1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa saat seseorang mengalami perubahan secara psikis dan fisik. Pada saat memasuki masa remaja, individu dihadapkan dengan keadaan baru seperti adanya perubahan biologis yang dramatis, berbagai pengalaman baru, dan tugas perkembangan baru (Santrock, 2011). Keadaan-keadaan baru tersebutlah yang dapat mendorong terjadi kenaikan tingkat stres dalam diri individu pada saat memasuki masa remaja. Hall (1904) memandang masa remaja sebagai masa yang dipenuhi dengan “storm and stress”. Hal tersebut disebabkan adanya ketidakstabilan pada emosi dan perilaku sebelum remaja menuju titik kestabilan yakni pada saat memasuki masa dewasa. Hall juga berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa yang dipenuhi dengan konflik dan perubahan mood yang terjadi secara drastis. Cobb (2007) menyatakan bahwa masa remaja adalah suatu masa saat individu harus menghadapi berbagai perubahan yang terjadi, sehingga memasuki masa remaja dapat menjadi salah satu faktor menjadi penyebab munculnya stres pada diri remaja. Perubahan yang terjadi secara drastis pada masa remaja menjadikan remaja rentan mengalami stres. Zimmer-Gembeck & Skinner (2008) menyatakan bahwa saat memasuki masa remaja individu dihadapkan pada berbagai pengalaman baru yang berpotensi menyebabkan stres, tetapi pengalaman baru tersebut juga dapat mendorong kemandirian dalam menghadapi kehidupan. Pubertas yang terjadi pada masa remaja berdampak pada munculnya perubahan pada biologis dan neurologi individu, yang dapat meningkatkan reaktivitas stres dan mengganggu kemampuan berpikir rasional dalam problem solving. Pada penelitian yang dilakukan oleh Vriendt, dkk (2011) menemukan bahwa pubertas yang terjadi pada masa
2
remaja menjadi salah satu prediktor munculnya stres dalam diri remaja. Dalam penelitian juga ditemukan bahwa remaja pada fase pasca-pubertas ditemukan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja pada fase pra-pubertas dan remaja yang telah melewati fase pubertas (Papalia, dkk, 2001). Menurut Huli (2014) masa remaja tidak hanya dipenuhi dengan kejadian negatif tetapi terdapat juga kejadian positif. Remaja memiliki pilihan dalam memilih cara dalam menghadapi situasi yang terjadi pada dirinya. Masalah akan muncul saat remaja tidak dapat menghadapi kejadian yang berpotensi dalam menyebabkan stres sehingga menjadikan remaja berada dalam keadaan stres. Frierdrich menyatakan bahwa remaja yang tidak dapat menghadapi tekanan dan masalah-masalah yang muncul menjadi rentan mengalami stres (Fuhrmann, 1990). Terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stres yang dimiliki oleh remaja yang diantaranya adalah faktor tahapan usia perkembangan, jenis kelamin, dan lingkungan sosial. Pada faktor tahapan usia perkembangan yakni pada masa remaja terdapat sumber stres yang masalah pada body image, seksualitas, kemandirian, dan penerimaan dari peer group (Unger, dkk, 1998). Papalia (2001) juga berpendapat bahwa tahapan perkembangan dapat menjadikan sumber stres bagi individu, hal tersebut yang menyebabkan masalah yang dihadapi pada masa remaja berkaitan dengan masalah dampak dari adanya pubertas dan masalah perubahan yang terjadi pada bentuk tubuh yang dimiliki. Selain faktor tahapan usia perkembangan, jenis kelamin juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat stres pada remaja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Vriendt, dkk (2011) pada remaja di Eropa menemukan bahwa remaja putri memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada remaja putra. Berdasarkan hasil penelitian Herwina (2006) juga menunjukkan remaja putri memiliki kecenderungan tingkat stres yang lebih tinggi
3
dibandingkan dengan remaja putra. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh dalam tingkat stres yang dimiliki individu dan remaja putri memiliki kecenderungan untuk memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan remaja putra. Faktor lainnya yang menjadi faktor stres dalam diri remaja adalah lingkungan sosial yang dimiliki remaja. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jose, dkk (1998) menemukan bahwa sumber stres terbesar pada remaja Amerika adalah masalah pertengkaran dengan saudara, perasaan bosan, masalah pada berat badan, perasaaan bosan, dan bullying yang dilakukan oleh teman sebaya. Sementara pada remaja Rusia ditemukan bahwa sumber stres terbesar adalah ketersediaan makan, masalah pada kesehatan, kurangnya waktu untuk bersama dengan orangtua, masalah dalam keluarga, dan kondisi rumah yang terlalu padat. Hasil tersebut menunjukkan bahwa lingkungan sosial yang berbeda menjadikan sumber stres yang dimiliki oleh remaja menjadi berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Herwina (2006) ditemukan bahwa sumber stres pada remaja laki-laki adalah keuangan, hubungan dengan orang tua, masa depan, psikologis, dan pelajaran sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber stres terbesar remaja laki-laki adalah masalah keuangan. Pada penelitian juga didapatkan hasil bahwa sumber stres pada remaja putri adalah hubungan dengan orangtua, masalah pada fisik (tubuh), masa depan, psikologis, dan keuangan. Penelitian juga menemukan bahwa sumber stres terbesar pada remaja putri adalah hubungan dengan orangtua dan masalah pada penampilan fisik (tubuh). Sumber stres masalah pada tubuh yang dimiliki remaja putri berkaitan dengan perubahan tubuh pada masa pubertas, mempengaruhi pembentukan body image dan menjadi penyebab munculnya stres dalam diri remaja putri (Papalia, dkk, 2001).
4
Salah satu sumber stres terbesar dalam diri remaja putri yakni body image berkaitan dengan rasa tidak puas terhadap tubuh yang dimilikinya. Menurut Hurlock (1980) masa remaja merupakan masa saat individu memperhatikan bentuk tubuh yang dimilikinya dan memiliki kesadaran adanya reaksi dari lingkungan sosial terhadap tubuh yang dimilikinya. Hal tersebut berdampak pada banyaknya remaja yang merasa tidak puas dengan tubuh yang dimilikinya dan memiliki konsep diri yang negatif. Terdapat berita dengan headline “Gadis Muda Bunuh Diri Karena Hasil Operasi Plastik” yang menjadi salah satu kasus akibat stres yang dialami remaja putri berkaitan usaha untuk memperbaiki body image negatif dalam dirinya (vemale.com, 2013). Dalam berita tersebut disebutkan remaja putri yang melakukan operasi plastik agar memenuhi standar kecantikan yang ada di masyarakat. Remaja putri tersebut merasa berada dibawah tekanan sebab hasil dari operasi plastik yang dilakukannya tidak sesuai dengan standar body image yang dimilikinya sehingga memilih untuk bunuh diri. Kasus tersebut adalah satu dari banyak kasus yang terjadi akibat dari adanya body image negatif yang dimiliki seseorang. Body image negatif dapat membuat seseorang merasa berada dibawah tekanan dan untuk mencapai suatu standar „ideal‟ tertentu untuk penampilan fisiknya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fitri, Rihadini, & Rakhmawatie (2012) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat stres yang dimiliki oleh remaja putra dengan remaja putri yang mengalami obesitas. Remaja putri obesitas ditemukan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan remaja putra obesitas. Dalam penelitian juga ditemukan bahwa remaja yang mengalami obesitas baik remaja putra dan remaja putri ditemukan mengalami stres. Dalam penelitian ditemukan bahwa 95% dari subjek penelitian yakni remaja putri yang mengalami obesitas mengalami stres. Hal tersebut berkaitan dengan remaja putri yang mengalami masalah pada penampilan fisik atau tubuh
5
yang dimiliki memiliki kecenderungan untuk mengalami emosi negatif sehingga dapat mempengaruhi tingkat stres yang dimilikinya. Pada penelitian Mission Australia pada tahun 2009 menemukan bahwa body image merupakan salah satu masalah utama di masa remaja baik putri maupun laki-laki. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa masalah pada body image merupakan salah satu masalah yang signifikan di kalangan remaja dan membutuhkan tindakan preventif untuk mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan dari masalah body image (Cinelli & O‟Dea, 2011). Muth & Cash (1997) menyatakan bahwa body image berhubungan dengan persepsi, perasaan, dan pemikiran yang dimiliki individu mengenai tubuh yang dimilikinya. Thompson, Heinberg, Altabe, & Tantleff-Dunn (1999) menyatakan bahwa body image adalah sentral remaja putri dalam mendefinisikan dirinya, sebab mereka telah disosialisasikan untuk percaya bahwa penampilan fisik merupakan dasar penting dalam mengevaluasi diri sendiri dan orang lain. Masalah pada body image yang muncul akibat dari perubahan yang terjadi dianggap tidak sesuai dengan yang penampilan fisik yang ingin dimiliki cenderung lebih banyak terjadi pada remaja putri. Berdasarkan hasil penelitian Chisuwa dan O‟Dea (2011) ditemukan remaja putri cenderung merasa tidak puas terhadap perubahan yang terjadi pada masa pubertas daripada remaja laki-laki. Hal itu disebabkan pada masa pubertas remaja putri mengalami peningkatan kadar lemak yang dinilai menjadikan dirinya tidak sesuai dengan bentuk tubuh yang ideal, sementara remaja laki-laki pada masa pubertas mengalami peningkatan massa otot sehingga menjadikan tubuhnya mendekati bentuk tubuh yang ideal (Chisuwa & O‟Dea, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Davison & McCabe (2006) pada 245 remaja laki-laki dan 173 remaja putri di Victoria, Australia juga menemukan bahwa terdapat
6
perbedaan body image pada remaja laki-laki dengan remaja putri. Hasil penelitian menemukan remaja putri memiliki body image negatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan body image yang dimiliki remaja laki-laki. Dalam penelitian menyebutkan remaja putri memiliki body image negatif lebih tinggi daripada remaja laki-laki disebabkan remaja putri memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dalam membuat evaluasi negatif mengenai tubuh yang dimilikinya. Remaja putri juga ditemukan memiliki kekhawatiran yang lebih tinggi pada pandangan dan penilaian orang lain mengenai penampilan fisik yang dimilikinya. Dalam penelitian juga ditemukan remaja putri cenderung melakukan perbandingan antara penampilan fisik yang dimilikinya dengan orang lain yang ada di lingkungan sosial sekitarnya. Perbandingan penampilan fisik yang sering dilakukan dan adanya rasa tidak puas yang menyebabkan remaja putri memiliki kecenderungan untuk menyembunyikan tubuh yang dimilikinya (McCabe & Ricciardelli, 2003). Body image yang dimiliki oleh remaja putri dipengaruhi oleh perkembangan zaman dewasa ini semakin mengarah pada berkembangnya suatu tren tentang tubuh ideal. Secara implisit iklan-iklan yang muncul di layar televisi dan berbagai media menunjukkan suatu kriteria tertentu tentang definisi tubuh ideal. Berbagai iklan di media menampilkan model dengan postur tubuh yang dinilai menarik untuk meyakinkan masyarakat untuk menggunakan produknya. Dalam kehidupan sehari-hari media telah mempengaruhi pola pikir remaja dalam menilai penampilan fisik yang 'indah' dan menjadikannya sebagai patokan bentuk tubuh yang ideal. Gambaran penampilan fisik ideal yang ditayangkan media memiliki potensi tinggi dalam mengubah persepsi dan evaluasi, tergantung dengan cara individu menyerap informasi dari media (Groetz, Levine, & Murnen, 2002). Pada penelitian yang dilakukan Clay, Vignoles, & Dittmar (2005) ditemukan bahwa penayangan gambar model dengan tubuh yang sangat kurus berdampak pada penurunan kepuasan body image yang dimiliki oleh remaja
7
putri. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa media memiliki pengaruh terhadap kepuasan body image yang dimiliki oleh remaja putri. Penelitian yang dilakukan oleh Gattario (2013) menemukan bahwa media memiliki pengaruh dalam pembentukan body image pada remaja, yang didalamnya membuat karakteristik penampilan fisik yang ideal tidak natural dan tidak realitistik. Penelitian yang dilakukan pada wanita Latina di Universitas Fritzer menemukan bahwa remaja putri yang telah terpapar oleh media yang pada umumnya memiliki pandangan mengenai kecantikan dan tubuh yang ideal, cenderung memiliki body image yang negatif dan juga berdampak pada munculnya reaksi psikologis berupa stres (Noble, 2012). Asberg dan Wagaman (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara body image dan stres. Body image yang negatif berdampak pada meningkatnya stres dalam diri individu. Stres merupakan salah satu hal yang terjadi pada saat individu dihadapkan pada situasi yang dianggap mengancam dan menyebabkan perasaan tertekan. Pada remaja putri perubahan pada fisik yang tidak sesuai dengan penampilan ideal yang diinginkan dapat menjadi salah satu penyebab dari munculnya perasaan tertekan. Remaja putri yang memiliki body image negatif akan merasa lingkungan sekitarnya tidak dapat menerima dirinya dan berusaha melakukan upaya untuk dapat mencapai tubuh ideal yang diinginkan. Perasaan tertekan yang dapat menyebabkan stres dan berakibat pada munculnya dampak-dampak negatif yang dapat berakibat mempengaruhi perkembangan pada masa remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Holsen, Kraft, & Roysamb (2001) menemukan bahwa body image dapat memprediksi perubahan mood depresi pada remaja, yang berkaitan dengan adanya tekanan dalam diri remaja. Body image yang rendah dapat menyebabkan peningkatan stres dalam diri remaja putri. Demikian sebaliknya dengan memiliki body image yang positif remaja putri memiliki tingkat stres yang lebih rendah sebab tidak mudah merasa tertekan.
8
Atas dasar dukungan-dukungan teori dan berita di atas peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan body image dengan tingkat stres pada remaja putri. Pada penelitian ini partisipannya berfokus pada Mahasiswi psikologi angkatan 2015 yang belum berusia 20 tahun. Adapun alasan pemilihan subjek dipilih disebabkan belum banyak penelitian yang berfokus pada hubungan body image dan tingkat stres pada remaja putri yang berada di perguruan tinggi terutama di Fakultas Psikologi UGM.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara body image dengan tingkat stres yang dimiliki oleh remaja putri.
C. Manfaat Penelitian 1.
Kegunaan Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dan tambahan kajian bagi perkembangan ilmu pengetahuan mengenai hubungan tingkat stres dan body image pada remaja putri.
2.
Kegunaan Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dengan adanya gambaran mengenai tingkat stres, body image dan hubungan antara body image dengan tingkat stres, sehingga dapat menjadi acuan bagi praktisi untuk mengembangkan program yang tepat untuk mencegah munculnya stres yang berkaitan dengan perkembangan body image pada remaja putri.