1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kultur jaringan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk perbanyakan sel, jaringan maupun organ dalam lingkungan yang terkontrol secara aseptik. Kultur jaringan memanfaatkan sifat totipotensi sel, yaitu kemampuan setiap sel dari setiap bagian yang tumbuh menjadi jaringan atau organ baru jika ditumbuhkan dalam media yang sesuai. (Neumann dkk., 2009). Menurut Menurut Suryowinoto (dalam Hendaryono & Wijayani, 1994), sel yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan memiliki kesamaan dengan induknya. Teknik ini memungkinkan untuk menghasilkan tumbuhan yang sama dengan induknya sehingga dapat menjadi salah satu upaya pelestarian tumbuhan. Salah satu jenis kultur jaringan adalah kultur tunas. Tunas berasal dari nodus batang tumbuhan. Menurut Campbell & Reece (2002), sel-sel penyusun tunas yang merupakan sel muda yang bersifat meristematik. Sel meristematik masih aktif membelah dan berdiferensiasi menjadi jaringan dan organ baru dalam waktu yang singkat.
Menurut
Suryowinoto (dalam Hendaryono & Wijayani, 1994), kultur jaringan memungkinkan untuk menumbuhkan sel dari jaringan dewasa. Namun, sel penyusun
jaringan
dewasa
tidak
bersifat
meristematik
sehingga
membutuhkan trigger untuk memacu pembelahan sel. Hal ini menyebabkan
1
2
kultur dari jaringan dewasa membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding kultur dari jaringan muda. Kultur jaringan menggunakan lingkungan tumbuh yang terkontrol. Pengontrolan yang dilakukan antara lain intensitas cahaya, suhu, dan unsur hara. Teknik ini dapat meminimalisasi pengaruh faktor lingkungan yang bisa memodifikasi metabolit yang dihasilkan tumbuhan. Scoparia dulcis L. merupakan salah satu tumbuhan yang dapat digunakan untuk kultur tunas. Scoparia dulcis L. yang dikenal dengan nama jakatuwa merupakan salah satu tumbuhan yang tersebar di daerah tropis seperti Indonesia. S.dulcis sudah digunakan oleh penduduk sebagai obat batuk (Heyne,1987). Di India, masyarakat menggunakan S.dulcis untuk membantu permasalahan kadar gula darah (Vijay & Andersen, 2008). Menurut Vela dkk. (2006),
S.dulcis sudah biasa digunakan oleh masyarakat di Brazil pada
gangguan pernafasan, pencernaan, dan hati. Berdasarkan hasil penelitian, S.dulcis mengandung beberapa senyawa yaitu kuersetin, asam p-kumarat, luteolin, dan apigenin dengan perbandingan 8:26:1:3 dan memiliki aktivitas dalam menstimulasi uptake glukosa sehingga berpotensi untuk penanganan penyakit diabetes melitus (Beh dkk., 2013). Kuersetin atau 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol merupakan salah satu metabolit sekunder yang terkandung dalam S.dulcis. Menurut Dewick (2009), kuersetin memiliki beberapa aktivitas diantaranya sebagai antioksidan kuat dan pengkelat logam.
3
Produksi
kuersetin
dalam
S.dulcis
dimungkinkan
dilakukan
peningkatan melalui penambahan prekursor flavonoid pada media kultur jaringan. Menurut Dewick (2009), salah satu prekursor flavonoid adalah Lfenilalanin. Pada proses biosintesis flavonoid dalam tumbuhan, L-fenilalanin diubah menjadi asam 4-kumarat oleh enzim phenylalanine ammonia lyase (PAL). Asam sinamat selanjutnya mengalami beberapa langkah reaksi enzimatik yang menghasilkan senyawa turunan flavonoid. Beberapa penelitian fisiologi tumbuhan menunjukkan bahwa produksi flavonoid dapat ditingkatkan dengan penambahan L-fenilalanin. Prekursor flavonoid yang ditambahkan adalah asam amino L-fenilalanin. Menurut Seo dkk. (2014), pemberian L-fenilalanin konsentrasi 5 mM selama 24 jam pada penanaman Fagopyrum sp meningkatkan produksi rutin dan senyawa fenolik. Pemberian tunggal L-fenilalanin pada tumbuhan Ocimum basilicum L. dengan kadar 0,05 mM dan 0,5 mM menghasilkan kadar flavonoid total yang lebih tinggi dibanding kontrol (Koca & Karaman, 2014). Salah satu metode untuk analisis kualitatif dan kuantitatif adalah kromatografi
lapis
tipis
(KLT).
Analisis
kualitatif
berguna
untuk
mengevaluasi kemiripan metabolit pada tunas hasil kultur dengan tumbuhan asalnya. Dengan adanya kemiripan metabolit, diharapkan tumbuhan hasil kultur dapat bermanfaat dalam bidang pengobatan seperti tumbuhan asalnya. Analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan metode KLT-densitometri Luas
4
bercak ekstrak tunas hasil kultur dibandingkan dengan luas bercak pembanding untuk mengetahui kadar metabolit yang dihasilkan. Pada penelitian ini, dilakukan kultur tunas nodus batang S.dulcis dengan penambahan asam amino L-fenilalanin dalam media kultur. Profil kromatografi kultur tunas S.dulcis dianalisis dengan metode kromatografi lapis tipis untuk membandingkan metabolit yang dihasilkan tunas hasil kultur dengan tumbuhan asalnya. Pemberian L-fenilalanin pada media kultur bertujuan untuk memengaruhi biosintesis senyawa turunan flavonoid kuersetin. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian L-fenilalanin terhadap peningkatan kadar kuersetin kultur tunas S.dulcis. B .
Perumusan Masalah
1. Bagaimana profil KLT tumbuhan hasil kultur tunas bila dibandingkan dengan tumbuhan asal? 2. Apakah ada pengaruh L-fenilalanin terhadap produksi kuersetin pada setiap perlakuan kultur tunas bila dibandingkan dengan kontrol? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui profil metabolit tumbuhan hasil kultur tunas dan tumbuhan asalnya dengan metode KLT. 2. Untuk
mengetahui
pengaruh
pemberian
L-fenilalanin
terhadap
peningkatan kadar kuersetin dalam setiap perlakuan kultur tunas bila dibandingkan dengan kontrol.
5
D. Manfaat Penelitian a. Bagi masyarakat Memperoleh pengetahuan tentang kemungkinan konsentrasi plasma nutfah dengan teknik kultur jaringan. b. Bagi industri obat tradisional Kultur tunas S.dulcis berpeluang penyediaan bahan baku dengan kualitas senyawa lebih tinggi dibanding tumbuhan induknya sehingga berpotensi untuk dijadikan kandidat obat tradisional. c. Bagi akademisi dan peneliti Penelitian
ini dapat menjadi sebuah referensi dan ide untuk terus
dilakukan pengembangan riset berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan produksi metabolit sekunder S.dulcis melalui kultur jaringan. E. Tinjauan Pustaka 1. Penelitian terkait Pemberian L-fenilalanin konsentrasi 5 mM selama 24 jam pada tunas Fagopyrum sp berumur 7 hari menunjukkan konsentrasi tertinggi senyawa rutin terhadap kontrol. Perlakuan dengan L-fenilalanin kadar 5 mM dan cahaya lampu LED yang bervariasi juga memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kandungan senyawa fenolik pada tumbuhan Fagopyrum sp (Seo dkk., 2014).
6
Menurut Koca & Karaman (2014), perlakuan tunggal L-fenilalanin pada tumbuhan Ocimum basilicum L dengan kadar 0,05 mM dan 0,5 mM memberikan kadar flavonoid total yang lebih tinggi dibanding kontrol. Perlakuan dilakukan dengan perendaman biji Ocimum basilicum dengan L-fenilalanin selama 24 jam dan dipanen setelah 10 minggu. Namun perlakuaan tersebut tidak memberikan pengaruh secara langsung terhadap aktivitas enzim L-fenilalanin amonia liase. Enzim tersebut berperan dalam sintesis senyawa fenolik pada jalur fenilpropan. Pemberian L-fenilalanin diperkirakan dapat memengaruhi enzim-enzim lain yang berperan dalam sintesis jalur fenilpropan (Koca & Karaman, 2014). 2. Scoparia dulcis L. a. Sistematika S.dulcis dalam taksonomi tumbuhan (Wunderlin & Hansen, 2008) Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Scrophulariales
Suku
: Scrophulariaceae
Marga
: Scoparia
Jenis
: Scoparia dulcis L.
Gambar 1. Scoparia dulcis L.
b. Nama lokal Jawa Barat : jakatuwa (Sunda), Jawa: ginje menir, ginje jepun (Jawa) (Heyne, 1987)
7
c. Morfologi S.dulcis S.dulcis merupakan herba yang bercabang-cabang, tinggi 0,20,8 meter. Daun berkarang 3, bertangkai pendek, memanjang, di atas pangkal beringgit bergigi dengan panjang 1-3 cm dan lebar 3-12 mm. Bunga bertangkai, tunggal, di ketiak sari dari semua daun yang di atas. Kelopak tidak gugur, berbagi dalam, panjang 2 mm. Mahkota berbentuk roda, pada leher berbulu panjang, ungu pucat dengan pusat yang lebih gelap, taju sama sekali sama, bulat telur terbalik dengan panjang 2-3 mm dan lebar 0,5-1,7 mm. Benang sari 4, lepas, kira-kira sama panjang. Tangkai putik 1,3 mm panjangnya, kepala putik berbentuk bulat kecil. Buah kotak berbentuk bulat telur, pecah menurut sekat dan celah dengan 4 katup, 2-3 mm panjangnya (Stennis, 1987). d. Penggunaan S.dulcis secara empiris Menurut Heyne (1987), di Indonesia S.dulcis yang dikenal dengan nama jakatua sudah digunakan oleh penduduk dalam membantu penanganan batuk. Di India, S.dulcis sudah digunakan untuk membantu penanganan penyakit diabetes (Vijay & Andersen, 2008). S.dulcis digunakan penduduk di Brazil untuk penanganan gangguan pernafasan, pencernaan dan hati (Vela dkk., 2006). Menurut Catarino dkk. (2016), masyarakat di Afrika biasa menggunakan daun
8
dan batang S.dulcis untuk meredakan rasa sakit pada ibu hamil, menyusui dan bayi yang baru lahir e. Metabolit dalam S.dulcis dan aktivitas biologis Hasil sebuah penelitian diketahui bahwa ekstrak air S.dulcis berefek dalam penghambatan sekresi asam lambung sehingga melindungi tikus dari tukak lambung. Hasil penelitian ini sangat berhubungan dengan penggunaan S.dulcis secara tradisional untuk menangani penyakit pencernaan (Vela dkk., 2007). Selain itu, ekstrak air yang mengandung campuran beberapa senyawa diantaranya kuersetin, asam p-kumarat, luteolin, apigenin dengan perbandingan 8:26:1:3 memberikan aktivitas terhadap uptake glukosa serta menstimulasi translokasi GLUT4 di jaringan adiposa (Beh, 2013). 3. Cara identifikasi S.dulcis Tumbuhan dapat diidentifikasi berdasarkan sistem filogenetik. Sistem ini mengidentifikasi tumbuhan melalui ciri-ciri diagnostik yang mirip
berdasarkan
hubungan
kekerabatan.
Tumbuhan
dapat
dikelompokkan berdasarkan kemiripan ciri dan sifat yang melekat pada setiap jenis. S.dulcis
sudah
diketahui
oleh
masyarakat
ilmiah
secara
internasional sejak tahun 1753 (Linneai, 1753). Sebagai jenis yang sudah dipublikasi dan dikenal luas dalam dunia ilmu pengetahuan, maka cara identifikasi terhadap jenis tersebut meliputi lima cara. Pertama, bertanya
9
kepada seorang ahli taksonomi. Seorang ahli memiliki kemampuan untuk mengenali nama dan klasifikasi tumbuhan. Kedua, peneliti dapat mencocokkan tumbuhan dengan spesimen herbarium yang telah diidentifikasi. Spesimen herbarium yang telah diteliti dan disimpan di lembaga penelitian biologi atau institusi pendidikan seperti universitas dapat menjadi rujukan untuk mengetahui kebenaran identitas tumbuhan. Ketiga, peneliti dapat mencocokkan ciri-ciri tumbuhan dengan gambar pada buku flora dan monografi. Cara ini dapat dilakukan oleh orang yang menguasai bidang taksonomi tumbuhan. Keempat, kunci identifikasi tumbuhan
dapat
digunakan
untuk
identifikasi
tumbuhan.
Kunci
identifikasi merupakan daftar pertanyaan yang jawabannya harus ditemukan pada spesimen yang akan diidentifikasi. Kelima, lembar identifikasi jenis dapat digunakan untuk mengidentifikasi tumbuhan. Lembar tersebut memuat gambar tumbuhan yang dilengkapi dengan nama, klasifikasi jenis serta informasi lain yang mendukung (Tjitrosoepomo, 1998). 4. Uraian tentang senyawa hasil metabolit Terdapat dua jenis metabolit yang diproduksi tumbuhan yaitu metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer diproduksi oleh tumbuhan untuk keperluan pertumbuhan dan perkembangan. Contoh metabolit primer diantaranya adalah asam amino, nukleotida, karbohidrat dan lemak. Metabolit primer umum terkadung pada setiap tumbuhan.
10
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang diproduksi oleh organisme atau kelompok organisme tertentu. Metabolit sekunder diproduksi dalam jumlah terbatas dan merupakan ekspresi dari individualitas spesies. Metabolit sekunder tidak selalu diproduksi dalam semua kondisi, dalam beberapa kasus diproduksi untuk pertahanan diri.
Selain itu, banyak
metabolit sekunder yang memiliki aktivitas secara farmakologis pada manusia (Dewick, 2009). a. Flavonoid Flavonoid merupakan suatu golongan besar senyawa dalam tumbuhan yang tersusun dari rantai C6-C3-C6, terdiri atas dua cinicin aromatik yang digabungkan oleh tiga atom karbon yang membentuk cincin ketiga. Flavonoid dibagi dalam beberapa golongan yaitu flavon (apigenin, luteolin), flavonol (kuersetin, mirisetin), flavanon (naringenin dan hesperidin), flavanon (katekin, epikatekin dan gallokatekin), antosianin (sianidin dan pelargonidin) dan isoflavon berupa genistein dan daidezin (Grotewold, 2006).
Gambar 2. Struktur umum flavonoid ( Gallic, 2011)
11
Jalur biosintesis flavonoid merupakan jalur fenilpropan yang paling luas. Flavonoid sebagai produk akhir biosintesis ditranspor ke beberapa bagian ekstraseluler, salah satunya pada vakuola sebagai pigmen tertentu sel tumbuhan (Andersen & Markham, 2006). Flavonoid terdistribusi luas dalam berbagai produk makanan nabati seperti buah, sayur, teh, cokelat, dan wine. Umumnya, bahan nutrasetikal yang berasal dari tumbuhan mengandung flavonoid. Sebagai senyawa fenolik, flavonoid berperan sebagai antioksidan, antiploriferasi dan agen pengkelat. Oleh sebab itu, flavonoid dapat berkhasiat sebagai antikanker (Grotewold, 2006). Tabel I. Sifat flavon dan flavonol
Flavonoid
hRf dalam pengembang
Warna pada UV
ʎmaks dalam EtOH (nm)
Pergeseran dengan Na borat
268,368 255,374 256,378 254,369 254,369 262,278,341,38 6
0 + + 0 +
269,336 255,268,350 252,269,355 248,269,355
0 + 0 0
For estal
BAW
PhOH
Flavonol Kaemferol Kuersetin Mirisetin Isoramnetin Azaletin
55 41 28 53 49
83 64 43 74 48
58 29 13 66 50
Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning
Gosipetin
26
31
12
Hitam redup
83 66 77 72
89 78 82 73
88 66 90 87
Kuning atau hijau kekuningan
6 16 2 9
41 56 31 41
63 79 43 51
Kuning atau hijau kekuningan
Sebagai apigenin
0
98
99
Coklat redup
Sebagai apigenin
Flavon Apigenin Luteolin Krisoeriol Trisol Glikosilflavon Viteksin Isoviteksin Orientin Iso-orientin Biflavonil Kayaflavon
( Harborne, 1987)
Sebagai luteolin
+
12
Menurut Wagner (1996), semua senyawa flavonoid menunjukkan pemadaman di bawah UV254. Sementara pada UV366, senyawa yang menunjukkan fluoresensi oranye hingga kuning merupakan golongan flavonol meliputi kuersetin, mirisetin dan golongan flavon seperti apigenin dan bentuk glikosidanya menunjukkan warna kuning-hijau. Flavonoid memiliki serapan 300-380 nm pada pita I dan 240-280 nm pada pita II (Harborne, 1969). Tabel I menunjukkan karakteristik senyawa golongan flavonoid bila dipisahkan dengan fase gerak forestal, b-butanol:asam asetat:air (BAW) dan fenol (PhOH). Selain ketiga jenis fase gerak tersebut, menurut Markham (2006), dapat digunakan fase gerak kloroform:metanol (96:4) untuk pemisahan aglikon flavonoid apigenin, luteolin dan kuersetin. Salah satu pereaksi untuk mengetahi adanya senyawa flavonoid adalah pereaksi sitroborat. Sitroborat terdiri dari asam sitrat dan asam borat (Anonim, 2009). Asam borat dapat membentuk kompleks khelat dengan gugus orto dihidroksi dan orto hidroksi karbonil seperti pada senyawa kumarin, flavonoid dan kuinon (benzokuinon, naftokuinon dan antrakuinon) (Bohm, 1998).Hasil positif ditandai dengan terbentuknya fluoresensi bercak di bawah sinar UV 365 nm.
13
Gambar 3. Reaksi asam borat dengan gugus ortodihidroksi Sumber: Bohm, 1998
b. L-fenilalanin
Gambar 4. Struktur L-fenilalanin ( Dewick, 2009)
L-fenilalanin merupakan suatu asam amino dengan rumus molekul C9H11NO2 dengan bobot molekul 165,189. L-fenilalanin berupa kristal berwarna putih dan rasa pahit. L-fenilalanin larut dalam air suling, tidak larut dalam etanol dan memiliki titik lebur 270o-275oC. L-fenilalanin tidak stabil terhadap agen pengoksidasi (Anonim, 2004). c. Kuersetin
Gambar 5. Struktur kuersetin ( Zhou dkk., 2011)
Kuersetin yang memiliki rumus molekul C15H10O7 dan bobot molekul 302,24 merupakan senyawa flavonoid yang umum terdapat pada tumbuhan
14
dalam bentuk glikosidanya (rutin, kuersitrin) maupun aglikon ( Harborne dkk., 1999). Menurut Zhou (2011), kuersetin berupa kristal berwarna kuning dengan titik lebur 313-314oC. Melalui beberapa penelitian, diketahui kuersetin memiliki aktivitas sebagai antioksidan yang cukup poten, pengkelat logam, penangkal radikal bebas, dan pencegah oksidasi low density lipoprotein (LDL) (Dewick, 2009). d. Biosintesis flavonoid Menurut Dewick (2009), flavonoid merupakan suatu senyawa yang berasal dari kerangka dasar fenilpropan C6C3. L-fenilalanin dan L-tirosin merupakan prekursor untuk kerangka C6C3. L-fenilalanin diubah menjadi asam sinamat oleh enzim phenylalanine ammonia lyase (PAL) dengan mengeliminasi gugus amina. Enzim PAL umumnya terdapat pada tumbuhan. Menurut Taiz & Seiger (2002), aktivitas enzim PAL dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti nutrisi, intensitas cahaya dan keberadaan fungi. Fungi dapat menjadi trigger bagi transkripsi RNA messenger untuk mengkode sintesis enzim PAL sehingga meningkatkan produksi enzim tersebut pada tumbuhan. L-tirosin dapat diubah menjadi asam p-kumarat engan enzim tyrosine ammonia lyase (TAL). Enzim TAL umumnya terdapat pada bakteri (Dewick, 2009).
15
Gambar 6. Reaksi L-tirosin menjadi asam 4-kumarat (Dewick, 2009)
Pada proses biosintesis yang ditunjukkan Gambar 7 dan Gambar 8, asam sinamat diubah menjadi asam 4-kumarat dengan penambahan gugus hidroksil oleh enzim cinnamate 4-hydroxilase (C4H). Biosintesis dilanjutkan dengan mengubah 4-kumarat menjadi 4-kumaroil-KoA oleh enzim 4coumarate ligase (4CL). Senyawa 3 malonil-Ko-A berasal dari kondensasi 3 asetil Ko-A oleh enzim acetyl-CoA carboxylase (ACC). Senyawa 3-malonil Ko-A dan bergabung dengan 4-kumaroil Ko-A oleh bantuan enzim chalcone synthase (CHS) menjadi naringenin khalkon. Oleh enzim chalcone isomerase naringenin khalkon diubah menjadi naringenin, suatu senyawa flavanon (Andersen & Markham, 2006 ). Naringenin mengalami reaksi oksidasi menjadi apigenin dan luteolin oleh enzim flavon syntase I (FNSI) dan flavone syntase II. Selain itu, naringenin mengalami reaksi hidroksilasi menjadi dihidrokamferol atau dihidro kuersetin oleh enzim flavanon sintase (E3). Dihidrokaemferol atau dihidro kuersetin mengalami reaksi oksidasi menjadi kaemferol dan kuersetin oleh enzim flavonol sintase (E4) (Dewick , 2009).
16
Naringenin Gambar 7. Biosintesis flavonoid
Gambar 8. Biosintesis kuersetin
17
5. Bagian tumbuhan a.
Akar Menurut Mulyani (2006), akar berfungsi untuk mengambil air, unsur
hara dan penyimmpan cadangan makanan. Terdapat dua jenis akar yaitu akar serabut dan tunggang. Akar serabut terdapat pada tumbuhan Monokotil. Setiap akar pada akar serabut memiliki ukuran yang hampir sama. Akar tunggang terdapat pada tumbuhan dikotil. Akar tunggang memiliki akar utama yang bercabang. Akar memiliki rambut akar yang terdapat pada bagian yang dekat dengan ujung akar. Rambut akar merupakan penonjolan dari epidermis akar. b.
Batang Menurut Cambell dan Reece (2002) Batang adalah sumbu bagi
tumbuhan, yaitu tempat melekatnya organ-organ tumbuhan dan terdapat berkas pembuluh di dalamnya. Batang termodifikasi menjari fungsi yang beraneka ragam yaitu stonlom, rhizoma, umbi dan umbi lapis. Bagian batang tempat menempelnya daun disebut nodus dan bagian di antara dua nodus tersebut adalah buku (internodus). Pada sudut yang terbentuk antara masing-masing daun dan batang terdapat tunas aksiler yang berpotensi untuk membentuk tunas baru.
Pada nodus, terdapat jaringan
meristem yang merupakan popilasi sel yang memperbaharui diri sendiri
18
dengan membelah dan menghasilkan sel-sel untuk pertumbuhan tumbuhan. Beberapa produk pembelahan ada yang tetap pada daerah meristematik dan sebagian yang lain berdiferinsiasi menjadi jaringan dan organ baru. c. Daun Daun adalah organ fotosintesis utama bagi tumbuhan. Bentuk daun umumnya terdiri dari helai daun (blade) yang pipih dan tangkai daun yang disebut petiola.Proses fotosintesis
terjadi dalam kloroplas yang memiliki
pigmen klorofil. Kloroplas terdapat pada jaringan parenkim palisade. Daun biasanya rata dan tipis sehingga memudahkan masuknya sinar matahari ke dalam sel. Luasnya permukaan daun memudahkan proses pertukaran gas dari udara luar ke dalam sel. Pada epidermis terdapat stomata yang membantu pertukaran gas. Daun dikelompokkan menjadi dua yaitu daun tunggal dan majemuk. Sebuah daun tunggal memiliki helai daun yang tidak terbagi. Daun majemuk terbagi menjadi beberapa helai anak daun yang kemudian terbagi lagi menjadi daun ganda (Campbell & Reece, 2002). Terdapat empat tipe pertulangan daun yaitu menyirip, sejajar, menjari, dan melengkung (Mulyani, 2006). d.
Bunga Bunga adalah organ untuk reproduksi. Bunga dibentuk oleh meristem
khusus yang berkembang dari ujung batang. Bunga terdiri dari sekelompok daun khusus yang disebut sepala, petala, stamen, dan karpela. Sepala biasanya berwarna hijau dan seluruh sepala disebut kelopak bunga. Petala biasanya
19
berwarna menarik dan keseluruhannya disebut mahkota. Tiap stamen mempunya tangkai sari yang di bagian ujungnya terdapat tangkai sari. Pada tangkai sari, terdapat ruang sari yang di dalamnya berisi serbuk sari. Karpela ada yang tunggal dan berkelompok dan keseluruhannya disebut putik. Terdapat dua pengelompokan bunga yaitu bunga sempurna dan bunga tidak sempurna. Bunga sempurna memiliki benang sari sebagai alat kelamin jantan dan putik sebagai alat kelamin betina. Sementara bunga tidak sempurna hanya memiliki salah satu alat kelamin, betina atau jantan ( Mulyani, 2006). 6. Jaringan dan sel penyusun tumbuhan Jaringan yang terdapat pada tumbuhan secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu jaringan epidermis, jaringan pembuluh dan jaringan dasar. Pada jaringan tumbuhan, terdapat sel-sel penyusun yaitu parenkim, kolenkim, sklerenkim, trakeid, unsur pembuluh dan pembuluh tapis. Parenkim merupakan sel yang tidak mengalami spesialisasi dengan dinding tipis dan lentur. Sel-sel ini melaksanakan sebagian besar proses metabolik tumbuhan. Kolenkim merupakan sel yang memiliki dinding primer yang menebal tidak merata dan menjadi penyokong bagi tumbuhan. Skelernkim merupakan sel yang memiliki dinding sekunder yang mengeras dengan lignin. Sel ini dikhususkan untuk menyokong. Trakeid dan unsur pembuluh merupakan sel penyusun xilem. Trakeid dan unsur pembuluh merupakan sel yang mati pada kematangan fungsional. Trakeid adalah sel panjang dan tipis dengan ujung runcing. Trakeid berfungsi sebagai penyokong dan pengangkut air. Unsur
20
pembuluh umumnya lebih lebar, pendek, tipis, kurang runcing dan membentuk pipa mikro yang memungkinkan air mengalir. Pembulu tapis merupakan sel penyusun floem yang masih hidup pada kematangan fungsional. Pembuluh tapis memiliki pori yang memungkinkan cairan mengalir mudah. a. Jaringan epidermis Epidermis merupakan sistem jaringan dermal yang terdiri dari lapisan tunggal sel-sel yang terbungkus rapat. Epidermis memiliki fungsi utama yaitu sebagai pelindung bagi bagian muda tumbuhan. Epidermis dapat mengalami modifikasi, diantaranya menjadi stomata dan trikoma. 1). Stomata stomata merupakan modifikasi dari jaringan epidermis berwujud pori-pori yang sangat kecil dan diapit oleh sel penjaga. Sel penjaga merupakan sel
epidermal
yang mengalami
spesialisasi.
Stomata
memungkinkan terjadinya pertukaean gas antara udara di sekitarnya dan sel-sel fotosintetik di bagian dalam daun. Stomata juga merupaan jalan utama untuk penguapan air (Campbell & Reece, 2002) halaman 309. Menurut Melcalfe dan Chalk (dalam Mulyani, 2006 halaman 145-146), secara morfologi stomata dibedakan menjadi beberapa tipe antara lain anomositik, anisositik, parasitik, diasitik dan aktinositik. Stomata tipe anomositik merupakan stomata yang dikelilingi oleh sejumlah sel yang ukurannya tidak dapat dibedakan bentuk dan ukurannya
21
dari sel epidermis yang lain. Stomata anisositik merupakan stomata yang dikelilingi oleh tiga sel tetangga yang ukurannya tidak sama. Stomata tipe parasitik merupakan stomata yang setiap penutupnya didampingi oleh satu atau lebih sel tetangga yang letaknya sejajar dengan stomata. Stomata diasitik dikelilingi oleh dua sel tetangga yang letaknya berpotongan. Stomata aktinositik merupakan variasi tipe diasitik yang dikelilingi oleh sel tetangga yang teratur dan menjari. 2). Trikoma Trikoma merupakan modifikasi epidermis yang memiliki struktur lebih padat seperti tonjolan, kelenjardan duri. Sel trikoma ada yang memiliki dinding sekunder dan terkadang berlignin. Trikoma dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu trikoma glanduler dan trikoma non glandular. Trikoma glandularmerupakan trikoma yang memiliki bagian menonjol dan dapat mensekresikan materi organik dan anorganik. Trikoma non glanduler terdiri dari uniseluler maupun multiseluler dan memiliki bentuk bermacam-macam, antara lain bentuk sisik, pipih,bintang dan berlapis (Mulyani, 2006). b. Jaringan pembuluh Jaringan pembuluh merupakan kesinambungan xilem dan floem dan berfungsi dalam proses transpor dan penyokongan. Xilem terdiri dari sel-sel pembuluh dan trakeid yang berfungsi mengangkut air dan unsur hara. Floem terususun dari pembuluh tapis yang berfungsi untuk
22
mengangkut hasil fotosintesis ke organ-organ tumbuhan (Campbell & Reece, 2002). c. Jaringan dasar Menurut Campbell & Reece (2002), jaringan dasar adalah bagian terbesar dari tumbuhan muda yang menempati ruangan antara jaringan dermal dan pembuluh. Sebagian besar penyusun jaringan dasar adalah selsel parenkim, namun sklerenkim dan kolenkim juga umum ditemukan. Fungsi jaringan dasar adalah untuk fotosintesis, penyimpanan, dan penyokongan. 7. Proses transpirasi tumbuhan Zat hara yang terlarut dalam air dapat masuk ke dalam tumbuhan karena perbedaan gradien konsentrasi.
Zat terlarut mengalir dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Zat terlarut dapat masuk ke dalam tumbuhan melalui dua sistem yaitu apoplas dan simplas. Transpirasi sistem apoplas merupakan masuknya zat hara yang terlarut dalam air melalui pembuluh xilem. Kecepatan aliran zat ke dalam tumbuhan berkisar 1m/jam-6m/jam untuk tumbuhan berpembuluh sempit dan 16m/jam- 45m/jam untuk tumbuhan berpembuluh lebar. Transpirasi simplas merupakan masuknya zat terlarut melalui cairan antar sel (Salisbury & Ross, 1995).
23
8. Kultur jaringan tumbuhan Kultur jaringan tumbuhan merupakan teknik untuk menumbuhkan tunas, akar, embrio, kalus, suspensi sel, protoplas, dan anter yang diperoleh dari tumbuhan induk dan diinokulasi pada media buatan. Kultur jaringan tumbuhan memanfaatkan sifat totipotensi sel. Totipotensi merupakan kemampuan sel untuk berdiferensiasi menjadi jaringan an organ baru (George dkk., 2008). Eksperimen kultur jaringan tumbuhan dicirikan oleh penggunaan bagian tumbuhan yang disebut eksplan. Eksplan diperoleh dari bagian tertentu dari tumbuhan dan diinokulasi pada media sesuai secara aseptik. Nutrisi pada media berfungsi sebagai elemen pengganti sel-sel maupun jaringan. Kondisi aseptik diterapkan pada teknik kultur jaringan untuk pencegahan kontaminasi bakteri dan jamur. Kontaminasi bakteri dan jamur menghambat aktivitas biologis eksplan (Neumann dkk., 2009). Keberhasilan kultur jaringan tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain macam eksplan, letak bagian tumbuhan yang digunakan dan ukuran eksplan. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan tumbuhan yaitu umur dan cara pembudidayaan dari tumbuhan yang akan digunakan sebagai eksplan. Dasar pemilihan eksplan adalah tumbuhan sumber eksplan sehat secara fisiologis, kuat, jenis jaringan yang dipilih, dan ukuran eksplan yang cukup besar (George dkk., 2008).
24
a. Macam-macam kultur jaringan Kultur jaringan secara umum digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan semua jenis kultur tumbuhan secara in vitro. Menurut Hendaryono & Wijayani (1994), kultur jaringan tumbuhan dibagi menjadi kultur meristem, anter, protoplas, kloroplas, dan fusi protoplas. Kultur
meristem
merupakan
budidaya
jaringan
dengan
menggunakan eksplan dari jaringan muda atau meristem. Kultur anter merupakan kultur yang menggunakan eksplan dari kepala sari. Kultur protoplas menggunakan protoplas, yaitu sel hidup yang telah dihilangkan dinding selnya. Fusi protoplas teknik untuk melakukan persilangan dua protoplas menjadi satu. Tujuan fusi protoplas adalah untuk budidaya tanaman baru dengan kedua sifat gabungan. b. Kegunaan kultur jaringan Menurut Suryowinoti (dalam Hendaryono dan Wijayani, 1994) kultur
jaringan
memiliki
beberapa
kegunaan,
terutama
untuk
mendapatkan tumbuhan baru dalam jumlah banyak, mempunyai sifat sama atau lebih baik daripada induknya. Dalam bidang farmasi, teknik kultur jaringan bermanfaat untuk produksi metabolit sekunder yang akan digunakan sebagai bahan obat .
25
c. Keuntungan kultur jaringan Kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan.
Eksplan yang
digunakan pada teknik ini berupa potongan kecil tumbuhan, tunas atau embrio sehingga sampel yang dibutuhkan sedikit. Kultur dilakukan secara aseptik sehingga tumbuhan terhindar dari virus atau bakteri. Selain itu, komposisi media, zat pengatur tumbuh, suhu, dan cahaya yang bisa diatur sehingga kondisi optimum untuk pertumbuhan eksplan dapat diperoleh. Kultur jaringan memungkinkan untuk menghasilkan tumbuhan yang sulit atau bahkan tidak mungkin tumbuh secara vegetatif. Dengan teknik kultur jaringan, tumbuhan yang dihasilkan juga dapat memiliki karakteristik baru yang lebih baik. Selain itu, kultur jaringan membutuhkan material yang sedikit dan ruang yang tidak terlalu luas. Produksi dapat dilakukan sepanjang tahun dan tidak tergantung oleh perubahan musim. Teknik ini tidak memerlukan perlakuan seperti penyiraman, penyiangan dan penyemprotan bila dibandingkan dengan metode konvensional (George dkk., 2008). d. Media kultur jaringan Nutrisi pada media berperan penting dalam kesuksesan kultur sel, meskipun tumbuhan autotrof dapat tumbuh di bawah cahaya dan kondisi aerasi yang cukup. Namun pada kultur sel, media nutrisi berperan sebagai bahan untuk sel tersebut tumbuh (Neumann, 2009). Media yang umum digunakan dalam kultur jaringan adalah formulasi Murashige dan Skoog
26
(MS). Media kultur jaringan tumbuhan terdiri dari komponen-komponen seperti makronutrien, mikronutrien, gula, zat pengatur tumbuh, vitamin, agen pemadat berupa agar dan asam amino jika diperlukan (George dkk., 2008). Dalam media MS ditambahkan komponen makro dan mikro. Komponen tersebut merupakan komponen esensial bagi tumbuhan. Tanpa komponen tersebut, tumbuhan tidak bisa menjalankan aktivitas biologis. Komponen makro dan mikro ditambahkan dalam bentuk garam. Komponen makro dibutuhkan dalam jumlah yang besar. Komponen ini terdiri dari amonium nitrat (NH4NO3), kalium nitrat (KNO3), kalsium klorida (CaCl2.2H2O), magnesium sulfat (MgSO4.7H2O), kalium fosfat (KH2PO4). Unsur Nitrogen (N) berfungsi sebagai komponen asam nukleat, protein, hormon, dan koenzim. Kalium (K) merupakan zat terlarut utama yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan air, pergerakan stomata dan kofaktor dalam sintesis protein. Kalsium (Ca) berperan penting dalam pembentukan, stabilitor dinding sel, pengatur banyak respon sel terhadap rangsangan,
pemeliharaan
struktur
dan
permeabilitas
membran.
Magnesium (Mg) berperan sebagai komponen penyusun klorofil. Fosfor (P) berfungsi sebagai komponen asam nukleat, fosfolipid, Adenosine triphosphate (ATP) dan koenzim . Komponen mikro merupakan komponen yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Secara umum, komponen mikro dibutuhkan untuk diferensiasi sel. Garam anorganik
27
mikro terdiri dari asam borat (H3BO3), mangan sulfat (MnSO4.7H2O), natrium molibdat (Na2MoO4.2H2O), tembaga (II) sulfat (CuSO4.5H2O), kobalt klorida (CoCl2.6H2O), dan kalium iodide (KI). Boron (Bo) berperan sebagai kofaktor dalam sintesis klorofil, asam nukleat dan transport karbohidrat. Mangan (Mn) berperan aktif dalam pembentukan klorofil dan proses pemutusan air dalam fotosintesis. Molibdenum (Mo) merupakan unsur esensial yang diperlukan untuk fiksasi nitrogen dan reduksi nitrat.
Seng (Zn) berperan sebagai aktivator beberapa enzim.
Tembaga berperan sebagai komponen enzim-enzim redoks (Campbell & Reece, 2008) Kobalt (Co) dibutuhkan untuk morfogenesis dan berperan dalam pertumbuhan. Iodine diperlukan sebagai agen pereduksi (George dkk., 2008). Besi (Fe) diberikan dalam bentuk kelat dengan asam etilendiamin tetetra asetat (EDTA). Dalam tumbuhan, besi diperlukan oleh kloropas, mitokondria dan peroksisom untuk reaksi redoks. Unsur ini diperlukan untuk pembentukan ion amino laevulinat., suatu prekursor klorofil. Selain itu, besi juga merupakan komponen protein feredoksin yang berperan sebagai pembawa elektron dalam proses fotosintesis (George dkk., 2008). Besi juga memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan pH media kultur. Menurut George dkk. (2008), gula
memiliki peranan penting
sebagai sumber energi, karbon dan modulator ekspresi gen pada kultur sel.
28
Sukrosa adalah disakarida yang biasa digunakan sebagai sumber karbon. Sukrosa adalah gula non reduksi dan dapat terhidrolisis cepat menjadi glukosa
dan
fruktosa.
Berdasarkan
beberapa penelitian, sukrosa
menghasilkan pertumbuhan yang paling baik diantara monosakarida dan disakarida lainnya. Vitamin yang dapat ditambahkan ke dalam media kultur antara lain asam paraaminobenzoat, folat, kolin, klorida, riboflavin, dan asam askorbat (Santosa & Nursandi, 2002). Glisin, arginin, asam aspartat, alanin, asam glutamat, dan prolin adalah asam amino yang biasa ditambahkan dalam media kultur jaringan. Asam amino menyediakan nitrogen tereduksi yang nantinya akan mengakibatkan asidifikasi pada media (Hendaryono & Wijayani, 1994). Myo-inositol merupakan salah satu jenis dari vitamin B yang bersifat sukar larut. Myo-inositol bermanfaat dalam pertumbuhan, sumber energi serta penjaga tekanan osmosis. Nutrisi tambahan seperti air kelapa dalam konsentrasi tertentu seringkali ditambahkan pada media. Air kelapa mengandung beberapa zat diantaranya asam amino, gula, vitamin. Zat dalam air kelapa memiliki aktivitas auksin dan sitokinin sehingga bermanfaat untuk induksi pembelahan sel dan pertumbuhan. (George dkk., 2008). Tumbuhan menghasilkan hormon yang berperan sebagai regulator pada proses pertumbuhan dan perkembangan. Hormon akan memicu
29
respon-respon di dalam sel dan jaringan sasaran. Hormon pertumbuhan tumbuhan diantaranya
auksin dan sitokinin. Auksin dan sitokinin
merupakan hormon yang paling penting untuk regulasi pertumbuhan dan morfogenesis pada kultur jaringan dan organ tumbuhan. Auksin banyak diproduksi dalam jaringan meristem suatu tunas. Auksin berperan dalam mengontrol proses dasar dalam sel yaitu inisasi pembelahan dan perpanjangan sel (Campbell & Reece, 2008). Contoh senyawa sintetis yang memiliki struktur berbeda namun aktivitas biologis seperti auksin yaitu 4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dan naphthalene acetic acid (NAA) (George dkk., 2008).
Gambar 9. Struktur 2,4-D (George dkk., 2008)
Gambar 10. Struktur NAA (George dkk., 2008)
Sitokinin memberikan efek yang bervariasi ketika diaplikasikan pada tumbuhan. Sitokinin dapat mestimulasi sintesis protein dan mengontrol pembelahan sel. Karena memiliki kemampuan tersebut, maka sitokinin dapat memberikan pengaruh pematangan pada kloroplas. Pada kultur jaringan, sitokinin dapat menstimulasi pembelahan sel dan mengontrol morfogenesis. Salah satu senyawa sintesis yang memiliki aktivitas biologis serupa dengan sitokinin adalah kinetin.
30
Gambar 11. Struktur kinetin. (George dkk., 2008)
e. Eksplan Eksplan adalah potongan organ tumbuhan atau jaringan tumbuhan yang digunakan sebagai bahan awal dalam kultur jaringan tumbuhan. Pemilihan eksplan didasarkan pada pengetahuan tentang sel. Bagian tertentu dari organ yang aktif membelah dapat dipilih sebagai eksplan sebab bagian tersebut mampu mengalami pertambahan jumlah sel, volume hingga diferensiasi (George & Sherrington, 1984). f. Sterilisasi Teknik kultur jaringan tumbuhan dilakukan secara aseptis, bebas dari cemaran mikroorganisme. Kontaminasi merupakan masalah yang sering dihadapi. Pertumbuhan mikroorganisme dapat menghambat pertumbuhan dan akan mengganggu sistem fisiologi dan biokimia dari kultur tumbuhan dengan cara mengeluarkan metabolit tertentu (Biondi & Thorpe, 1981). Metode sterilisasi panas yang dapat dilakukan dalam kultur jaringan tumbuhan ada dua, yaitu pemanasan kering dan pemanasan basah. Pemanasan kering dilakukan untuk mensterilkan alat-alat gelas, logam, dan alat-alat lain yang tahan terhadap pemanasan suhu tinggi.
31
Oven bersuhu 60-180oC digunakan untuk sterilisasi metode panas kering. Alat yang akan disterilkan dibungkus dengan aluminum foil terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam oven. Sedangkan untuk pemanasan basah digunakan otoklaf. Prinsip alat ini adalah adanya uap dan tekanan akan mendenaturasi protein mikroba. Sterilisasi dilakukan pada suhu 121 o C dengan tekanan 1 atm selama 20 menit. Sterilisasi ini selain digunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas dan logam, dapat juga digunakan untuk mensterilkan air dan media. Sterilisasi untuk komponen media yang tidak tahan terhadap pemanasan dilakukan dengan metode ultrafiltrasi dengan pori-pori 0,2 µm. Cara sterilisasi tersebut dilakukan dengan penyaring bakteri berukuran tertentu pada suhu kamar (Wetherell, 1982). Sterilisasi tidak terbatas pada alat dan media yang akan digunakan dalam teknik kultur jaringan tumbuhan. Sterilisasi kimia juga dapat mensterilkan ruangan kerja kultur, alat, maupun eksplan. Kerja kultur biasanya dilakukan dalam ruangan kerja yang disebut laminair air flow (LAF). Sterilisasi LAF dapat dilakukan dengan penyemprotan alkohol 70 % pada alat tersebut. Metode sterilisasi lain yang dapat dilakukan adalah penyinaran UV. LAF disterilisasi dengan penyinaran UV selama 30 menit. Menurut Marks (2000), sinar UV dapat menyebabkan timen dimer. Dua pirimidin yang berdekatan dapat membentuk sebuah ikatan yang kovalen. Hal ini
32
menyebabkan rusaknya sintesis protein pada bakteri dan jamur sehingga kontaminan tersebut tidak dapat bertahan hidup. Supaya tetap dalam keadaan steril, terdapat penyaring besar pada LAF dengan ukuran lubang 0,22-0,24 μm. Bakteri dan jamur ditahan oleh saringan ini sehingga udara yang masuk ke dalam LAF sudah steril dan membuat ruangan menjadi steril (Hendaryono & Wijayani, 1994). Sterilisasi eksplan dapat dilakukan dengan sterilisasi kimiawi. Zat yang umum digunakan adalah sublimat atau merkuri klorida (HgCl2). Sublimat memiliki rumus meolekul HgCl2 dengan bobot molekul 271,5. Sublimet berupa kristal berwarna putih tidak berasa dan berbau dengan itik leleh 277oC, bersifat mudah menguap pada suhu kamar dan larut dalam air namun dapat terdekomposisi oleh asam kuat. Sublimat bersifat korosif pada membrane mukosa dan bersifat toksik bila dihirup dan ditelan. Digunakan sebagai desinfektan, fungisida dan pengawet kayu (Anonim, 2016). 9. Pengaruh suhu rendah pada penyimpanan tunas Suhu rendah di bawah 10oC menyebabkan kondisi dormansi pada tunas. Pada saat dormansi, proses metabolisme di dalam sel masih berlangsung dalam waktu yang lambat. Proses metabolisme melibatkan hormone dan enzim. Untuk melangsungkan aktivitasnya, hormon dan enzim membutuhkan air. Hal ini menyebabkan berkurangnya air di dalam
33
sel. Proses respirasi pada tunas masih berlangsung. Proses resprasi menghasilkan uap air sehingga air di dalam sel penyusun tunas berkurang (Salisbury & Ross, 1995). 10. Ekstraksi Untuk mendapatkan suatu senyawa dalam jumlah tertentu, dapat dipisahkan dengan cara ekstraksi. Ekstraksi merupakan cara pengambilan suatu senyawa dari sel menggunakan pelarut yang sesuai. Pelarut yang digunakan sangat tergantung dari polaritas senyawa yang akan diambil. Penggunaan metode ekstraksi yang berbeda-beda sangat bergantung dari jenis senyawa maupun kondisi simplisia. Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan adalah maserasi, perkolasi dan ekstraksi dengan alat Soxhlet. Maserasi merupakan pengambilan senyawa dengan merendam serbuk simplisia dengan pelarut dan dibantu dengan pengadukan.. Perkolasi merupakan metode ekstraksi dengan mengalirkan pelarut pada serbuk simplisia sehingga senyawa dalam serbuk ikut terbawa dalam pelarut. Sedangkan ekstraksi dengan alat Soxhlet adalah ekstraksi dengan pelarut yang dipanaskan dan pelarut dalam bentuk uap akan melarutkan senyawa dalam simplisia dan akan didinginkan, kemudian pelarut akan dipanaskan kembali menjadi uap untuk mengambil senyawa tersebut (Stahl & Schild, 1996).
34
Proses refluks berguna untuk mengefektifkan proses ekstraksi. Proses ekstraksi yang efektif dapat meningkatkan kadar senyawa yang berhasil terekstraksi (Anantharaman & Begum, 2011). Menurut Bart (2005), prinsip refluks adalah ekstraksi dengan pelarut di bawah pemanasan pada suhu titik didih pelarut. Pada proses refluks, terjadi penyarian berulang oleh uap pelarut yang terkondensasi kembali. Menurut Kowalska & Sherma (2006), di dalam ekstrak tumbuhan umumnya terdapat zat ballast dalam jumlah banyak. Contoh zat ballast antara lain lemak, klorofil dan resin. Zat ballast dapat dipisahkan dari ekstrak dengan pelarut non polar. 11. Kromatografi lapis tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik pemisahan dalam bentuk planar. Kromatografi lapis tipis menggunakan fase diam berupa lapisan yang seragam pada lempeng kaca atau pelat aluminium. Fase diam yang dapat digunakan adalah silika gel dan selulosa. Mekanisme pemisahan pada fase diam silika gel adalah absorbsi dan mekanisme pemisahan fase diam selulosa adalah pastisi. Fase gerak yang digunakan disesuaikan dengan polaritas senyawa yang akan dianalisis. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan karena mudah, murah dan cepat. Metode ini digunakan untuk identifikasi pemisahan komponen senyawa dengan pereaksi warna maupun fluoresensi. Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Pada
35
analisis kualitatif, digunakan
parameter nilai Rf. Dua senyawa dapat
dikatakan sama jika mempunyai Rf yang sama dengan pembanding serta warna yang sama jika dideteksi pada lampu UV366 dan pereaksi semprot. Untuk analisis kuantitatif, luas area bercak dapat diukur dengan densitometri. Densitometer bekerja berdasarkan serapan atau fluoresensi yang dimiliki oleh senyawa ( Gandjar & Rohman, 2012). F. Landasan Teori Kultur jaringan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk perbanyakan sel. Kultur jaringan memanfaatkan sifat totipotensi
sel,
yaitu kemampuan setiap sel dari setiap bagian yang tumbuh menjadi jaringan atau organ baru jika ditumbuhkan dalam media yang sesuai. (Neumann dkk., 2009). Sel yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan memiliki kesamaan dengan induknya. Teknik ini memungkinkan untuk menghasilkan tumbuhan yang sama dengan induknya. Salah satu jenis kultur jaringan adalah kultur tunas. Tunas berasal dari nodus batang tumbuhan. Menurut Campbell & Reece (2002), sel-sel penyusun tunas yang merupakan sel muda yang bersifat meristematik. Sel meristematik masih aktif membelah dan berdiferensiasi menjadi jaringan dan organ baru. Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan untuk kultur tunas adalah Scoparia dulcis L. Scoparia dulcis L. merupakan salah satu tumbuhan yang tumbuh liar dan memiliki kandungan beberapa senyawa
36
yaitu kuersetin, asam p-kumarat, luteolin, dan apigenin dengan perbandingan 8:26:1:3 (Beh, 2013). Kuersetin merupakan senyawa flavonol yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan agen pengekelat logam karena terdapat gugus ortodihidroksi (Dewick, 2009). Produksi kuersetin dalam S.dulcis dimungkinkan dilakukan penningkatan dengan penambahan asam amino L-fenilalanin sebagai prekursor flavonoid dalam media kultur. Pada penelitian fisiologi tumbuhan, pemberian L-fenilalanin dapat meningkatkan rutin dan senyawa fenolik pada tunas Fagopyrum sp (Seo dkk., 2014). Menurut Koca & Karaman (2014). Pemberian L-fenilalanin pada Ocimum basilicum L. meningkatkan kadar flavonoid total. Nutrisi masuk ke dalam eksplan melalui difusi sehingga proses metabolisme dalam eksplan dapat berlangsung. Penambahan zat pengatur tumbuh secara eksogen akan mempercepat pertumbuhan tunas. Lfenilalanin yang ditambahkan pada media akan berdifusi ke dalam eksplan sehingga akan memengaruhi pertumbuhan tunas dan produksi kuersetin yang merupakan senyawa flavonoid. Senyawa yang terkandung dalam S.dulcis diekstraksi dengan metanol. Kuersetin dianalisis secara kualitatif dengan KLT dan secara kuantitatif dengan KLT-densitometri. Berikut ini adalah pola pikir pada penelitian ini:
37
Scoparia dulcis L. tersebar secara luas di daerah tropis seperti Indonesia
S.dulcis mengandung senyawa turunan flavonoid kuersetin (Beh dkk., 2013)
Kuersetin aktivitas sebagai antioksidan dan agen pengkelat logam (Dewick, 2009)
Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam produksi metabolit (Taiz & Zeiger, 2002) Flavonoid dapat ditingkatkan produksinya dengan penambahan prekursor L-fenilalanin (Koca & Karaman, 2014., Seo dkk., 2014)
Kultur tunas dapat dilakukan untuk menghasilkan tanaman baru yang memiliki karakteristik seperti induk (Hendaryono & Wijayani, 1994))
Penambahan L-fenilalanin dilakukan dalam kultur tunas S.dulcis untuk meningkatkan produksi kuersetin dan meminimalisir faktor lingkungan
KLT-densitometri digunakan untuk analisis kuersetin secara kualitatif dan kuantitatif
H. Hipotesis 1. Profil KLT tumbuhan hasil kultur tunas memiliki kemiripan dengan tumbuhan asalnya. 2. Pemberian asam amino L-fenilalanin dalam media akan meningkatkan produksi kuersetin kultur tunas S.dulcis.