BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pengucapan adalah ekspresi suara dan verbal dari bahasa yang sesuai dengan lingkungan pembicara dan pendengar (Finn, 2003). Cameron dan Widmer (2008) menyatakan bahwa kemampuan manusia dalam berbicara sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, sosial, fungsi neuromotor dan sensorik, serta tumbuh kembang (Stewart dkk., 1982). Mekanisme bicara merupakan proses yang sangat rumit, terdiri dari mekanisme pernapasan, fonasi, resonansi dan artikulasi (Utomo, 2008). Proses modulasi suara menjadi pengucapan dengan cara mengubah bentuk rongga tenggorokan, mulut dan hidung serta pergerakan lidah (Youmans, 2012). Keadaan gigi yang tidak harmonis mempengaruhi estetika dan penampilan seseorang, serta mengganggu fungsi pengunyahan, penelanan ataupun bicara. Penelitian pada pelajar dengan maloklusi memiliki kesulitan dalam pengucapan fonem dental dibandingkan pelajar dengan oklusi normal. Tingkat keparahan gangguan pengucapan berbanding lurus dengan keparahan maloklusi (Fymbo, 1957 cit. Johnson dan Sandy, 1999). Kesalahan dalam pengucapan dapat terjadi karena adanya kelainan bentuk dan struktur jaringan keras dan lunak rongga mulut (cavum oris) sebagai organ bicara, seperti maloklusi gigi, kelainan lidah dan kelainan palatum (Utomo, 2008). Posisi gigi mempengaruhi kelainan artikulasi pengucapan sekitar 50-60%. Kebanyakan studi hanya melaporkan kasus-kasus maloklusi berat seperti 1
hubungan oklusi klas III, anterior openbite, peningkatan overjet dan spacing dengan gangguan pengucapan, sedangkan prevalensi terbanyak adalah maloklusi angle klas 1 berjejal ringan (Johnson dkk., 1999). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Foster dan Day (1974) cit. Susilowati dan Sulastry (2007) menemukan bahwa penderita maloklusi klas 1 sebesar 44%, klas 2 divisi 1 sebesar 27%, kelas 2 divisi 2 sebesar 18%, klas 3 (sejati) 3 %, dan klas 3 (postural) sebesar 0,3%. Menurut Winoto (1989) cit. Susilowati dan Sulastry (2007) prevalensi kasus maloklusi klas 1 berjejal ringan terbanyak di Indonesia sebesar 80 %. Marsono (2013) membedakan bunyi berdasarkan ada tidaknya hambatan pada alat bicara (artikulasi) menjadi bunyi vokal dan konsonan. Fonem vokal dipengaruhi ukuran dan bentuk cavum oris (Stewart dkk., 1982). Faktor penting yang membedakan bunyi vokal dengan bunyi lainnya adalah volume cavum oris. Bentuk cavum oris dapat bervariasi menyesuaikan perubahan palatum, lidah, pipi dan gigi (Gasser, 2009). Bentuk cavum oris akan secara perlahan berubah menyesuaikan bunyi-bunyi vokal yang diucapkan karena sifatnya lebih dinamis (Hass, 2010). Bunyi vokal kualitasnya juga ditentukan tiga faktor yaitu tinggi rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan dan bentuk bibir pada pembentukan vokal tersebut (Moeliono dkk,. 1988). Salahsatu jenis fonem vokal adalah vokal tertutup, dibentuk dengan lidah diangkat setinggi mungkin mendekati langit-langit dalam batas vokal. Pengucapan vokal tertutup menunjukkan cavum oris dalam keadaan tertutup atau sedikit menutup, seperti pada pengucapan vokal /i/ dan /u/ (Marsono, 2013). Pengucapan fonem konsonan terbentuk karena adanya hambatan pada titik artikulasi. 2
Salahsatu titik artikulasi adalah gigi. Fonem konsonan yang artikulatornya gigi adalah konsonan hambat letup linguodental (/t/, /d/) dan konsonan geseran laminoalveolar (/s/). (Marsono, 2013). McDonald dan Avery (2000) menyatakan bunyi vokal adalah bunyi bahasa yang pertama kali dikuasai anak. Kebanyakan anak dapat mengucapkan bunyi vokal dengan baik pada usia 3-3,5 tahun. Sebuah studi menunjukkan bahwa maturasi pengucapan bunyi konsonan anak belum lengkap sampai dengan usia 8 tahun. Tedjasaputra (2013) menambahkan faktor usia mempengaruhi kelancaran berbicara karena organ bicara atau otot-otot yang digunakan untuk berbicara (speech motor) pada usia awal kehidupan belum lengkap atau belum berkembang sempurna. Pengucapan juga dipengaruhi oleh adanya kelainan organ pengucapan, gangguan mental, gangguan pendengaran dan faktor lingkungan (Prahl-Andersen dkk., 1995). Beberapa penelitian yang telah dilakukan adalah dengan melihat pengaruh ukuran lidah terhadap pengucapan. Kelemahan dari penelitian ini, karena lidah merupakan jaringan lunak maka sangat sulit diukur secara pasti ukurannya (Oliver dan Evans, 1986). Kelainan pengucapan juga sering diteliti berdasarkan perubahan titik-titik artikulasi, seperti deepbite, openbite, spacing (Johnson dan Sandy, 1999), mengukur model cetakan dengan mengukur lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung dan tinggi palatum (Takada dkk., 1980). Titik-titik artikulasi merupakan bagian kecil dari cavum oris, sehingga penelitian dengan pengukuran volume cavum oris mengurangi resiko biasnya penelitian akibat bervariasinya susunan gigi dalam cavum oris (Oliver dan Evans, 1986). Usia merupakan salahsatu 3
faktor yang menentukan volume cavum oris. Saat usia 12 tahun anak laki-laki dan perempuan mengalami kecepatan pertumbuhan yang sama, tetapi pertumbuhan anak perempuan lebih dulu berakhir dibandingkan laki-laki (Prahl-Andersen dkk., 1995). Penelitian yang dilakukan Oliver dan Evans (1986) mengukur volume atau dimensi cavum oris dengan cara melapisi model studi hasil cetakan pada bagian permukaan labial dan bukal gigi dengan malam (wax), kemudian diisi dengan air dan air tersebut diukur sebagai volume cavum oris dengan satuan milliliter. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan dimensi rongga mulut yang lebih kecil dari normal menyebabkan kelainan artikulasi. Pengukuran volume cavum oris yang dilakukan Mogi dkk. (2000) adalah dengan cara mengisi air ke dalam cavum oris subjek dengan bantuan syringe, jumlah air yang dapat dimasukkan ke dalam cavum oris dalam keadaan gigi oklusi dan tanpa tekanan pada pipi dan bibir dianggap sebagai volume cavum oris. Kelemahan dari metode ini adalah volume air bercampur dengan volume saliva dan volume air tertelan subjek. Sears dan Zemansky (1962) menyatakan pengucapan dapat diukur dengan frekuensi. Frekuensi gelombang bunyi adalah jumlah getaran yang dilakukan dalam satu detik dan diukur dalam satuan Hertz. Dalam suara bicara yang dihasilkan manusia, dapat dianalisa suara berupa frekuensi yang telah terinferensi oleh organ suara tambahan, antara langit-langit, lidah dan gigi. Frekuensi suara bisa dilihat secara visual dengan sistem komputerisasi.
4
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latarbelakang di atas dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Bagaimana hubungan antara volume cavum oris dengan frekuensi gelombang suara pengucapan vokal (/i/, /u/), linguodental (/t/, /d/), bidental (/s/) pada maloklusi angle klas I berjejal ringan?
C. Keaslian penelitian Oliver dan Evans (1986) melakukan penelitian tentang pengaruh dimensi cavum oris dari volume air yang terisi pada cetakan, kemudian dilihat pengaruhnya terhadap artikulasi pengucapan secara subyektif. Pada subyek dilakukan perekaman suara dan diperdengarkan kepada siswa terapi pengucapan untuk dinilai gangguan pengucapan, kualitas suara, kecepatan, fluensi, pitch dan intonasi. Penelitian ini melihat hubungan antara volume cavum oris dengan frekuensi gelombang suara pengucapan vokal (/i/, /u/), linguodental (/t/, /d/), bidental (/s/) pada maloklusi angle klas I berjejal ringan, yang sepengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya.
D. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui hubungan antara volume cavum oris dengan frekuensi gelombang suara pengucapan vokal (/i/, /u/), linguodental (/t/, /d/), bidental (/s/) pada maloklusi angle klas I berjejal ringan. 5
E. Manfaat Penelitian 1. Menambah pengetahuan di bidang kedokteran gigi secara umum dan secara khusus di bidang ilmu kedokteran gigi anak tentang hubungan antara volume cavum oris dengan frekuensi gelombang suara pengucapan vokal (/i/, /u/), linguodental (/t/, /d/), bidental (/s/) pada maloklusi angle klas I berjejal ringan (kajian pada anak perempuan usia 12-13 tahun). 2. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan acuan penelitian lebih lanjut.
6