BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan seseorang dalam masa anak-anak dan remaja akan membentuk perkembangan diri orang tersebut di masa dewasa. Masa remaja, justru keinginan untuk mencoba-coba, mengikuti trend dan gaya hidup, serta bersenang-senang besar sekali. Walaupun semua kecenderungan itu wajar-wajar saja,
tetapi
hal
itu
bisa
juga
memudahkan
remaja
untuk
terdorong
menyalahgunakan narkoba. Data menunjukkan bahwa jumlah pengguna narkoba yang paling banyak adalah kelompok usia remaja. Masa remaja (adolescense) adalah peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar 10 atau 11 tahun, atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia dua puluhan awal, serta melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif, dan psikososial yang saling berkaitan (Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Masa remaja juga merupakan masa pencarian jati diri, yaitu saat individu berusaha untuk melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian untuk dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Keberhasilan remaja melewati masa transisi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal individu (biologik, kognitif dan psikologis) dan faktor eksternal lingkungan (keluarga, teman sebaya dan masyarakat).
1
2
Masa remaja awal ialah suatu periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui tingkat masa anak-anak. Peningkatan ini disebabkan oleh sejumlah faktor: perubahan biologis pubertas, perubahan kognitif yang meliputi peningkatan idealism dan penalaran logis, perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan kebijaksanaan pada orang tua, dan harapanharapan yang dilanggar oleh pihak orang tua dan remaja. Remaja membandingkan orang tuanya dengan suatu standar ideal dan kemudian mengecam kekurangankekurangannya (Santrock, 2005). Pengguna narkoba di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, hal ini dinyatakan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol Gories Mere bahwa dari "Dari hasil survei BNN dengan UI dan universitas lain, 2005 persentase prevelensi 1,7 persen dari seluruh Indonesia, 2008: 1.99 persen, 2011: 2,2 persen dan diperkirakan hingga tahun 2015 akan naik menjadi 2,8 persen atau sekitar 5,8-6 juta jiwa." kata Gories Mere dalam acara penandatanganan MoU antara Polri dengan BNN di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (23/10) (Lestari, 2012). Sebanyak sepuluh kabupaten/kota di Jawa Tengah rawan peredaran narkoba, Kabagbin Opsnal Dirnarkoba Polda Jawa Tengah AKBP Bambang Hidayat mengatakan "sepuluh kabupaten/kota yang rawan peredaran narkoba adalah Kota Semarang, Solo, Kabupaten Banyumas, Cilacap, Magelang, Sragen, Jepara, Batang, Pemalang dan Wonosobo" (Widodo, 2012). Sekitar tiga juta orang pengguna obat terlarang (NAPZA) di Indonesia, sekitar 75% diantaranya adalah kalangan remaja sebagai akibat kurangnya kegiatan pembinaan serta terbatasnya jumlah dan ragam wadah penyaluran minat
3
dan bakat pemuda sehingga mereka terjerumus dalam berbagai tindakan kekerasan dan kesesatan (Ipk, 2006). Hal ini juga diperoleh dari data Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2010 menyebutkan pertumbuhan jumlah pengguna narkoba mencapai 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75% di antaranya adalah remaja (Septiyaning, 2013). Sementara ini untuk pengguna narkoba di Jawa Tengah sebanyak 70 persen dari kalangan pekerja dan 20 persen mahasiswa/pelajar, kata Sekda Provinsi Jawa Tengah Hadi Prabowo (Widodo, 2012). Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pemakaian NAPZA terbanyak adalah remaja. Beberapa prediktor kenakalan meliputi identitas negatif, pengendalian diri berupa derajat yang rendah, telah muncul pada usia dini, harapan-harapan yang rendah dan komitmen yang rendah bagi pendidikan, prestasi yang rendah pada kelas-kelas awal, pengaruh teman sebaya, status sosio-ekonomi rendah, peran orang tua yang kurang pemantauan, dukungan yang rendah, dan disiplin yang tidak efektif, dan kualitas lingkungan (Santrock, 2005). Keinginannya cenderung melakukan jalan pintas dalam menghadapi masalah, tidak memiliki keyakinan diri yang mantap, menjadi pengikut yang tidak berdaya, mengelak dari tugas dan tanggung jawab dan hanya menuntut hak. Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) adalah satu dari perilaku resiko tinggi tersebut. Penyalahgunaan NAPZA menimbulkan perasaan
enak,
nikmat,
senang,
bahagia,
tenang
dan
nyaman,
tetapi
ketergantungan pada NAPZA dapat juga mengakibatkan dampak negatif dan berbahaya, baik secara fisik, psikologis, dan sosial (pikiran, perasaan dan perilaku).
4
Berdasarkan catatan akhir tahun
2011 Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnaspa, 2011) pada 2006, pasien narkoba remaja di Rumah Sakit yang khusus menangani kasus ketergantungan narkoba hanya 2000-an orang. 5 tahun kemudian, yakni pada 2011, jumlahnya sudah naik empat kali lipat. Parahnya, rata-rata pecandu narkoba berusia di bawah 19 tahun. Tak heran jika 2006, Badan Narkotik Nasional (BNN) mengumumkan bahwa 80% dari 3,2 juta pecandu narkoba adalah remaja dan pemuda. Sementara itu, angka siswa sekolah yang terjerat narkoba juga terus meningkat dan dalam situasi memprihatinkan. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat sebanyak 110.870 pelajar SMP dan SMA menjadi pengguna Narkotika. BNN juga melaporkan 12.848 anak siswa SD di Indonesia terindentifikasi mengkonsumsi narkoba. Selain masalah narkoba Indonesia merupakan negara ketiga yang paling besar mengkonsumsi rokok setelah Cina. Fenomena yang terjadi adalah tidak hanya orang dewasa yang cukup umur saja yang merokok, melainkan anak balita yang masih berumur di bawah lima tahun pun sudah merokok. Di tahun 2010, Komnas Perlindungan Anak memantau ada 5 kasus balita yang kecanduan rokok, dari 5 batang per hari sampai 40 batang per hari. Dengan rentang usia mulai merokok 18 bulan sampai usia 4 tahun dan lama masa merokok sekitar 1,5 tahun sampai 2 tahun. Komnas Perlindungan Anak prihatin dan khawatir karena jumlah anak yang merokok mengalami lonjakan yang signifikan. Data Susenas menunjukan Prevalensi perokok yang mulai merokok pada usia 5–9 tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat sepanjang tahun 2001–2004, sedangkan remaja usia 15–19 tahun meningkat sebanyak 144% selama tahun 1995 hingga 2004. Secara rinci Susenas 2001, 2004
5
dan Riskesdas 2007, 2010 memberikan gambaran tren perokok pemula remaja usia 10-14 naik hampir dua kali lipat dalam waktu kurang dari 10 tahun. sementara kelompok usia 15-19 tahun naik dari 58,9% tahun 2001 menjadi 63,7% pada tahun 2004. Risiko penyalahgunaan NAPZA dapat dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya dipengaruhi oleh keluarga. Keluarga merupakan bagian terkecil dari suatu masyarakat. Keluarga juga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam kelompok sosial dan merupakan lembaga terkecil di dalam masyarakat yang paling utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial. Keluarga juga merupakan tempat pendidikan pertama bagi individu. Di dalam keluarga anak belajar untuk hidup sebagai mahluk sosial yang berinteraksi dengan orang lain. Keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan pembentuk pribadi bagi seseorang, sehingga orang tua dan anggota keluarga menjadi contoh dan bahan belajar dalam membentuk pribadi anak. Ketika anak mencapai masa remaja perilaku yang diharapkan pada remaja adalah perilaku tidak merokok, tidak minum-minuman beralkohol, mematuhi norma/aturan, tidak memberontak, dan disiplin dalam keluarga dan masyarakat (Willis, 2005). Pada penelitian Browning & Loeber, (dalam Brank dkk, 2008) ada dua kelompok besar faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja: perilaku orang tua dan hubungan orang tua-anak. Salah satu perilaku orangtua, pemantauan orang tua, telah menjadi fokus dari banyak proyek-proyek penelitian. Pemantauan orang tua yang lebih besar, ditandai dengan mengetahui keberadaan anak-anak mereka atau mengawasi mereka, tampaknya berkaitan dengan perilaku kurang nakal.
6
Penelitian lain mengenai hubungan orang tua-anak telah menunjukkan bahwa komunikasi yang lebih terbuka antara remaja dan orang tua mereka berhubungan dengan lebih sedikit perilaku nakal Clark & Shields, (dalam Brank dkk, 2008). Selanjutnya penelitian Sigfusdottir, Farkas, dan Perak, (dalam Brank dkk, 2008) menunjukkan bahwa konflik keluarga memiliki efek tidak langsung pada kenakalan dengan menyebabkan kemarahan lebih untuk remaja yang kemudian menyebabkan perilaku nakal. Perilaku orangtua dan hubungan orang tua-anak keduanya memiliki pengaruh terhadap penyesuaian diri remaja dan perilaku. Oxford dkk, (dalam Sullivan, 2006) melakukan penelitian longitudinal dari 905 pemuda dan menemukan bahwa, pemuda dari keluarga yang prososial (aturan, pemantauan, dan sebagainya) memiliki kemungkinan lebih rendah untuk penggunaan narkoba. Sebaliknya sebuah penelitian yang terintegrasi tiga set data longitudinal, Smith, Wylie-Weiher, dan Van Kammen, (dalam Sullivan, 2006) menemukan bahwa pemuda yang melaporkan hubungan yang lemah dengan orang tua mereka secara signifikan lebih mungkin untuk penggunaan narkoba. Bender dan Losel, (dalam Sullivan, 2006) menemukan remaja dengan tingkat dukungan sosial dari orang tua lebih cenderung menjadi tangguh meskipun kehadiran faktor risiko. Smith dkk, (dalam Sullivan, 2006) menemukan ketahanan yang lebih besar di kalangan pemuda dengan pengawasan orangtua kualitas, hubungan negatif untuk pemuda yang tidak mendapatkan pengawasan dari orang tua. Brook, Brook, Arencibia-Mireles, Richter, dan Whiteman, (dalam Sullivan, 2006) menemukan bahwa kurangnya identifikasi orang tua, kurangnya kasih sayang dari
7
ibu, dan disiplin yang keras dari ayah adalah prediktor signifikan penggunaan ganja pada remaja. Sebaliknya, lingkungan keluarga yang positif dapat menumbuhkan ketahanan kesulitan awal dan masalah perilaku di masa muda. Keluarga adalah salah satu tempat di mana faktor pelindung dibudidayakan. Hasil penelitian di atas menunjukkan pengaruh keluarga pada anak dengan aturan, pemantauan, pengawasan dari orang tua cenderung lebih rendah untuk berisiko kenakalan pada anak dan sebaliknya. Keluarga diharapkan selalu memiliki dampak positif yang baik untuk perkembangan masa remaja, karena masa remaja merupakan masa pencarian identitas diri. Remaja memiliki kecenderungan untuk mencontoh dan ingin memberikan kesan bahwa remaja sudah hampir dewasa. Remaja mendekatkan diri pada perubahan sikap dan perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan masuk dalam perbuatan yang melangar norma untuk memberikan norma yang diinginkan (Hurlock, 1999). Teori Albert Bandura dalam Triadic Reciprocal Causation menjelaskan bahwa tindakan manusia adalah hasil dari interaksi antara tiga variabel yaitu lingkungan, perilaku, dan manusia. Lingkungan memang membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan, sedangkan behaviorisme dasarnya, menyatakan bahwa lingkungan seseorang menyebabkan perilaku seseorang (determinisme timbal balik). Bandura juga mengatakan bahwa lingkungan juga menjadi penyebab kenakalan remaja. Menurut Bandura, (dalam Feist & Feist, 2012) proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan
8
tindakan belajar. Berdasarkan teori di atas dapat diketahui bahwa teori triadic reciprocal causation memiliki dinamika yang sama dengan pola keluarga remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA, yaitu pola keluarga meliputi relasi antar anggota keluarga, peran orang tua, komunikasi antar anggota keluarga, konflik dalam keluarga, kesan dan harapan anggota keluarga, remaja yang merupakan masa transisi dan labil sehingga dapat berpengaruh negatif yang menimbulkan perilaku berisiko penyalahgunaan NAPZA. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dipengaruhi oleh faktor individu terkait perkembangan masa remaja (usia) yang merupakan masa peralihan, lingkungan juga menjadi faktor utama dalam pembentukan perilaku remaja dan lingkungan terdekat anak adalah keluarga. Pola keluarga remaja berisiko NAPZA diantaranya dipengaruhi pola menerima-menolak (hubungan antar anggota keluarga, komunikasi antar anggota keluarga, konflik dalam keluarga dan harapan anggota keluarga), pola memiliki-melepaskan (oleh cara orang tua mendidik anak, nilainilai dan pendidikan yang diajarkan), pola demokrasi-otokrasi (peran orang tua kurang pemantauan, dukungan yang rendah, dan disiplin yang tidak efektif). Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka dapat dibuat rumusan masalah ”Bagaimana pola keluarga pada remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA?”. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut penulis tertarik untuk mengkaji secara empirik dengan mengadakan penelitian yang berjudul: ”POLA KELUARGA REMAJA BERISIKO PENYALAHGUNAAN NAPZA”.
9
B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan pola keluarga remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA.
C. Manfaat Penelitian Peneliti berharap dengan adanya penelitian tentang pola keluarga remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA yang dapat membawa manfaat sebagai berikut: 1. Bagi subjek, dapat memberikan informasi dan sumbangan pemikiran mengenai pola keluarga remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA. 2. Bagi pemerintah khususnya dinas sosial, dapat menjadikan rujukan dalam mengatasi dan mencegah remaja (pelajar) yang berisiko penyalagunaan NAPZA. 3. Bagi pembaca yang memiliki akses terhadap penelitian ini, agar mendapat pengetahuan dan menambah wawasan mengenai pola keluarga remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA.
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang risiko penyalahgunaan NAPZA sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Penelitian oleh Purwandari dan Lestari (2012) berjudul perilaku merokok pada remaja SMA/SMK dikota dan luar kota. Selain itu, Ernawati (2010) tentang kesepian dalam seting keluarga pada remaja pengguna NAPZA. Dan penelitian oleh Kusumastuti (2014) tentang pola kontrol sosial remaja putri berisiko penyalahgunaan NAPZA. Ketiga penelitian tersebut menggunakan pelajar
10
(remaja) sebagai informan penelitian. Selain itu, metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode kualitatif. Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, akan berbeda dengan penelitianpenelitian sebelumnya. Perbedaan dalam penelitian yang dilakukan ini adalah informan penelitian dan hal yang diteliti. Penelitian ini akan menjadikan pelajar yang sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas dan kejuruan di kota Sragen sebagai informan utama penelitian dan orang tua sebagai informan pendukung, dengan latar belakang keluarga harmonis. selanjutnya hal yang diteliti dalam penelitian ini adalah pola keluarga remaja berisiko penyalahgunaan NAPZA dengan aspek-aspek yang diungkap diantaranya adalah relasi antar anggota keluarga, peran orang tua, konflik dan komunikasi keluarga, penanaman nilai dan pendidikan keluarga, serta kesan dan harapan keluarga.