BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemandirian yang dimiliki oleh setiap manusia berawal dari masa anak – anak. Proses pembentukannya dimulai sejak anak berusia 2 bulan hingga masa dewasa (Santrock, 2011). Kemandirian pada masa anak-anak berbeda dengan masa dewasa, kemandirian yang dimaksud adalah kemampuan anak dalam menjalin interaksi sederhana dengan orang-orang di sekelilingnya selain figur lekat, seperti teman sebaya (Santrock, 2011). Kemandirian merupakan hasil dari perkembangan sosial. Keberhasilan dari perkembangan sosial ditunjukkan dengan perubahan perilaku yang semakin kompleks sesuai dengan jenjang usianya (Slavin, 2006). Tugas perkembangan yang perlu dikuasai oleh anak tertera pada tabel perkembangan anak yang dikenal sebagai developmental milestone. Tabel tersebut berisi empat aspek perkembangan yaitu fisik, sosial, motorik dan bahasa, dimulai sejak usia 2 bulan s.d 13 tahun (None, 2013). Empat aspek perkembangan tersebut berkesinambungan satu sama lain dalam membentuk kepribadian manusia. Orangtua dapat memantau keberhasilan pencapaian perkembangan anak melalui tabel perkembangan. Keberhasilan pencapaian perkembangan merupakan sebuah kematangan, karena anak dapat memenuhi target perilaku yang diharapkan sesuai dengan usianya . Kematangan sosial tampak pada perilaku mandiri anak. Hal ini berkaitan dengan kesiapan anak untuk terjun dalam kehidupan sosial (Doll, 1940). Anak dapat mencapai kematangan sosialnya dengan bantuan dari figur lekatnya, dalam hal ini adalah orangtua. Usaha orangtua dalam membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya dapat dilihat
1
dari pola asuh yang diterapkan. Karena pola asuh orangtua mempengaruhi segala aspek perkembangan pada anak (Thomas, Vijayakumar, Siva, & Isaac, 2007). Kemampuan sosial muncul secara pesat di usia 4 s.d 6 tahun (usia prasekolah), karena anak mulai mengenal dunia sosial yang sesungguhnya. Pada usia prasekolah anak mulai menunjukkan kemandirian dengan memilih bermain bersama temannya daripada bermain sendiri, selain itu anak mulai melakukan koordinasi dengan teman, mampu berpisah dengan orangtuanya, terlibat dalam permainan kooperatif, membantu teman jika dibutuhkan atau menawarkan bantuan, dan mampu melakukan aktivitas sederhana (memilih baju, memilih makanan, dan pergi ke toilet) tanpa bantuan orangtua (Boyse, 2013). Erikson menjelaskan bahwa usia prasekolah (3-6 tahun) dimulai dengan tahap ke dua dalam perkembangan psikososial yaitu Autonomy vs Shame and Doubt. Tahap tersebut anak mulai belajar mengenai kemampuan dirinya seperti regulasi diri, mengurus diri di toilet, makan dan berpakaian. Usia 4 tahun anak masuk dalam tahap Initiative vs Guilt dimana anak mulai berperilaku lebih mandiri dari sebelumnya. Anak mulai bermain dengan teman sebayanya, menjalin komunikasi dengan orang lain, dan berpartisipasi dengan lingkungan sosial terdekat (Santrock, 2011). Usia 4-6 tahun merupakan usia penting, karena anak dinilai memiliki kesiapan untuk terjun ke dunia sosial yang sesungguhnya. Hasil penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti mengenai kematangan sosial anak dalam perilaku yang muncul pada anak usia 4 s.d 6 tahun di Kota Kendal, menggambarkan kematangan sosial anak tidak cukup baik. Penilaian tersebut berdasarkan tabel perkembangan sosial anak yang dapat menunjukkan tingkat kematangan anak sesuai dengan usia kronologinya. Orangtua mengungkapkan bahwa saat di sekolah anak masih enggan untuk ditinggal oleh ibu, sehingga ibu harus menunggu anak hingga pulang, jika anak mengetahui bahwa ibu pergi, maka anak akan menangis. Beberapa anak enggan bermain dengan temannya 2
dan memilih duduk sendiri di kelas, dengan alasan teman-temannya nakal. Jika anak tidak bermain, maka di rumah memilih bermain hp. Sebuah wawancara yang dilakukan pada tanggal 17/09/2015 dengan orangtua siswa TK B, memaparkan keluhan terhadap anaknya sebagai berikut: “Anak saya pintar mainan hp apalagi buka youtube untuk nonton boboiboy. Kalau diajak mewarnai atau belajar mengenal angka atau huruf tidak mau, terus mengambek dan lari ke luar rumah main sepeda. Anak sebenernya bisa kalau diminta tolong halhal sederhana atau melakukan tugas sederhana sendiri, tapi males luar biasa dan responnya ngambek.” Wawancara juga dilakukan dengan guru TK B pada tanggal 19/09/2015, yang memaparkan kondisi anak pada umumnya, sebagai berikut : “Anak-anak susah kalau diajak belajar, di sekolah memang orangtua tidak boleh masuk tapi menunggu di depan gerbang sekolah, dan anak-anak tetap mendekat ke gerbang. Walaupun orangtua sudah meminta anaknya bermain, tetap saja maunya dekat dengan ibunya. Kebanyakan orangtua menyerahkan pembelajaran ke sekolah, kalau sudah sampai rumah tidak ada pengulangan, jadi sampai sekolah lupa lagi. Orangtua kadang tidak kontrol anak dengan baik karena sibuk kerja.” Pemaparan orangtua tersebut menggambarkan adanya ketidaksesuaian dalam tabel perkembangan sosial anak. Ketidaksesuaian tersebut juga ditemukan pada pemaparan guru, namun ternyata peran orangtua untuk pembelajaran pada anak di rumah tidak optimal. Fungsi orangtua bagi anak dalam masa perkembangan sangatlah penting. Berdasarkan hasil penelitian awal, keterlibatan ibu dalam pengasuhan memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan ayah, namun bukan berarti ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Kerjasama diantara keduanya akan memberikan hasil yang lebih optimal (Slavin, 2006), karena 3
keterlibatan tersebut menghasilkan stimulasi yang diperlukan anak untuk berkembang sesuai dengan kebutuhannya secara optimal (Santrock, 2011). Saat ini banyak orangtua yang bekerja hingga tidak memiliki waktu untuk anak, dan pengasuhan diberikan kepada orang lain seperti pengasuh. Fenomena ini membuat komunikasi diantara orangtua dan anak menjadi minim, sehingga pengetahuan sosial yang seharusnya diajarkan oleh orangtua tidak disampaikan dengan baik, dan anak lemah dalam penguasaan kemampuan sosialisasi, adaptasi, dan kemandirian (Moore, 2015 & Santrock, 2011). Peristiwa tersebut akan memberikan dampak buruk bagi anak di kemudian hari. Sebuah studi menyatakan bahwa jika anak tidak matang dalam perkembangan sosialnya maka, perilaku yang bertentangan dengan norma akan muncul dan prestasi sekolah lemah. Bahkan anak menjadi agresif, hingga terlibat dalam tindak kriminal (Berg, 2011). Perilaku agresif yang muncul pada anak di kalangan teman sebayanya merupakan hasil dari penerapan pola asuh otoriter yang tidak terkendali (Georgiou & Stavrinides, 2013). Anak tidak mendapatkan pengetahuan bersosialisasi yang tepat dari orangtua. Pola asuh menjadi salah satu hal yang penting dalam proses perkembangan anak. Penerapan jenis pola asuh yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula. Pemilihan pola asuh ini akan disesuaikan oleh banyak faktor, dimulai dari lingkungan, kondisi anak, kesiapan orangtua hingga status ekonomi dan sosial (Sukmasari, 2013). Pola asuh yang berkembang saat ini memiliki banyak tipe, salah satu teori menurut Baumrind terdapat empat tipe pola asuh yang berkembang, yaitu : authoritarian parenting, authoritative parenting, neglectful parenting, dan indulgent parenting (Santrock, 2011). Penerapan jenis pola asuh orangtua dilatar belakangi oleh banyak hal, seperti tingkat pemahaman orangtua, kebutuhan anak, dan nilai-nilai budaya yang berkembang di negara tersebut (Martinez & Gracia, 2008). 4
Keluarga Indonesia memiliki tipe pola asuh sendiri, menurut informasi dari sebuah artikel menyatakan bahwa terdapat empat tipe pola asuh di Indonesia, yaitu : pola asuh agamis, pola asuh bebas, pola asuh ideal orang tua, dan aktif progresif (Tyas, 2014). Berdasarkan artikel tersebut menyatakan bahwa pola asuh ideal orangtua merupakan pola asuh yang paling banyak diterapkan di keluarga Indonesia. Pola asuh tersebut menitikberatkan pada kedisiplinan dan kepatuhan. Banyak orangtua yang akhirnya mengekang anak dengan kebijakan-kebijakan yang diterapkan di rumah, jika anak sudah mulai mengekang maka orangtua cenderung membiarkan anak (Tyas, 2014). Pola asuh berikutnya adalah pola asuh anak bebas. Orangtua memberikan kebebasan pada anak untuk menentukan jati dirinya. Pola asuh tersebut kerap di sebut dengan pola asuh barat, karena anak memiliki otonomi atas dirinya dalam keluarga, namun orangtua masih berperan besar untuk mengarahkan anak agar pilihannya tepat. Pola asuh tersebut memiliki hasil yang paling baik dibandingkan pola asuh lainnya (Tyas, 2014). Pola asuh tersebut memiliki karakteristik yang sama dengan pola aush otoritatif milik Baumrind. Studi mengenai pola asuh telah banyak dilakukan. Setiap pola asuh akan memberikan dampak yang berbeda bagi anak (Liem, Cavell, & Lustig, 2010). Namun pola asuh yang tepat tidak terpaku pada satu jenis saja, karena kebutuhan anak pada jenjang usianya juga berbeda, sehingga perlakuan dari orangtua pun juga akan berbeda. Orangtua memiliki jenis pola asuh khusus sebagai tolok ukur, tetapi dalam penerapannya orangtua akan mengkombinasikan pola asuh yang disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan anak (Moore, 2015). Setiap jenis pola asuh memiliki dampak pada perkembangan anak. Dampak pola asuh otoriter dikemukakan dalam studi yang dilakukan oleh Simons dan Conger (2007) adalah cenderung menarik diri, apatis, lemah dalam hubungan sosial dan mengalami gangguan
5
perilaku. Pola asuh otoriter tidak selalu buruk, pola asuh tersebut juga penting diterapkan disesuaikan dengan kebutuhan anak. Berbeda dengan pola asuh otoritatif, anak akan memiliki regulasi emosi yang lebih baik dan menunjukkan perilaku yang lebih tepat ketika di lingkungan sosialnya (Simons & Conger, 2007), karena orangtua memberikan kesempatan pada anak untuk berpikir terbuka terhadap setiap peristiwa (Feldman, 2012) dan adanya kompromi yang dilakukan oleh keduanya sehingga hasil yang ditunjukkan oleh anak ketika berada di lebih baik (Salkind, 2002). Orangtua menerapkan dukungan yang lebih kepada anak, hukuman yang diberikan bersifat membangun dan mengutamakan keterbukaan antara anak dengan orangtua (Mensah & Kuranchie, 2013). Hal ini berdampak besar bagi kehidupan sosial anak yang ditunjukkan melalui
cara
berkomunikasi
dan
peneriman
terhadap
informasi
baru.
Penelitian
mengungkapkan bahwa anak yang tumbuh dengan pola pengasuhan otoritatif merasa bahwa dirinya lebih diterima dan bermakna (Liem, Cavell, & Kara, 2010). Pemilihan pola pengasuhan menjadi aspek penting dalam pencapaian kematangan sosial anak. Jika orangtua kurang tepat dalam memilih pola asuh, maka anak akan mengalami banyak hambatan pada jenjang perkembangan berikutnya. Berdasarkan hasil uraian di atas, maka muncul dua pertanyaan bagi peneliti, yaitu: 1) Bagaimana penerapan pola asuh orangtua yang banyak diterapkan di tempat penelitian? 2) Apakah ada perbedaan kematangan sosial anak berdasarkan penerapan pola asuh yang diterapkan oleh orangtua?
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan kematangan sosial anak yang ditinjau dari tipe pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. Tipe pola asuh yang akan diteliti akan dipilih berdasarkan hasil analisis oleh peneliti. 6
C. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan referensi sekunder kepada peneiliti lain yang ingin meneliti mengenai bidang perkembangan khusunya perbedaan kematangan sosial anak yang ditinjau dari tipe pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi penting bagi orangtua untuk menerapkan pola asuh yang tepat bagi anak. Sehingga tugas perkembangan dapat tercapai secara optimal, khsusunya dalam perkembangan sosial. Anak mencapai kematangan sosialnya, sehingga di jenjang berikutnya anak mampu menunjukkan perilaku yang tepat sesuai dengan harapan dari lingkungan sosial.
7