BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Penyakit gastrointestinal seperti dispepsia, peptic ulcer (PU), dan gastric ulcer (GU) merupakan penyakit yang umum dialami oleh penduduk dunia saat ini. Penyakit-penyakit ini mempengaruhi jutaan manusia dan menyebabkan dampak ekonomi seperti biaya kesehatan dan absensi kerja, di samping juga mengurangi kualitas hidup pasien. Secara umum, penyakit-penyakit tersebut disebabkan oleh hipersekresi asam lambung oleh sel-sel parietal mukosa lambung. Kondisi kelebihan asam ini dapat distimulasi oleh kafein, alkohol, obat-obat antiinflamasi non steroid (AINS), stress, dan bakteri misalnya Helicobacter pylory (Miller, 1987; Konturek et al., 1999; Bandyopadhyay et al., 2002). Selain itu rokok dan kurangnya asupan nutrisi juga dapat meningkatkan insidensi terjadinya gastric ulcer (Belaiche et al., 2002). Obat-obat AINS merupakan penyebab paling umum terjadinya gastrointestinal ulcer karena penggunaannya yang begitu luas dalam pengobatan dan 1-4% pengguna AINS
mengalami komplikasi saluran
gastrointestinal (Bombardier et al., 2000). Banyak pengobatanyang tersedia untuk mengobati gastric ulcer seperti proton pump inhibitor (PPI), antagonis reseptor histamin H2, antasida, dan antikolinergik. Obat-obat ini menyebabkan efek samping seperti reaksi alergi, aritmia, gynecomastia dan lain-lain (Chan et al., 2002 dan Schöll et al., 2005). PPI
merupakan
pilihan
untuk
ko-terapi
obat-obat
AINS
(D’Argenio, 2008). Tjandrawinata et al. (2013) menyebutkan bahwa penggunaan histamine blocker dan PPI sebagai pengatur kelebihan asam lambung memiliki keterbatasan karena menimbulkan efek samping berupa nyeri kepala, mual, muntah, dan bahkan inflamasi hidung. Oleh karena itu, berbagai penelitian dilakukan untuk menemukan alternatif agen antiulcer alami, baik dari tumbuhan maupun hewan. Berbagai pihak, khususnya yang berada di bidang kesehatan dan pengobatan berusaha untuk menemukan obat untuk mengatasi penyakit tersebut. Beberapa diantaranya adalah kolaviron dari Garcinia kola Heckel sebagai anti-ulcerogenic dan PPI (Onansawo et al., 2011), ekstrak metanolik Cissus quadrangularis Linn. sebagai PPI (Yadav et al., 2012) dan produk DLBS2411 yang dikembangkan PT. Dexa Medica. Produk ini merupakan fraksi bioaktif ekstrak air kayu manis (Cinnamomum burmannii Nees&Th. Nees) yang diindikasikan sebagai pereduksi asam lambung dan gastroprotector dengan mekanisme PPI dan mengurangi sintesis pompa proton.Kandungan DLBS2411 yang berupa senyawa fenolik yang belum teridentifikasi diduga merupakan senyawa yang berperan dalam penghambatan H+/K+ ATPase (Tjandrawinata et al., 2013). Penelitian subkronis ekstrak kayu manis (EKM) dalam campuran pernah dilakukan yakni EKM dicampur ekstrak bungur selama 90 hari (Wagiyanti, 2013) dan EKM dicampur ekstrak sirih merah selama 28 hari (Safithri et al., 2012). Selain itu, studi toksisitas akut 14 hari dosis tunggal dan subkronis 28 hari dosis berulang ekstrak metanolik Cinnamomum burmannii pada tikus galur SpragueDawley dengan pemberian per oral pernah dilakukan oleh Ahmad et al. (2013).
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekstrak tidak bersifat toksik baik akut maupun subkronis. Oleh karena belum pernah dilakukan uji toksisistas kronis baik EKM maupun fraksi bioaktif DLBS2411, maka perlu dilakukan penelitian mengenai studi toksisitas kronis untuk mengevaluasi keamanan penggunaan sediaan ini sebagai gastroprotector dalam jangka panjang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu: 1.
Bagaimanakah gejala klinis yang muncul, perubahan berat badan, asupan makanan, dan asupan minuman akibat pemberian berulang sampel DLBS2411 selama 180 hari ?
2.
Bagaimanakah perubahan parameter biokimia darah yang meliputi kolesterol total, protein total, albumin, glukosa darah, kreatinin total, bilirubin, SGPT, dan SGOT akibat pemberian berulang sampel DLBS2411 selama 180 hari?
3.
Bagaimanakan hubungan antara dosis pemberian DLBS2411 dengan wujud efek toksik ditinjau dari parameter kimia darah? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1.
Gejala klinis yang muncul, perubahan berat badan, asupan makanan, dan asupan minuman akibat pemberian berulang sampel DLBS2411 selama 180 hari,
2.
Perubahan parameter biokimia darah yang meliputi kolesterol total, protein total, albumin, glukosa darah, kreatinin total, bilirubin, SGPT, dan SGOT akibat pemberian berulang sampel DLBS2411 selama 180 hari,
3.
Hubungan dosis pemberian DLBS2411 dengan wujud efek toksik ditinjau dari parameter kimia darah. D. Manfaat Penelitian
1.
Bagi peneliti a.
Mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan.
b.
Mengembangkan daya nalar, analisis, dan kompetensi dalam bidang penelitian terutama bidang kefarmasian
2.
Bagi Perguruan Tinggi a.
Sebagai perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi Indonesia.
b.
Menjalin kerjasama antara dosen pengajar dan mahasiswa dalam bidang pengembangan keilmuan.
c.
Mewujudkan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta sebagai World Class University dan Research Center.
3.
Bagi Masyarakat Mengetahui informasi keamanan penggunaan produk obat terutama herbal
berbasis bukti penelitian ilmiah.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Kayu Manis (Cinnamomi burmannii Nees&Th. Ness) a.
Kandungan kimia Minyak atsiri kayu manis mengandung senyawa-senyawa seperti
kamfer, safrol, sinamil aldehid, sinamil asetat, terpen sineol, sitral, sitronela, polifenol dan benzaldehida (Perry, 1980). Komponen terbesar adalah sinamaldehida 55%-65% dan eugenol 4%-8%, beberapa jenis aldehida, benzil benzoat dan felandren yang terdapat dalam kulit batangnya (Tjitrosoepomo, 1994). Berdasarkan penelitian Wang et al. (2009) komponen mayor minyak atsiri yang terkandung adalah trans-sinamaldehid (60,72%), eugenol (17,62%) dan kumarin (13,39%). Dari sumber lain, kandungan kimia Cinnamomum burmannii cortex adalah minyak atsiri 13% dengan kandungan kimia utama sinamaldehida (60-85% dari komponen minyak atsiri), tanin, damar, lendir, kalsium oksalat. Selain itu terdapat juga eugenol, sineol, saponin, dan flavonoid (Anonim, 1977; Syamsuhidayat & Hutapea, 1991; Wijayakusuma et al., 1996). b.
Efek farmakologi Dari berbagai penelitian ilmiah yang telah dilakukan, diketahui bahwa
ekstrak kayu manis memiliki beberapa aktivitas farmakologis. Ekstrak air kayu manis memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri patogen dalam makanan seperti E. coli, Salmonella anatum, S. aureus, dan B. cereus. Aktivitas antibakteri tersebut disebabkan kandungan trans-sinamaldehid, proantosianidin, dan senyawa-senyawa fenolik (Shan, 2007). Ekstrak air
kayu manis memberikan efek inhibisi terhadap virus Epstein Barr dan karsinoma
nasofaringeal
sehingga
berpotensi
sebagai
antitumor
(Matsumotoet al., 1991). Penelitian Tjandrawinata (2013) menunjukkan bahwa fraksi bioaktif ekstrak air kayu manis (DLBS2411) memiliki aktivitas sebagai penghambat pompa proton dan mengurangi sintesis reseptor
pompa
proton (diuji dengan
metode revese-transcription
polymerase chain reaction) sehingga berfungsi sebagai pereduksi asam lambung dan gastroprotector. Berdasarkan hasil studi Hwanget al. (2001), ekstrak metanol dari kayu manis memiliki aktivitas antitrombosis. Pengujian ekstrak metanol dari kayu manis terhadap sel RAW 264.7 yang distimulasi lipopolisakarida memberikan efek inhibisi pelepasan NO yang berpotensi sebagai antioksidan (Choiet al., 2005). Ekstrakair antihiperglikemik
kayu
manis
dengan
juga
aktivitas
dilaporkan meniru
memiliki
aktivitas
insulin/insulin-mimetic
(Broadhurstet al., 2000) dan meningkatkan uptake glukosa dan sintesis glikogen (Jarvil-Tayloret al., 2001). Cao et al. (2007) melaporkan bahwa ekstrak larut air dari kayu manis memiliki aktivitas insulin-like yang mampu menurunkan ekspresi pada IRβ protein dan IRmRNA yang berefek pada mRNA GLUT-4. Serbuk simplisia kayu manis dapat meningkatkan kontrol glukosa darah terutama pada pasien DM tipe-2 (Khanet al., 2003). Kombinasi ekstrak air kayu manis dan daun bungur (Lagerstroemia speciosa) mampu meningkatkan sensitivitas insulin terhadap reseptornya
melalui aktivasi ekspresi gen GLUT-4, PPAR-γ, dan protein lain sehingga kadar glukosa darah dapat terkontrol (Tjandrawinataet al., 2011). c.
Data toksisitas Kontraindikasi dan toksisitas dari penggunaan ekstrak ini belum
diketahui, namun pernah dilaporkan adanya reaksi alergi kulit dan mukosa. Munculnya alergi ini disebabkan oleh kandungan sinamaldehid pada pasta gigi, parfum, dan permen karet (Ravindran et al., 2004).Dari studi pustaka yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa penggunaan ekstrak kayu manis secara akut dan subkronis belum menunjukkan efek toksik. Menurut hasil penelitian Wagiyanti (2013), pemberian kombinasi ekstrak kayu manis dengan daun bungur secara subkronis dengan dosis 1,575 mg/kgBB; 3,15 mg/kgBB; dan 6,30 mg/kgBB tidak memperlihatkan gejala toksik klinis. Hasil histopatologi dari paru, jantung, pankreas, dan limpa tidak menunjukkan adanya ketoksikan pada organ-organ tersebut.Toksisitas yang dihasilkan dari ekstrak kayu manis disebabkan oleh kandungan kumarin yang tinggi mengakibatkan terjadinya hepatotoksisitas (Wang et al., 2013). 2.
Sampel DLBS2411batch221012 DLBS2411 merupakan fraksi bioaktif dari ekstrak air kulit kayu
Cinnamomum burmanii Ness.&Th. Nees yang diproduksi oleh PT. Dexa Medica. Produk tersebut dilaporkan memiliki efek gastroprotector. DLBS sendiri merupakan singkatan dari Dexa Medica Laboratories of Biomolecular Sciences. Berdasarkan Certificate of Analysis, sampel DLBS2411 berupa serbuk berwarna merah coklat, mengkilat, bau aromatik, dengan rasa kelat dan agak
pahit. Serbuk cukup larut dalam air panas dan sedikit larut dalam etanol 96 %. Identifikasi dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) memberikan bercak fluoresensi biru pada 366 nm dengan Rf 0,6. Selain itu, memberikan bercak hijau dan kuning pada cahaya tampak setelah dilakukan derivatisasi dengan Rf masingmasing 0,5 dan 0,7. Total kandungan fenolik yang dilaporkan sebesar 27,82%. Angka total mikroba aerobik dari sediaan ini kurang dari 104 cfu/g, sedangkan Angka Kapang Khamir dari sediaan ini kurang dari 103 cfu/g. Cemaran Escherichia coli, Salmonella sp, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa memiliki nilai negatif/10 gram. Tidak ditemukan residu kontaminan logam berat (Cadmium, Timbal, Merkuri) dan pestisida dalam sediaan ini. Certificate of Analysis dari sediaan ini terdapat dalam lampiran 33. 3.
Toksikologi a.
Pengertian toksikologi Pada awalnya toksikologi didefinisikan sebagai ilmu tentang racun.
Namun, pada kenyataannya definisi ini dirasakan kurang sesuai, karena bahan yang tidak berbahaya pun dapat menimbulkan keracunan jika masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang cukup. Berdasarkan fakta ini, Paracelsus (1493-1541) menyatakan bahwa semua senyawa adalah racun, dosis yang tepatlah pembeda antara obat dan racun (Doull and Bruce, 1986). Oleh karena itu, definisi toksikologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, muncul definisi-definisi baru dari toksikologi. Menurut Loomis (1978) toksikologi didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari aksi berbahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu. Oleh Doull dan Bruce (1986), toksikologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari berbagai pengaruh zat kimia yang merugikan atas sistem biologi. Sedangkan definisi toksikologi menurut Timbrell (1989) adalah ilmu yang mempelajari antaraksi antara zat kimia dan sistem biologi. b.
Asas umum toksikologi Timbulnya efek toksik suatu zat kimia terjadi melalui beberapa proses.
Menurut Donatus (2001),awalnya makhluk hidup terpapar oleh toksikan. Kemudian setelah diabsorpsi dari tempat paparannya maka toksikan atau metabolitnya akan terdistribusi ke tempat aksi (sel sasaran atau reseptor) tertentu yang ada di dalam diri makhluk hidup. Interaksi antara toksikan atau metabolitnya dengan sel sasaran atau reseptor di tempat aksi inilah yang menimbulkan pengaruh berbahaya atau efek toksik dengan wujud serta sifat tertentu. Efek toksik sangat bervariasi dalam sifat, organ sasaran, maupun mekanisme kerjanya. Pemahaman lebih mendalam mengenai ciri efek toksik bermanfaat untuk menilai bahayanya bagi kesehatan dan untuk mengembangkan upaya pencegahan dan terapi (Lu, 1995). Berdasar alur peristiwa timbulnya efek toksik, ada empat asas umum yang perlu dipelajari dan dipahami dalam toksikologi. Empat asas tersebut adalah kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi, wujud dan sifat efek toksik atau pengaruh berbahaya racun (Donatus, 2001). Pemahaman atas empat asas umum tosikologi ini dapat dipergunakan untuk evaluasi keberbahayaan suatu zat. Evaluasi ini kemudian bermanfaat untuk
menentukan atau memperkirakan batas keamanan suatu zat bila mengenai atau digunakan pada manusia serta cara-cara menggunakannya supaya tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009). 1)
Kondisi efek toksik Menurut Loomis (1978), kondisi efek toksik suatu senyawa
adalah berbagai keadaan atau faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas absorbsi, distribusi, dan eliminasi senyawa tersebut di dalam tubuh makhluk hidup yang pada gilirannya akan menentukan keberadaan zat kimia tersebut secara utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran atau efektivitas antaraksinya dengan sel sasaran. Jumlah zat kimia ataupun metabolitnya di sel sasaran akan mempengaruhi efek toksiknya (Priyanto, 2009). Kondisi efek toksik meliputi kondisi pemejanan (kondisi paparan zat kimia) dan kondisi makhluk hidup (Donatus, 2001). Kondisi pemejanan yang mempengaruhi efek toksik adalah jenis, jalur, lama, kekerapan, saat, dan takaran pemejanan. Jenis pemejanan dibedakan menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Keduanya dibedakan berdasarkan lama dan kekerapan pemejanan sebagai batas kurun waktu pemejanan terhadap makhluk hidup (Donatus, 2001). Pemejanan akut adalah pemejanan yang dilakukan kurang dari 24 jam. Akan tetapi pada toksikologi klinis, pemejanan dalam kurun waktu 72 jam masih dianggap sebagai pemejanan akut. Pemejanan kronis didefinisikan
sebagai
pemejanan
yang
dilakukan
secara
berkesinambungan atau berulang dalam suatu periode waktu pemejanan tertentu yang lebih lama dari pada periode waktu pemejanan akut (Donatus, 2001). Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi dan patologi yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan keefektifan antaraksi kedua ubahan tersebut. Termasuk dalam kondisi fisiologis makhluk hidup yang berpengaruh terhadap efek toksik adalah berat badan, usia, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan aliran darah, status gizi, kehamilan, jenis kelamin, irama sikardian, dan irama diurnal. Keadaan patologis meliputi sejumlah penyakit diantaranya penyakit saluran cerna, kardiovaskuler, hati, dan ginjal (Donatus, 2001). Keadaan patologis merupakan faktor penting
yang
harus
dipertimbangkan
dalam
pelaksanaan
uji
toksikologi, terutama berkaitan dengan pemilihan dan penentuan hewan uji (Donatus, 2001). 2)
Mekanisme efek toksik Mekanisme aksi toksik suatu zat beracun berguna untuk
mengetahui penyebab timbulnya keracunan yang berkaitan dengan wujud dan sifat efek toksik yang terjadi. Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan sifat dan tempat kejadian, sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya, serta risiko penumpukan racun di dalam gudang penyimpanan tubuh (Donatus, 2001).
Mekanisme aksi berdasar sifat dan tempat kejadian, secara patologi dapat dibagi menjadi dua yaitu mekanisme luka intrasel dan ekstrasel. Mekanisme luka intrasel adalah luka yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di dalam sel, sehingga mekanisme ini sering disebut mekanisme langsung atau primer. Tempat aksinya meliputi membran sel (lipid, protein, reseptor), inti sel (DNA), sitosol (enzim), mitokondria (produk energi), dan retikulum endoplasmik (sintesis protein). Luka ekstrasel terjadi secara tidak langsung karena racun beraksi di lingkungan luar sel. Mekanisme ini disebut juga mekanisme tak langsung atau sekunder (Donatus, 2001). Lingkungan luar berpengaruh terhadap kelangsungan hidup sel. Keberadaan zat kimia di lingkungan sel dapat menggangu aktivitas yang dapat menimbulkan perubahan struktur dan fungsi sel. 3)
Wujud efek toksik Wujud efek toksik suatu racun dapat berwujud perubahan
biokimia, fisiologi (fungsional), dan struktural. Perubahan ini memiliki sifat yang khas, yaitu terbalikkan dan tak terbalikkan (Donatus, 2001). Respon perubahan
biokimia
merupakan perubahan atau
kekacauan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikkan. Respon perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun dengan reseptor aktif enzim yang
terbalikkan, sehingga mempengaruhi fungsi homeostasis tertentu (Donatus, 2001). Termasuk dalam wujud efek toksik biokimia antara lain penghambatan respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta gangguan pasokan energi. Termasuk dalam wujud efek toksik fungsional antara lain anoksia, gangguan pernapasan, gangguan sistem saraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau hipoglikemia, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, perubahan kontraksi atau relaksasi otot, serta hiper atau hipotermi (Priyanto, 2009). Perubahan fungsional atau biokimia seringkali merupakan tahap awal dari terjadinya perubahan struktural (Priyanto, 2009). Respon perubahan struktural meliputi degenerasi, proliferasi, dan inflamasi. Perubahan degenerasi meliputi atropi, akumulasi intrasel (yang paling sering
dijumpai
adalah
penumpukan
air
dan
lemak),
serta
nekrosis.Wujud efek toksik yang sama dapat memperantai timbulnya gejala klinis ketoksikan yang berbeda pada tiap individu. 4)
Sifat efek toksik Menurut Loomis (1978) secara umum sifat efek toksik suatu
racun dapat dibedakan menjadi terbalikkan (reversible) dan tak terbalikkan (irreversible). Priyanto (2009) menjabarkan ciri dari efek toksik yang terbalikkan yaitu :
a)
Bila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan kembali ke keadaan semula,
b)
Efek toksik yang ditimbulkan akan segera kembali ke kondisi normal,
c)
Ketoksikan racun tergantung pada takaran serta kecepatan absorpsi, distribusi, dan eliminasi racun.
Ciri dari efek toksik yang tak terbalikkan yaitu : a)
Kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan efek toksik,
b)
Efek yang ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka panjang sama efektifnya dengan pemaparan dosis besar jangka pendek.
Zat yang dapat menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi atau sangat sukar dieliminasi (Priyanto, 2009). c.
Uji toksisitas Uji toksisitas dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu uji toksisitas
tak khas dan uji toksisitas khas. Uji toksisitas tak khas adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik sesuatu senyawa pada berbagai macam hewan uji. Sedangkan uji
toksisitaskhas adalah uji yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek yang khas suatu senyawa pada berbagai macam hewan uji. Uji toksisitas tak khas meliputi uji-uji berikut ini : 1)
Uji toksisitas akut, merupakan uji yang dirancang untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam masa yang singkat setelah pemejanan dengan takaran dosis tunggal tertentu pada hewan uji (sekurang-kurangnya dua jenis hewan roden dan nirroden, jantan maupun betina). Pengamatan selama 24 jam atau pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Uji ini akan menghasilkan nilai LD50 dan penampakan klinis dan morfologis efek toksik senyawa uji (Donatus, 1990).
2)
Uji toksisitas subkronis atau subakut merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji selama kurang lebih tiga bulan. Uji ini dilakukan untuk mengetahui spektrum efek toksik senyawa uji, serta untuk memperlihatkan hubungan spektrum efek toksik dengan takaran dosis (Donatus, 1990).
3)
Uji toksisitas kronis, serupa dengan uji subkronis. Perbedaannya adalah tujuan, lamanya pemejanan senyawa uji pada hewan uji, masa pengamatan, serta pemerikasaannya. Uji ini dilakukan selama lebih dari tiga bulan (hampir sebagian besar masa hidup hewan uji). Penjelasan lebih lanjut terdapat pada halaman 19.
Uji toksisitas khas antara lain : 1)
Uji potensiasi, merupakan uji untuk melihat efek suatu senyawa dengan adanya senyawa lain yang mungkin meningkatkan ketoksikan senyawa tersebut. Tatacara uji potensiasi mirip dengan uji ketoksikan akut, namun menggunakan jumlah senyawa uji yang lebih banyak, dengan tolok ukur kualitatif harga LD50 gabungan senyawa relatif terhadap LD50 masingmasing senyawa tunggalnya (Loomis, 1978),
2)
Uji kemutagenikan, merupakan uji yang ditujukan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa terhadap sistem kode genetik. Uji kemutagenikan suatu senyawa dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo (Donatus, 1990),
3)
Uji kekarsinogenikan, merupakan uji untuk mengetahui efek suatu senyawa uji terhadap timbulnya tumor pada hewan uji,
4)
Uji keteratogenikan, merupakan uji yang ditujukan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa terhadap janin dalam hewan bunting. Pemejanan dilakukan pada masa organogenesis. Masa pengamatan dimulai sejak diakhirinya masa bunting hewan uji, yaitu 12-14 jam sebeleum waktu kelahiran normal melalui bedah seisar (Donatus, 1990),
5)
Uji reproduksi merupakan uji yang bertujuan untuk menentukan pengaruh senyawa ataskapasitas reproduksi hewan uji. Senyawa kimia dapat berefek toksik pada ovulasi, konsepsi, implantasi,
lamanya kebuntingan, pertumbuhan embrio, partus, laktasi, dan pertumbuhan pasca lahir (Donatus, 1990), 6)
Uji kulit dan mata merupakan uji yang bersifat lokal. Efek lokal tersebut meliputi iritasi primer, korosi, sensitisasi kutan, fototoksis, dan fotoalergi. Efek iritasi bersifat terbalikkan, sedangkan efek korosi tidak. Sensitisasi kutan dan fotoalergi terjadi melalui mekanisme imunogenik. Pada sensitisasi kutan, respon toksik terjadi tanpa melibatkan cahaya, sedangkan fotoalergi melibatkan cahaya. Efek fototoksik hanya melibatkan penyinaran cahaya pada daerah tertentu tanpa mekanisme imunogenik.
7)
Uji perilaku merupakan uji yang bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas lokomotor hewan uji atas pengaruh suatu senyawa. Uji ini bermanfaat untuk mengetahui pengaruh atau efek toksik suatu senyawa pada sistem saraf pusat atau otak (Loomis, 1978).
4.
Uji Toksisitas Kronis Uji toksisitas kronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang
diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji selama lebih dari tiga bulan. Uji ini bertujuan untuk menegaskan no-observed-adverse-effect levels (NOAEL) yang digunakan untuk menentukan masukan harian yang dapat diterima, batas toleransi zat kimia dalam makanan atau air, dan/atau batas keamanan suatu senyawa (WHO, 1978).
Berdasarkan prosedur pelaksanaannya, hewan uji dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol. Setiap kelompok terdiri dari hewan rodent jantan dan betina masing-masing minimal 20 ekor. Jika menggunakan hewan nirrodent, jumlah tiap kelompok 4 ekor untuk masingmasing jantan dan betina (OECD, 2009). Dosis sediaan uji dibagi menjadi tiga peringkat dosis. Dosis tertinggi adalah dosis yang menunjukkan gejala efek toksik yang nyata atau mematikan beberapa hewan uji. Dosis terendah adalah dosis yang sama sekali tidak menimbulkan gejala efek toksik, biasanya dosis terapinya (setingkat harga ED50) (Donatus, 2001). Sediaan uji diberikan melalui jalur pemberian sesuai dengan yang akan diterapkan pada manusia, tergantung tujuan pengujian, sifat fisikokimia bahan uji, dan bioavailabilitasnya dengan frekuensi pemberian satu kali sehari selama masa uji yang ditetapkan (OECD, 2009). Hal-hal yang menjadi perhatian utama pada uji ini antara lain : a. Perubahan bobot badan yang diukur paling tidak 7 hari sekali pada 13 minggu pertama dan 28 hari sekali setelahnya b. Masukan makanan dan minum untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan yang diukur paling tidak 7 hari sekali c. Gejala klinis umum yang diamati setiap hari d. Pemerikasaan hematologi e. Pemeriksaan kimia darah f. Pemerikasaan analisis urin
g. Pemeriksaan histopatologi organ pada akhir uji coba (Loomis, 1978; OECD, 2009). 5.
OECD 452 OECD (The Organization for Economic Co-operation and Development) adalah organisasi dunia yang mempromosikan kebijakankebijakan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
ekonomi
dan
sosial
masyarakat di seluruh dunia. OECD menyediakan forum di mana pemerintah dapat bekerja sama untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi untuk masalah umum. OECD bekerja dengan pemerintah untuk memahami pendorong perubahan ekonomi, sosial dan lingkungan. Selain itu, OECD juga mengukur produktivitas dan arus global perdagangan dan investasi, menganalisis dan membandingkan data untuk memprediksi tren masa depan, dan menetapkan standar internasional tentang berbagai hal, dari pertanian dan pajak sampai keamanan bahan kimia (Anonim, 2013b). OECD membuat banyak guideline untuk berbagai penelitian, salah satunya yaitu OECD Guideline for the Testing of Chemicals.Guideline ini memberikan panduan dalam pengujian keamanan dari berbagai senyawa kimia, termasuk pestisida dan kima industri. Penelitian ini menggunakan OECD 452 Chronic Toxicity Studies. Guideline 452 yang asli diadopsi pada tahun 1981 dan direvisi dengan mempertimbangkan kesejahteraan hewan uji dan peraturan-peraturan yang dipersyaratkan. Uji toksisitas kronis kebanyakan menggunakan hewan rodent sehingga guideline ini dibuat untuk keperluan itu. Jika pengujian akan dilakukan pada hewan nirrodent, maka
dilakukan kombinasi antara Guideline 452 dan Guideline 409 Repeated Dose 90-day Oral Toxicity Study in Non-Rodents. Guideline ini fokus pada pemejanan oral dengan tujuan untuk mengidentifikasi toksisitas kronis suatu bahan kima, mengidentifikasi organ sasaran, mengetahui hubungan dosisrespon, mengidentifikasi no-observed-adverse-effect level (NOAEL), dan untuk memprediksi efek toksisitas kronis pada manusia. Prinsip pengujiannya yaitu senyawa uji diberikan setiap hari dalam dosis bertingkat untuk beberapa kelompok hewan coba, biasanya untuk jangka waktu 12 bulan, meskipun jangka waktu yang lebih lama atau lebih pendek juga dapat dipilih. Penggunaan durasi paparan selain 12 bulan harus ada justifikasi yang jelas, khususnya dalam kasus durasi lebih pendek. Senyawa uji biasanya dipejankan dengan rute oral meskipun pengujian melaui inhalasi atau dermal rute juga mungkin tepat. Desain penelitian juga dapat mencakup satu atau lebih pengorbanan di antara waktu pengujian, misalnya pada 3 dan 6 bulan, dan kelompok-kelompok tambahan hewan dimaksudkan untuk mengakomodasi hal ini. Selama periode pemejanan, diamati adanya tanda-tanda toksisitas. Hewan yang mati atau dibunuh selama tes dinekropsi dan diakhir pengujian hewan yang masih hidup juga dikorbankan dan dinekropsi (OECD, 2009). 6.
Parameter Kimia Darah Analisis parameter kimia darah dapat dihubungkan dengan evaluasi resiko karena perubahan pada sistem hematologi memiliki nilai prediktif
yang tinggi dalam suatu pengujian (Adebayo et al., 2010). Parameter kimia darah meliputi : a.
Glukosa Glukosa merupakan produk akhir metabolisme karbohidrat dan
merupakan sumber energi utama untuk organisme hidup. Pada manusia, glukosa dalam darah diatur oleh insulin dan glukagon. Oleh insulin, kelebihan glukosa diubah menjadi glikogen lalu disimpan dalam liver dan otot untuk dipakai ketika diperlukan. Selain itu dapat juga diubah menjadi lemak dan disimpan di jaringan adiposa (Dorland, 1998). Sedangkan dalam kondisi kekurangan glukosa akan terjadi proses pemecahan glikogen menjadi glukosa yang diatur oleh adanya hormon glukagon (Reece, 2002). Kondisi menurunnya kadar glukosa dalam darah disebut hipoglikemia. Glukagon dan faktorfaktor glikemiknya dilepaskan ketika kadar glukosa darah 65-70 mg/dl. Pada 50-55 mg/dL akan muncul gejala hipoglikemia yang dapat teramati. Sedangkan kondisi kadar glukosa darah yang di atas normal disebut hiperglikemia (Bishop, 2010). b.
Kolesterol total Kolesterol total adalah hitungan total dari semua jenis kolesterol
dalam darah. Kolesterol merupakan senyawa lemak yang diproduksi di
liver
yang
biasanya
ditemukan
dalam
darah
(Anonim,
2014).Kolesterol adalah alkohol steroid tidak jenuh yang terdiri dari empat cincin dan ujung rantai samping C-H tunggal, sifat fisiknya
mirip dengan asam lemak. Kolesterol dapat diubah oleh liver menjadi asam-asam
empedu
primer
seperti
asam
kholat
dan
asam
khenodeoksikholat yang meningkatkan absorpsi lemak di usus dengan berlaku sebagai deterjen. Selain itu dalam jumlah kecil kolesterol dapat diubah oleh kelenjar adrenal, testis, dan ovari menjadi hormon steroid seperti glukokortikoid, mineralokortikoid, dan estrogen. Dengan irradiasi sinar matahari, kolesterol diubah menjadi Vitamin D3 di kulit setelah terlebih dahulu diubah menjadi 7-dehidrokolesterol (Bishop, 2010). Peningkatan kadar kolesterol terlihat pada gangguan lipid
familial dan
hipotiroidisme
dan
dianggap
sebagai faktor
risiko penyakit jantung (Anonim, 2014). c.
Kreatinin Kreatinin adalah produk pemecahan kreatin, yang merupakan
bagian penting dari otot. Kadar kreatinin dalam darah merupakan indikator baik atau tidaknya fungsi ginjal (Dugdale, 2011). Kadar kreatinin dalam darah akan tetap sama dari hari ke hari kecuali ada perubahan massa otot dan fungsi ginjal (Bishop, 2010). Kreatinin dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal. Ketika fungsi ginjal tidak normal, kadar kreatinin dalam arah akan meningkat karena kurangnya pengeluaran melaui urin (Dugdale, 2011). Kreatinin difiltrasi oleh glomerulus, tetapi tidak direabsorbsi oleh tubulus. Pengukuran kadar kreatinin digunakan untuk menentukan kecukupan fungsi ginjal dan keparahan dari kerusakan ginjal dan untuk memonitor perkembangan
penyakit ginjal. Indikasi adanya kerusakan ginjal adalah ketika konsentrasi kreatinin plasma meningkat dan kecepatan filtrasi glomerulus menurun. Kreatinin plasma relatif kurang sensitif dan tidak terukur sebelum kerusakan ginjal mencapai lebih dari 50% (Bishop, 2010). d.
Albumin Albumin adalah protein yang disintesis oleh liver. Albumin
bermuatan negatif dan larut di air. Fungsi dari protein ini adalah untuk menjaga tekanan osmotik dan mengangkut berbagai molekul yang disirkulasi oleh darah. Tingkat serum albumin ditentukan oleh kecepatan sintesis dan sekresi liver, pertukaran antara kompartemen intra dan ekstravaskuler, lymphatic uptake, perubahan volume distribusi, degradasi protein, dan penurunan berat badan (Friedman & Fadem, 2010). Faktor yang paling berpengaruh pada pengaturan sintesis albumin adalah asupan nutrisi dan penyakit (Rothschild et al., 1975). Rendahnya konsumsi protein memperlambat sintesis albumin oleh mRNA sehingga kadarnya dalam serum juga rendah (Kelman et al., 1972; Sakuma, 1987). Dalam
Bishop
(2010)
dijelaskan
beberapa
penyebab
menurunnya konsentrasi albumin dalam serum yaitu : kurangnya sumber asam amino yang terjadi pada malnutrisi dan malabsorpsi, penyakit
pada
liver
sehingga
sintesisnya
menurun,
protein-
losingenteropathy atau gastrointestinal loss karena keluarnya cairan intersisial pada inflamasi dan penyakit pada saluran intestin, terbuang melalui urin karena penyakit ginjal, hilang melalui kulit karena tidak adanya penahan seperti pada luka bakar ataupun dermatitis eksfoliatif, hipotiroidisme, pengenceran karena polidipsia atau cairan intravena, penyakit
akut,
analbuminemia
mutasi (tidak
sifat adanya
resesif albumin)
autosom atau
menyebabkan bisalbuminemia
(munculnya albumin yang memiliki karakter molekul tidak normal). Tingginya kadar albumin tidak terlalu penting secara klinik. Peningkatan level albumin hanya terlihat ketika dehidrasi atau infusi albumin yang banyak. e.
Protein total Pengujian protein total adalah pengukuran kasar dari seluruh
protein dalam plasma. Pengukuran protein total menggambarkan status gizi, penyakit ginjal, penyakit liver, dan banyak kondisi lainnya. Jika protein total abnormal, uji lebih lanjut harus ditunjukkan untuk mengetahui fraksi protein yang abnormal sehingga dapat didiagnosis secara spesifik (Bishop, 2010). Hipoproteinemia merupakan keadaan di mana kadar protein total di bawah interval normal. Penyebab rendahnya protein plasma adalah kehilangan protein yang berlebihan. Protein plasma dapat hilang oleh ekskresi melalui urin pada penyakit ginjal, kebocoran ke saluran gastrointestinal pada inflamasi sistem pencernaan, kehilangan
darah pada luka terbuka, pendarahan internal, dan luka bakar yang luas. Keadaan lain yang menjadi penyebab adalah malnutrisi dan malabsorpsi (Bishop, 2010). Hiperproteinemia merupakan kondisi peningkatan protein plasma total. Kondisi ini bukan disebabkan oleh penyakit tertentu, namun dikarenakan dehidrasi. Ketika cairan tubuh hilang dalam jumlah banyak, protein akan tetap tertinggal di pembuluh darah karena ukurannya
yang
besar,
sehingga
meskipun
jumlahnya tetap,
konsentrainya akan naik (Bishop, 2010). f.
Bilirubin Bilirubin adalah pigmen kekuningan yang ditemukan di
empedu, berupa cairan yang dibuat di liver. Sejumlah kecil sel darah merah yang sudah tua digantikan oleh sel-sel darah yang baru setiap hari. Bilirubin tertinggal setelah sel darah tersebut dihilangkan. Liver memecah bilirubin sehingga bilirubin dapat dikeluarkan dari tubuh melalui feses (Dugdale, 2013). g.
Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT) SGOT atau aspartate aminotransferase (AST) merupakan
enzim yang digolongkan dalam kelas transferase. Enzim ini umumnya dikenal sebagai transaminase dan terlibat dalam transfer gugus amino antara aspartat dan asam α-keto. Reaksi transaminasi penting dalam metabolisme perantara dikarenakan fungsinya pada sintesis dan
degradasi asam amino. Asam keto yang terbentuk dari reaksi akhirnya dioksidasi oleh siklus asam trikarboksilat untuk menyediakan sumber energi (Bishop, 2010). SGOT tersebar luas di jaringan manusia. Konsentrasi paling tinggi terdapat pada jaringan jantung, liver, dan otot rangka, dengan jumlah yang lebih kecil ditemukan di ginjal, pankreas, dan eritrosit. AST dijumpai dalam dua fraksi isoenzim yang terletak di sitoplasma dan mitokondria. Konsentrasi SGOT intraseluler 7000 kali lebih tinggi dibandingkan konsentrasi ekstraselulernya. Isoenzim sitoplasmik adalah bentuk utama yang terdapat di serum (Bishop, 2010). Penggunaan klinik dari SGOT terutama untuk mengevaluasi kelainan hepatoselular dan kerusakan otot rangka. Kenaikan SGOT sering terlihat pada embolisme pulmonari. SGOT juga naik karena kegagalan jantung kongestif, merefleksikan adanya kerusakan liver akibat kurangnya suplai darah pada organ ini. Kadar SGOT tertinggi ditemukan pada gangguan hepatoselular akut. Pada viral hepatitis, kadarnya mencapai 100 kali kadar normal. Gangguan otot rangka seperti muskular distrofi dan kondisi inflamasi menyebabkan peningkatan sebesar 4-8 kali dari normal (Bishop, 2010). h.
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT) SGPT atau alanine aminotransferase (ALT) adalah enzim
transferase dengan aktivitas enzimatik mirip dengan SGOT. Secara spesifik, SGPT mengkatalisis pemindahan gugus asam amino dari
alanin ke α-ketoglutarat dengan pembentukan glutamat dan piruvat. SGPT terdistribusi pada banyak jaringan, dengan konsentrasi paling tinggi di liver. SGPT dianggap enzim yang lebih liver-specific diantara enzim transferase lainnya (Bishop, 2010). Penerapan klinik dari uji SGPT terbatas untuk mengevaluasi gangguan hepatik. Kenaikan SGPT ditemukan pada gangguan hepatoselular dibandingkan ekstrahepatik atau gangguan penyumbatan intrahepatik. Pada kondisi inflamasi liver akut, kenaikan SGPT lebih tinggi daripada SGOT dan cenderung bertahan lebih lama (Bishop, 2010). F. LANDASAN TEORI Sampel DLBS2411 merupakan fraksi bioaktif ektrak air kayu manis (Cinnamomum burmannii Nees&Th. Nees). Menurut penelitian, Cinnamomum burmannii Nees&Th. Nees mengandung kumarin yang lebih tinggi dibandingkan species Cinnamomum yang lain. Pada tanaman, kumarin terdapat dalam bentuk bebas dan glikosida. Dengan ekstraksi menggunakan air panas, kedua bentuk ini dapat tersari ke dalam ekstrak. Kumarin diketahui dapat menyebabkan terjadinya hepatotoksisitas. Penelitian mengenai toksisitas akut 14 hari (dosis tunggal) dan subkronis 28 hari (dosis berulang) ekstrak metanolik kayu manis terhadap tikus SpragueDawley dengan dosis 500, 1000, dan 2000 mg/kgBB menunjukkan ektrak tersebut tidak menimbulkan efek toksik maupun kematian. Tidak ada perubahan signifikan terhadap kondisi umum, pertumbuhan, bobot organ, parameter hematologi, nilai
biokimiawi, dan keadaan makroskopi dan mikroskopi organ kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.Penelitian ekstrak kayu manis (EKM) dalam campuran pernah dilakukan yakni EKM dicampur ekstrak bungur selama 90 hari (subkronis) dengan dosis 1,575 mg/kgBB; 3,15 mg/kgBB; dan 6,30 mg/kgBB tidak memperlihatkan gejala toksik klinis. Hasil histopatologi dari paru, jantung, pankreas, dan limpa tidak menunjukkan adanya ketoksikan pada organorgan tersebut.EKM dicampur ekstrak sirih merah (Piper crocatum) dengan dosis 630, 1260, 1890 mg/kgBB per oral selama 28 hari menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada parameter, bobot badan, bobot organ, pola makan, hematologi, dan kimia darah (glukosa, kolesterol, trigliserida, kreatinin, SGPT, SGOT). Oleh
karena
itu,
untuk
mengetahuipengaruh
penggunaan
sampel
DLBS2411dalam jangka waktu yang lama terhadap munculnya efek toksik akibat dugaan adanya kumarin di dalamnya, dilakukan penelitian toksisitas kronis pada tikus galur Wistar dengan tinjauan terhadap parameter kimia darah. G. HIPOTESIS Sampel DLBS2411 yang diberikan berulang secara oral selama 180 hari pada tikus Wistar diduga menyebabkan gejala toksisitas, perubahan berat badan, asupan makanan, asupan minuman, dan perubahan parameter biokimia darah yang meliputi kolesterol total, protein total, albumin, glukosa darah, kreatinin total, bilirubin, SGPT, dan SGOT.