalam memasuki mukus atau celah jaringan karena polimer yang digunakan sebagai bahan matriks mukoadhesif merupakan polimer hidrofilik memiliki permukaan 1
2
yang cocok untuk pembasahan mukus (Wani, 2007). Sistem mukoadhesi digunakan untuk memperpanjang waktu tinggal obat pada tempat absorbsinya dan memfasilitasi kontak yang erat dengan permukaan tempat absorbsinya (Chowdary dan Rao, 2003). Beberapa bahan obat mempunyai kelarutan yang rendah dalam air atau dinyatakan praktis tidak larut dalam air. Senyawa-senyawa ini seringkali menunjukkan absorbsi yang tidak sempurna atau menentu (Ansel, 2005). Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan kelarutan bahan obat dan laju disolusi, antara lain dengan penambahan kosolven dan penambahan surfaktan sebagai release enhancer substance (Yalkowsky, 1981). Cara ini cukup potensial dan sederhana dibandingkan dengan cara lain dalam meningkatkan kelarutan dan stabilitas bahan. Berdasarkan penelitian Zhang et al. (2011), menunjukkan bahwa laju pelepasan 10 komponen fenolik dengan bobot molekul yang mirip meningkat seiring dengan meningkatnya persentase propilenglikol dalam solven. Hal ini dikarenakan kelarutan komponen yang lebih besar karena adanya propilen glikol yang menyebabkan obat lebih larut dalam pembawa. Penambahan komponen gliserin meningkatkan laju pelepasan turunan hidroksisinamat dari ekstrak Melissa officinalis L. dalam bentuk sediaan film (Rechia et al., 2010). Berdasarkan hasil penelitian Wang dan Liu (2010), penambahan Tween 80 meningkatkan konsentrasi pelepasan eugenol dari minyak cengkeh, kayu manis, dan kemangi dibandingkan dengan tanpa penambahan Tween 80.
3
Uji pelepasan komponen aktif patch bertujuan untuk mengetahui berapa banyak zat aktif yang terlepas dari sediaan patch ke dalam tubuh. Aktivitas suatu obat dipengaruhi jumlah komponen aktif yang harus dilepaskan dari sediaannya, sehingga kadarnya dalam tubuh dapat sesuai dengan yang diharapkan (Ansel, 2005). Sifat eugenol yang sukar larut dalam saliva dapat mempengaruhi jumlah eugenol yang terlepas dari sediaan sehingga berpengaruh terhadap aktivitas antibakterinya. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang uji pelepasan komponen aktif patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih dengan variasi release enhancer substance, yaitu propilenglikol, gliserin, dan Tween 80.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sifat fisika kimia patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih dengan release enhancer propilenglikol, gliserin, dan Tween 80 ? 2. Bagaimana pengaruh variasi release enhancer substance propilenglikol, gliserin, dan Tween 80 terhadap pelepasan eugenol dari patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih?
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini dimaksudkan agar formulasi patch dengan penambahan release enhancer substances yang memberikan hasil optimal dapat digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu alternatif obat antibakteri. Dengan adanya
4
penelitian ini diharapkan mampu memberikan ide dan motivasi bagi mahasiswa untuk dapat mengembangkan kegunaan kekayaan alam Indonesia khususnya di bidang kesehatan. D. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui sifat fisika kimia patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih dengan variasi release enhancer substance propilenglikol, gliserin, dan Tween 80 2. Mengetahui pengaruh variasi penambahan release enhancer substance, yaitu gliserin, propilenglikol, dan Tween 80 terhadap pelepasan eugenol dari patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih
E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Sirih (Piper betle L.)
Gambar 1. Daun Sirih (diakses dari www.wikipedia.com pada 21 Februari 2015)
a. Klasifikasi Tanaman Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
5
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Ordo
: Diperales
Famili
: Diperaceae
Genus
: Piper
Jenis
: Piper betle Linn
(Depkes, 2000)
b. Nama simplisia : Piperis Folium (daun sirih) c. Gambaran umum Sirih merupakan tanaman dengan daun yang berbentuk pipih seperti gambar hati, tepi daun rata, tulang daun menyirip, ujung daun meruncing, pangkal daun berlekuk, daging daun yang tipis, permukaan daun berwarna hujau dan licin, serta tangkainya agak panjang. Batang pohon sirih berwarna hijau kecoklatan dan permukaan kulitnya kasar serta berkerut-kerut. Sirih dapat tumbuh subur di atas tanah gembur yang tidak terlalu lembab dan memerlukan cuaca tropika dengan air yang mencukupi. d. Kandungan kimia Daun sirih mengandung 4,2% minyak atsiri yang sebagian besar terdiri
dari
betephenol
yang
merupakan
isomer
eugenol,
allylpyrocatechine, cineol methyl eugenol, caryophyllen (seskuiterpen), kavikol, kavibekol, estragol, dan terpinen sehingga daun sirih memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Sastroamidjojo, 1997). Selain itu, daun sirih juga mengandung karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C, tannin, gula, pati, dan asam amino (Rini dan Mulyono, 2003).
6
2. Ekstraksi Ekstraksi merupakan cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal dengan menggunakan pelarut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006). Zat-zat tersebut dapat termasuk ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya zat aktif yang terkandung dalam simplisia, maka dapat mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksinya (Anonim, 2000). Terdapat beberapa macam metode ekstraksi, yaitu : a.
Maserasi Maserasi merupakan suatu proses penyarian dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Keuntungan dari cara penyarian ini adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana serta mudah dikerjakan, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama dalam pengerjaannya dan penyariannya kurang sempurna. Mekanisme dari maserasi yaitu cairan penyari akan menembus dinding sel dan akan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif tersebut akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, sehingga larutan pekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).
7
b.
Perkolasi Perkolasi merupakan proses penyarian simplisia dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui suatu kolom (Ansel, 2005). Proses ini dilakukan dalam alat yang disebut perkolator yang memiliki jalan dan keluar sesuai, dan akan menghasilkan ekstrak yang disebut dengan perkolat. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi (Ansel, 2005; Voight, 1994).
c.
Infundasi Infundasi merupakan proses penyarian menggunakan air pada temperatur penangas
air dalam
waktu
tertentu. Keuntungan
menggunakan metode ini adalah lebih ekonomis dibandingkan metode lain, sedangkan kerugian metode ini akan menghasilkan sari yang tidak stabil dan sangat mudah tercemar oleh kapang dan kuman, sehingga tidak boleh disimpan melebihi 24 jam atau segera dibuat menjadi ekstrak kental (Anonim, 1986). Prinsip dari metode ini adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infusa tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama 15-20 menit. Infusa diserkai dengan kain flanel selagi panas, kemudian ditambah air panas secukupnya hingga diperoleh volum infusa yang dikehendaki (Anonim, 2000).
8
3. Mukoadhesif Sistem bioadhesif merupakan sistem yang memanfaatkan sifatsifat bioadhesi dari berbagai polimer larut air, yang akan menunjukkan sifat adhesi (melekat) pada lokasi spesifik biologis saat terjadi hidrasi. Jika sistem melekat pada lapisan mukus maka istilahnya dikenal dengan mukoadhesif. Prinsip dari mukoadhesif adalah memperpanjang waktu tinggal obat pada jaringan biologis yang mempunyai lapisan mukus serta terjadi kontak yang erat antara bentuk sediaan dan jaringan yang mengabsorbsi sehingga meningkatkan aliran obat (fluks) obat melewati jaringan yang mengabsorbsi dan kadar obat yang diabsorbsi lebih tinggi (Agoes G., 2000). Beberapa definisi mukoadhesif antara lain: (1) keadaan dimana dua material yang salah satunya bersifat biologi, bersatu dalam periode waktu yang cukup lama karena adanya gaya antarmuka; (2) kemampuan suatu bahan baik sistemik maupun biologi untuk periode waktu yang lain; (3) terikatnya suatu sistem pembawa obat pada lokasi biologi spesifik, permukaan biologi dapat berupa jaringan epitel atau mukus yang melapisi permukaan jaringan; (4) interaksi antar permukaan musin dengan polimer sintetis atau alami (Gurny et al., 1990; Mortazavi, 2002). Mekanisme mukoadhesi dibagi menjadi menjadi dua langkah, yaitu:
9
1. Tahap kontak: terjadi antara polimer mukoadhesif dan membran mukosa yang menyebabkan pengembangan basis film sehingga dapat kontak dengan lapisan gel mukus 2. Tahap konsolidasi (penggabungan): basis mukoadhesif diaktifkan dengan
adanya
kelembaban
yang
memungkinkan
molekul
mukoadhesif untuk pecah keluar dan menghubungkan ikatan Van der Waals dengan ikatan hidrogen (Morales dan McConville, 2011).
4. Patch Bukal Mukoadhesif Absorbsi bukal dapat memberikan aksi sistemik atau lokal melalui mukosa bukal. Keuntungan dari sistem penghantaran ini antara lain: 1) obat mudah digunakan sendiri oleh pasien; 2) obat terlepas untuk periode waktu yang diperpanjang; 3) fleksibel dalam hal bentuk, ukuran, dan permukaan; 4) memaksimalkan laju absorbsi terkait kontak langsung sediaan dengan membran absorbsi; 5) memberikan onset yang cepat (Raghavendra et al., 2013). Namun,
keterbatasan
dari
sistem
penghantaran
bukal
mukoadhesif ini antara lain: 1) area absorbsi yang cukup kecil; 2) sekresi air liur terus menerus menyebabkan terjadinya pengenceran obat sehingga konsentrasinya menjadi kecil; 3) bahaya tersedak atau tertelannya sediaan akibat menelan makanan (Miller et al., 2005; Mishra et al., 2012).
10
Terdapat dua metode pembuatan patch bukal, yaitu: a.
Metode solvent casting Larutan obat dan polimer dituang ke dalam cetakan, kemudian dibiarkan hingga pelarutnya menguap
b.
Metode direct milling Seluruh komponen formula dicampur secara homogen dan dikempa dengan ketebalan yang diinginkan, kemudian dipotong dan dikempa keluar sesuai dengan bentuk dan ukuran yang telah ditentukan. Dapat ditambahkan impermeable backing layer untuk mengontrol arah pelepasan obat, mencegah kehilangan obat, dan meminimalkan deformasi dan disintegrasi sediaan selama diaplikasikan (Kaul et al., 2011). Pada patch bukal mukoadhesif, diperlukan eksipien yang
berfungsi
sebagai
polimer
mukoadhesif.
Polimer
ini
merupakan
makromolekul natural atau sintetis yang mampu bekerja pada membran mukosa dan dapat meningkatkan sistem penghantaran obat secara lokal. Beberapa macam polimer yang dapat digunakan yaitu polimer anionik (Karbopol, Na-CMC, Na-Alginat), polimer kationik (kitosan), polimer non-ionik (PEG6000), dan polimer thiomer (Na-CMC) (Grabovac et al., 2005).
11
5. Metode Pembuatan Freeze Drying Freeze drying banyak digunakan pada industri farmasi dan makanan. Metode ini berupa penghilangan air atau jenis pelarut lain dari sebuah produk yang beku yang disebut dengan sublimasi. Sublimasi terjadi ketika cairan yang beku berubah ke bentuk gas tanpa melalui fase cair. Keuntungan dari metode ini bahwa produk hasil freeze drying tidak perlu disimpan dalam kulkas dan dapat disimpan dalam suhu ruang. Proses freeze drying terdiri dari tiga tahap, yaitu: a. Prefreezing Karena freeze drying merupakan bentuk perubahan dari fase padat ke fase cair, maka material yang akan di freeze drying harus dalam kondisi setengah beku. Metode prefreezing dan suhu akhir dari produk beku dapat mempengaruhi kesuksesan metode freeze drying. Pendinginan cepat menghasilkan kristal es kecil, berguna ketika produk akan diamati secara mikroskopis, namun menghasilkan produk yang lebih sulit di freeze drying. Pendinginan lambat menghasilkan kristal es besar namun minim hambatan selama proses freeze drying. b. Primary drying Setelah dilakukan prefreezing, kondisi harus distabilkan dimana es dapat dihilangkan dari produk beku melalui sublimasi, sehingga menghasilkan produk yang utuh dan kering. Tahap ini membutuhkan kontrol yang sangat hati-hati terhadap suhu dan tekanan
12
c. Secondary drying Setelah primary drying selesai dan semua es sudah tersublim, kelembaban masih terdapat didalam produk. Produk nampak kering namun kelembaban residunya kurang lebih masih sekitar 7-8%. Pengeringan lanjutan penting dilakukan pada suhu yang lebih hangat untuk mengurangi kelembaban residu sampai ke nilai optimum. Secondary drying biasanya menghabiskan waktu 1/3 hingga 1/2 waktu daripada yang dibutuhkan pada primary drying (Anonim, 2004).
6. Sistem Pelepasan Pelepasan obat berarti terjadinya pelepasan obat dari sediaan yang kemudian obat tersebut dapat diabsorbsi oleh tubuh. Sedangkan disolusi merupakan suatu proses terlarutnya zat padat dalam suatu pelarut. Faktor disolusi akan mempengaruhi kecepatan pelepasan obat dari suatu sediaan. Kecepatan pelepasan obat ini menunjukkan berapa jumlah obat yang terlepas per satuan waktu. Nilai ini dapat digunakan sebagai parameter yang menyatakan keberhasilan kinetika pelepasan obat (Shargel dan Andrew, 1988). Kecepatan pelepasan obat dipengaruhi oleh difusi molekul zat terlarut melewati lapisan difusi dalam bahan dari larutan tersebut. Hal ini dapat ditunjukkan dengan persamaan Noyes-Whitney, yaitu : dC/dt = k (Cs-C)
(1)
13
Dimana dC/dt adalah kecepatan pelepasan bahan obat, k adalah tetapan kecepatan pelepasan, Cs adalah kelarutan bahan obat jenuh, dan C adalah kadar bahan obat yang terlarut dalam medium. Dalam percobaan Noyes dan Whitney, luas permukaan dijaga tetap konstan. Namun, karena kondisi seperti itu tidak dapat selalu dipraktekkan,
maka
oleh
Brunner
dan
Tollozko
persamaannya
dimodifikasi menjadi : dC/dt = k.S (Cs – C)
(2)
dengan S sebagai luas permukaan (Martin et al., 1983).
7. Uji Pelepasan Uji disolusi banyak digunakan di industri farmasi terutama dalam bidang pengembangan obat dan kontrol kualitas. Untuk sediaan oral, disebut uji disolusi karena dilihat kecepatan pelarutan obat dalam medium uji. Sedangkan untuk sediaan non oral (misal topikal, transdermal, suppositoria) disebut uji pelepasan obat atau pelepasan in vitro. Karena perbedaan bentuk sediaan yang akan mengarah pada perbedaan fisikokimia dan karakteristik pelepasan, maka tidak dapat digunakan suatu sistem uji tunggal yang dapat digunakan untuk semua jenis produk. Untuk sediaan patch, beberapa metode uji yang dapat digunakan yaitu paddle over disc/disc assembly method (USP apparatus 5), the rotating cylinder (USP apparatus ), the reciprocating disk (USP apparatus 7), dan a paddle over extraction cell method (Martin, 1983). Membran
14
yang digunakan dapat berasal dari bahan seperti selulosa berpori inert atau silikon. Sebelum dilakukan uji, membran diberi perlakuan terlebih dahulu untuk pelepasan permukaan patch dan menghindari terbentuknya gelembung udara (Anonim, 2009). Uji pelepasan obat in vitro dari matriks dapat dilakukan menggunakan Franz-type diffusion cells. Larutan dapar fosfat yang selalu dimonitor suhunya pada 370C digunakan sebagai medium reseptor, dan diaduk dengan kecepatan tertentu. Patch diletakkan dengan bagian adhesive layer menghadap ke arah medium reseptor. Dalam interval waktu yang ditentukan, diambil sejumlah sampel untuk dibaca absorbansinya. Setelah pengambilan, larutan medium diganti dengan larutan dapar baru dengan jumlah yang sama dengan jumlah pengambilan untuk menjaga kondisi sink (Obaidat et al., 2010). Susunan alat uji disolusi sel Franz dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Alat uji disolusi sel Franz (diakses dari www.permegear.com pada 12 Juli 2015)
15
8. Monografi Bahan a. Kitosan Nama kimia dari kitosan adalah poly-ß-(1,)-2-Amino-2-deoxy-Dglucose
dan
glucopyranan;
memiliki chitosani
sinonim
2-Amino-2-deoxy-(1,4)-ß-D-
hydrochloridum;
deacetylated
chitin;
deacetylchitin; ß-1,-poly-D-glucosamine; poly-D-glucosamine; poly(1,4-ß-D-flucopyranosamine. Kitosan berupa bubuk berwarna putih dan tidak berbau. Biasa digunakan sebagai coating agent, disintegran, film-forming agent, mukoadhesif, bahan pengikat, dan untuk meningkatkan viskositas. Pada sediaan farmasi, kitosan dapat digunakan pada beberapa bentuk sediaan dan pada beberapa tipe sistem penghantaran obat.
Gambar 3. Struktur kimia kitosan (Rowe et al., 2009)
Kitosan stabil pada suhu ruangan, meskipun bersifat higroskopis setelah dilakukan pengeringan, dan tidak stabil dengan agen pengoksidasi kuat. Kitosan sedikit larut dalam air, tidak larut dalam
16
etanol (95%), pelarut organik lain dan larutan yang bersifat netral atau alkali dengan pH diatas 6,5. pH dari kitosan berkisar antara 4-6 dan viskositasnya memiliki kisaran yang luas. Viskositas dari kitosan akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi kitosan, penurunan temperatur, dan peningkatan derajat deasetilasi (Rowe et al., 2009).
b. Asam asetat Berupa cairan jernih, tidak berwarna, memiliki bau menusuk dan rasa asam yang tajam. Asam asetat mengandung tidak kurang dari 32,5% dan tidak lebih dari 33,5% C2H4O2 (Anonim, 1979).
Gambar 4. Struktur kimia asam asetat (Rowe et al., 2009)
Asam asetat dapat larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dan dalam gliserol pekat. Penyimpanannya dalam wadah tertutup rapat. Kegunaan asam asetat biasanya sebagai zat tambahan, misalnya sebagai agen pengasam pada bermacam formulasi farmasetik dan pada preparasi makanan. Selain itu, asam asetat juga memiliki fungsi sebagai antibakteri dan antifungi.
17
c. Gliserin Gliserin memiliki sinonim antara lain glycerol dan glycerolum. Nama kimianya propane-1,2,3-triol dengan formula empiris C3H8O3 dan berat molekul 92,09.
Gambar 5. Struktur kimia gliserin (Rowe et al., 2009)
Kegunaan gliserin antara lain sebagai antibakteri, kosolven, emolien, humektan, plastisizer, dan pemanis. Biasa digunakan pada berbagai jenis sediaan farmasi, misal oral, optalmik, topikal, dan parenteral. Gliserin berupa cairan yang jernih, tidak berbau, tidak berwarna, higroskopis, dan memiliki rasa yang manis. Gliserin dapat membentuk kristal pada suhu rendah, dan kristal tidak akan meleleh jika dipanaskan sampai suhu 200C. Penyimpanannya harus dalam wadah yang sejuk, kering, dan kedap udara (Rowe et al., 2009).
d. Tween 80 Disebut juga dengan nama polisorbat-80. Tween 80 merupakan hasil kondensasi oleat dari sorbital dan anhidridanya dengan etilenoksida. Tiap molekul sorbitol dan anhidridanya berkondensasi dengan lebih kurang 20 molekul etilenoksida.
18
Gambar 6. Struktur kimia Tween 80 (Rowe et al., 2009)
Tween 80 berupa cairan kental seperti minyak, jernih, kuning, berbau asam lemak yang khas. Diketahui mudah larut dalam air, etanol (95%) P, etil asetat P, dan dalam metanol P. Sedangkan Tween 80 sukar larut dalam parafin cair P dan dalam minyak biji kapas P. Penyimpanan senyawa ini dalam wadah yang tertutup rapat. Sedangkan kegunaannya dalam formulasi sediaan obat adalah sebagai zat tambahan (Anonim, 1979).
e. Propilenglikol Nama kimia dari propilenglikol adalah 1,2-propanadiol dan memiliki
sinonim
antara
lain
1,2-dihidroksipropana;
2-
hidroksipropanol; metal etilen glikol; metal glikol; propane-1,2-diol. Dengan rumus formula C3H8O2, propilenglikol memiliki bobot molekul sebesar 76,09. Propilenglikol berupa cairan yang jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dengan rasa yang manis dan sedikit tajam.
19
Gambar 7. Struktur kimia propilenglikol (Rowe et al., 2009)
Dalam sediaan farmasi, propilenglikol biasa digunakan sebagai solven, ekstraktan, dan pengawet pada berbagai sediaan parenteral maupun nonparenteral. Selain itu juga memiliki kegunakan sebagai desinfektan, humektan, plastisizer, dan juga kosolven. Propilenglikol merupakan solven yang lebih umum digunakan dibandingkan dengan gliserin. Penyimpanan senyawa ini pada suhu sejuk dalam wadah yang tertutup rapat, pada suhu tinggi senyawa ini akan teroksidasi. Propilenglikol stabil jika digunakan dengan etanol (95%), gliserin maupun air. Sedangkan propilenglikol memiliki inkompatibilitas dengan reagen pengoksidasi seperti potasium permanganat (Rowe et al., 2009).
f. Etilselulosa Merupakan suatu polimer rantai panjang dari unit ßanhidroglukosa yang saling berikatan dengan dihubungkan sambungan asetal. Memiliki nama kimia selulosa etil eter dan sinonim etilselulosum; Ethocel; Aqualon; Ashacel.
20
Gambar 8. Struktur kimia Etilselulosa (Rowe et al., 2009)
Etilselulosa banyak digunakan pada sediaan farmasi, baik yang digunakan secara oral maupun topikal. Dapat digunakan sebagai agen untuk penghantaran zat aktif sediaan yang diaplikasikan secara oral (misal: gigi). Selain itu, juga dapat digunakan sebagai bahan penyalut, pemberi rasa, pengisi pada tablet, bahan pengikat, dan bahan untuk meningkatkan viskositas. Etilselulosa digunakan sebagai backing membrane pada patch mukoadhesif untuk pemakaian secara bukal. Membran ini mempunyai daya renggang yang tinggi dan dapat memberikan arah pelepasan unidirectional yang baik (Sharma et al., 2001). Etilselulosa berupa bubuk yang tidak berasa, free-flowing, dengan warna putih kecoklatan. Bersifat stabil dan sedikit higroskopis. Penyimpanannya pada daerah kering tidak bersuhu lebih dari 320C yang terhindar dari sumber panas, dan tidak boleh disimpan berdekatan dengan
peroksida
atau
zat
pengoksidasi
lainnya.
Etilselulosa
inkompatibel dengan lilin parafin dan lilin mikrokristalin (Rowe et al., 2009).
21
g. Kloroform Memiliki rumus kimia CHCl3 dan merupakan triklormetana, mengandung 1% v/v sampai 2% v/v etanol sebagai zat penstabil. Berupa cairan yang tidak berwarna, memiliki bau khas, rasa manis dan membakar serta bersifat mudah menguap. Kloroform larut dalam lebih kurang 200 bagian air, mudah larut dalam etanol, eter, dalam sebagian besar pelarut organik, minyak atsiri dan minyak lemak. Kegunaannya sebagai anestetik umum, pengawet dan bahan tambahan (Anonim, 1979).
h. Eugenol Eugenol merupakan senyawa organik aromatis yang terdiri dari inti benzena disertai gugus-gugus fungsi hidroksi, metoksi, dan propilen pada posisi orto dan para (Erizal, 2006). Adanya gugus tersebut dapat memungkinkan eugenol sebagai bahan dasar sintesis berbagai senyawa lain yang bernilai lebih tinggi seperti isoeugenol, metil eugenol, eugenol metil eter, eugenol etil eter, isoeugenol metil eter, vanilin, dan sebagainya (Mustikarini, 2007). Struktur kimia eugenol ditunjukkan pada gambar 9.
22
Gambar 9. Struktur kimia eugenol (Widayat, 2012)
Eugenol reaktif terhadap basa kuat khususnya NaOH dan KOH. Eugenol berupa zat cair berbentuk minyak tidak berwarna atau sedikit kekuning-kuningan. Eugenol dapat larut dalam kloroform, alkohol, eter, dan sedikit larut dalam air (Widayat, 2012). Aktivitas eugenol sebagai antimikroba dan antiseptik banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat kumur (mouthwash), pasta gigi, toilet water, cairan antiseptik, tissue antiseptik, dan spray antiseptik (Jirovets, 2010).
F. Landasan Teori Kontrol
yang
efektif
dari
Streptococcus
mutans
dalam
pembentukan plak merupakan kunci untuk pencegahan dan pengobatan karies gigi. Salah satu metode pengobatan karies gigi adalah dengan daun sirih.
Berdasarkan
penelitian
Nalina
dan
Rahim
(2006),
efek
penghambatan ditunjukkan oleh komponen eugenol dalam ekstrak Piper betle L. terhadap pertumbuhan bakteri S. mutans yang berdampak pada berkurangnya koloni bakteri ini dalam menyebabkan karies gigi. Sistem penghantaran obat bukal merupakan langkah yang efektif untuk memaksimalkan absorbsi obat dalam memberikan efek lokal. Salah
23
satu bentuk formulasi bentuk sediaan bukal adalah patch, yang mana patch lebih dipilih karena fleksibilitas dan kenyamanannya (Patel et al., 2007). Selain itu bentuk sediaan patch dipilih karena memberikan pelepasan obat yang searah, permukaan kontak yang luas, dan penetrasi bukal dari obat secara baik. Release enhancer substance digunakan untuk meningkatkan pelepasan zat aktif dari suatu sediaan. Berdasarkan penelitian Zhang et al. (2011), menunjukkan bahwa laju pelepasan 10 komponen fenolik dengan bobot molekul yang mirip meningkat seiring dengan meningkatnya persentase propilenglikol dalam solven. Hal ini karena adanya propilen glikol menyebabkan obat lebih larut dalam pembawa. Gliserin bersifat larut air, sehingga akan berdifusi keluar dari film polimer ke dalam media dan menyebabkan ruang kosong di dalam film dimana difusi lebih mudah terjadi (Rowe et al., 2009). Penambahan komponen gliserin meningkatkan laju pelepasan turunan hidroksisinamat dari ekstrak Melissa officinalis L. dalam bentuk sediaan film (Rechia et al., 2010). Tween 80 merupakan surfaktan anionik yang berfungsi sebagai absorption enhancer yang dapat meningkatkan pelepasan dan kelarutan obat di dalam medium. Berdasarkan hasil penelitian Wang dan Liu (2010), penambahan Tween 80 meningkatkan konsentrasi pelepasan eugenol dari minyak cengkeh, kayu manis, dan kemangi dibandingkan dengan tanpa penambahan Tween 80.
24
G. HIPOTESIS 1. Penggunaan release enhancer substance propilenglikol, gliserin, dan Tween80 dapat berpengaruh pada sifat fisika kimia patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih 2. Variasi penambahan release enhancer substance, yaitu Tween 80, propilenglikol dan gliserin pada patch bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih (Piper betle L.) dapat berpengaruh pada pelepasan eugenol