BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1.
Permasalahan Pada awal kemunculannya di zaman Renaissance, humanisme merupakan
sebuah gerakan yang mengkritisi metode pembelajaran dari para skolastis di sekolahsekolah katedral (cathedral school) di Italia, kemudian mengerucut pada perdebatan antara metode filsafat dengan retorika dalam ranah pendidikan. Perubahan makna gerakan humanisme dimulai pada abad ke-19. Humanisme mulai bergeser dari kritik metodologis pendidikan ke arah kemanusiaan. Sorotan utama dari gerakan humanisme adalah persoalan kebebasan manusia sebagai individu termasuk kebebasan dalam hal religiusitas. Akibat tuntutan kebebasan tersebut lahirlah aliran-aliran humanisme yang mengagungkan kemerdekaan manusia dan menempatkan manusia pada posisi sentral serta bebas nilai dalam semua bidang kehidupan. Kecenderungan yang kemudian menggejala adalah sekulerisme seperti humanisme yang diusung kaum eksistensialisme dengan tokohnya Jean-Paul Sartre. Abad kontemporer saat ini menjadi titik balik dalam merumuskan kembali konsep-konsep humanisme. Kebebasan manusia yang pada mulanya diagungagungkan justru menjadi boomerang dengan lahirnya penindasan manusia terhadap manusia lainnya. Modernisme lahir sebagai buah ideologi kebebasan yang mengedepankan cara berfikir rasional, ternyata tidak cukup untuk menghilangkan atau bahkan 1
2
mengurangi penindasan yang terjadi di banyak belahan dunia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat. Ekspansi dan kapitalisasi bangsa Barat ke seluruh dunia telah melahirkan sebuah tirani penjajahan, yang menindas bangsa-bangsa “tradisional” di benua Asia, Afrika dan bahkan di benua Amerika secara sistemik dan menghadirkan problem kemanusiaan, sosial, ekonomi serta politik di masing-masing negara terjajah tersebut. Persoalan-persoalan terkait dengan kelas-kelas sosial, perbedaan seks atau gender, dan perbedaan warna kulit atau ras hingga saat ini tetap menjadi sebab munculnya problematika yang harus diselesaikan oleh humanisme. Terlebih sistem politik kapitalis yang hanya mengedepankan perhitungan untung-rugi juga ikut andil dalam menciptakan sistem baru penindasan manusia terhadap manusia saat ini. Fred Edwords (2008) dalam What Is Humanism menyatakan bahwa “humanism is a realistic philosophy. Humanists recognize the existence of moral dilemmas and the need for careful consideration of immediate and future consequences in moral decision making”. Humanisme muncul untuk selalu mengangkat, meninggikan dan menempatkan harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan pada tempat yang semestinya (Darsono, 1988: 53-55), melalui gerakan etika politik modern tentang kemanusiaan. Di Indonesia sendiri juga tidak lepas dari persoalan penindasan. Penjajahan yang pernah dialami bangsa Indonesia dari bangsa Belanda dan Jepang nyatanya berdampak secara sistemik mempengaruhi norma-norma sosial, politik, ekonomi dan
3
pemerintahannya. Meskipun secara de facto bangsa Indonesia telah mendapatkan kemerdekaannya, akan tetapi setiap kebijakan pemerintah yang diambil belumlah sepenuhnya merdeka hingga saat ini. Alih-alih legalisasi undang-undang dan produk kebijakan lainnya demi kemakmuran rakyat, penguasa justru mendikotomi masyarakat ke dalam kelas-kelas dan sekat-sekat sosial tertentu. Muncul kasta penguasa dengan rakyat, si kaya dengan si miskin dan sekat-sekat lainnya yang belum mencerminkan harmoni antara kesetaraan (fairness) dan keadilan (justice) sebagaimana tuntutan humanisme. Hal tersebut merupakan problem yang cukup pelik yang harus diselesaikan bangsa Indonesia saat ini. Sekat antara si kaya dengan si miskin pada tataran mikro semakin terlihat dalam praksis sosial. Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Penyakit kemiskinan pada awalnya menjangkiti perkotaan, kini mulai menular ke pedesaan. Masyarakat desa yang seharusnya lebih mandiri daripada masyarakat kota juga menerima dampak signifikan dengan adanya sekat sosial tersebut. Menurut Jakob Sumardjo (2014) dalam rubrik opini Kompas tertanggal 13 Agustus 2014 tentang Pemimpin dan Rakyat berpendapat, “hidup berkecukupan tidak usah muluk-muluk, seperti rakyat di perdesaan. Namun, kemiskinan juga sudah menjalar sampai ke desadesa. Di desa, orang tidak usah belanja untuk masak, asal sudah ada beras saja”. Problem lain dari masyarakat Indonesia kontemporer adalah mulai hilangnya jatidiri sebagai manusia berbudaya Indonesia dan lebih memilih berkiblat pada budaya asing karena dianggap lebih menawarkan kebahagiaan dan kesenangan
4
pribadi. Abdul Ghopur (2014) dalam opini Kompas tertanggal 25 Agustus 2014 dengan judul Memimpikan Indonesia Baru berargumen bahwa: “Dari sisi kebudayaan, meluruhnya kebudayaan nasional kita yang secara perlahan, tetapi pasti tergerus penetrasi budaya asing. Ini terjadi akibat kita tidak lagi berpijak pada budaya dan jati diri bangsa. Lebih parah lagi, kita sengaja meninggalkannya sendirian! Belum lagi marjinalisasi di bidang politik, hukum, dan ekonomi yang secara kausalitas mengakibatkan kaotik di bidang sosial”. Akibat tidak jelasnya konsep yang diacu dalam menyelenggarakan pemerintahan baik di bidang sosial, ekonomi, politik hingga budaya karena belum mencerminkan kesetaraan dan keadilan di dalam masyarakat, maka dirasa perlu menggali kembali konsep humanisme yang sesuai dengan struktur sosial, politik dan ekonomi serta mencerminkan kepribadian Indonesia. Tujuannya adalah mengaktualisasikan kembali nilai kesetaraan dan keadilan yang ada pada Pancasila tentang Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang kini telah tergerus moderniasi dan globalisasi sebagai wajah baru kapitalisme Barat yang melahirkan banyak penindasan. Sukarno adalah tokoh yang perhatian terhadap persoalan humanisme. Melalui gerakan politik, Sukarno mengangkat isu-isu kemanusiaan seperti penindasan, pembodohan manusia dan pembentukan karakter bangsa “kelas bawah” yang terwujud dalam penjajahan bangsa asing terhadap bangsa Indonesia, untuk dikritisi dan diperjuangkan agar bangsa Indonesia segera mendapatkan kebebasannya. Sukarno dalam pledoi pembelaan yang dikenal dengan sebutan Indonesia Menggugat menyuarakan dengan tegas bahwa “… Nafsu … menimbulkan jajahan-jajahan yang diambil rezekinya … sehingga mengakibatkan timbulnya … kaum Kromo dan kaum Marhaen
5
yang apa-apanya semua kecil …” (Kasenda, 2014: 4). Sukarno berpedapat bahwa penjajahan adalah sebuah penindasan atau eksploitasi manusia oleh manusia lain, exploitation de I’homme par l’homme. Baginya kolonialisme dan imperialisme hanya menindas, mengeruk kekayaan alam bangsa terjajah dan mengabaikan sisi humanisme yang selayaknya tetap diperhatikan oleh setiap manusia. Masyarakat humanis menurut Sukarno dapat dicapai jika manusia itu bebas dari segala belenggu penjajahan, terutama imperialisme dan kapitalisme menindas. Oleh sebab itu kemerdekaan menurut Sukarno merupakan awal suatu bangsa untuk mengembangkan diri dan berdaulat atas dirinya sendiri dan mengatur urusannya sendiri serta mewujudkan masyarakat madani impiannya. Sukarno mengutip pernyataan Mustafa Kamil bahwa, “suatu bangsa tak merdeka sebenarnya adalah suatu bangsa yang tak hidup”, kemudian ungkapan Erskine Childers yang menyatakan, “kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar, kemerdekaan adalah sebagai maut: dia ada atau dia tidak ada. Kalau orang menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi” (Sukarno, 1983: 77). Hal tersebutlah yang coba diperjuangkan oleh Sukarno terhadap bangsa Indonesia. Pernyataan-pernyataan Sukarno tersebut menurut penulis hanyalah beberapa serpihan pemikiran yang berkaitan dengan kemanusiaan. Sisi kemanusiaan Sukarno itu selalu muncul pada setiap gerakan politik dan aksi sosial yang dikerjakannya. Hal ini membuat konsep humanisme Sukarno memiliki kekhasannya sendiri, karena Sukarno mampu merefleksikan wujud konkrit manusia Indonesia dengan realitas
6
sosial yang menyertainya. Pemikiran humanisme Sukarno adalah bentuk keprihatinannya atas penindasan dan penjajahan yang dialami bangsa Indonesia kala itu. Belum banyak penelitian yang memahami konsep humanisme Sukarno lebih jauh dan mendalam. Kemampuan Sukarno dalam menganalisis realitas sosial yang menggunakan anasir sosialisme ala Indonesia telah memberikan warna khas pada bentuk humanismenya. Aspek-aspek yang ingin dibangun oleh humanisme Sukarno meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya, adalah upayan Sukarno mewujudkan cita-cita manusia ideal berjatidiri Indonesia. Di sisi lain, penggalian pemikiran Sukarno tentang humanisme mampu memberikan perspektif baru dalam melihat problematika kemanusiaan seperti: pembunuhan, perkosaan, aksi teror dan perilaku penindasan lainnya yang hingga saat ini masih saja terjadi. Oleh karena itu peneliti merasa perlu mengidentifikasi apa yang menjadi akar persoalan tersebut, karena masalah yang terkait humanisme menimbulkan kegelisahan pemikiran dan akademik bagi penulis. Maka alasan-alasan tersebut menjadi dasar yang menarik bagi penelitian yang terkait dengan konsep humanisme dalam pemikiran Sukarno.
2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut, dapat dirumuskan
beberapa permasalahan yang ingin diangkat sebagai berikut: 1. Apa pemikiran Sukarno tentang humanisme? 2. Apa problematika yang terjadi dalam filsafat manusia?
7
3. Apa analisis yang muncul dari humanisme Sukarno ditinjau dari perpektif filsafat manusia? 4. Apa relevansi pemikiran humanisme Sukarno terhadap nilai kemanusiaan di Indonesia?
3.
Keaslian Penelitian Pencarian hasil penelitian yang relevan dengan tema penelitian di lingkungan
Fakultas Filsafat, dapat ditemukan dalam beberapa hasil penelitian sebagai berikut: Hasil penelitian yang berkaitan dengan persoalan humanisme antara lain adalah tesis dari Nicolaus Got dengan judul Komparasi Antara Konsep Humanisme Konfusius Dengan William James (2000). Secara garis besar tesis tersebut membandingkan dua jenis humanisme, yaitu humanisme sekuler milik William James dengan ciri manusiawi dan pragmatisme dengan humanisme teistik konfusius yang bercirikan manusiawi dan imanen. Tujuan komparasi tersebut adalah mewujudkan sebuah toleransi antar anggota masyarakat sebagai isu problematis sosial guna mencapai masyarakat madani. Humanisme dipandang sebagai cara atau alat yang tepat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat madani yang dicita-citakan itu. Kemudian tesis dari Mulyoto yang berjudul Humanisme Dalam Serat Kalatidha; Suatu Pendekatan Filsafati (2005). Tesis ini membahas tentang cara hidup manusia khusunya manusia Jawa berdasarkan Serat Kalatidha karya dari Ranggawarsito. Serat tersebut menceritakan ada suatu masa di mana manusia dalam
8
keadaan chaos, kekacauan dalam semua segi kehidupan. Dekadensi moral, bobroknya sistem ekonomi dan politik menyebabkan manusia kehilangan akal dan jatidiri sebagai manusia. Penggalian hakikat hidup sebagai manusia, manusia sebagai makhluk Tuhan adalah sebuah jalan untuk mencapai manusia yang sesungguhnya dalam menghadapi ketidakpastian hidupnya. Selanjutnya hasil penelitian yang membahas tokoh Sukarno dapat diketahui dari tesis Ellen Christiani Nugroho yang berjudul Sukarnoisme dalam Tinjauan Filsafat Politik (2002). Tesis tersebut mengerucutkan analisis terhadap pemikiran Sukarno dalam wadah Sukanoisme yaitu gagasan-gagasan sosial politik yang dianggap relevan sebagai salah satu konsep penyelenggaraan politik di Indonesia dan kemudian dijadikan kritik terhadap ekses-ekses kapitalisme global. Landasan pokok gagasan sosial politik sukarnoisme adalah konsep persatuan dan keadilan sosial. Hasil penelitian selanjutnya adalah disertasi dari Abu Tholib Khalik dengan judul Filsafat Ibnu Khaldun dan Soekarno tentang Masyarakat Madani: Relevansinya dengan Upaya Mewujudkan Masyarakat Adil Makmur Di Indonesia (2012). Disertasi tersebut mencoba memadukan gagasan tentang masyarakat madani dari hakikat filsafat Ibnu Khaldun dan Bung Karno yang ada relevansinya bagi pengembangan “konsep guna” menuju Masyarakat Adil Makmur di Indonesia. Latar belakang penelitian ini bertitik tolak dari impian masyarakat Indonesia di akhir abad 20 yang demikian bersemangat menginginkan terwujudnya masyarakat madani di Indonesia. Kemudian yang terakhir, tesis dari Ika Irmawansah yang berjudul Pemikiran
9
Soekarno Tentang Trisakti; Perspektif Epistemologi Kenneth Gallagher (2013). Penelitian dari Ika berfokus pada gagasan Sukarno tentang Trisakti. Gagasan Trisakti memiliki tiga rumusan, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan. Tujuannya adalah mengetahui epistemologi gagasan Trisakti berdasarkan pada perspektif Kenneth Gallagher. Penelitian ini membahas tentang struktur gagasan Trisakti, isi dari gagasan Trisakti dan relevansi gagasan Trisakti dalam kehidupan bernegara Indonesia kini. Paparan hasil penenelitian selanjutnya adalah hasil penelitian yang menggunakan filsafat manusia sebagai pisau analisis dan memiliki keterkaitan yang cukup dekat dengan penelitian yang akan dilakukan. Hasil penelitian itu antara lain; Tesis dengan judul Manusia Satu Dimensi Menurut Herbert Marcuse: Relevansinya Terhadap Masyarakat Industri Modern (2008) karya Nazar Huzain HPW. Tesis tersebut membahas tentang kritik Herbert Marchuse terhadap cara hidup manusia modern yang berdimensi satu, bahwa manusia seluruhnya di bawah penguasaan prinsip teknologi. Setiap orang dalam masyarakat industri diperbudak oleh produksi, berada dalam cengkraman masyarakat konsumsi. Produktivitas bukan lagi sebagai alat melainkan telah menjadi tujuan. Kebutuhan masyarakat diciptakan untuk menghabiskan produksi yang melimpah. Setiap orang menyesuaikan diri dengan keadaan ini tidak kecuali kelas buruh. Buruh bukan lagi kelas yang revolusioner melainkan kelas yang mempertahankan sistem.
10
Kemudian tesis dari Astrid Veranita Indah yang berjudul Jatidiri Manusia dalam Filsafat Tindakan Hannah Arendt Perspektif Filsafat Manusia: Relevansinya dengan Pelanggaran HAM Tahun 1965-1966 Di Indonesia (2012). Intisari penelitian yang dilakukan oleh Astrid adalah persoalan pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi pada tahun 1965-1966. Titik tolak filsafat tindakan dari Hannah Arendt dengan ciri manusia mengampuni, berjanji serta membangun persahabatan dijadikan sebuah perspektif dalam menghadapi situasi bencana kemanusiaan di Indonesia pada tahun 1965-1966 tersebut. Tujuannya adalah memutus siklus dendam, memulihkan ingatan sosial, dan menjamin terciptanya hak asasi setiap warga negara. Berdasarkan temuan dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersebut menunjukkan bahwa penelitian tentang pemikiran humanisme Sukarno dalam tinjauan filsafat manusia tidak pernah dilakukan.
4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian tesis ini diharapkan memberikan manfaat baik secara
langsung dan tidak langsung kepada beberapa pihak yang berkepentingan. Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: a. Bagi Filsafat Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan tentang humanisme. Apalagi humanisme dalam perspektif
11
filsafat manusia dari tokoh Sukarno adalah upaya mengembangkan filsafat Nusantara yang memiliki nilai yang khas dan sesuai kepribadian Indonesia. b. Bagi Ilmu Pengetahuan Pemikiran Sukarno tentang humanisme tentu memberikan informasi atau bahkan pengetahuan baru, bahwa pemikir-pemikir lokal dapat berkontribusi cukup besar dalam pergumulan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sosial dan humaniora dengan konsep humanisme yang ditawarkan. c. Bagi masayarakat dan bangsa Indonesia; Memberikan informasi dan mengenalkan pengetahuan baru pemikiran Sukarno tentang humanisme. Pemikiran yang memiliki ciri khas bangsa Indonesia sebagai hasil dialektika intelektual Sukarno sebagai pelaku sejarah dan pergerakan kemerdekaan. Harapannya, pemikiran humanisme Sukarno dapat dijadikan sebagai khasanah pengetahuan yang memberikan pesan moral khususnya dalam konteks filsafat dan mencoba memberikan solusi alternatif dalam memecahkan persoalan kemanusiaan saat ini.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini akan berusaha menjawab permasalahan yang menjadi pertanyaan dalam rumusan masalah sebagai berikut: 1. Menganalisis hakikat pemikiran Sukarno tentang humanisme.
12
2. Menganalisis dan megklasifikasikan problematika yang terjadi dalam filsafat manusia. 3. Menggali hakikat pemikiran humanisme Sukarno yang ditinjau dari filsafat manusia. 4. Merefleksikan dan menganalisis relevansi pemikiran humanisme Sukarno dengan nilai kemanusiaan yang ada di Indonesia.
C. Tinjauan Pustaka Humanisme memiliki berbagai bentuk pengertian. Humanisme dapat memiliki arti: a. menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi; b. menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir; c. mengabdi pada pemupukan perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional dan berarti tanpa acuan pada konsep-konsep tentang yang adikodrati (Bagus, 2005: 295). John C. Luik (2003: 365) dalam Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy menjelaskan bahwa filsafat humanisme mengacu pada hubungan interelasi konsep tentang alam, kekuasaan, pendidikan dan nilai dari person manusia. Pada pengertian ini humanisme bersifat memperjelas sistem filsafat untuk mengembangkan konsep substansi ontologi, epistemologi, antropologi, pendidikan, aestetik, etika dan klaim politik. Di sisi lain, humanisme dimaknai lebih dari sekedar metode dan hubungan bebas dari pertanyaan tentang alam dan karakter dari manusia.
13
Pendapat lain dikemukakan oleh Blackburn (1994: 178) dengan menganggap humanisme secara umum adalah aliran filsafat yang concern pada problematika kemanusiaan dan harkat martabat manusia serta optimisme terhadap kekuatan manusia yang tidak disadari. Sesuai dengan pernyataannya: Humanism is most generally, any philosophy concerned to emphasize human welfare and dignity, and optimistic about powers of unaided human understanding. More particulary, the movement distinctive of the Renaissance and allied to renewed study of Greek and Roman Literature: a rediscovery of the unity of human beings and nature, and renewed celebration of pleasures of life, all supposed lost in the medieval world… Later the term tend to become appropriated for anti-religious social and political movement. Finally, in the late 20th century, humanism is sometimes used pejorative term by postmodernist and especially feminist writers, applied to philosophies such as that of Sartre, that rely upon the possibility of the autonomous, selfconscious, rational, single, self, and that are supposedly insensitive to the inevitable fragmentary, splintered, historically conditioned nature personality and motivation. Istilah humanisme berasal dari bahasa latin humanus yang berarti manusia (Bahm, 1942: 131). Pengertian tersebut memiliki beberapa konsekuensi yaitu: a. Pandangan yang selalu mengutamakan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia; b. Renaissance atau kelahiran kembali terutama pada karya-karya klasik Yunani yang berbeda dengan studi Gerejawi; c. gerakan etika dan religius Auguste Comte melahirkan pemujaan yang tinggi pada kemanusiaan; d. Gerakan filsafat pragmatisme Schiler melahirkan aspek kemanfaatan yang praktis bagi kemanusiaan; e. Gerakan pendidikan yang beroirentasi pada dunia kerja Amerika, melahirkan bentuk klasik pendidikan liberal atau kemanusiaan; f. mengembangkan idealisme secara jujur dan transparan guna membentuk sikap kelompok yang impersonal (tidak individualistis); g. Humanisme religius tidak melihat iman sebagai hal utama dalam agama,
14
kendatipun tanpa menyangkal eksistensi nilai-nilai kepraktisan iman, sehingga agama hanya merupakan suatu institusi untuk mengajarkan yang baik, keadilan, dan reformasi sosial. Franz Magnis-Suseno (1992: 101-102) dalam Moeldjanto dkk., menjelaskan bahwa humanisme adalah sebuah nama gerakan rohani-ilmiah yang muncul pertama kali di Italia pada abad ke-13 Masehi sebagai unsur yang mendorong lahirnya zaman Renaissance untuk mengembalikan cita-cita zaman antik Yunani dan Romawi untuk menuju manusia yang universal (homo universal). Pengklasikan (clasiscism) dari tradisi retorika Italia dalam Abad Pertengahan inilah yang pada hakikatnya melahirkan humanisme Renaissance (Tjaya, 2004: 23). Kemudian humanisme saat ini berkembang menjadi gerakan lintas budaya dan universal dalam artian sebagai sikap etis dan kualitas etis dari lembaga-lembaga politik dengan tujuan membentengi martabat kemanusiaan (Hanafi dkk., 2007: 210). Jika yang dimaksud humanisme adalah a doctrine or way of life centered on human interest or value, maka manusia ditempatkan pada kedudukan tinggi yaitu pada kedudukan manusia atau nilai-nilai manusia (Muzairi, 2002: 49-50). Oleh karena itu Eric Weil dalam Mulyanto (2012: 29) percaya bahwa persahabatan dan kerja sama merupakan cara hidup bermartabat sebagai makhluk yang berakal budi. Untuk mengapainya maka diperlukan pengakuan hak-hak dasar seperti kebebasan baik bebas memeluk agama, menentukan hidup serta menentukan hak dalam politik (Sihotang, 2009: 90).
15
Kebebasan secara abstrak menurut Hardono Hadi (1996:157)
merupakan
suatu kumpulan yang terdiri dari banyak spesies –kebebasan berpikir dan berbicara, kebebasan untuk bersekutu, kebebasan untuk berkumpul, kebebasan untuk beribadat, kebebasan gerakan, kebebasan untuk melepaskan milik pribadinya, kebebasan untuk memilih kedudukan dan pekerjaan dan seterusnya. Oleh karena itu pengakuan atas hak-hak dasar manusia tersebut sangat penting untuk menunjukkan penghargaan terhadap eksistensi manusia (Magnis-Suseno, 1989: 130). Sukarno juga turut serta dalam memberikan pandangan terhadap persoalan penghargaan manusia atas kebebasannya. Bagi Sukarno, penghargaan manusia terhadap kebebasan, kesetaraan dan kesamaan hak dan kewajibannya tidak mungkin terwujud jika kolonialisme dan imperialisme masih ada. Alasannya, “Kita yang bukan kapitalis, tidak menganggap uang atau harta-kekayaan sebagai modal yang paling berharga. Bagi kita manusialah modal yang paling berharga” (Sukarno, 2014: 414). Sukarno dalam pledoi pembelaan yang dikenal dengan Indonesia Menggugat secara tegas menginginkan kesetaraan. Penjajahan hanya minimbulkan perbedaan dan pertentangan. Sukarno berpendapat, “Tidak ada persamaan kepentingan antara kaum imperialisme dan kaum yang ada di bawah imperialisme; tidak ada belangengemeenschap antara kedua pihak itu. Antara kedua pihak itu ada pertentangan kepentingan, ada pertentangan kebutuhan, -ada tengenstelling van belangen, ada conflict van behoeften. Semua kepentingan kaum imperialisme, baik ekonomi, maupun sosial, baik politik maupun yang berhubungan dengan kebudayaan umumnya, semua kepentingan kaum imperialisme itu, adalah bertentangan, tengengesteld dengan kepentingan Bumi Putra” (Sukarno, 1983: 73).
16
Kepentingan yang bertentangan itu menurut Sukarno bisa hilang asalkan Indonesia merdeka. “Kemerdekaan adalah syarat yang amat penting untuk bisa melawan dan memberhentikan imperialisme dengan seluas-luasnya. Kemerdekaan pulalah syarat bagi pembaikan kembali segala susunan pergaulan hidup suatu negeri bekas jajahan untuk merekonstruksi nasionalnya” (Sukarno, 1983: 74). Sesuai dengan pernyataan Magnis-Suseno (2005: 227), melawan kediktatoran ideologi ditegaskan bahwa nilai, cita-cita atau keyakinan-keyakinan paling bagus tidak boleh dipaksakan kepada siapa pun, apalagi dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang yang yakin bahwa mereka memiliki “ajaran yang benar”. Sukarno tidak pernah memandang bahwa kemanusiaannya lepas dari kesadaran bangsa Indonesia atas kuasa dan campur tangan Tuhan. Karena Tuhan adalah esensi penting dalam perjuangan bangsa. Sukarno berkata, “Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan bukan saja bangsa Indonesia yang ber-Tuhan, tetapi masingmasing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri-sendiri…. Marilah kita amalkan, jalannya agama, baik islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban” (Sukarno, 2014: 494). Kemerdekaan menurut Sukarno dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi Jilid II adalah sebuah realiteit kemanusiaan. Sukarno (1965:8) menyatakan, bahwa “kemerdekaan kita menjadi satu kenyataan, Negara Republik Indonesia satu realiteit bagi dunia dan kemanusiaan. Dengan begitu kita sebagai bangsa, telah turut bertindak dan menentukan sejarah kemanusiaan dan nasib kemanusiaan”. Peri kemanusiaan itu bagi Sukarno juga harus diwujudkan dalam fungsi kerja yang manusiawi, untuk lakilaki dan lebih khusus lagi bagi wanita. “Permanusiaan pekerjaan itu menjadi satu
17
kebahagiaan, satu pengangkatan jiwa, satu pemerdeka, satu pembebas, dan bukan satu cambuk pedih yang membongkokkan tulang punggung….yang membuka pintu ke tingkat-tingkat yang lebih mulia, dan bukan perkerjaan yang semacam sampah yang tiap-tiap waktu dapat dibuang” (Sukarno, 2014: 159). Tantangan yang hadir setelah kemerdekaan diraih adalah mempertahankan dan menghindarkan bangsa dari wujud kapitalisme baru yang justru dilakukan oleh bangsa sendiri. Sukarno (1965: 183) dalam Dibawah Bedera Revolusi Jilid II berseru bahwa, “kita harus anti-kapitalisme, walaupun kapitalisme bangsa sendiri”. Bentuk pemikiran Sukarno tentang kemanusiaan adalah sebuah tawaran konsep nilai humanisme sesuai dengan struktur-struktur moral dan keadaan sosial di Indonesia kala itu. Tujuannya adalah membuat bangsa Indonesia sadar dan mengerti akan jatidirinya sendiri. Realitas bangsa Indonesia dalam belenggu penjajahan bangsa Asing yang penuh kekerasan, ketidakadilan dan penindasan adalah sumber problematika humanisme di Indonesia.
D. Landasan Teori Humanisme merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat manusia. Humanisme yang saat ini menjadi gerakan politik etis telah memberikan dampak signifikan bagi dunia manusia itu sendiri. Karena pada dasarnya manusia memang tidak bisa dilepaskan dari politik sebagaimana Aristoteles ungkapkan, manusia adalah
18
political animal tetapi juga bukanlah hasrat buta yang irasional. Spinoza dalam Uyl (2008) menjelaskan: But men are led by blind desire more than by reason, and therefore this natural power or right must be defined not by reason but by any appetite by which they may be determined to act and by which the try to preserve themselves. Bagi Nietzsche (1844-1900), kehendak untuk berkuasa (Wille zur Macht) sebagai energi yang memungkinkan peredaran alam dan (menentukan) perilaku manusia (Abidin, 2009: 12). Tetapi sebelumnya Marx (1818-1883) berpendapat, bahwa pada hakikatnya manusia adalah materi dimana hubungan alat-alat produksi dengan realitas sosial politiknyalah yang menentukan kesadarannya (Fromm, 2002: 26), dan itu semuanya bertemu pada satu titik pada perdebatan hakikat manusia. Permasalahan tentang hakikat manusia tersebut mengingatkan kembali atas perdebatan yang terjadi antara kaum konservatif dengan kaum liberal. Kaum konservatif atau para pendukung fanatik tradisi, berpegang pada keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, tidak tetap dan tidak dapat diramalkan secara logis. Hal ini disebab kodrat manusia telah rusak berat dan tidak tersembuhkan karena telah dicederai oleh dosa asal, atau sejenis itu, sedangkan kaum liberalis atau pendukung gerakan revolusioner berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya baik dan bisa mencapai kesempurnaan (Hadi, 1996: 29). Selain itu, perdebatan tentang esensi manusia juga dapat dikerucutkan lagi dalam dua aliran tertua dan besar yaitu aliran materialisme dan idealisme. Materialisme meyakini bahwa esensi kenyataan termasuk esensi manusia bersifat material
19
atau fisik. Ciri utama dari kenyataan fisik atau material adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan, dan bersifat objektif. Karena ia menempati ruang dan waktu dan bersifat objektif maka ia bisa diukur, dikantifikasi (dihitung), diobservasi, sehingga spiritual atau jiwa ditolak keberadaannya karena tidak menempati ruang. Berbeda dengan idealisme menyatakan bahwa kenyataan bersifat spiritual. Para idealis percaya bahwa terdapat kekuatan atau kenyataan spiritual di belakang setiap penampakan atau kejadian. Esensinya adalah berpikir. Oleh karena itu untuk menjelaskannya hanya bisa dilakukan melalui metafor-metafor kesadaran manusia (Abidin, 2009: 25-28). Persoalan manusia secara sepintas menurut Hardono Hadi (1996: 31) pada kenyataannya yang terlihat hanyalah menyangkut masalah hidup kemasya-rakatan, strategi membangun masyarakat atau menjamin dan meningkatkan kesejahteraan manusia individual. Namun kalau permasalahan tersebut dilihat lebih mendalam dan mencari permasalahan yang mendasar, maka jelas bahwa akhirnya manusia harus merumuskan kodrat manusia.Akan tetapi, persoalan korelasi manusia terhadap yanglain juga tidak bisa dinisbikan begitu saja sebagai cara manusia mendapatkan esensi hidupnya. Anton Bakker (2000: 35) menjelaskan permasalahan yang muncul ketika manusia dihadapkan pada sosialitasnya dalam beberapa pertanyaan seperti; apakah hubungan manusia dengan yang-lain hanya bersifat berdampingan saja, dengan kenyataan manusia dengan yang-lain terisolir satu sama lain?
Ataukah kadang-
20
kadang ada hubungan langsung pula? Apakah mungkin selalu ada hubungan? Apakah hubungan itu dangkal atau mendalam? Pertanyan-pertanyaan tersebut adalah salah satu kunci bagaimana manusia mendefinisikan dirinya dalam realitas sosialnya. Manusia dalam pandangan Anton Bakker (2000: 38-39), tergambar dalam hubungan yang harmonis antara aku dan yang-lain. Aku hanya memahami diri beginibegitu di dalam konfrontasi dengan yang-lain. Karena pada dasarnya aku tidak bisa lepas dari yang-lain. Kesadaranku adalah kesadaran bersama kesadaran yang-lain. Pemahaman akan arti hidupku tergantung pada yang-lain. Sejauh aku mengkui dan mengamini yang-lain, dan menerima mereka menurut arti khusus yang-lain itu. Maka saya juga (dapat) mengakui diri saya sendiri. Karena aku diadakan oleh yang-lain. Konsep korelasi aku dengan yang-lain dalam perspektif eksistensialisme JeanPaul Sartre (1905-1980) pada periode pemikirannya yang pertama, justru tidak ada harmoni, yang ada hubungan antara aku dengan yang-lain adalah sebuah konflik. Inti setiap relasi antarmanusia menurut Sartre adalah konflik (Lanur, 2011: 74). Karena pada hubungan aku dengan yang-lain adalah saling mengobjektivikasi melalui tatapan, l’regard. Sartre (2003: 192) menyatakan: “But the Other is still an object for me. He belongs to my distances; the man is there, twenty paces from me, he is turning his back on me…. The universe, the flow, and the drain hole are all once again recovered, reapprehended, and congealed into an object. All this is there for me as partial structure in the world, even though the total disintegration of the universe involved.” Dengan demikian setiap pertemuan antara kesadaran-kesadaran, yaitu antara aku dengan yang-lain merupakan sebuah dialektika antara subjek dan objek (Lanur, 2011:75).
21
Sartre (2003: 193) mempertegas bahwa, “this relevelation cannot derive from the fact that my universe is an object for the Other-as-object, as if the Other’s look after having wondered over lawn and the surrounding objects came following a definite path to place itself on me”. Oleh karena itulah hubungan antara aku dengan yang-lain adalah relasi yang saling menindak untuk mempertahankan subjektivitas dan dunianya sendiri.
E. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan mengenai pemikiran tokoh dengan metode hermeneutika, yang di dalam proses pembuatannya diupayakan pada 3 hal yaitu: 1.
Bahan penelitian Penelitian kepustakaan ini menggunakan dua macam bahan yakni pustaka utama dan pustaka sekunder. Pustaka utama adalah karya-karya Sukarno, sedangkan pustaka sekunder merupakan materi yang bersumber dari buku, jurnal, artikel dan tulisan lain, yang terkait dengan tema penelitian ini. Bahan dan materi penelitian dibagi ke dalam 2 bagian, yaitu : a. Data primer, berupa karya Sukarno seperti Dibawah Bendera Revolusi jilid I dan II, Indonesia Menggugat, Sarinah, dan biografi Sukarno yang ditulis Cindy Adams dengan judul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
22
b. Data sekunder, berupa tulisan dari sumber lain yang berkaitan dengan karya Sukarno seperti buku kumpulan pidato Sukarno dengan judul Panca Azimat Revolusi Jilid I dan II (ed. Iwan Siswo), kemudian buku yang berjudul Sosialisme Indonesia karya Ruslan Abdulgani. Lalu karya Kapitsa M. S. & Maletin N. P. dengan judulnya Soekarno, dan karya Peter Kasenda dengan judul Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933. 2.
Jalannya Penelitian Pada pelaksanaan penelitian ini, penulis melakukan tahap-tahap sebagai
berikut: a.
Inventarisasi data. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data yang dapat dibagi menjadi dua bagian yang besar berdasarkan objek formal dan objek material penelitian. Data yang pertama berisi pustaka mengenai filsafat manusia, khususnya tentang humanisme. Data yang kedua berisi tentang pustaka mengenai pemikiran Sukarno yang terdapat dalam karyanya. Datadata tersebut dikumpulkan sebanyak mungkin melalui penelusuran di berbagai perpustakan maupun melalui penelusuran internet.
b.
Pengklasifikasian data. Jika pada tahap pengumpulan data penulis mengumpulkan data sebanyak mungkin, maka pada tahap ini data-data yang telah diperoleh mulai diklasifikasikan dan dipilah-pilah berdasarkan bab dan sub-sub bab yang telah penulis susun sesuai dengan rencana dan kebutuhan.
23
c.
Analisis data. Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian.
d.
Penyajian data, yaitu memaparkan hasil analisis secara sistematis dan teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukkan. Penyajian data diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pada pokok pembahasan yang lebih rumit.
3. Analisis Penelitian Data dalam penelitian ini akan dianalisis menggunakan metode hermeneutik melalui tahap-tahap sebagai berikut (Bakker dan Charris, 1990: 63-65): a.
Interpretasi, yakni karya Sukarno diselami untuk menangkap arti dan nuansa yang dimaksudkan oleh Sukarno secara khas. Konsep-konsep pemikiran Sukarno dijabarkan dan dijelaskan, sehingga dapat dipahami pola pemikiran tersebut, paham-paham apa yang mempengaruhinya dan kemungkinannya mempengaruhi pemikir lain. Selanjutnya, pemahaman atas data yang telah diperoleh dan diketahui maknanya melalui pembacaan karya tokoh tersebut.
b.
Kesinambungan historis, melihat benang merah pengembangan pikiran Sukarno yang diselidiki melalui latar belakang eksternal dan internalnya. Latar belakang eksternal melihat sisi kehidupan di zamannya dan latar belakang internal tokoh dilihat dari sisi riwayat hidup Sukarno dari pengalaman-pengalaman yang membentuk pikirannya yang nantinya akan
24
diterjemahkan dalam bahasa dan permahaman peneliti sesuai dengan cara berpikir aktual sekarang. c.
Deskripsi, peneliti menguraikan secara teratur konsepsi pemikiran Sukarno tentang humanisme sesuai dengan masalah yang diteliti.
d.
Holistika, melihat kerangka berfikir Sukarno tentang humanisme secara keseluruhan baik menyangkut visinya mengenai manusia, dunia dan Tuhan.
F. Hasil yang Dicapai 1. Pemahaman baru tentang hakikat humanisme dalam pemikiran Sukarno. 2. Inventarisasi problematika yang terjadi dalam filsafat manusia. 4. Analisis pemikiran humanisme Sukarno dalam perspektif filsafat manusia. 5. Relevansi pemikiran humanisme Sukarno terhadap nilai kemanusiaan yang ada di Indonesia.
G. Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini akan dipaparkan sesuai dengan sistematika berikut: Bab I, memaparkan penjelasan secara umum penelitian. Secara berurutan terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang telah dicapai, dan sistematika penelitian.
25
Bab II, membahas genealogi pemikiran Sukarno dengan sub-bab biografi Sukarno, kemudian karya-karya besar Sukarno, pokok-pokok pemikiran Sukarno, dan zichzelf sebagai humanisme dalam pemikiran Soekarno. Bab III, berisi paparan tentang ruang lingkup filsafat manusia yang terdiri dari sub-bab manusia dan filsafat yang membahas tentang konsepsi manusia, filsafat manusia, manusia sebagai individu dan manusia adalah bagian dari sosialistasnya. Kemudian sub-bab selanjutnya tentang humanisme yang terbagi dalam pemahasan pengertian humanisme dan macam-macam humanisme, eksistensialisme sebagai humanisme dan simpul-simpul eksistensialisme. Bab IV, memaparkan hasil analisis konsep zichzelf dalam filsafat manusia. Urutan pembahasannya adalah sub-bab tentang zichzelf sebagai visi humanisme sosial dalam filsafat manusia, kemudian zichzelf mengkonstruksi manusia Pancasila, dan relevansi zichzelf pada nilai kemanusiaan di Indonesia. Bab V, merupakan bab penutup yang berisi rangkuman sejumlah kesimpulan umum, dan mengusulkan beberapa saran oleh peneliti.