11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Cerita rakyat atau folklor yang ada di dalam masyarakat merupakan suatu bentuk cerita dari mulut ke mulut yang sampai sekarang masih dipercaya oleh masyarakat setempat. Menurut James Danandjaya (1984:4), definisi folklor secara keseluruhan adalah: sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam benuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat. Umumnya cerita rakyat mempunyai makna dan amanat yang tersembunyi di balik cerita yang tersebar di masyarakat. Carita rakyat juga bertujuan untuk menghormati, memuja mohon keselamatan dan ucapan syukur kepada Tuhan melalui para leluhur dan peninggalannya. Mereka percaya bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh manusia dapat diatasi dengan keterlibatan para leluhurnya dan peninggalannya, sehingga akhirnya mempercayai dan meyakini cerita rakyat tersebut. Cerita rakyat maupun folklor merupakan salah satu upaya manusia untuk melestarikan kebudayaan dan adat yang telah dibuat oleh leluhurnya dan diteruskan secara turun menurun kepada masyarakat. Diharapkan dengan cerita rakyat atau folklor tersebut manusia dapat mengetahui asal-usul ataupun kejadian dimana cerita rakyat itu diceritakan kepada masyarakat.
1
2
Salah satu cerita rakyat yang masih eksis yaitu cerita rakyat Syeh Domba yang terletak di Dukuh Cakaran, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Cerita rakyat Syeh Domba sudah mendarah daging bagi masyarakat Klaten khususnya Desa Paseban. Hal ini tidak terlepas dari kehidupan orang Jawa pada umumnya hal-hal yang berbau gaib dan mistis masih sangat kental sekali karena termasuk juga dalam kebudayaan Jawa. Cerita-cerita mitos menurut kepercayaan masyarakat sungguh-sungguh terjadi dan dalam arti tertentu menjadi keramat (Keesing, 2004:106). Dengan anggapan seperti itulah kedudukan serta fungsi cerita rakyat tersebut semakin kuat pengaruhnya bagi masyarakat. Mitos dianggap memberi gambaran tentang kehidupan manusia yang bersifat baik dan buruk, sehingga masyarakat Dukuh Cakaran, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah masih mengagungkan mitos yang ada, yaitu mitos Syeh Domba. Syeh Domba diyakini sebagai murid Sunan Pandanaran yang kemudian diberi amanat membantu menyebarkan agama islam di daerah Paseban, Bayat. Sebelum menjadi murid sunan Pandanaran dahulu kala Syeh Domba adalah seorang begal yang berjuluk Sambang Dalan. Sambang dalan membegal sunan Pandanaraan dan kemudian dikutuk menjadi domba (kepalanya domba badannya manusia) dan akhirnya bertaubat dan ingin menjadi murid sunan Pandanaran. Petilasan Syeh Domba merupakan salah satu tempat yang di anggap sakral oleh masyarakat baik di daerah Bayat maupun luar daerah. Menurut cerita masyarakat sekitar dahulu Syeh Domba adalah murid Sunan Pandanaran yang
3
turut berperan dalam siar agama Islam di daerah Bayat. Syeh Domba juga berperan sebagai muadzin (orang yang mengumandangkan adzan) di Masjid Golo. Kesaktian dan penanannya semasa hidup Syeh Domba dulu membuat makam atau petilasan Syeh Domba dijadikan tempat untuk ngalap berkah sampai sekarang. Banyak orang yang meyakini kalau bersemedi atau bertapa di petilasan Syeh Domba maka keinginannya akan terkabul.
Menurut masyarakat sekitar
maupun juru kunci, banyak orang yang datang ke makam Syeh Domba untuk berbagai alasan. Tidak hanya untuk meminta keinginannya terkabul mlainkan juga ada yang datang untuk meminta kesembuhan untuk sakit, dan ada juga yang datang memang hanya untuk berziarah. Banyaknya tujuan orang yang datang sangat membuat peneliti tertarik untuk mengangkat objek Cerita Rakyat Syeh Domba sebagai penelitian. Dimana peneliti akan mengumpulkan informasi dan mencari tau tujuan orang yang datang ke petilasan Syeh Domba.
Peneliti ingin mengetahui tujuan orang yang
berkunjung dan juga ingin menguak ritual-ritual apa saja yang biasa dilakukan di petilasan Syeh Domba dan adakah keterkaitan petilasan Syeh Domba dengan pesugihan tuyul yang banyak di bicarakan oleh orang yang belum tau kebenarannya. Banyak hal-hal yang menarik yang dapat diteliti dalam petilasan Syeh Domba. Banyak ritual-ritual atau upacara adat yang diadakan di makam Syeh Domba, di antaranya yaitu ritual persugihan tuyul yang belum tentu kebenarannya, ritual puasa ngebleng, dan ritual pengobatan. Banyak ritual dan
4
tujuan orang yang datang untuk ngalap berkah tersebut di atas, peneliti juga tertarik untuk mengulas cerita atau kisah perjalanan hidup Syeh Domba. Syeh Domba meninggal pada Selasa Kliwon tanggal 21 bulan Ramadan di bukit Cakaran, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sampai sekarang setiap malam 21 bulan Puasa selalu diadakan ritual slametan dan pengajian di makam Syeh Domba untuk mengenang atau menghormati baliau. Selain itu makam ini juga banyak dikunjungi oleh peziarah dari berbagai wilayah, paling jauh dari Palembang. Makam ini ramai dikunjungi pada setiap malam Selasa Kliwon dan setiap malam Jum’at. Pengunjung makam Syeh Domba datang dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda ,ada yang sekedar berziarah agar mendapat berkah, ada yang datang untuk berobat, ada yang datang untuk meminta penglaris, mencari wangsit, dan ada juga yang datang untuk mencari persugihan tuyul. Ritual slametan yang diadakan untuk memperingati wafatnya Syeh Domba sangat sederhana dan tidak ada ritual atau proses yang mewah. Ritual yang dilakukan hanyalah slametan yaitu membuat kenduri atau bancakan dengan membuat nasi tumpeng, kemudian malam harinya diadakan pengajian yang melibatkan ustad, warga masyarakat dukuh cakaran dan pengunjung atau peziarah. Menurut juru kunci kenapa slametan yang diadakan untuk mengenang Syeh Domba sangat sederhana, hal itu dikarenakan karena dulunya Syeh Domba adalah orang kecil yang hidupnya sederhana, apa adanya dan penuh prihatin, namun selalu bersyukur dengan keadaan dalam hidupnya. Menginggat hal itu slametan yang diadakan juga sederhana tetapi bermanfaat.
5
Makam Syeh Domba sering digunakan untuk bertapa atau puasa ngebleng (tidak makan dan minum selama waktu yang dikehendaki) oleh pengunjung, hal itu dilakukan untuk mencari berkah atau petunjuk. Pengunjung yang melakukan puasa ngebleng harus lebih dahulu menemui juru kunci dan meminta ijin untuk melakukan puasa ngebleng dan bertapa. Kata Juru kunci (Paiman) banyak yang ditemui oleh sosok makhluk yang disinyalir itu adalah sosok utusan atau bahkan Syeh Domba sendiri seusai melakukan Puasa ngebleng dan bertapa. Konon katanya sosok yang muncul berbeda-beda, ada yang berwujud macam, burung puyuh, dan juga berwujud manusia yang memakai jubah atau pun memakai sorban. Setelah selesai melakukan puasa ngebleng tersebut menurut penuturan juru kunci banyak juga yang permintaannya terkabul. Pengunjung yang ingin melakukan ritual seperti itu terlebih dahulu harus meminta ijin kepada juru kunci, setelah juru kunci berinteraksi atau memintakan ijin pada yang menjaga makam itu barulah puasa ngebleng dan bertapa bisa dimulai. Diawali dengan niat yang baik dan meminum air yang diberikan oleh juru kunci yang diambil dari dekat makam Syeh Domba, dipercaya air itu bisa menguatkan orang yang melakukan puasa ngebleng. Setelah meminum air itu barulah dimulai puasa ngebleng dan bertapa. Diceritakan juga oleh bapak Paiman bahwa pernah ada orang dari Jakarta yang menderita sakit struk atau lumpuh yang datang dan bermaksud meminta kesembuhan. Oleh bapak Paiman orang yang sakit tersebut diberi air yang diambil dari dekat makam dan kemudian diberi doa atau rapalan dari juru kunci di depan
6
makam Syeh Domba, kemudian disuruh minum secara rutin oleh orang yang sakit tersebut dan ternyata orang itu berangsur-angsur pulih. Selain berobat dan berziarah ada juga orang yang datang untuk mencari penglaris dan pesugihan Tuyul. Untuk mencari penglaris biasanya terlebih dahulu menyiapkan sesaji atau uba rampe yang berupa umbi-umbian, pisang kapok rebus dan teh pait, kata juru kunci sesaji itulah yang paling disukai oleh Eyang Syeh Domba. Setelah sesaji siap barulah dilakukan ritual oleh juru kunci dan orang yang bersangkutan. Ritual penglaris di makam Syeh Domba berbeda dengan ritual penglaris yang pada umumnya. Ritual penglaris atau pengasihan yang dilakukan di makam Syeh Domba hanyalah menyiapkan sejen kemudian berdoa atas ijin Allah SWT melalui makam Syeh Domba untuk meminta apa yang diinginkan terkabul, namun juga tetap harus disertai dengan usaha dan doa. Berbeda lagi dengan persugihan Tuyul yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan Syeh Domba yang dikenal sebagai penyebar agama Islam. Sebelum membahas lebih lanjut ditegaskan oleh juru kunci Bapak Paiman bahwa makam Syeh Domba tidak ada kaitannya untuk pencarian pesugihan tuyul. Mungkin karena letaknya yang satu lokasi dan berdekatan sehingga orang-orang salah menafsirkan kalau makam Syeh Domba itu tempat untuk mencari tuyul. Karena pada kenyataannya memang tidak ada ritual mencari tuyul di makan Syeh Domba. Kata bapak Paiman orang yang mencari Tuyul harus menyiapkan sesaji sebagai mas kawin atau mahar, setelah mahar siap barulah dilakukan ritual dan anggota keluarga yang ingin mencari tuyul harus memakan sesaji itu setelah ritual
7
usai, dimaksudkan bahwa sekeluarga tersebut telah sepakat memelihara tuyul. Tuyul yang telah diambil harus diperlakukan seperti keluarga sendiri oleh yang memelihara, kata juru kunci apabila orang itu melanggar pantangan maka tuyul itu akan pulang dan mengadu kepada juru kunci dan tentunya orang yang memelihara tuyul tersebut harus menanggung resiko yang telah disepakatinya. Pesugihan tuyul adalah pesugihan memuja golongan jin yang berwujud seperti bocah atau bayi, walaupun tubuhnya mungil tapi wajahnya banyak kriputnya. Tuyul dipelihara oleh pemujanya untuk dirawat dan dituruti segala keinginannya, namun sebagai imbal balik kepada pemujanya tuyul akan membantu mencarikan uang dengan cara mencuri uang milik orang lain. Tuyul adalah anak-anak makhluk halus , “anak-anak yang bukan manusia”. Tuyul tidak mengganggu, menyakiti atau menakuti manusia, malah sebaliknya tuyul disenangi oleh manusia yang memelihara tuyul karena membantu mencari uang. Kalau orang ingin melihat tuyul maka harus berpuasa, bersemedi, dan juga dengan ritual khusus maka tuyul dapat dilihat dan dapat direkrut sebagai pekerja yang menghasilkan uang, dengan kensekuensi bagi yang memelihara tuyul maka kelak ketika mengadapi maut akan dipersulit matinya, dengan kata lain matinya secara perlahan dan tersiksa, juga arwahnya tidak akan diterima oleh Tuhan. Hal ini mungkin dianggap setimpal bagi pemelihara tuyul, karena pemalihara hanya menyediakan tempat tidur dan menghidangkan bubur tiap malam, yang merupakan makanan pokok tuyul, selain itu istri orang yang memelihara tuyul harus menyusui tuyul tersebut. Bukan asi yang diminum oleh
8
tuyul melainkan darah orang yang menyusuinya jadi lama-kelamaan wanita itu akan keriput. Orang yang mencari Tuyul harus menyiapkan sesaji sebagai mahar, setelah mahar siap barulah dilakukan ritual dan anggota keluarga yang ingin mencari tuyul harus memakan sesaji itu setelah ritual usai, dimaksudkan bahwa sekeluarga tersebut telah sepakat memelihara tuyul. Tuyul yang telah diambil harus diperlakukan seperti keluarga sendiri oleh yang memelihara, kata juru kunci apabila orang itu melanggar pantangan maka tuyul itu akan pulang dan mengadu kepada juru kunci dan tentunya orang yang memelihara tuyul tersebut harus menanggung resiko yang telah disepakatinya. Banyak sekali mitos dan hal-hal yang janggal atau diluar nalar manusia yang terdapat di makam Syeh Domba tersebut, oleh karana itu sangat menarik untuk mengangkatnya sebagai penelitian. B. Batasan Masalah Penelitian ini membatasi masalah pada profil masyarakat pendukung cerita, bentuk, isi, dan ritual serta pengaruh cerita rakyat yang terdapat di Dukuh Cakaran bagi masyarakat. Adapun langkah yang ditempuh yaitu mengkaji bentuk dan isi cerita yang terkandung dalam cerita rakyat Syeh Domba di Dukuh Cakaran, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah kemudian dilanjutkan dengan menganalisis ajaran yang terkandung dalam cerita rakyat Syeh Domba.
9
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam penelitian sangat penting untuk mengetahui pokok pembahasan suatu penelitian yang akan dikaji. Hal ini dikarenakan agar penelitian dapat lebih terarah dan tidak keluar dari tujuannya. perumusan masalah ini meliputi: 1.
Bagaimana profil masyarakat
Dukuh Cakaran, Desa Paseban,
Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah? 2.
Bagaimana bentuk dan isi cerita serta mitos yang terdapat dalam cerita rakyat Syeh Domba?
3.
Adakah ritual-ritual yang diadakan dalam cerita rakyat Syeh Domba?
4.
Bagaimana makna dan eksistensi mitos cerita rakyat Syeh Domba terhadap masyarakat Dukuh Cakaran ? D. Tujuan Masalah Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan jawaban atas
permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai adalah: 1.
Mendeskripsikan profil masyarakat Dukuh Cakaran, Desa Paseban Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
2.
Mendiskripsikan Bentuk dan isi cerita serta mitos yang terdapat dalam cerita rakyat Syeh Domba.
3.
Mengungkapkan ritual-ritual yang diadakan dalam cerita rakyat Syeh Domba.
10
4.
Mendeskripsikan makna dan eksistensi mitos cerita rakyat Syeh Domba terhadap masyarakat Dukuh Cakaran. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai oleh peneliti adalah agar kelak penalitian ini
berguna untuk kedepannya, untuk itu peneliti menuliskan pemikiranya dalam dua bentuk manfaat, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Secara teoretis, manfaat yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui asalusul, isi dan bentuk, fungsi serta pengaruh cerita rakyat Syeh Domba bagi masyarakat pendukungnya. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat barmanfaat untuk mengungkap aspek-aspek kekuatan nilai budaya Jawa pada sebuad sastra lisan. Dan juga untuk menambah wawasan mengenai pengetahuan cerita lisan bagi perkembangan sastra dan dapat dijadikan sebagai sumber ilmu bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai bahan pertimbangan pemasukan daerah terkait dengan keberadaan petilasan Syeh Domba, dan tradisi budaya yang berada di Kabupaten Klaten. Selain itu juga untuk pendokumentasian cerita rakyat sebagai salah satu aset kekayaan lisan Nusantara dan untuk kesempatan lain dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih lanjut.
11
F. Pengertian Foklor Berdasarkan etimologisnya, kata folklor berasal dari bahasa Inggris yakni folklore. Kata itu merupakan kata majemuk yang berasal dari dua buah kata yakni folk dan lore. (Danandjaja, 1986: 1). Menurut Dundes dalam Danandjaya folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga data dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. (Danandjaja, 1986: 1). Mereka telah mempunyai suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. (Danandjaja, 1986: 2). Berdasarkan pengertian tersebut jadi folk adalah sinonim dengan kolektif, yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. (Danandjaja, 1986: 2). Sedangkan yang dimaksud dengan lore adalah sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric device). (Danandjaja, 1986: 2). Menurut Danandjaja (1986: 3) mengatakan secara keseluruhan defenisi folklore adalah sebagai berikut: “Sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun cantoh
12
yang disertai dengangerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)”. Folklor merupakan sebuah wujud kebudayaan. Analisis kebudayaan bukanlah pengetahuan eksperimental untuk mencari hukum-hukum, tetapi pengetahuan interpretatif untuk menemukan makna (Geertz, 2000). Bagi Geertz, memahami budaya sebagai jaringan yang kompleks dari tanda-tanda, simbolsimbol, mitos-mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang membutuhkan pendekatan hermeneutik. Geertz menempuh metode hermeneutika tebal atau yang dikenal dengan istilah anthropology interpretative. Metode Geertz ini mencoba untuk memaparkan bagaimana membangun teori tafsir terhadap budaya. Semua hanya bersifat prediktif. Begitupun dengan analisis mengenai mitos Syeh Domba. Mitos Syech Domba merupakan sastra lisan, sehingga penafsiran-penafsiran dilakukan untuk mengungkapnya. G. Bentuk Folklor James Dananjaya (1997:21-22) menyatakan bahwa yang termasuk folklore meliputi: 1.
Bahasa rakyat (folk speech), yakni bentuk folklore Indonesia yang termasukdalam kelompok bahasa rakyat seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan title kebangsawanan;
2.
Ungkapan tradisional seperti, peribahasa(peribahasa yang sesungguhnya, peribahasa tidak lengkap kalimatnya, peribahasa perumpamaan) dan ungkapan (ungkapan-ungkapan yang mirip peribahasa);.
13
3.
Pertanyaan tradisional seperti teka-teki merupakankan pertanyaan yang bersifat tradisional, dan yang mempunyai jawaban yang tradisional pula;
4.
Sajak dan puisi rakyat yakni folklor lisan yang memiliki kekhususan, kalimatnya tidak berbentuk bebas (free phrase) melainkan berbentuk terikat (fix phrase). Sajak atau puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang sudah tertentu bentuknya, biasanya terjadi dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama. Puisi rakyat dapat berbentuk ungkapan tradisional (peribahasa), pertanyaan tradisional (teka-teki), cerita rakyat, dan kepercayaan rakyat yang berupa mantra-mantra.
5.
Cerita prosa rakyat, cerita rakyat dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu, 1). Mite (myth), 2) Legenda(legend), dan 3) dongeng (Folktale)
6.
Nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Jenis-jenis folklor sebagai sastra lisan pun banyak, tidak jauh berbeda
dengan jenis sastra tulis. Menurut Hutomo (dalam Endraswara, 2003:151), bahan sastra lisan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: 1.
Bahan yang bercorak ceritera: (a) cerita-cerita biasa (tales), (b) mitos (myths), (c) legenda (legends), (d) epic (epics), (e) cerita tutur (ballads), (f) memori (memorates,)
2.
Bahan yang bercorak bukan cerita: (a) ungkapan (folk speech), (b) nyanyian (songs), (c) peribahasa (proverbs), (d) teka-teki (riddles), (e) puisi lisan
14
(rhymes), (f) nyanyian sedih pemakaman (dirge), (g) undang-undang atau peraturan adat (law) 3.
Bahan yang bercorak tingkah laku (drama): (a) drama panggung, dan (b) drama arena. Dalam perkembangannya, menurut
Brunvand (dalam Danandjaja,
1986:21), bentuk folklor dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1.
Folklor lisan,
2.
Folklor sebagian lisan,
3.
Folklor bukan lisan. Cerita Syeh Domba
termasuk ke dalam folklor sebagian lisan karena
bentuknya merupakan gabungan antara unsur lisan dan unsur bukan lisan. Unsur lisan berasal dari warisan atau tradisi lisan yang turun temurun sedangkan unsur bukan lisan karena memiliki bentuk atau bermateri yaitu diwujudkan dalam berbagai ritual. Fungsi folklor tidak dapat dilepaskan begitu saja dari kebudayaan secara luas, dan juga dengan konteknya. Folklor milik seseorang dapat dimengerti sepenuhnya hanya melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan orang yang memilikinya. Fungsi folklor menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1986:19), yakni sebagai: (1) sistem proyeksi (projective system) (2) Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan (3) Alat pendidikan anak (pedagogical device), dan
15
(4) Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi oleh kolektifnya. Peringatan wafatnya Syeh Domba merupakan sebuah ritual tahunan yang dinamakan dengan Ritual Slametan. Hal ini dilakukan karena telah menjadi adat atau kebiasaan yang telah dilakukan secara turun temurun. Ritual ini yang diulang-ulang merupakan realisasi daripada penghormatan kepada sastra lisan atau mitos Syeh Domba yang ada di masyarakatnya. Ciri sastra lisan antaralain belum mengenal sistem huruf dan nama pengarang, sebab sastranya merupakan milik masyarakat bersama. Hal ini menjelaskan bahwa sastra itu tidak semata-mata bersifat penghidangan atau peniruan, melainkan juga merupakan tanggapan terhadap lingkungan, jaman, dan sastra sebelumnya (Hardjana, 1981:11). Dapatlah kiranya dikatakan bahwa munculnya sastra yang bersifat tanggapan itulah yang menyebabkan macammacam versi dari sebuah sastra lisan tertentu, meskipun kelemahan daya ingat manusia juga dapat menyebabkan berubah-ubahnya suatu versi sastra lisan. a. Ciri Pengenalan Foklor Folklore memiliki sembilan ciri utama. Ciri prengenal folklore ini dapat dijadikan pembeda folklore dari kebudayaan lainnya (Dananjaja, 1997: 3-4). Kesembilan ciri pengenal itu adalah sebagai berikut, 1) Penyebaran dan pewarisnya biasanya dilakukan secara lisan yakni disebarkan dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi barikutnya; 2) Bersifat tradisional , disebarkan dalam bentuk relative tetap (standar);
16
3) Folklor exis dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda lantaran tersebar secara lisan dari mulut ke mulut; 4) Bersifat anonim, nama penciptanya tidak diketahui 5) Folklor biasanya memiliki bentuk berumus atau berpola memiliki formula tertentu dan manfaatkan bentuk bahasa klise; 6) Folklor mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif (alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendam); 7) Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum (ciri ini berlaku baik bagi folklore lisan maupun folklore sebagian lisan); 8) Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, hal ini disebabkan oleh pencipta pertama tidak diketahui lagi; 9) Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatan kasar, terlalu spontan; hal demikian dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklore merupakan proyeksi emosi manusia-manusia yang paling jujur manifestasinya. H. Pengertian Cerita Rakyat Menurut James Danandjaja (1984:4) cerita rakyat adalah suatu karya sastra yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap, atau dalam bentuk baku disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
17
Elli Konggas Maranda (dalam Yus Rusyana 1981: 10) berpendapat bahwa cerita lisan sebagai bagian dari folklor merupakan bagian persediaan cerita yang telah mengenal huruf atau belum. Perbedaannya dengan sastra tulis yaitu sastra lisan tidak mempunyai naskah, jikapun sastra lisan dituliskan, naskah itu hanyalah merupakan catatan dari sastra lisan itu, misalnya mengenai gunanya dan perilaku yang menyertainya. Sastra lisan atau dalam bahasa Inggris oral literature diartikan sebagai unwritten literatur, yaitu bentuk-bentuk sastra yang hidup dan tersebar secara tidak tertulis (Finnegan, 1992: 9; Rusyana, 1978:1; Teeuw, 1984: 279). Sastra lisan sering dipertukarkan dengan istilah tradisi lisan. Tradisi merupakan budaya yang berguna, cara untuk melakukan suatu hal, unik, berproses dalam hal pekerjaan, ide, atau nilai, dan kadang-kadang berkonotasi kuno serta muncul secara alami. Jadi, tradisi lisan adalah tradisi yang bersifat verbal atau tidak tertulis, milik masyarakat (folk), dan memiliki nilai (Finnegan, 1992: 7). Jadi, dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat adalah cerita yang diceritakan secara lisan dari generasi-kegenerasi dalam waktu yang cukup lama dan relatif sama dalam kolektif tertentu. 1.
Ciri-ciri cerita rakyat James Danandjaja (1984:4) berpendapat bahwa cerita rakyat sebagai
folklor mempunyai beberapa ciri pengenal yang membedakan dari kesusastraan secara tertulis, sebagai berikut : a.
Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
18
b.
Cerita rakyat memiliki versi yang berbeda-beda karena penyebarannya secara lisan.
c.
Cerita rakyat bersifat tradisional dan disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
d. Cerita rakyat anonym karena pengarangnya tidak diketahui lagi, maka cerita rakyat telah menjadi milik masyarakat pendukungnya. e.
Cerita rakyat selalu menggunakan bentuk berpola yaitu menggunakan katakata klise, ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan mempunyai pembukuan dan penutupan yang baku. Gaya ini berlatar belakang kultus terhadap peristiwa dan tokoh utamanya.
f.
Cerita rakyat mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif, yaitu sebagai sarana pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g.
Cerita rakyat mempunyai sifat-sifat prologis, dalam arti mempunyai logika tersendiri, yaitu tentu saja lain dengan logika umum.
h.
Cerita rakyat menjadi milik bersama dari suatu kolektif tertentu. Dasar anggapan ini sebagai akibat sifatnya yang anonym.
i.
Cerita rakyat bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatan kasar, terlalu spontan. Rusyana (1981: 17) menyebutkan ada tiga ciri dasar sastra lisan yaitu:
a.
Sastra lisan tergantung kepada penutur, pendengar, ruang dan waktu
19
b.
Antara Penutur dan pendengar terjadi kontak fisik sarana komunikasi dilengkapi paralinguistik
c.
Bersifat anonim
2.
Bentuk cerita rakyat Cerita rakyat memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan diatas dan
William R. Boscom membagi bentuk-bentuk cerita rakyat seperti di bawah ini : a.
Mite mengandung tokoh-tokoh dewa atau setengah dewa. Tempat terjadinya ditempat lain dan masa terjadinya jauh di masa purba.
b.
Legenda adalah cerita yang mengandung ciri-ciri hampir sama dengan mite. Tokoh dalam legenda tidak disakralkan oleh pendukungnya. Tokoh merupakan manusia biasa yang mempunyai kekuatan-kekuatan gaip, tempat terjadinya di dunia kita. Legenda tidak setua mite. Legenda menceritakan terjadinya tempat, seperti : pulau, gunung, daerah/desa, danau/sungai, dan sebagainya.
c.
Dongeng adalah cerita yang dianggap tidak benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh ketentuan tentang pelaku, waktu dan tepat. Dongeng hanyalah cerita khayalan belaka.
3.
Fungsi cerita rakyat Fungsi cerita rakyat menurut Finnegan (1992: 128-129), sebagai folklore
cerita rakyat mempunyai enam fungsi yaitu: a.
fungsi untuk mendasari atau mengesahkan eksistensi suatu tatanan sosial.
b.
membentuk atau mempertahankan identitas dan alat pengesahan pengalaman.
20
c.
sebagai paradigma untuk memahami suatu komunitas dan menentukan serta membentuk pandangan dan kepribadian seseorang dalam komunitas tersebut.
d.
fungsi untuk menghibur.
e.
untuk memahami bentuk-bentuk ideologi yang berbeda pada satu subjek narasi yang bercerai berai namun tetap identik.
f.
fungsi kognitif dan menyebarkan kaidah ritual dan pertunjukan. Fungsi sastra lisan atau cerita rakyat akan selalu berubah sesuai dengan kehendak masyarakat peneriamanya. Penghayatan seseorang tergantung pada sikap individu itu sendiri, tergantung terhadap sikap individu dalam menerima pengaruh dari luar dirinya. I. Konsep Mitos
1.
Pengertian Mitos Mitos adalah suatu cerita yang benar-benar menjadi milik mereka yang
paling berharga, karena merupakan suatu yang suci, bermakna dan menjadi contoh model bagi tindakan manusia. Mitos bukan hanya merupakan pemikiran intelektual dan bukan hasil logika, tetapi terlebih dulu merupakan orientasi spiritual dan mental yang berhubungan dengan illahi (Hari Susanto 1987: 9). Mitos berpijak pada fungsi mitos tersebut dalam kehidupan manusia. Mitos bukan sekedar cerita mengenai kehidupan dewa-dewa, namun mitos merupakan cerita yang mampu memberikan arah dan pedoman tingkah laku manusia sehingga bisa bersikap bijaksana (Van Peursen, 1976 :42). Mitos merupakan cerita yang sanggup memberikan arah serta pedoman dalam kehidupan, karena manusia tidak dapat dilepaskan dengan mitos begitu
21
saja.
Meskipun
kebenaran
mitos
belum
menjamin
dan
dapat
dipertanggungjawabkan kebenaraanya. Manusia dalam kehidupannya akan selalu berhadapan dengan berbagai kejadian di alam sekitarnya. Mitos merupakan sesuatu yang sakral dan dilakukan secara rutin, dilakukan secara perorangan maupun kolektif. Begitupun dengan keberadaan mitos Syech Domba dalam Cerita Syeh Domba di Dukuh Cakarang Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang peringatan dalam bentuk ritual slametan yang diadakan untuk memperingati wafatnya Syeh Domba serta Makam Syeh Domba sering digunakan untuk bertapa atau puasa ngebleng (tidak makan dan minum selama waktu yang dikehendaki) oleh pengunjung, hal itu dilakukan untuk mencari berkah atau petunjuk. Eliade (2002:5) mengatakan bahwa apapun yang dilakukan oleh manusia telah dilakukan sebelumnya karena hal tersebut merupakan pengulangan ritual yang terusmenerus atas sikap yang diawali oleh orang lain. Lebih lanjut, Adorno dan Horkheimer (dalam Cavallaro, 2004:79) menyatakan bahwa mitos cenderung mengkristal dengan segera, menjadi kumpulan teladan, berjalan dari fase pembentukan mitos sampai fase ritual, dan karenanya keluar dari sisi narator ke dalam sisi institusi-institusi kesukuan yang bertanggung jawab atas pelestarian dan perayaan mitos. “Banyak hal yang sulit dipercaya berlakunya, tetapi ternyata berlakunya hanya penganutnya saja yang meyakini suatu mitos” (Junus, 1981:94). Sejalan dengan hal itu, Cassirer (dalam Nuraidar, 2010:115) menyatakan bahwa mitos merupakan hukum, norma-norma atau aturan-aturan yang menjadi acuan bagi
22
masyarakatnya untuk berperilaku, menilai, dan menentukan sesuatu yang dianggap penting dan berharga bagi mereka. Mitos telah menjadi suatu pedoman untuk menentukan dan mengarahkan kehidupan, baik sekarang atau yang akan datang. 2.
Fungsi Mitos Keberadaan mitos secara tidak langsung telah memberi corak di
masyarakat terutama pandangan mengenai masa depan. Bascom (dalam Danandjaja, 2001:157) mengemukakan bahwa mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dipandang suci oleh yang empunya cerita. Van Peursen menganggap bahwa mitos bukan sekedar cerita tentang dewa-dewa, tetapi mitos mampu memberikan pedoman dan arah terhadap tingkah laku manusia agar lebih bijaksana. Fungsi mitos menurut Van Peursen (1988:37) adalah: (1) Menyadarkan manusia akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib, (2) Memberi jaminan bagi masa kini, (3) Memberikan pengetahuan tentang dunia. Fungsi mitos yang pertama adalah menyadarkan manusia bahwa kekuatankekuatan ajaib, berarti mitos tersebut tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu, tetapi membantu manusia agar dapat menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan yang mempengaruhi dan menguasai alam dan kehidupan sukunya, missal adalah dongeng-dongeng dan upacara-upacara mistis. Fungsi mitos yang kedua yaitu mitos memberikan jaminan masa kini. Misalnya pada bulan Sura, dilakukan suatu ritual tertentu atau upacara-upacara
23
dengan berbagai tarian-tarian, seperti pada zaman dahulu, pada suatu kerajaan bila tidak dilakukan suatu upacara ritual akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Cerita serupa itu dipentaskan atau akan menampilkan kembali peristiwa yang telah terjadi. Sehingga usaha serupa pada zaman sekarang ini. Fungsi ketiga adalah memberikan pengetahuan tentang dunia. Artinya fungsi ini mirip dengan fungsi ilmu pengetahuan dan filsafat dalam alam pemikiran modern, misalnya cerita-cerita terjadinya langit dan bumi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa mitos merupakan cerita yang sanggup memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang atau para penghayatnya. Mitos benar karena dibuat benar oleh penganutnya, tetapi sesudah kebenaran itu terbentuk, mitos diyakini sebagai sesuatu yang tercipta di luar kemauan dan kuasa si penganutnya (Mardimin, 1994:138). Mitos yang ada dianggap sebagai sesuatu yang sakral atau suci. Oleh karena itu, mitos endapatkan legitimasi atau pengakuan dari penghayatnya. J. Upacara Tradisional 1. Pengertian Upacara Tradisional Upacara tradisional adalah adalah salah satu wujud peninggalan kebudayaan yang
melibatkan para warga masyarakat dalam usaha mencapai
tujuan keselamatan bersama yang di lakukan secara turun temurun. Upacara tradisional itu akan mengalami kepunahan bila tidak memiliki fungsi sama sekali di dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Ada cara-cara mekanisme tertentu dalam masuarakat untuk memaksa warganya agar mempelajari kebudayaan yang didalamnya terkandung nilai-nilai
24
serta norma-norma kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang bersangkutan. Mematuhi norma serta menjunjung nilai-nilai penting bagi warga masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat. Dapat disimpulkan bahwa upacara tradisional adalah kegiatan social masyarakat yang di lakukan secara turun temurun dan di adakan dalam waktu-waktu tertentu untuk menyampaikan pesan yang mengandung nilai-nilai kehidupan (Purwadi, 2005;1). 2. Unsur-Unsur Upacara Adat Tradisional Menurut Koentjaraningrat (1967) ada beberapa unsur yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat di antaranya adalah: a.
Tempat berlangsungnya upacara Tempat yang digunakan untuk melaksanakan suatu upacara biasanya
adalah tempat keramat atau bersifat sakral/suci, tidak setiap orang dapat mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan saja, dalam hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara seperti pemimpin upacara. b.
Saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat
untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara rutin yang diselenggarakan setiap tahun biasanya ada patokan dari waktu pelaksanaan upacara yang lampau. c.
Benda-benda atau alat dalam upacara Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang
harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam pelaksanaan upacara adat tersebut.
25
d.
Orang-orang yang terlibat didalamnya Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah mereka yang
bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat (Koentjaraningrat, 1967: 241). Unsur-unsur di atas merupakan kewajiban, oleh karena itu dalam setiap melaksanakan upacara, keempat unsur di atas harus disertakan. Di dalam unsurunsur tersebut, terdapat beberapa unsur perbuatan yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat. Beberapa perbuatan yang berkenaan pada saat berlangsungnya upacara seringkali dilakukan. Mereka menganggap bahwa perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan memang perlu dilakukan. Adapun, kegiatan tersebut diantaranya adalah: a.
Bersesaji (Sesajen) Bersesaji adalah perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makan, benda-
benda, dan sebagainya yang ditujukan kepada dewa-dewa, ruh-ruh nenek moyang, atau makhluk halus. Hal ini dianggap menjadi suatu perbuatan kebiasaan, dan dianggap seolah-olah suatu aktivitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa yang dimaksud. Sesaji merupakan makanan atau hidangan(makanan dan lauk pauk yang telah disediakan di suatu tempat untuk dimakan) yang diperuntukan roh-roh atau makhluk gaib. Bersesaji berarti mempersembahkan sajian dalam upacara ritual yang
dilakukan
untuk
berkomunikasi
dengan
makhluk
gaib,
dengan
mempersembahkan makanan dan benda-benda lain yang melambangkan maksud dan tujuan yang ingin dicapai (Endraswara, 2003).
26
Untuk dapat memperoleh kekayaan seseorang harus melakukan ritual tertentu. Ritual merupakan tata cara atau system yang harus dilakukan dalam melakukan pemujaan kepada roh-roh. Ritual yang dilakukan oleh masyarakat Jawa juga sangat kental dengan pemujaan kepada roh-roh. Dalam ritual tersebut seseorang harus menyajikan sesajen (sajian) misalnya makanan, daging ayam,dan sayur tertentu. Sesajen yang telah dipersiapkan adalah masakan matang yang kemudian di bawa ketempat tertentu untuk diadakan doa. Sesajen merupakan anggapan bahwa makanan tersebut disajikan kepada roh yang berkuasa ditempat tersebut. b.
Berdo’a Berdo’a adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam berbagai upacara.
Biasanya diiringi dengan gerak-gerak dan sikap-sikap tumbuh yang pada dasarnya merupakan sikap dan gerak menghormat serta merendahkan diri terhadap para leluhur, para dewata, ataupun terhadap Tuhan. c.
Makan bersama Makan bersama merupakan suatu unsur yang amat penting dan selalu
dilaksanakan dalam banyak upacara. d.
Berprosesi Berprosesi atau berpawai juga merupakan suatu perbuatan yang amat
umum dalam banyak religi di dunia. Pada prosesi sering dibawa benda-benda keramat seperti patung dewa-dewa, lambang-lambang, totem, benda-benda yang sakti dan sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal
27
manusia, dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui pawai itu. Upacara ini sering juga mempunyai maksud yang pada dasarnya sama tetapi dilakukan dengan cara yang lain yaitu mengusir makhluk halus, hantu dan segala kekuatan yang menyebabkan penyakit serta bencana dari sekitar tempat tinggal manusia. e.
Berpuasa Berpuasa sebagai suatu perbuatan keagamaan yang ada dalam hampir
semua religi dan agama diseluruh dunia, tidak membutuhkan suatu uraian yang panjang lebar. Dasar pikiran yang ada dibelakang perbuatan ini bisa macammacam, misalnya membersihkan diri atau menguatkan batin pelaku. f.
Bersemedi Bersemedi adalah macam perbuatan serba religi yang bertujuan
memusatkan perhatian si pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-hal yang suci (Koentjaraningrat, 1967: 257). Rangkaian kegiatan adat di atas merupakan unsur pokok di dalam melaksanakan upacara tradisional. Oleh karena itu, pada saat upacara tradisional dilangsungkan akan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yang telah disebutkan di atas. Namun tidak, semua kegiatan secara terperinci dilakukan pada saat pelaksanaan upacara tradisional. Ada yang terdiri dari semua kegiatan yang telah disebutkan di atas tetapi ada pula yang hanya melakukan beberapa dari kegiatan tersebut karena disesuaikan dengan kebutuhan pada saat pelaksanaan upacara tradisional.
28
3. Tujuan upacara adat tradisional Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta para leluhur yang telah melimpahkan karunianya. Pelaksanaan upacara tradisional dilakukan sebagai wujud penghormatan atas budaya warisan nenek moyang yang turun temurun harus dilestarikan. Tanpa adanya usaha pelestarian dari masyarakat, maka budaya nenek moyang yang berupa upacara tradisional itu akan punah dan tinggal cerita. Sangat disayangkan apabila hal ini terjadi mengingat di zaman sekarang negeri ini mengalami krisis moral yang sebenarnya dapat kita cegah dengan pelestarian upacara tradisional. Pelaksanaan upacara tradisional dapat memupuk rasa persaudaraan dan menumbuhkan nilai-nilai luhur yang penting bagi masyarakat dan bangsa Indosnesia. Tujuan umum dari upacara adat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat yang berbudi pekerti luhur. Secara khusus, upacara adat dilakukan sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada yang ghaib. Adanya rasa cinta, hormat, dan bakti adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib (Koentjaraningrat, 1967: 240). Upacara tradisional dimaksudkan untuk mencapai kehidupan yang tentram dan sejahtera, diberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, upacara tradisional juga dimaksudkan untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, dijauhkan dari malapetaka yang dikhawatirkan akan menimpa masyarakat apabila tidak dilaksanakan (Koentjaraningrat, 1967: 241).
29
Menurut Koentjaraningrat (dalam Budiono Herusatoto, 1984: 98) nenek moyang orang Jawa sudah beranggapan bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa, dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat. Dengan dasar demikian mereka membayangkan dalam angan-angan mereka bahwa d isamping segala roh yang ada tentulah ada roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Untuk mrnghindari gangguan dari roh itu, maka mereka memuja-mujanya dengan jalan mengadakan upacara. Roh yang bersifat baik mereka minta berkah agar melindungi keluarga dan roh yang jahat mereka minta agar jangan mengganggunya, pemujaan arwah nenek moyang adalah agama mereka yang pertama, arwah nenek moyang yang pernah hidup sebelum mereka telah banyak jasa dan pengalamannya, sehingga perlu dimintai berkah dan petunjuk. Pemujaan kepada arwah nenek moyang masih tetap dilakukan masyarakat Jawa hingga saat ini, hanya saja berubah konsep menjadi menghargai orang yang telah meninggal dunia. Upacara selamatan peringatan kematian dan pertunjukan tari-tarian tradisional serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan simbolis dalam religi orang Jawa peninggalan zaman Animisme. Sisa tindakan simbolis lainnya adalah pemberian sesaji atau sesajen bagi “sing mbahureksa, mbahe atau danyang” (leluhur) yang berdiam di pohon beringin atau pohon-pohon besar dan telah berumur tua, di sendhang atau belik, tempat mata air, di kuburan-kuburan tua dari tokoh yang terkenal pada masa lampau, atau tempat-tempat lainnya yang
30
dianggap keramat dan mengandung kekuatan ghaib atau angker dan wingit dan berbahaya (Koentjaraningrat dalam Budiono Herusatoto, 1984: 99). Pemujaan kepada arwah nenek moyang sebagai contoh konkret dari salah satu bentuk religi yang telah dikemukakan di atas yaitu Dinamisme dan Animisme. Dinamisme yang berarti menganggap bahwa semua benda yang ada di sekelilingnya bernyawa atau menpunyai roh dan Animisme yang menanggap bahwa arwah atau roh nenek moyang masih selalu memperhatikan setiap gerakgerik manusia sehingga harus dilakukan penghormatan. Penyelenggaraan upacara tradisional ditujukan sebagai media untuk memperlancar komunikasi antar warga agar terjalin rasa persatuan dan kesatuan. Upacara tradisional tersebut mengandung nilai-nilai luhur yang sebenarnya ditujukan untuk menuntun masyarakat agar menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya, sehingga generasi penerus bangsa yang baik untuk mewujudkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Dalam semua hubungan itu, maka keseimbangan antara hak dan kewajiban harus dijunjung tinggi. Artinya berupaya mengenal hak dan menikmatinya secara wajar, mengetahui kewajibannya dalam menunaikan sebaikbaiknya. Keseimbangan, terutama antara hak dan kewajiban merupakan inti dari harmoni (Koentjaraningrat dalam Budiono Herusatoto, 1984: 100). 4. Konsep Yang Sakral (The Sacred) dalam Upacara Adat The sacred atau yang sakral menurut Durkheim (Sutrisno & Putranto, 2005:89) adalah poros utama yang mencakup seluruh dinamika masyarakat. Masyarakat selalu memiliki nilai-nilai yang disakralkan atau disucikan. The sacred dapat berupa simbol utama, nilai-nilai, dan kepercayaan (belief) yang
31
menjadi inti sebuah masyarakat. Maka, the sacred bisa menjelma menjadi ideologi atau yang lain yang menjadi utopia masyarakat. Hartoko (2002:85) menyatakan bahwa yang sakral adalah sesuatu yang termasuk kedaulatan Tuhan atau sesuatu yang dikhususkan misalnya untuk ibadat. Masyarakat penghayatnya memiliki kepercayaan bahwa menjaga dan melestarikan warisan dari leluhur merupakan ibadah. Oleh karena itu, ritual peringatan wafatnya Syech Dombah dilakukan secara rutin tiap tahunnya. Kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan. Hal ini memiliki arti bahwa yang sakral itu adalah sesuatu yang disisihkan dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Kelompok masyarakat tertentu di manapun dapat dipastikan memiliki nilai-nilai atau ideologi yang dikeramatkan dan disakralkan atau menjadi inti sebuah unit yang disebut masyarakat. Nilai-nilai yang disepakati, berperan untuk menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat serta secara normatif mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Anggota masyarakat tidak diijinkan untuk melanggar nilai-nilai itu. Hal itu menjadi hukum utama dan terutama dalam sebuah masyarakat yang juga sumber identitas kolektif. Masyarakat menghidupi dirinya dengan bergerak dari dan ke the sacred. Perayaan-perayaan, festival, dan acara-acara budaya dalam masyarakat dapat disebut sebagai bentuk-bentuk ritus. Ritus menjadi mediasi anggota masyarakat untuk tetap berakar pada the sacred. The sacred atau yang sakral lebih mudah diterima, tidak dipertanyakan, jika sudah dijadikan sebagai mitos. Dalam pemikiran Durkheim, mitos berperan untuk terus memutar dinamika masyarakat.
32
Mitos mempengaruhi masyarakat kolektif dalam pola pikir hidupnya. Melalui mitos, the sacred menjadi entitas metafisik atau yang berasal dari „dunia lain‟ sehingga lebih dipercaya keberadaannya di masyarakat. Hal ini menyebabkan mistifikasi mitos menjadi abadi. Mitos Syeh Domba yang hidup di tengah-tengah masyarakat masih dipercaya keberadaannya. Kepercayaan ini menyebabkan mitos yang hidup di masyarakat masih dijaga dan dilestarikan sampai sekarang.
Peninggalan-
pningglan Syeh Domba serta ritual-ritualnya masih terpeliharan dengan baik. Salah satu peninggalan Syeh Domba adalah Petilasan Syeh Domba merupakan salah satu tempat yang di anggap sakral oleh masyarakat baik di daerah Bayat maupun luar daerah..Kesaktian dan penanannya semasa hidup Syeh Domba dulu membuat makam atau petilasan Syeh Domba dijadikan tempat untuk ngalap berkah sampai sekarang. Banyak orang yang meyakini kalau bersemedi atau bertapa di petilasan Syeh Domba maka keinginannya akan terkabul. Banyak ritual-ritual atau upacara adat yang diadakan di makam Syeh Domba, di antaranya yaitu ritual persugihan tuyul yang belum tentu kebenarannya, ritual puasa ngebleng, dan ritual pengobatan.
Ritual slametan yang diadakan untuk
memperingati wafatnya Syech Domba sangat sederhana dan tidak ada ritual atau proses yang mewah. Ritual yang dilakukan hanyalah slametan yaitu membuat kenduri atau bancakan dengan membuat nasi tumpeng, kemudian malam harinya diadakan pengajian yang melibatkan ustad, warga masyarakat dukuh cakaran dan pengunjung atau peziarah. Makam Syeh Domba sering digunakan untuk bertapa atau puasa ngebleng (tidak makan dan minum selama waktu yang dikehendaki)
33
oleh pengunjung, hal itu dilakukan untuk mencari berkah atau petunjuk. Pengunjung yang melakukan puasa ngebleng harus lebih dahulu menemui juru kunci dan meminta ijin untuk melakukan puasa ngebleng dan bertapa. Banyak sekali mitos dan hal-hal yang janggal atau diluar nalar manusia yang terdapat di makam Syeh Domba tersebut. Hal tersebut memang menjadi budaya masyakat Jawa. Masyarakat Jawa
masih banyak yang percaya akan
kehadiran lelhurnya. Masyarakat penghayatnya mempercayai bahwa leluhur mereka akan melindungi dari bahaya yang mengancam. Dalam pola pikir Jawa, masyarakat meyakini adanya jagad cilik (mikrokosmos) dan jagad gedhe (makrokosmos). Keduanya harus hidup dengan selaras karena perilaku normatif Jawa menganjurkan untuk menghindari konflik. Selain itu, perilaku masyarakat yang mempercayai mitos dianggap sebagai jembatan penghubung ke „dunia lain‟. Oleh karena itu, mitos menjadi simpul kolektif yang kokoh dalam masyarakat. Secara sosiologis folklor dapat digunakan untuk memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Dalam konteks sosiologis, sebuah ritual merupakan manifestasi dari apa yang disebut oleh Durkheim sebagai “alat memperkuat solidaritas sosial” melalui performa dan pengabdian. Dalam hal ini ritual pemujaan terhadap Syech Domba merupakan contoh paling konkret dari ritual jenis ini sebagai alat untuk memperkuat keseimbangan masyarakat (social equilibrium). Kebudayaan folk adalah kebudayaan rakyat umum yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan primitif. Kebudayaan folk dianggap oleh Redfield (dalam Koentjaraningrat, 2007:137) berada dalam masyarakat petani pedesaan pada
34
umumnya, tetapi juga pada penduduk kota yang bersifat rakyat umum, yaitu penduduk yang tidak termasuk ‟golongan elit‟ atau yang berkedudukan tinggi. Kebudayaan folk dirumuskan memiliki empat tipe, yaitu; 1) kota, 2) kota kecil, 3) desa petani, dan 4) desa terisolasi. Cara menerangkan masyarakat folk dengan cara membandingkan atau komparatif. Sifat komparatif tersebut dapat diringkas menjadi tiga ciri, yaitu: 1) pengenduran adat-istiadat, 2) sekularisasi, 3) individualisasi. Masyarakat folk dapat diselidiki sebaik-baiknya dalam bentuk masyarakat yang disebut ”komuniti kecil”. Komuniti kecil mempunyai identitas yang khas. Komuniti kecil terdiri dari penduduk dengan jumlah yang cukup terbatas sehingga masih saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian. Masyarakat Dusun Brijo Lor dapat dikatakan sebagai komuniti kecil. Untuk mengetahui tentang tahap
perkembangan
kehidupan
masyarakat,
Van
Peursen
(1988:18)
mengemukakan melalui tiga tahap; yaitu tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Cerita mitos Syeh Domba merupakan sebuah dokumen sosiobudaya yang dimiliki oleh masyarakat Klaten dan sekitarnya Cerita mitos Syeh Domba tentu saja memiliki makna dibaliknya. Menurut para pakar struktural, masyarakat
35
primitif menyimpan nilai intelektual di dalam setiap pemetaan pemikiran abstraknya. Untuk itu, perlu diupayakan untuk menganalisisnya. Pendekatan yang melihat karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya termasuk dalam wilayah sosiologi sastra. Karya sastra merupakan dokumen sosiobudaya yang mencatat kenyataan sosiobudaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Karya sastra tidak dipahami selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Karya sastra dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh timbal balik yang rumit antara faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Bagaimanapun karya sastra bukanlah gejala tersendiri (Damono dalam Endraswara, 2003: 92). Penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosio-budaya, karena menganggap keberadaan mitos Syech Domba dianggap masih keramat dan mistis dalam masyarakat sehingga analisis mitos digunakan untuk mengungkap sisi dalam dari mitos itu sendiri. K. Lokasi penelitian Lokasi penelitian ini berhubungan langsung dengan tempat dimana cerita itu berada yaitu di Dusun Cakaran, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dimana di dalamnya terdapat sebuah petilasan (makam). Petilasan ini banyak dikunjungi oleh para peziarah baik masyarakat sekitar ataupun dari luar daerah dan bahkan dari luar Jawa. Letak petilasan (makam) berada di atas bukit yang lumayan jauh dari jalan raya. Untuk akses menuju
36
makan cukup sulit karena peziarah harus berjalan kaki cukup jauh dengan jalan yang terjal dan menanjak. L. Jenis dan Bentuk Penelitian Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian folklor, yang menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan, pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden Moleong (2010: 9-10). Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller (1986:9, dalam Moleong, 2010: 2) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang dipertentangkan
dengan
pengamatan
kuantitatif.
Pengamatan
kuantitatif
melibatkan diri pada perhitungan atau angka atau kuantitas. Sedangkan pihak lain kualitatif menunjuk segi alamiah yang dipertentangkan dengan kuantum atau jumlah tersebut. Atas dasar pertimbangan itulah maka kemudian penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Prinsip pokok penelitian kualitatif adalah menemukan teori dari data (Moleong, 2010: 281). Sedangkan menurut Sangidu (2004:7) bahwa penelitian kualitatif sifatnya alamiah dan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang, perilaku, atau data-data lain yang dapat di amati oleh peneliti.
37
Penelitian folklor terdiri atas tiga tahap antara lain melalui tahap pengumpulan, penggolongan (pengklasifikasian), dan tahap penganalisaan (James Danandjaja, 1994:191). Dengan jenis penelitian lapangan (penelitian folklore) dan bentuk penelitian deskriptif kualitatif di harapkan dapat memperoleh informasi yang akurat dalam penelitian tentang cerita yang berhubungan dengan Makam Syech Domba di Dukuh Cakaran, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. M. Sumber Data dan Data 1. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang atau informan, tempat (Dukuh Cakaran, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah),
dan
peristiwa (upacara dan ritual yang diadakan di
petilasan Syeh Domba). Orang yang diperkirakan mengetahui Cerita Rakyat Syeh Domba adalah juru kunci, masyarakat setempat atau pendatang, pengunjung serta tokoh-tokoh masyarakat. Alasan pemilihan informan mengacu pada informan yang mengetahui Cerita Rakyat Syeh Domba, jarak tempat tinggal informan dengan petilasan Syeh Domba, dan umur informan ±15-60 tahun yang mengetahui CeritaRakyat Syeh Domba. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara kepada: 1.
Juru Kunci Makam
2.
Penduduk sekitar
3.
Tokoh-tokoh masyarakat
4.
Peziarah
38
Sumber data yang lain dalam penelitian ini adalah foto-foto dan dokumen berupa buku yang terkait dengan Cerita Rakyat Syeh Domba. 2. Data penelitian Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data dari hasil wawancara yang berupa informasi dan kata-kata yang diucapkan oleh informan yaitu juru kunci, penduduk sekitar, tokoh masyarakat, dan peziarah. Data yang lain yaitu foto-foto yang memberikan informasi tentang Cerita Rakyat Syeh Domba. N. Populasi dan Sampel Persoalan populasi dan sampel dalam suatu penelitian merupakan abstraksi dari kegiatan yang menentukan data penelitian. Populasi berarti sekelompok orang, benda, atau hal yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan penelitian, KBBI (dalam Rachmad Djoko Pradopo,(2001:39). Apa yang dimaksud
dengan
sampel,
Koentjaraningrat
(dalam
Rachmad
Djoko
Pradopo,2001:39) adalah bagian-bagian dari keseluruhan yang menjadi objek sesungguhnya bagi suatu penelitian Metodologi untuk menyeleksi individuindividu masuk dalam sampel yang representatife itulah yang di sebut sampling. Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat di Desa Cakaran Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah sebagai pemilik cerita rakyat atau sejarah Syeh Domba yang mengetahui dan memahami cerita tersebut. O. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
39
1. Wawancara Wawancara adalah suatu cara mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden. Pembicaraan dalam bab ini akan dibatasi pada masalah wawancara tatap muka dengan menggunakan daftar pertanyaan, (Singarimbun dan Efendi, 1989:192). Menurut Moleong (2010:186) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara dan terwawancara atau yang diwawancarai. Ada dua macam wawancara yaitu wawancara terstruktur dan wawancara bebas atau tidak berstruktur. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang pewawancaranya menetapkan sendiri masalah dan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Wawancara tak berstruktur adalah wawancara yang berbeda dengan yang berstruktur dalam hal waktu bertanya dan cara memberikan respons,yaitu jenis ini jauh lebih bebas iramanya. Pembicaraan mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari. Proses wawancara ini dilakukan secara barulang-ulang sesuai dengan kebutuhan peneliti. Teknik yang dilakukan tidak terstruktur, melainkan dengan percakapan yang bersifat bebas karena dimaksudkan agar peneliti mendapatkan informasi yang jauh lebih lengkap dan mendalam. Wawancara dilakukan kepada beberapa responden atau informan antara lain juru kunci makam Syeh Domba, tokoh masyarakat Desa Cakaran (Kepala Desa), instansi pemerintah yang berwenang(dinas pariwisata Kabupaten Klaten), para pengunjung, dan masyarakat setempat yang benar-benar mamahami sejarah Syech Domba.
40
2. Observasi Langsung Observasi adalah salah satu cara mendapatkan informasi dengan cara langsung mendatangi dan melihat fenomena yang terdapat di lokasi penelitian. Untuk mengamati fenomena yang ada di luar diungkapkan secara tepat. Pengamat menggunakan alat indra secara langsung dan alat bantu misalnya perekam : kamera atau video. Hal ini memudahkan pengamatan karena dapat dilihat atau diputar kembali. Observasi dapat dilakukan secara formal dan informal. Secara formal maksudnya adalah peneliti harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari lembaga yang berwenang, sedangkan informal peneliti tidak harus mendapat izin. P. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan suatu uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Moleong, 2005: 280). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data, reduksi(penggolongan) data, penyajian data, penganalisaan dan penarikan kesimpulan. 1.
Pengumpulan data Mengumpulkan data-data yang telah diperoleh dari hasil wawancara, dan
buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan cerita atau sejarah Syech Domba.
41
2.
Reduksi data Setelah data-data terkumpul dilakukan proses seleksi atau penyaringan dari
data yang telah diperoleh. Dilakukan dengan memilah-milahkan data yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan penelitian, dimaksudkan agar memperoleh data yang benar-benar berbobot dan sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam penelitian ini ada satu ritual yang direduksi yaitu ritual pesugihan tuyul. Ritual persugihan tuyul yang berada di lokasi makam Syeh Domba sangat bertolak belakang dengan sosok Syeh Domba yang dikenal sebagai murid Sunan Padang Aran yang juga turut serta membantu menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. Selain bertolak belakang dengan sosok Syeh Domba yang berperan sebagai penyebar agama islam di Bayat, proses ritual persugihan tuyul juga merupan sbuah ritual yang sangat intim dan sangat pribadi sekali. Fakto narasumber adalah hal utama yang menyebabkan ritual persugihan tuyul ini di reduksi. Menginggat pribadinya ritual ini maka sang juru kunci dan si pencari tuyul sudah melakukan perjanjian untuk merahasiakan identitas pencari persugihan tuyul. Sebuah kede etik yang tidak boleh dilanggar antara pencari persugihan dan yang mencarikan. Juru kuci atau orang yang mencarikan tuyul hanya bisa menunjukkan atau mengutarakan proses ritual seperti apa, sajen yang disiapkan, cara memelihara tuyul, rapalan atau mantra yang di baca saat ritual, dan perjanjian yang harus di sepakati antara si pencari dan tuyul yang akan di boyong pulang.
42
3.
Penyajian data Penyajian data merupakan kegiatan manampilkan atan manyusun data-data
yang telah dipilih atau telah direduksi. Hal ini berguna untuk analisis karya atau proses yang selanjutnya. 4.
Analisis data Analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Proses ini merupakan proses mengaitkan data satu ke data yang lain berdasarkan pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan foklor, yang nantinya sebagai penelitian lapangan. 5.
Penarikan kesimpulan Data yang telah relevan dan telah dianalisis kemudian dirumuskan agar
mendapatkan kajian yang kuat, yaitu dengan cara mereduksi dengan cermat dan menyimpulkan setelah data diperoleh. Q. Validitas data Dalam suatu penelitian dituntut untuk ke apsahan data yang dikumpulkan, oleh karena itu peneliti harus berusaha untuk menguatkan atau memantapkan data yang digunakan dalam penelitian. Untuk menguatkan atau membuat data itu menjadi sah, maka dalam penalitian ini menerapkan tiga hal, yaitu yang pertama, membandingkan hasil informasi dari juru kunci dengan kenyataan fenomena yang terdapat dilokasi, apakah dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya atau hanya sekedar pengetahuan juru kunci. Hal yang kedua, membandingkan bergai pendapat atau informasi dari masyarakat sekitar dengan data yang telah diperoleh, dan yang ketiga membandingkan hasil wawancara atau informasi dengan dokumen atau buku-buku yang berkaitan dengan cerita sejarah Syech Domba,
43
apakah hasil informasi atau wawancara sesuai dengan dokumen-dokumen yang ada atau tidak. Dengan ketiga hal diatas dalam penalitian ini akan mendapatkan data yang valid. R. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. BAB I : PENDAHULUAN Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pengertian foklor, bentuk foklor, pengertian cerita rakyat, konsep mitos, upacara tradisional, lokasi penelitian, jenis dan bentuk penelitian, sumber data dan data, populasi dan sampel, teknik pengumpulan tata, teknik analisis data, validitas data, sistematika penelitian BAB II : PEMBAHASAN Pembahasan meliputi deskripsi dan analisis. BAB III : PENUTUP Penutup meliputi kesimpulan dan saran.