BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan remaja seperti tidak akan pernah ada habisnya, hal ini disebabkan karena masa remaja dikenal sebagai masa untuk mencari identitas dan eksistensi diri dikehidupan bermasyarakat. Menurut Santrock (2003) masa remaja dimulai dari umur 10 atau 12 tahun dan berakhir pada umur 18 sampai 22 tahun. Baharuddin (2009) mengungkapkan bahwa salah satu tugas pada masa perkembangan remaja adalah mengembangkan kecakapan-kecakapan intelektual yang dimilikinya, hal ini tidak mengherankan mengingat remaja merupakan generasi muda penerus bangsa. Bentuk perwujudan dari pengembangan kecakapan intelektual remaja salah satunya adalah dengan memberikan kesempatan belajar bagi remaja di sekolah. Kesempatan belajar yang diberikan kepada remaja tersebut diharapkan dapat menyalurkan potensi-potensi dalam diri remaja untuk berkembang sebagaimana mestinya. Menurut Hamalik (2001) pada dasarnya setiap remaja memiliki kebutuhan, minat, dan tujuan untuk berkembang, hal itu dapat dilihat dari banyaknya aktivitas yang dilakukan remaja dan mengadakan interaksi dengan lingkungannya. Kenyataan yang terjadi saat ini menunjukkan aktivitas belajar dan perilaku remaja tidak memberikan manfaat bagi pengembangan potensi diri remaja. Hal ini dibuktikan pada tanggal 4 Agustus 2011 Kepolisian Resor Cirebon Kota merazia sejumlah tempat yang dilaporkan masyarakat sering menjadi tempat nongkrong
xviii
remaja yang membolos sekolah yaitu rental play station, warnet, dan mall. Dari razia yang dilakukan polisi menjaring 14 orang pelajar yang sedang asyik berjalan-jalan di pusat perbelanjaan Grage Mall saat pelajaran berlangsung. Menurut salah seorang pelajar yang dirazia berinisial DN, ia dan teman-temannya membolos karena mata pelajaran yang disampaikan pada hari itu di sekolah tidak menyenangkan (CNC, 2011). Hasil wawancara peneliti terhadap remaja berinisial R dan A pada tanggal 26 April 2012 menunjukkan bahwa remaja R dan A merasa malas dan bosan dalam belajar. Sifat malas dan bosan belajar tersebut disebabkan karena
banyaknya
hafalan serta tugas yang diberikan oleh sekolah, sedangkan sifat malas belajar remaja A merupakan dampak dari kurangnya perhatian yang diberikan orang tua karena sibuk bekerja serta adanya perbedaan kasih sayang yang ditunjukkan orang tua kepada anggota keluarga. Akibat dari hal tersebut menyebabkan remaja A mengerjakan tugas sekolah hanya pada saat mood saja. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan dari guru di SMP Islam „Y‟ Pekanbaru diketahui bahwa dari 494 siswa di sekolah, didapatkan hanya 50% siswa yang menunjukkan keaktifan di dalam belajar. 50% siswa lainnya di SMP Islam “Y” dikategorikan ke dalam golongan tidak aktif belajar yakni: (a) bersikap pasif dalam menerima pelajaran yang disampaikan oleh guru di dalam kelas, (b) tidak terstimulasi untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru sehingga mengerjakan tugas yang diberikan dengan menyontek tugas teman, (c) cepat menyerah ketika diberikan tugas oleh guru, dan (d) siswa memandang belajar sebagai suatu beban.
xix
Hasil observasi peneliti di lapangan pada tanggal 30 April–4 Mei 2012 yang dilanjutkan dengan memberikan kuesioner kepada ke empat guru bidang studi kelas VIII yaitu: guru bidang studi Matematika, Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Agama Islam menunjukkan bahwa 50% siswa kelas VIII 1, 74% siswa kelas VIII 2, 74% siswa kelas VIII 3, dan 77% siswa kelas VIII 4 menunjukkan sikap pasif di dalam belajar. Indikator perilaku yang dimunculkan siswa di SMP Islam “Y” tersebut di dalam belajar adalah: (1) kurangnya keterampilan dalam menyelesaikan latihan atau tugas yang diberikan, hanya sebagian kecil dari siswa yang berinisiatif untuk mengumpulkan fakta, menganalisis informasi dan menyelesaikan tugas yang diberikan serta siswa kurang menyadari dan cenderung hanya menunggu instruksi dari guru mengenai apa yang harus dilakukan terkait dengan tugas yang diberikan tersebut, (2) pada saat dilakukan diskusi kelompok kurang dari 10% siswa yang dapat menanggapi dan menyampaikan argumennya, siswa kurang berinisiatif untuk menghasilkan gagasan baru dan cenderung menerima apa yang disampaikan guru tanpa kemudian mencoba untuk menghasilkan sebuah gagasan baru dari pemikirannya, (3) siswa kurang antusias dan serius dalam mengerjakan tugas hal ini terlihat dari banyaknya siswa yang sengaja datang sangat awal yakni pada pagi hari hanya untuk menyontek PR dari temannya, (4) apabila merasa kesulitan dalam memahami materi sebagian siswa ada yang berinisiatif maju ke depan kelas untuk bertanya kepada guru tetapi persentasenya hanya sekitar 10%, (5) sebagian besar siswa memiliki konsentrasi yang mudah terpengaruh contohnya adalah ketika mereka diajar oleh guru yang belum mampu menguasai kelas dengan baik maka
xx
konsentrasi siswa di dalam kelas akan mudah terpengaruh oleh keadaan yang sedang terjadi di luar kelas. Berdasarkan dari uraian permasalahan yang dialami oleh remaja di atas, maka hal tersebut mengindikasikan pada rendahnya regulasi diri remaja dalam belajar. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Alsa (2005) bahwa permasalahan yang dialami oleh remaja pada umumnya adalah karena rendahnya regulasi diri remaja dalam belajar. Regulasi diri dalam belajar merupakan pengembangan konsep dari regulasi diri yang berasal dari teori kognitif sosial Bandura yang menekankan pada sebuah asumsi hubungan timbal balik atau dikenal dengan determinisme resiprokal yaitu faktor perilaku, pribadi atau kognitif, serta lingkungan dapat saling berinteraksi dalam meraih tujuan (Bandura, 1986). Rendahnya regulasi diri remaja dalam belajar pada permasalahan penelitian ini merupakan dampak dari ketidakmampuan remaja dalam meregulasi emosinya. Perilaku membolos remaja, remaja yang memandang belajar sebagai suatu beban, serta sifat malas dan bosan yang dimiliki remaja merupakan gambaran dari rendahnya kemampuan remaja dalam mengelola emosinya dalam belajar. Ketidakmampuan dalam pengelolaan emosi inilah yang pada akhirnya membuat rendahnya regulasi diri remaja dalam belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Papalia, Olds, dan Feldman (2001) yang menyatakan bahwa dasar dari regulasi diri berkaitan dengan aspek yang menyangkut perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional seseorang, jika seluruh perkembangan tersebut dapat berjalan dengan baik, maka akan dapat membawa individu mengarahkan dirinya dengan baik.
xxi
Terdapat arti penting belajar berdasar regulasi diri pada remaja, karena dengan
belajar
berdasar
regulasi
diri
akan
memudahkan
remaja
dalam
mendapatkan pengetahuan dan keahlian untuk mencapai tujuan dalam belajar, selain itu menurut Frederick, Blumenfeld, dan Paris (dalam Latipah, 2010) belajar berdasar regulasi diri memberikan pengaruh penting khususnya bagi siswa SMP dan SMU karena dapat meningkatkan prestasi akademik. Tiga aspek penting yang ditekankan di dalam belajar berdasar regulasi diri menurut Zimmerman (1989) adalah kemampuan metakognitif, motivasi, serta perilaku aktif remaja dalam belajar. Menurut Montalvo dan Torres (2004) indikator perilaku remaja yang dikategorikan memiliki regulasi diri dalam belajar adalah: (a) remaja menyadari bahwa menggunakan kemampuan kognitif akan membuat mereka berhasil, (b) remaja mengarahkan kemampuan mereka terhadap pencapaian tujuan pribadi, (c) remaja menunjukkan motivasi serta emosi yang positif seperti adanya self efficacy, menetapkan tujuan dalam pembelajaran dan antusiasme terhadap tugas, (d) remaja merencanakan dan mengendalikan waktu serta usaha mereka untuk melaksanakan tugas dan mampu menata lingkungan belajar yang nyaman baginya seperti menemukan tempat yang cocok untuk belajar, mencari bantuan guru dan teman saat ada kesulitan, serta (e) remaja menunjukkan inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam tugas-tugas dan perencanaan, menyusun strategi untuk mempertahankan usaha, konsentrasi, serta motivasi. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan dari guru di SMP Islam “Y” Pekanbaru serta hasil wawancara yang telah dilakukan kepada remaja R dan A ditemukan bahwa penyebab rendahnya regulasi diri dalam belajar remaja karena
xxii
disebabkan oleh dua faktor yaitu: (1) faktor kondisi keluarga yang dimiliki oleh remaja seperti status ayah ibu yang berpisah atau terjadinya konflik, orang tua yang sibuk bekerja, perbedaan pola kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anggota keluarga, komunikasi yang kurang baik antara remaja dan orang tua, tidak didapatnya perhatian dan dukungan penuh dari orang tua di dalam pembelajaran, serta kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga yang tidak kondusif yakni di dekat pasar dan terminal, dan (2) faktor pada pribadi yakni rendahnya motivasi yang dimiliki remaja. Penyebab rendahnya regulasi diri dalam belajar remaja yang peneliti uraikan di atas, memiliki kesamaan literatur dengan yang diungkapkan oleh Zimmerman (1989). Menurut Zimmerman regulasi diri dalam belajar dipengaruhi oleh faktor pribadi, perilaku, serta lingkungan yang dimiliki oleh remaja. Menurut Zimmerman faktor pribadi dapat ditentukan oleh motivasi remaja seperti adanya self efficacy, proses metakognitif remaja, serta keadaan afeksi remaja, dan faktor perilaku serta lingkungan ditentukan oleh sejauhmana remaja mampu menilai dirinya serta peran modeling yang dimunculkan orang tua, guru, maupun teman sebaya. Faktor kondisi keluarga yang dimiliki remaja seperti yang telah diketahui berdasarkan informasi dari guru di SMP Islam “Y” serta hasil wawancara yang telah dilakukan kepada remaja R dan A yakni: status ayah ibu yang berpisah atau terjadinya konflik, orang tua yang sibuk bekerja, perbedaan pola kasih sayang yang diberikan orang tua terhadap anggota keluarga, komunikasi yang kurang baik antara anak dan orang tua, tidak didapatnya perhatian dan dukungan penuh dari orang tua di dalam pembelajaran, serta kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga yang tidak
xxiii
kondusif yakni di dekat pasar dan terminal mengindikasikan pada rendahnya fungsi keluarga. Menurut Vembriarto (dalam Khairudin, 2008) fungsi keluarga diklasifikasikan ke dalam tiga hal yaitu: a) fungsi biologis merupakan fungsi orang tua untuk melahirkan anak
sebagai generasi penerus yang
merupakan dasar
bagi
kelangsungan hidup masyarakat, b) fungsi afeksi merupakan fungsi pada bagaimana sebuah keluarga memiliki hubungan cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga dan hubungan tersebut tidak terdapat dalam institusi sosial yang lain, c) fungsi sosialisasi yakni pada bagaimana peran keluarga dalam membentuk kepribadian anak, dengan interaksi sosial yang baik diterima anak di dalam keluarga maka akan mempengaruhi sikap, keyakinan, cita-cita, serta pola pikir anak dalam perkembangan kepribadiannya. Kewajiban suatu keluarga menjalankan fungsinya tersebut bertujuan agar anggota keluarga dapat terus bertahan dari generasi ke generasi (Berns, 2007). Merujuk pada pendapat Vembriarto di atas, maka rendahnya keberfungsian keluarga pada permasalahan penelitian ini menurut peneliti disebabkan karena rendahnya fungsi afeksi dan fungsi sosialisasi yang dimiliki oleh keluarga. Penelitian tentang hubungan antara pengaruh faktor keluarga dengan belajar berdasar regulasi diri selama ini telah cukup banyak diteliti. Diantara penelitian yang menghubungkan faktor keluarga dengan belajar berdasar regulasi diri tersebut adalah penelitian Erden dan Uredi (2008) yang menunjukkan bahwa hubungan gaya pengasuhan yang diberikan oleh orang tua yakni otoritatif memiliki hubungan dengan belajar berdasar regulasi diri. Penelitian Pons (1996) tentang keterlibatan
xxiv
orang tua memiliki hubungan dengan belajar berdasar regulasi diri dan meningkatkan prestasi akademik siswa. Menurut Pons keterlibatan orang tua dapat dilihat dari perilaku modelling yang dimunculkan oleh orang tua yakni adanya dorongan serta fasilitas yang diberikan oleh orang tua, begitu juga halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Xu, Benson, Camino, dan Steiner (2010) yang menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua memiliki hubungan dengan belajar berdasar regulasi diri dan meningkatkan prestasi membaca pada anak. Penelitian lainnya mengenai pengaruh faktor keluarga dengan belajar berdasar regulasi diri adalah penelitian Vahedi, Mostafafi, dan Mortazanajad (2009) mengenai kehangatan dan dukungan keluarga yang memiliki hubungan positif dengan belajar berdasar regulasi diri. Penelitian Abar, Carter, dan Winsler (2009) mengenai kewibawaan orang tua memiliki hubungan positif dengan prestasi akademis dan belajar berdasar regulasi diri yang tinggi. Berdasarkan dari uraian penelitian terdahulu mengenai pengaruh faktor keluarga dengan belajar berdasar regulasi diri, maka peneliti menyimpulkan perlu adanya usaha lebih lanjut untuk melakukan penelitian mengenai keberfungsian keluarga dengan belajar berdasar regulasi diri pada remaja. Hal ini disebabkan karena keberfungsian keluarga lebih menggambarkan kompleksitas hubungan serta untuk melihat ada tidaknya fungsi yang dijalankan oleh suatu keluarga yang sangat dibutuhkan perannya bagi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Faktor keberfungsian keluarga yang diduga sebagai penyebab rendahnya belajar berdasar regulasi diri remaja pada penelitian ini, juga disebabkan oleh faktor pribadi remaja yakni rendahnya motivasi yang dimiliki remaja. Motivasi remaja yang
xxv
rendah dapat dilihat dari indikator perilaku yang dimunculkan oleh remaja yaitu: (a) remaja seringkali merasa malas dan bosan dalam belajar, (b) ketika diberikan tugas remaja banyak mengeluh, tidak berinisiatif untuk menyelesaikan tugas, memilih menunggu instruksi dari guru terkait dengan tugas dan latihan yang diberikan, serta bersikap pasrah, (c) remaja tidak antusias dalam mengerjakan tugas dan memilih untuk menyontek tugas teman. Berdasarkan indikator perilaku rendahnya motivasi remaja di atas, maka motivasi yang merujuk pada faktor pribadi remaja seperti yang diungkapkan oleh Zimmerman (1989) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi regulasi diri dalam belajar menurut peneliti lebih merujuk pada rendahnya adversity quotient remaja. Adversity quotient pada penelitian ini selanjutnya akan menggunakan istilah daya juang remaja. Istilah daya juang yang digunakan pada permasalahan penelitian ini didasarkan pada kompleksitas dinamika perilaku yang dimunculkan oleh remaja yang diibaratkan seperti seorang pendaki dalam sebuah pencapaian. Pencapaian tersebut tentunya pencapaian dalam mengejar tujuan belajar yang
tidak dapat
hanya sekedar diindikasikan dengan menyebut kepada motivasi remaja yang rendah saja. Daya juang menurut Stoltz (1997) adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk bertahan dalam menghadapi dan mengatasi segala kesulitan yang terjadi dengan terus ulet dan tekun dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Terdapat beberapa kesamaan dalam penggambaran kontrol diri dan self efficacy yang diungkapkan oleh Zimmerman (1989) sebagai salah satu bentuk motivasi yang mempengaruhi regulasi diri dalam belajar dengan yang diungkapkan oleh Stoltz
xxvi
(1997) bahwa adanya kontrol diri dan self efficacy merupakan dimensi dan faktor pembentuk dari teori daya juang dan daya juang muncul karena adanya keinginan atau dorongan yang kuat dalam diri seseorang dan dorongan tersebut tidak lain adalah karena motivasi yang dimiliki. Menurut Dweck (dalam Stoltz, 1997) daya juang remaja dapat dilihat dari penggunaan waktu belajar yang lebih banyak digunakan oleh remaja. Ketika dihadapkan pada sebuah kesulitan di dalam proses belajar, remaja yang memiliki daya juang akan menganggap kesulitan tersebut sebagai suatu hal yang bersifat sementara dan bukan bersifat tetap, sehingga perhatian dan waktu yang dimiliki remaja akan selalu difokuskan kepada cara untuk memperbaiki kegagalan. Sepengetahuan peneliti penelitian-penelitian terdahulu mengenai variabel daya juang yang ditemukan adalah penelitian mengenai hubungan daya juang dengan prestasi belajar (Utami & Hawadi 2008; Basnur 2011; Zainuddin 2011) dan penelitian mengenai motivasi dan kontrol diri terhadap belajar berdasar regulasi diri dimana hal tersebut merupakan komponen pembentuk dari daya juang. Penelitian mengenai motivasi dengan belajar berdasar regulasi diri dilakukan oleh Pintrich (1999) yakni berupa keyakinan motivasi seperti: adanya self efficacy, keyakinan nilai akan tugas, serta orientasi tujuan penguasaan yang memiliki hubungan dengan belajar berdasar regulasi diri. Penelitian Marcou dan Philippou (2005) juga menunjukkan bahwa keyakinan motivasi seperti adanya self efficacy, keyakinan akan tugas, serta orientasi tujuan memiliki hubungan dengan belajar berdasar regulasi diri dalam pemecahan masalah matematika pada anak sekolah dasar.
xxvii
Atas dasar dari keseluruhan pemaparan permasalahan yang telah peneliti uraikan serta pemaparan dari penelitian-penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik dan menganggap perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan mengkaitkan variabel yang spesifik lagi yaitu keberfungsian keluarga dan daya juang dengan belajar berdasar regulasi diri remaja.
B. Rumusan Permasalahan Rendahnya belajar berdasar regulasi diri remaja diduga disebabkan oleh dua faktor yaitu: rendahnya fungsi keluarga dan rendahnya motivasi remaja dimana hal ini merujuk pada daya juang remaja. Rendahnya fungsi keluarga yang dimiliki oleh remaja dapat dilihat dari perilaku yang dimunculkan oleh keluarga seperti: (a) status ayah ibu yang berpisah atau terjadinya konflik, (b) orang tua yang sibuk bekerja, (c) perbedaan pola kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anggota keluarga, (d) komunikasi yang kurang baik antara remaja dan orang tua, (e) tidak didapatnya perhatian dan dukungan penuh dari orang tua di dalam pembelajaran, serta (f) kondisi lingkungan tempat tinggal keluarga yang tidak kondusif yakni di dekat pasar dan terminal. Rendahnya daya juang remaja dilihat dari perilaku yang dimunculkan oleh remaja seperti: (a) remaja sering merasa malas dan bosan dalam belajar, (b) remaja banyak mengeluh, tidak berinisiatif untuk menyelesaikan tugas, lebih memilih menunggu instruksi dari guru terkait dengan tugas dan latihan yang diberikan, serta bersikap pasrah, (c) remaja tidak antusias dalam mengerjakan tugas dan memilih untuk menyontek tugas teman.
xxviii
Keberfungsian keluarga dan daya juang merupakan hal penting bagi belajar berdasar regulasi diri remaja. Fungsi keluarga ditunjukkan dengan dijalankannya peran serta tugas dari keluarga dimana bertujuan bagi pertumbuhan dan perkembangan kesejahteraan anggota keluarga. Daya juang ditunjukkan dengan kemampuan yang dimiliki oleh remaja dalam menghadapi kesulitan dan tantangan di dalam belajar dengan senantiasa terus ulet dan tekun agar nantinya tercapai tujuan dalam belajar. Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Adakah hubungan antara keberfungsian keluarga dan daya juang dengan belajar berdasar regulasi diri remaja”?.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini untuk menguji secara empirik hubungan antara keberfungsian keluarga dan daya juang dengan belajar berdasar regulasi diri remaja.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi disiplin ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan, psikologi keluarga, dan psikologi positif. Serta diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi para pendidik di sekolah dan orang tua terkait dengan kajian tentang keberfungsian keluarga, daya juang, serta belajar berdasar regulasi diri remaja dalam usaha untuk meningkatkan prestasi belajar remaja.
xxix
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai belajar berdasar regulasi diri sebelumnya sudah banyak dilakukan oleh peneliti yang berasal dari luar negeri ataupun peneliti yang berasal dari dalam negeri. Adapun beberapa penelitian terdahulu dari dalam negeri yang memiliki kesamaan pada satu variabel yakni variabel belajar berdasar regulasi diri dengan penelitian ini adalah: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Selarosa (2010) yang berjudul “Hubungan Pembelajaran Berpusat pada mahasiswa dan Locus of Control Internal dengan Belajar Berdasar Regulasi Diri pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta”. Penelitian Selarosa menggunakan 50 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang mengikuti kelas mata kuliah Psikologi Pendidikan sebagai subjek penelitiannya. Dua variabel bebas yang digunakan Selarosa di dalam penelitiannya adalah: pembelajaran berpusat pada mahasiswa dan locus of control internal. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Polli (2010) yang berjudul “Hubungan antara Pembelajaran yang Berpusat pada Mahasiswa dan Persepsi Dukungan Sosial dengan Belajar Berdasar Regulasi Diri pada Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada”. Polli menggunakan 163 mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Psikologi Pendidikan sebagai subjek penelitiannya. Dua variabel bebas yang digunakan Polli di dalam penelitiannya adalah: pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa dan persepsi dukungan sosial. 3. Penelitian yang dilakukan oleh Djamhoer (2010) dengan judul penelitian “Hubungan Dukungan Sosial dan Konsep Diri Akademik dengan Belajar Berdasar
xxx
Regulasi Diri pada Siswa kelas XII SMA “P” I Bandung”. Djamhoer menggunakan subjek penelitian 120 siswa kelas XII di salah satu SMA yang ada di kota Bandung. Dua variabel bebas yang digunakan di dalam penelitian Djamhoer adalah dukungan sosial dan konsep diri akademik. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Alsa (2005) dengan judul penelitian “ Program Belajar, Jenis Kelamin, Belajar Berdasar Regulasi Diri dan Prestasi Belajar Matematika pada Siswa SMA Negeri di Yogyakarta”. Alsa menggunakan 186 siswa SMA program akselerasi dan program reguler yang ada di
kota Yogyakarta.
Variabel pendukung yang digunakan Alsa di dalam penelitiannya adalah program belajar, jenis kelamin, serta prestasi belajar. Letak perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Selarosa, Polli, Djamhoer, dan Alsa dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada subjek penelitian dan variabel bebas yang digunakan. Peneliti menggunakan remaja awal yang duduk di bangku SLTP sebagai subjek penelitian, sedangkan dua variabel bebas yang akan peneliti pergunakan adalah variabel keberfungsian keluarga dan variabel daya juang. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2008) berjudul “Efektivitas Intervensi
Keterampilan
Self
Regulated
Learning
dan
Keteladanan
dalam
Meningkatkan Kemampuan Belajar Mandiri dan Prestasi Belajar Mahasiswa Pendidikan Jarak Jauh”. Penelitian yang dilakukan Darmayanti merupakan sebuah intervensi yang diberikan kepada mahasiswa Pendidikan Jarak Jauh tahun pertama di Program Studi Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Terbuka. Tiga intervensi yang ditawarkan adalah intervensi keteladanan, intervensi
xxxi
keterampilan self regulated learning, dan intervensi keteladanan dan keterampilan SRL. Variabel tergantung pada penelitian Darmayanti ini adalah kemampuan mahasiswa untuk belajar mandiri dan prestasi belajar mahasiswa. Letak perbedaan penelitian Darmayanti dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti terletak pada subjek penelitian dan variabel bebas yang digunakan. Penelitian yang akan dilakukan peneliti untuk menguji “Hubungan antara Keberfungsian Keluarga dan Daya Juang dengan Belajar Berdasar Regulasi Diri pada Remaja”. Peneliti menggunakan dua variabel bebas yakni keberfungsian keluarga dan daya juang dan menggunakan remaja awal yang duduk di bangku SLTP sebagai subjek penelitian.
Berdasarkan dari penjelasan tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa belum ditemukan penelitian sebelumnya yang mengkaitkan hubungan antara keberfungsian keluarga dan daya juang dengan belajar berdasar regulasi diri pada remaja.
xxxii