BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Jerawat merupakan permasalahan kulit yang dapat mengurangi rasa percaya diri, khususnya pada remaja dan dewasa muda. Jerawat disebabkan antara lain oleh produksi sebum berlebihan, peningkatan hormon androgen, dan infeksi bakteri,
seperti
Staphylococcus
aureus
dan
Staphylococcus
epidermidis
(Yuindartanto, 2009). Infeksi bakteri penyebab jerawat dapat diobati dengan antibiotik dan obat sintetik lainya, namun obat ini memiliki efek samping antara lain iritasi dan pada penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan resistensi (Wasitaadmadja, 1997). Efek samping dari penggunaan obat jerawat sintetik mendorong banyak ahli menciptakan obat jerawat menggunakan tanaman obat. Chromolaena odorata L. merupakan tanaman obat yang memiliki aktivitas sebagai antijerawat (Chomnawang et al., 2005). Ekstrak etanolik daun C. odorata memiliki aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis dengan nilai MIC 0,625 mg/mL (Chomnawang et al., 2005) dan terhadap Staphylococcus aureus memiliki MIC 1,25 mg/mL (Chomnawang et al., 2004). Hasnawati (2010) menyatakan bahwa isolat senyawa aktif daun C. odorata belum bisa diidentifikasi, namun senyawa aktif tersebut pada loading 250 µg memberikan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan diameter hambat 9,5 mm dan 7,2 mm.
1
2
Pengobatan jerawat merupakan pengobatan yang memerlukan proses, sehingga membutuhkan waktu kontak dengan kulit yang lebih lama untuk zat aktif terlepas dan memberikan efek. Sediaan gel merupakan sediaan yang cocok untuk pengobatan jerawat, karena memiliki daya lekat tinggi yang tidak menyumbat pori-pori pada kulit, tidak mengandung minyak yang dapat meningkatkan keparahan jerawat, mudah dibersihkan dari permukaan kulit dan memberi rasa dingin pada kulit (Sasanti et al., 2012). Kelebihan bentuk sediaan gel juga dapat memberikan kenyamanan dalam pemakaian dan mudah diaplikasikan pada kulit. Basis diperlukan dalam pembuatan sediaan gel, dimana basis akan mempengaruhi waktu kontak dan kecepatan pelepasan zat aktif untuk dapat memberikan efek. Idealnya, suatu basis gel harus dapat diaplikasikan dengan mudah, tidak mengiritasi kulit dan nyaman saat digunakan, serta dapat melepaskan zat aktif yang terkandung di dalamnya (Wyatt et al., 2001). HPMC merupakan basis gel turunan selulosa yang secara umum tidak toksis dan tidak mengiritasi kulit yang sering digunakan sebagai gelling agent dan termasuk dalam basis hidrofilik (Rowe, et al., 2005; Ansel, 1989). Penggunaan basis gel hidrofilik memiliki daya sebar baik pada kulit, memberikan efek dingin, tidak menyumbat pori-pori kulit, mudah dicuci dengan air dan pelepasan obatnya baik (Voigt, 1984). HPMC memiliki rantai polimer yang panjang sehingga pada waktu kontak dengan media akan terbentuk lapisan gel yang semakin tebal. Semakin panjang rantai polimer dapat menyebabkan pembentukan lapisan gel yang makin tebal, sehingga penghalang yang harus dilewati zat aktif obat dalam berdifusi keluar dari matrik semakin sulit (Buang, 2006). Menurut penelitian
3
Resida (2013) basis HPMC 3% memberikan laju pelepasan meloksikam paling tinggi dibandingkan gel dengan basis Karbopol 1% dengan TEA 2% dan CMC Na 3%. Berdasarkan latar belakang di atas, dilakukan formulasi gel ekstrak etanolik daun Chromolaena odorata dengan menggunakan HPMC sebagai gelling agent. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh variasi kadar HPMC terhadap sifat fisik sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata dan aktivitas antibakterinya.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh variasi kadar HPMC terhadap sifat fisik gel ekstrak etanolik daun C. odorata? 2. Bagaimana pengaruh aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata dengan HPMC sebagai gelling agent ?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pengaruh variasi kadar HPMC terhadap sifat fisik gel ekstrak etanolik daun C. odorata. 2. Mengetahui pengaruh aktivitas antibakteri sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata dengan HPMC sebagai gelling agent.
4
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah ide untuk mengeksplor kekayaan alam di Indonesia sehingga dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang kesehatan. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk merekomendasikan kepada masyarakat mengenai daun C. odorata yang dikenal sebagai tanaman pengganggu atau gulma itu dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri, salah satunya untuk pengobatan jerawat.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Uraian Tanaman Chromolaena odorata a. Morfologi C. odorata memiliki tinggi sekitar 2,5 meter. Daun C. odorata berbentuk hati, tepi bergerigi, ujung daun lancip, mengeluarkan bau aromatik ketika diremas, seluruh bagian daun berbulu halus, panjang daun sekitar 4-10 cm dan lebar sekitar 1-5 cm, terdiri dari 4-5 unit bunga di tengah-tengah daun, produksi biji sekitar 80.000-90.000 per tanaman (Backer & Van Den Brink, 1965).
b. Klasifikasi Tanaman C. odorata
5
Gambar 1. Chromolaena odorata L.
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Asteridae
Bangsa
: Asterales
Suku
: Asteraceae
Marga
: Eupatorium
Jenis
: Eupatorium odoratum Linn (Chromolaena odorata L.) (Laurence, 1958)
2.
Khasiat dan Kandungan Kimia a. Khasiat Rebusan daun C. odorata digunakan untuk pengobatan asma, penurun panas pada anak yang terinfeksi cacar air, infeksi kulit, obat batuk (Bouda et al., 2001; Agu, 1980; Irobi, 1997). Rebusan akar C. odorata digunakan sebagai pulmonary hemorrhage, menghambat pendarahan luka baru serta menghentikan pendarahan pada hidung (Thakong, 1999 cit. Hasnawati, (2010). Di Vietnam, daun segar atau rebusan E.odoratum digunakan untuk
6
mengobati gigitan lintah, luka bakar, antiseptik dan dento- alveolitis (Bamba et al., 1993 cit. Hasnawati, 2010). b. Kandungan kimia Ekstrak C. odorata mengandung fenol, tanin, steroid, saponin, flavonoid (Vital et al., 2009), sinensetin dan skutellarein tetrametil eter (Atindehou et al., 2013). C. odorata mengandung asam fenolat, seperti protokatekuat, p-hidroksibenzoat, ferulat, p-kumarat dan vanilat serta campuran kompleks dari aglikon flavonoid lipofilik, seperti flavonon, flavonol, flavon, dan kalkon (Phan et al., 2001). C. odorata mengandung minyak atsiri, seperti α-pinen, β-pinen, germakren D, dan β-kopaen-4α-ol (Owolabi et al., 2010). 3.
Ekstraksi Ekstraksi merupakan peristiwa penarikan zat aktif oleh cairan penyari yang sesuai. Zat aktif dapat berupa bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Semakin luas permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan
dengan
penyari,
maka
penyarian
akan
berlangsung
baik.
Pertimbangan pemilihan metode penyarian yang baik adalah wujud dan bahan uji yang disari (Harborne, 1973). Beberapa macam metode ekstraksi, antara lain: 1) Maserasi Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana, yaitu dengan cara direndam dengan pelarut yang sesuai. Mekanismenya adalah pelarut menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
7
mengandung zat aktif. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, memungkinkan zat aktif yang terlarut dalam pelarut terdesak ke luar sel. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Anonim, 1986). Pengadukan dan penggantian cairan penyari perlu dilakukan selama proses maserasi. Biasanya maserasi dilakukan selama tiga hari sampai bahan melarut dan dilakukan pada suhu kamar, temperature 15-200C (Ansel, 1989). Endapan hasil maserasi dipisahkan dan filtrat yang diperoleh diuapkan, sehingga didapat filtrat pekat. 2) Perkolasi Perkolasi adalah cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Penyari dimasukkan secara kontinyu dari atas kolom, mengalir lambat melintasi simplisia berupa serbuk. Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi, ekstraksi yang kaya ekstrak (Voigt, 1984). 3) Infundasi Infundasi merupakan proses penyarian yang paling umum dilakukan untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan kapang karena bakteri dan kapang mudah tumbuh pada media berair.
8
Infundasi dilakukan dengan menyari simplisia dengan derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, dipanaskan di penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu air mencapai 900C sambil sesekali diaduk. Infus diserkai melalui kain flamel selagi panas, kemudian ditambah air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang dikehendaki (jika tidak dikatakan lain, dibuat infus 10%) (Anonim, 2000). 4) Soxhletasi Soxhletasi
merupakan
salah
satu
metode
ekstraksi
yang
berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang kontinyu dengan jumlah pelarut realtif konstan dengan adanya pendingin balik. Kekurangan dari metode ini adalah suhu yang digunakan cukup tinggi, sehingga tidak baik digunakan untuk senyawa yang tidak stabil dalam panas (Anonim, 2008). 4.
Antibakteri Pemeriksaan antibakteri ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan kontrol kualitas selama proses produksi senyawa antibakteri, sehingga diperoleh suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Pemeriksaan daya antibakteri dapat dilakukan dengan berbagai metode, yaitu : 1. Metode difusi a. Kirby Bauer
9
Metode ini untuk menentukan aktivitas antibakteri. Piringan yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan media agar (Pratiwi, 2008). b. Cara sumuran Media agar yang telah ditanami bakteri dibuat lubang dan diisi zat antibakteri. Pengamatan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling lubang atau silinder (Pratiwi, 2008). c. Uji bioautografi Uji bioautografi merupakan metode untuk mengetahui atau menentukan hRf senyawa yang mempunyai aktivitas antimikroba para kromatogram. Caranya dengan menempelkan plat KLT yang telah dielusi pada medium agar yang telah diinokulasi dengam mikroba uji selama beberapa menit, sehingga senyawa uji berdifusi ke dalam agar. Setelah diinkubasi selama 24 jam dapat terlihat bercak atau daerah yang jernih tanpa pertumbuhan mikroba yang merupakan daerah senyawa aktif (Lorian, 1980). 2. Metode dilusi a. Dilusi cair Metode ini untuk mengukur MIC (minimum inhibitory concentration) dan MBC ( minimum bactericidal concentration). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji . Larutan uji agen antimikroba pada kadar
10
terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai MIC. Larutan yang ditetapkan sebagai MIC tersebut selanjutnya dikultur ulang pada media padat pada penambahan mikroba uji ataupun agen antimikroba, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media padat yang terlihat jernih setelah inkubasi ditetapkan sebagai MBC (Pratiwi, 2008). b. Dilusi padat Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan media padat. Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008). 5.
Bakteri Staphylococcus aureus Sistematika dari S. aureus (Salle, 1961) Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococcaceae
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphlococcus aureus
11
Gambar 2. Staphylococcus aureus (Anonim, 2002)
S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang menghasilkan pigmen kuning, bersifat aerob fakultatif, tidak menghasilkan spora dan tidak motil, tumbuh tunggal dan berpasangan, diameter sekitar 0,8-1,0 µm. S. aureus merupakan mikroflora normal manusia. Infeksi S. aureus dapat menyebabkan beberapa kondisi patologi, diantaranya jerawat, bisul, meningitis, pneumonia dan arthritis. Sebagian besar penyakit akibat S. aureus memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik (Brooks et al., 1991). 6.
Bakteri Staphylococcus epidermidis Sistematika dari S. aureus (Salle, 1961) Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schyzomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Micrococcus
Marga
: Staphylococcus
Jenis
: Staphylococcus epidermidis
12
Gambar 3. Staphylococcus epidermidis (Anonim, 2011)
Bakteri S. epidermidis tegolong dalam bakteri Gram positif. Koloni dari S. epidermidis bertipe kecil, berwarna putih atau kuning, diameter sekitar 1-2 mm setelah inkubasi semalam. S. epidermidis merupakan bakteri bersifat infektif oportunistik (menyerang individu pada system kekebalan tubuh yang lemah). Bakteri ini secara alami hidup pada kulit dam membran mukosa manusia. Infeksi S. epidermidis dapat terjadi karena bakteri ini membentuk biofilm pada alat-alat medis dirumah sakit sehingga mudah menyebar (Lindsay, 2008). Bakteri ini merupakan floral normal pada kulit manusia. Jerawat akan muncul jika jumlah flora normal pada kulit berlebih. Jumlah normal bakteri pada kulit berkisar 103-104 mikroorganisme/cm2 (Burkhart & Lechman, 1999). 7.
Gel 1. Definisi gel Gel adalah sistem dua komponen berbentuk setengah padat yang banyak mengandung air. Pada gel yang bersifat polar, konsentrasi rendah
13
(<10%) akan membentuk matriks tiga dimensi pada keseluruhan masa hidrofilik. Karena zat pembentuk gel tidak larut sempurna atau karena membentuk agregat yang dapat membiaskan cahaya maka sistem ini dapat bersifat jernih atau keruh (Agoes & Darijanto, 1993). 2. Klasifikasi gel Klasifikasi gel didasarkan pada pertimbangan karakteristik dari masingmasing kedua fase dikelompokkan pada gel organik dan anorganik. Berdasarkan sifat fase koloidal, gel organik dibagi menjadi gom alam, seperti gom arab, karagen, gom xantan, dan gom sintesis, seperti hidroksi propil selulosa dan metil hidroksi propil selulosa (Agoes & Darijanto, 1993). 3. Karakteristik gel Berdasarkan karakteristik cairan yang terdapat dalam gel, dibedakan menjadi gel hidrofobik dan hidrofilik. a. Gel hidrofobik umumnya mengandung parafin cair dan polietilen atau minyak lemak dengan bahan pembentuk gel kolodial silika atau alumunium. Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik. Bila ditambahkan kedalam fase pendispersi, maka akan terjadi interaksi yang sedikit antara basis gel dan fase pendispersi (Ansel et al., 1989). b. Gel hidrofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan dengan molekul fase pendispersi. Sistem koloid hidrofilik lebih mudah dibuat dan memiliki kestabilan yang lebih besar dibanding hidrofobik. Gel hidrofilik mengandung komponen bahan pembengkak, air, humektan, dan bahan pengawet (Ansel et al., 1989).
14
8.
Monografi Bahan a. Hidroksi propil metilselulose (HPMC) HPMC merupakan turunan dari metilselulosa yang memiliki ciri-ciri serbuk atau butiran putih, tidak memiliki bau dan rasa. Sangat sukar larut dalam eter, etanol atau aseton. Dapat mudah larut dalam air panas dan akan segera menggumpal dan membentuk koloid. Mampu menjaga penguapan air sehingga secara luas banyak digunakan dalam aplikasi produk kosmetik dan aplikasi lainnya (Anonim, 2006; Rowe et al., 2005). Rumus struktur HPMC :
R = CH3 Gambar 4. Rumus Bangun HPMC (Rowe et al., 2005)
HPMC melarut sangat lambat dan sulit, metode yang disarankan yaitu air panas disediakan terlebih dahulu, ditambahkan air panas sebanyak satu per tiga atau dua per tiga kali dari jumlah HPMC, sebab HPMC mudah larut dalam air panas dan HPMC disebar merata pada permukaan air panas. Tambahkan sisa air dingin, aduk dan dinginkan campuran, kemudian ditambahkan pelarut organik seperti etanol, propilen glikol atau minyak sebagai peningkat kelarutan, lalu tambahkan air dapat menyebabkan HPMC benar - benar larut, lalu ditambahkan pelarut organik seperti etanol, propilen glikol atau minyak
15
sebagai peningkat kelarutan, lalu ditambahkan air dapat menyebabkan HPMC benar-benar larut. b. Propilen Glikol Nama resmi Sinonim
: Propilen Glikol : 1,2-dihidroksipropana, 2-hidroksipopanol, metil etilen gikol, metil glikol dan propane-1,2-diol
Rumus molekul : C3H8O2 Rumus struktur :
Gambar 5. Rumus Struktur Propilen Glikol (Rowe et al., 2005)
Berat molekul
: 76,09
Pemerian
: Larutan jernih atau sedikit berwarna, kental, rasa agak manis
Kelarutan
: Larut dalam kloroform, etanol, gliserin, dan air
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik, suhu rendah (Rowe et al., 2005)
Propilen glikol berfungsi sebagai pengawet antibakeri, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer untuk vitamin dan water-miscible cosolvent (Rowe et al., 2005). Propilen glikol dapat menahan lembab, memungkinkan kelembutan dan daya sebar yang tinggi dari sediaan, dan melindungi gel dari kemungkinan pengeringan (Voigt, 1984).
16
Propilen glikol stabil secara kimia bila dikombinasikan dengan etanol, gliserin, atau air. Inkompatibilitas dengan bahan yang mengoksidasi, seperti kalium permanganat. Propilen glikol bersifat higroskopis, stabil pada suhu dingin dan wadah tertutup rapat. Pada suhu tinggi dan di tempat terbuka cenderung mengoksidasi, menimbulkan produk seperti propionaldehida, asam laktat, asam piruvat, dan asam asetat. Propilen glikol secara umum merupakan pelarut yang lebih baik dari gliserin dan dapat melarutkan berbagai bahan, seperti kortikosteroid, fenol, obat-obatan sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid, dan banyak anestesi lokal (Tabel 1) (Rowe et al., 2005). Tabel I. Penggunaan propilen glikol dalam sediaan farmasi
Penggunaan Humektan Pengawet Pelarut
Bentuk sediaan Topikal Larutan, Semisolid Aerosol Larutan oral Parenteral Topikal
Konsentrasi % ≈ 15 15-30 10-30 10-25 10-60 5-80
c. Metil paraben (Nipagin) Nama resmi
: Metil paraben
Sinonim
: Metil ester asam 4-hidroksibenzoat, metil p-hidroksibenzoat, Nipagin, Uniphen P-23
Rumus molekul : C8H8O3 Rumus struktur :
17
Gambar 6. Rumus Struktur Metil Paraben (Rowe et al., 2005)
Berat molekul
: 152,15
Pemerian
: Hablur atau serbuk tidak berwarna, atau kristal putih, tidak berbau atau berbau khas lemah
Kelarutan
: Mudah larut dalam etanol, eter praktis tidak larut dalam minyak, larut dalam 400 bagian air
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup baik (Rowe et al., 2005)
Metil paraben digunakan secara luas sebagai bahan pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan sediaan farmasi. Golongan paraben efektif pada rentang pH yang luas dan mempunyai aktivitas antimikroba pada spektrum yang luas, meskipun paraben paling efektif melawan kapang dan jamur. Pada sediaan topikal umumnya metil paraben digunakan dengan konsentrasi antara 0,02-0,3% (Rowe et al., 2005). d. Propil paraben Nama resmi
: Propil paraben
Sinonim
:Propil
ester
asam
4-hidroksibenzoat,
Nipasol
propagin, propyl p-hidroksibenzoat, Uniphen P-23
M,
18
Rumus molekul : C10H12O3 Rumus struktur :
Gambar 7. Struktur Kimia Propil Paraben (Rowe,et al., 2005)
Berat molekuler : 180,20 Pemerian
: Serbuk putih, hablur kecil atau tidak berwarna
Kelarutan
: Sangat sukar larut dalam air; mudah larut dalam
etanol,
dan dalam eter; sukar larut dalam air mendidih. Kegunaan
: zat pengawet
Propil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi sediaan farmasi.Propil paraben dapat digunakan sendiri, kombinasi dengan ester paraben lain atau dengan agen antimikroba lainnya. Propil paraben adalah salah satu pengawet yang paling sering digunakan dalam kosmetik. Propil paraben efektif pada kisaran pH yang luas dan memiliki spektrum yang luas dari aktivitas antimikroba, meskipun yang paling efektif aktivitasnya terhadap ragi dan kapang. Karena kelarutan yang dimiliki paraben rendah , maka garam paraben, khususnya garam natrium adalah bentuk yang paling sering digunakan dalam formulasi. Pada sediaan topikal umumnya propil paraben digunakan dengan konsentrasi antara 0,01-0,6% (Rowe, et al., 2005).
19
e. Aquadest Nama resmi
: Purifed Water (air murni)
Sinonim
: Aqua, aqua purificata
Rumus molekul
: H2O
Berat molekul
: 18,02
Pemerian
: Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau
Penyimpanan
: Dalam wadah tertutup rapat (Anonim, 1995)
Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan menggunakan penukar ion, osmotik balik, atau proses lain yang sesuai. Tidak mengandung zat tambahan lain (Anonim, 1995). Kegunaannya adalah sebagai pelarut. Air dapat bereaksi dengan obat-obatan dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada suhu tinggi. Beraksi dengan logam alkali dan oksidannya, seperti kalsium oksida dan magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk membentuk hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan bahan organik tertentu dan kalsium karbida (Anonim, 1979). 9.
Kontrol Kualitas Stabilitas Fisik Gel a. Organoleptis Organoleptis merupakan pengujian kualitas suatu bahan atau produk menggunakan panca indra manusia. Organoleptis biasa dilakukan secara makroskopis dengan mendeskripsikan warna, kejernihan, transparansi, kekeruhan, dan bentuk sediaan (Paye et al., 2001).
20
b. pH pH menunjukkan derajat keasaman suatu bahan. Nilai pH idealnya sama dengan pH kulit atau tempat pemakaian. Hal ini bertujuan untuk menghindari
iritasi. pH
normal
kulit manusia berkisar antara 4,5–6,5
(Draelos & Lauren, 2006). c. Homogenitas Pemeriksaan homogenitas dapat dilakukan secara visual (Paye et al., 2001). Homogenitas gel diamati pada kaca objek di bawah cahaya, diamati apakah terdapat bagian-bagian yang tidak tercampurkan dengan baik. Gel yang stabil harus menunjukkan susunan yang homogen. d. Vikositas Viskositas merupakan gambaran suatu benda cair untuk mengalir. Viskositas menentukan sifat sediaan dalam hal campuran dan sifat alirnya, pada saat diproduksi, dimasukkan ke dalam kemasan, serta sifat-sifat penting pada saat pemakaian, seperti konsistensi, daya sebar, dan kelembaban. Selain itu, viskositas
juga
akan
mempengaruhi
stabilitas
fisik
dan
ketersediaan hayatinya (Paye et al., 2001). Semakin tinggi viskositas, waktu retensi pada tempat aksi akan naik, sedangkan daya sebarnya akan menurun. Viskositas juga menentukan lama lekatnya sediaan pada kulit, sehingga obat dapat dihantarkan dengan baik. Viskositas sediaan dapat dinaikkan dengan menambahkan polimer (Donovan & Flanagan, 1996). e. Daya sebar
21
Daya sebar berkaitan dengan kenyamanan pada pemakaian. Sediaan yang memiliki daya sebar yang baik sangat diharapkan pada sediaan topikal. Menurut Garg et al. (2002), daya sebar sediaan semipadat berkisar pada diameter 3 cm-5 cm. f. Daya lekat Daya lekat berkaitan dengan kemampuan sediaan untuk menempel pada lapisan epidermis. Semakin besar daya lekat gel, maka semakin baik penghantaran obatnya. Tidak ada persyaratan khusus mengenai daya lekat sediaan semipadat. Daya lekat dari sediaan semipadat sebaiknya adalah lebih dari 1 detik (Zats & Gregory, 1996). 10.
Jerawat a. Definisi Jerawat Jerawat merupakan penyakit yang terjadi akibat folikel sebasea yang biasa ditandai dengan adanya komedo (Djuanda, 2002). Definisi lain jerawat adalah adanya peradangan dari kelenjar unit polisebaseus disertai dengan adanya sumbatan keratin pada kulit. Kelenjar unit polisebaseus adalah tempat keluarnya rambut di kulit beserta kelenjarnya. Jerawat biasanya tumbuh di muka, dada (depan dan belakang) dan atas lengan. Kulit memerah dan meradang terjadi jika adanya kelenjar minyak (sebasea) memproduksi minyak kulit (sebum) secara berlebihan sehingga mengakibatkan terjadinya penyumbatan pada saluran kelenjar minyak dan pembentukan komedo. Komedo disebabkan adanya sumbatan pada pori-pori yang awalnya berwarna putih pucat yang biasa disebut komedo tertutup.
22
Apabila sumbatan membesar, komedo menjadi kehitaman yang disebut komedo terbuka sehingga terjadi interaksi dengan bakteri jerawat (Ayu, 2009) b. Patogenesis Jerawat terbentuk ketika kelenjar minyak pada kulit terlalu aktif, sehingga menyebabkan
pori
kulit
tersumbat
oleh
timbunan
lemak.
Keberadaan keringat, debu, dan kotoran lain akan meneyebabkan timbunan lemak menjadi kehitaman yang lebih dikenal dengan komedo. Komedo yang disertai dengan infeksi bakteri akan menimbulkan peradangan yang dikenal dengan jerawat, dimana ukurannya bervariasi mulai dari kecil hingga besar serta berwarna merah, kadang bernanah serta menimbulkan rasa nyeri. Selain itu jerawat juga dapat dipengaruhi oleh hormon-hormon androgenik seperti testosteron yang mengakibatkan pembesaran kelenjar sebasea yang akhirnya meningkatkan produksi sebum (Odom et al., 2000). c. Pengobatan Tujuan pengobatan jerawat adalah mengurangi proses peradangan kelenjar polisebasea dan frekuensi timbulnya jerawat, serta memperbaiki penampilan pasien. Terdapat tiga hal yang penting pada pengobatan jerawat (Price & Lorraine, 2006), yaitu: 1) Mencegah timbulnya komedo, biasanya digunakan bahan pengelupas kulit. 2) Mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan. 3) Mempercepat resolusi lesi peradangan.
23
Pengobatan terhadap jerawat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengobatan yang diberikan dengan resep dokter dan tanpa resep dokter. Obat jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan asam salisilat memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan parakeratolitik. Pengobatan dengan resep dokter pun tak jarang menggunakan antibiotik seperti klindamisin, eritromisin, tetrasiklin, asam azeloat, tretinoin, dan adapalen. Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi, fotosensitivitas, kerusakan organ dan imuno hipersensitivitas (Wasitaatmadja, 1997).
F. Landasan Teori Jerawat merupakan permasalahan kulit yang dapat mengurangi rasa percaya diri, khususnya pada remaja dan dewasa muda. Jerawat disebabkan antara lain oleh produksi sebum berlebihan, peningkatan hormon androgen, dan infeksi bakteri,
seperti
Staphylococcus
aureus
dan
Staphylococcus
epidermidis
(Yuindartanto, 2009). Salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai antijerawat adalah Chromolaena odorata L. (Chomnawang et al., 2005). Ekstrak C. odorata mengandung fenol, tanin, steroid, saponin, flavonoid (Vital et al., 2009), sinensetin dan skutellarein tetrametil eter (Atindehou et al., 2013). Ekstrak etanolik daun C. odorata memiliki aktivitas terhadap bakteri Propionibacterium acnes dan Staphylococcus epidermidis dengan nilai MIC 0,625 mg/mL
24
(Chomnawang et al., 2005) dan terhadap Staphylococcus aureus memiliki MIC 1,25 mg/mL (Chomnawang et al., 2004). Hasnawati (2010) menyatakan bahwa isolat senyawa aktif daun C. odorata belum bisa diidentifikasi, namun senyawa aktif tersebut pada loading 250 µg memberikan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Eschericia coli dengan diameter hambat 9,5 mm dan 7,2 mm. Pengobatan jerawat lebih menguntungkan dalam bentuk sediaan gel, karena pelarut yang polar lebih mudah dibersihkan dari permukaan kulit dan tidak mengandung minyak yang dapat meningkatkan keparahan jerawat (Sasanti et al., 2012). Kelebihan bentuk sediaan gel juga dapat memberikan kenyamanan dalam pemakaian dan mudah diaplikasikan pada kulit. Gelling agent dalam sediaan gel merupakan faktor kritis yang mempengaruhi sifat fisik gel yang dihasilkan. Gelling agent yang dapat digunakan salah satunya adalah Hidroxy Prophyl Methyl Cellulose (HPMC). HPMC merupakan dasar gel semi-sintetik turunan selulosa yang tahan terhadap fenol dan stabil pada pH 3 hingga 11. HPMC sebagai gelling agent dapat menghasilkan gel yang jernih, bersifat netral, dan memiliki viskositas yang stabil pada penyimpanan jangka panjang (Rowe et al., 2005). HPMC juga mempunyai resistensi yang baik terhadap serangan mikroba, dan memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit (Suardi, 2008). HPMC mengembang dalam air sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel yang baik. Hidrogel sangat cocok digunakan sebagai sediaan topikal dengan fungsi kelenjar sebaseus berlebih, dimana hal ini merupakan salah satu faktor penyebab jerawat (Voigt, 1984).
25
HPMC memiliki rantai polimer yang panjang sehingga pada waktu kontak dengan media akan terbentuk lapisan gel yang semakin tebal. Semakin panjang rantai polimer dapat menyebabkan pembentukan lapisan gel yang makin tebal, sehingga penghalang yang harus dilewati zat aktif obat dalam berdifusi keluar dari matrik semakin sulit (Buang, 2006). Pelepasan bahan obat dari basis dipengaruhi oleh faktor fisika-kimia baik dari basis maupun dari bahan obatnya, kelarutan, viskositas, ukuran partikel, dan formulasi (Aulton, 2003 cit. Indrayudha, 2010). Pada penelitian yang dilakukan oleh Jaelani (2012) bahwa perbedaan viskositas gel ekstrak etanolik patikan kebo (Euphorbia
hirta
L.)
berpengaruh
pada
aktivitas
antibakteri
terhadap
Staphylococcus epidermidis secara in vitro, semakin besar viskositas maka akan semakin besar pula tahanannya untuk mengalir sehingga pelepasan zat aktifnya akan semakin kecil dan penghambatan terhadap Staphylococcus epidermidis akan menurun.
G. Hipotesis 1. Variasi kadar HPMC berpengaruh terhadap sifat fisik gel ekstrak etanolik daun C. odorata, yaitu semakin besar kadar HPMC meningkatkan viskositas dan daya lekat serta menurunkan daya sebar. 2. Sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata dengan HPMC sebagai gelling agent mempengaruhi aktivitas antibakteri, yaitu semakin besar kadar HPMC menurunkan difusi zat aktif sediaan gel ekstrak etanolik daun C. odorata.