BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dan pertumbuhan yang baik pada masa anak-anak merupakan fondasi perkembangan positif anak di kemudian hari. Pemenuhan kebutuhan dasar anak yang baik akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan kognitif, seperti tingkat kecerdasan, meningkatkan keaktifan, dan konsentrasi pada anak. Oleh sebab itu, berbagai upaya harus dipersiapkan untuk mewujudkan hal tersebut. Salah satu bentuk persiapan untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan yang baik pada anak adalah pemberian makan. Makanan sangat perlu dan merupakan kebutuhan yang paling dasar dan utama dari hierarki kebutuhan Maslow (Schultz & Schultz, 2013), yaitu kebutuhan yang bersifat fisiologis. Pemenuhan kebutuhan makan akan tercipta dengan baik apabila anak memperlihatkan perilaku makan yang baik pula. Perilaku makan yang baik akan terbentuk berdasarkan pemberian makan dan contoh yang diberikan orang tua terhadap anaknya. Salah satu hal yang menunjang praktik pemberian makan pada anak adalah cara penyajian dan komunikasi yang terjadi saat makan antara anak dengan orang tua. Berk (2012) menjelaskan bahwa ketika anak memasuki usia dua tahun atau sering disebut sebagai usia bermain, anak pada umumnya akan mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik yang sangat berbeda. Berk (2012) menambahkan bahwa anak yang berada pada usia dua dan empat tahun akan mengalami pertumbuhan otak yang pesat dari biasanya, yaitu dari 70% menjadi 90% dari ukuran dewasa. Selain itu, terdapat beberapa bagian korteks otak yang memproduksi jumlah sinapsis yang cukup banyak. Hal tersebut sangat membutuhkan energi yang banyak karena aliran darah pada otak juga bertambah dengan cepat. Peristiwa tersebut juga terjadi pada saat anak berusia empat tahun. Berbagai keterampilan juga dikembangkan ketika anak
memasuki usia bermain, seperti anak melakukan koordinasi fisik, pengembangan bahasa, memori, dan imajinasi (Santrock, 2011). Namun kenyataannya, peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah adanya kendala yang sering dialami oleh ibu dalam pemberian makan. Para ibu sering dihinggapi rasa khawatir karena perubahan perilaku yang terjadi pada anak. Rathus (2014) menjelaskan bahwa perubahan dari infanci menuju masa awal anak-anak ditandai dengan adanya perubahan nutrisi dan bentuk makanan dari cair ke padat. Selain itu, anak juga memperlihatkan nafsu makan yang mulai menurun terhadap makanan baru, cenderung memilih-milih makanan, dan anak lebih memilih mengonsumsi makanan manis dan asin. Apabila hal tersebut tidak diatasi dengan cepat, maka akan menyebabkan masalah dengan perilaku makan anak, yaitu kesulitan makan. Kesulitan makan pada anak, meliputi anak malas makan, intensitas dalam memilih-milih jenis makanan yang disukai, dan penolakan pada makanan. Binnendyk dan Lucyshyn (2009) menjelaskan bahwa perilaku menolak makanan secara kronik merupakan sebuah problem yang cukup berat. Hal serupa juga diungkapkan oleh Soedibyo dan Mulyani (2009) bahwa kelompok usia satu sampai lima tahun mengalami kesulitan makan terbanyak, yaitu sebesar 58%. Presentasi keluhan kesulitan makan pada anak, yaitu 27,5% menghabiskan makanan kurang dari sepertiga, 24,8% menolak makanan, 22,9% anak rewel dan merasa tidak senang atau marah, 7,3% hanya menyukai satu jenis makanan, 18,3% hanya mau minum susu, 19,3% memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk makan, dan 15,6% mengemut. Prasetyo (2009) juga menambahkan bahwa prevalensi kesulitan makan pada masa anakanak sebesar 25%. Usia prasekolah dari umur 4 sampai 6 tahun meningkat menjadi 33,6%. Berdasarkan laporan dari Riskesdas pada tahun 2013 dari Gizinet (2014) menjelaskan bahwa prevalensi kekurangan gizi pada anak di Indonesia mencapai angka 19,6%. Hal tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan pada tahun 2010 dengan prevalensi sebesar 17,9%. Kementerian Kesehatan RI juga melaporkan bahwa asupan gizi
buruk masih banyak terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, meliputi, Bali sebesar 11,4%, Yogyakarta 10,0%, dan NTT sebesar 33,6%. Rathus (2014) menjelaskan bahwa anak yang berada pada tahun kedua dan ketiga, secara khusus mulai memperlihatkan perubahan nafsu makan. Anak juga semakin agresif dan menutup mulut rapat-rapat (Priyanah, 2008). Chatoor (2009) menambahkan bahwa kesulitan makan pada anak juga ditandai dengan adanya penolakan makanan lewat mulut, perilaku menghindar, takut, menangis, dan tanda-tanda antisipasi jika melihat nasi, sayur, buah, susu, sendok, dan ketika ingin disuapi. Apabila masalah kesulitan makan pada anak tidak diatasi dengan cepat dan tepat tentunya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang lebih serius. Contohnya, anak yang memperlihatkan ekspresi takut atau pengalaman yang tidak menyenangkan saat makan akan menjadi penyebab timbulnya perilaku neophobia food (takut pada makanan baru), picky eating (perilaku memilih-milih makanan), anak menjadi lebih agresif atau melawan pada ibunya ketika makan, tingkat kecerdasan yang menurun, anak menjadi tidak aktif, dan juga akan menjadi onset terhadap gangguan makan, seperti anorexia dan bulimia saat memasuki usia remaja dan dewasa (Orun, Erdil, Cetinkaya, Tufan, & Yalcin, 2012). Walker dan Michael (1992) menjelaskan bahwa secara garis besar kebanyakan masalah kesulitan makan memiliki satu atau beberapa penyebab secara primer. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh keterlambatan makan pada anak karena kesalahan dalam mengatur perilaku, disfungsi neuromotorik, ataupun hambatan secara mekanik. Binnendyk dan Lucyshyn (2009) juga menambahkan bahwa penolakan makan pada anak diartikan sebagai penyebab secara organik atau medis, meliputi abnormal secara fisik. Penyebab penolakan makanan mungkin saja disebabkan oleh faktor organik, akan tetapi faktor lingkungan seperti pola pengasuhan yang kurang efektif sampai waktu makan memberikan kontribusi pada kesalahan dan pemeliharaan masalah (Binnendyk & Lucyshyn,
2009).
Interaksi antara ibu dan anak terkait jenis makanan dan perilaku makan
dikonseptualisasikan sebagai aspek yang spesifik pada pola asuh ibu. Jansen, Mallan, Nicholson, dan Daniels (2014) menjelaskan bahwa pola asuh merupakan faktor yang berhubungan dengan pembentukan perkembangan anak, termasuk perilaku makan. Misalnya, bentuk pola asuh secara otoriter, yang menekankan atau memaksakan segala aturan ibu ke anak untuk ditaati. Bentuk pola asuh tersebut pada akhirnya akan membuat anak menjadi pribadi yang cemas, penakut, bahkan kurang inisiatif. Ketidaksesuaian praktik pemberian makan ibu juga memberikan pengaruh terhadap berat badan anak di pedesaan India. Hal tersebut dibuktikan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Vazir, Engle, Balakrishna, Griffiths, Johnson, Kanashiro, Rao, Shroff, dan Bently (2012) bahwa perilaku ibu dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku makan anak. Perilaku ibu, seperti cara dan bentuk pemberian makan, intensitas ibu secara verbal memperkenalkan nutrisi makanan, dan variasi jenis makanan secara tidak langsung akan mempengaruhi perilaku makan anak (Haszard, 2013; Moroshko & Brennan, 2013). Anak cenderung meniru perilaku dari ibu, termasuk pemberian makan (Haszard, 2013). Lebih lanjut Moroshko dan Brennan (2013) menambahkan bahwa pembentukan kebiasaan yang dilakukan oleh ibu sejak kecil dan dilakukan secara berkesinambungan tentunya akan membentuk perilaku anak. Parritz dan Troy (2014) menjelaskan bahwa faktor penting terkait etiologi kesulitan makan pada anak adalah faktor orang tua dan keluarga. Orang tua, khususnya ibu merupakan lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak. Permasalahan komunikasi yang tidak terjalin dengan baik saat proses makan dapat memicu terbentuknya perilaku kesulitan makan pada anak. Selain itu, Fitriani, Febry, dan Mutahar (2009) juga menguraikan gambaran tentang penyebab kesulitan makan pada anak. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh uraian, yaitu 59,3% dengan cara dipaksa ketika disuapi, 87% suasana makan sambil bermain, 78% variasi makanan yang kurang baik, 78,1% frekuensi makanan yang buruk, 66,7% sambil
menonton TV. Selain itu, 8,2% orang tua yang memaksa anak untuk makan dengan porsi yang sesuai dengan keinginan dari orang tua, dan 13,1% pemberian makan yang tidak terjadwal (Harinda, 2012). Perilaku yang diuraikan di atas terkait penyebab kesulitan makan pada anak akan menimbulkan ketidaknyamanan saat makan. Chatoor (2009) menambahkan bahwa kesulitan makan yang terjadi pada anak disebabkan karena adanya kecemasan ibu yang terlalu berlebihan dan kesalahan pada porsi makanan yang diberikan. Selain itu, adanya ketidaksesuaian praktik pemberian makan dengan usia atau tahap perkembangan pada anak. Hubungan antara praktik pemberian makan yang dilakukan oleh ibu dan kesulitan makan pada anak juga diungkapkan oleh dua ibu berdasarkan wawancara singkat yang dilakukan di Yogyakarta pada tanggal 2 Agustus 2014, yaitu: “Awal mula anak saya itu picky eater karena saya kurang memperhatikan pola makan anak. Saya cenderung hanya memberikan makanan yang instant saja. Berhubung saya sangat sibuk, jadi mengabaikan hal-hal kecil yang ternyata malah membuat saya kewalahan untuk mengatasi sendiri. Sebenarnya yah, untuk membentuk perilaku makan sehat itu tergantung dari awal pembentukan MP-ASI anak (makanan pendamping asi). Saya juga sebenarnya sangat kekurangan informasi akan pemberian makanan yang baik dan sehat, sehingga saya juga kadang acuh saja ketika memberikan makan pada anak (WWC 1. Widi & Mut. 2/08/2014). Berdasarkan hasil wawancara dari dua ibu yang memilki anak usia pra sekolah dengan permasalahan kesulitan makan, menjelaskan bahwa awal mula perilaku picky eater, malas makan, atau memilih-milih makanan itu tergantung pada awal pembentukan atau pemberian makanan pendamping ASI. Kedua ibu tersebut memiliki pengalaman yang hampir sama, yaitu memiliki kesibukan dan tidak sempat memperhatikan pola makan anak. Pada akhirnya, anak tumbuh dan memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan instan, dan sangat tidak menyukai sayur dan buah. Penyebab kesulitan makan pada anak yang telah diuraikan sebelumnya dijelaskan bahwa sebagian besar disebabkan karena ketidaksesuain praktik penyajian makanan yang dilakukan oleh ibu (Evans, dkk, 2011). Hal tersebut terjadi karena ibu memiliki peran langsung
dan berhubungan dengan perilaku makan anak. Webber, Cooke, dan Wardle (2010) menjelaskan bahwa pada umumnya kesalahan persepsi ibu tentang praktik pemberian makan yang cenderung memaksa atau menekan anak untuk makan merupakan faktor utama terbentuknya perilaku kesulitan makan pada anak. Dubois, Farmer, dan Peterson (2007) juga menjelaskan bahwa penyebab perilaku picky eating terbentuk dari perilaku ibu yang cenderung memaksa. Melihat fenomena tersebut, maka diperlukan sebuah solusi untuk mengatasi perilaku kesulitan makan dengan memberikan treatment kepada ibu. Sebuah pendekatan positive behavior support diketahui bermanfaat untuk mengubah perilaku yang tidak diinginkan. Pendekatan
positive
behavior
support
merupakan
sebuah
kerangka
pikir
yang
menggabungkan beberapa prinsip-prinsip dan praktik perilaku untuk memperbaiki perilaku yang bermasalah (Sullivan, Long, & Kucera, 2011). Kerangka utama dari positif behavior support adalah menekankan perubahan perilaku secara sistematis, mencapai hasil belajar, dan mencegah masalah perilaku. Lebih lanjut McClean dan Grey (2012) menjelaskan bahwa selama 25 tahun terakhir, PBS (positive behavior support) juga banyak dikembangkan pada berbagai bidang, seperti sekolah, lingkungan keluarga, dan sosial. Berdasarkan studi dari 44 kasus menunjukkan bahwa keberhasilan penyelesaian masalah dengan menggunakan pendekatan PBS adalah penerapan langsung dilakukan untuk mengatasi masalah dengan mengatur kehidupan yang lebih nyata. Efektivitas treatment akan tercapai dengan melibatkan tiga kompenen, yaitu mengubah lingkungan, meliputi membuat jadwal makan yang teratur, mengubah nutrisi makanan, dan terapi perilaku. Dari 24 kasus tentang kesulitan makan, dilaporkan bahwa 7179% telah diatasi dengan baik (Benoit & Coolbear, 1998). Binnendyk dan Lucyshyn (2009) menambahkan bahwa konsistensi praktik dengan menggunakan pendekatan PBS dalam mengatasi kesulitan makan pada anak lebih menitik beratkan pada pemberian pelatihan, pengajaran, dan pengarahan bagi para ibu untuk
mengatur kegiatan rutinitas anak dan menggunakan penguatan positif, seperti penghargaan atau bujukan, serta ibu memberikan contoh yang baik saat makan. Ibu secara aktif membantu anak dengan cara menenangkan, misalnya membelai dengan lembut, bernyanyi, dan mengatakan “kamu baik-baik saja, ibu selalu ada di sini nak”, saat proses makan terjadi. Ibu selalu mengulangi penguatan positif tersebut secara teratur, yaitu 4 – 5 kali perhari dan dengan meyakinkan anak kalau tidak akan terjadi peristiwa yang menyakitkan. Berdasarkan pemaparan di atas tentang kesulitan makan yang terjadi pada anak, faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku, serta pendekatan treatment yang efektif digunakan untuk mengatasi kesulitan makan pada anak, maka peneliti membuat sebuah program “MONITOR” yang akan digunakan dalam menyelesaikan permasalahan yang telah diuraikan di atas. Program “MONITOR” merupakan singkatan dari mother centered positive behavior support. Program tersebut menggunakan pendekatan PBS (positive behavior support) yang berpusat pada ibu. Program “MONITOR” pada penelitian ini merupakan sebuah pelatihan yang dirancang untuk ibu yang memiliki anak dengan kesulitan makan. Program ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada ibu tentang gizi dan cara menyajikan makanan, mengajarkan cara membentuk perilaku makan sehat, dan mengajarkan kepada ibu tentang sikap-sikap positif. Psikoedukasi dan keterampilan yang diberikan kepada ibu bertujuan untuk diterapkan ke anak dalam mengatasi kesulitan makan. Program “MONITOR” dibagi menjadi tiga modul. Pertama, pemberian pemahaman tentang gizi seimbang dan keterampilan baru tentang cara menyajikan makanan yang tepat yang sesuai dengan masa perkembangan anak. Gizi seimbang yang dimaksud adalah mengonsumsi makanan yang bervariasi, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktivitas fisik, dan memnatau berat badan normal. Keterampilan penyajian makanan, meliputi penggunaan gambar-gambar, membentuk makanan semenarik mungkin, seperti membentuk kartun atau karakter yang disukai oleh anak.
Modul kedua, membahas tentang pembentukan perilaku makan anak, seperti jam makan, porsi makan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak, serta pendekatan modifikasi perilaku dalam membentuk perilaku makan sehat. Pada modul ketiga, berisi tentang pemberian pemahaman dan mengajarkan kepada ibu tentang bentuk-bentuk sikap positif, seperti bentuk ekspresi emosi ibu, ibu secara langsung memberikan pujian kepada anak, penerapan pendekatan bahasa-bahasa yang positif, lebih banyak bercerita tentang manfaat makanan bagi tubuh, dan bentuk perkembangan moral pada anak. Pada dasarnya materi-materi yang terdapat pada modul ketiga ini lebih menekankan pada pemahaman dan tingkat pengetahuan ibu. Oleh karena itu, peneliti ingin menerapkan program “MONITOR” pada pelatihan yang diberikan kepada ibu dalam mengatasi kesulitan makan pada anak usia dini.
B. Rumusan Masalah Apakah program “MONITOR” yang diberikan kepada ibu dapat mengatasi kesulitan makan pada anak usia dini?.
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menguji program “MONITOR” yang diberikan kepada ibu untuk mengatasi kesulitan makan pada anak usia dini.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan program atau treatment, petunjuk, dan jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan dan usia perkembangan dalam mengatasi kesulitan makan pada anak usia dini khususnya untuk ilmu psikologi klinis, psikologi perkembangan, dan psikologi kesehatan. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi terkait ilmu gizi tentang pedoman gizi seimbang sesuai rekomendasi dari departemen kesehatan RI. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan evident based dalam menerapkan treatment yang menggunakan pendekatan positive behavior support dalam mengatasi berbagai permasalahan perilaku yang terjadi pada anak, seperti kesulitan makan. 2. Manfaat praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi positif kepada ibu untuk menerapkan treatment dengan menggunakan pendekatan mother centered positive behavior support dalam mengatasi kesulitan makan pada anak. b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada ahli gizi tentang kondisi psikologis dan perubahan perilaku anak, sehingga mampu menerapkan atau memberikan penyuluhan yang tepat terkait masalah gizi dan psikis anak. c. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi psikolog tentang penyebab kesulitan makan dan menerapkan pendekatan positive behavior support dalam mengatasi masalah tersebut.
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian di luar negeri telah meneliti tentang perilaku makan dan parental feeding, baik yang menggunakan intervensi ataupun tanpa menggunakan intervensi. Penelitian yang dilakukan oleh Binnendyk dan Lucyshyn (2009) dengan menggunakan pendekatan dukungan perilaku positif yang berpusat pada keluarga. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efikasi, akseptabilitas, dan daya tahan dari sebuah keluarga yang berpusat pada pendekatan PBS (positive behavior support) pada perilaku penolakan makanan yang cukup berat pada anak autis. Peneliti lain, yaitu Buttigieg, Rocchiccioli, dan Ellul (2012) dengan menggunakan metode promosi kesehatan dalam meningkatkan kepedulian dan kesadaran ibu tentang cara pemberian dan pengendalian makan pada anak yang mengalami obesitas. Salah satu kebijakan yang telah dilakukan oleh WHO adalah dengan melakukan promosi kesehatan yang bersifat persuasif, dalam bentuk pendidikan, dan informasi yang bertujuan untuk meningkatkan gaya hidup sehat sejak dini. Selain promosi kesehatan dan positive behavior support, intervensi lainnya yang digunakan untuk mengatasi kesulitan makan pada anak adalah dengan meningkatkan jenis makanan. Penelitian yang dilakukan oleh Valdimarsdottir, Halldorsdottir, dan Sigurdardottir (2010) adalah mengevaluasi treatment selama waktu makan dengan jenis makanan yang telah dijadwalkan sebelumnya yang dilakukan secara rutin dengan menambahkan jenis-jenis makanan dan menggambarkan pengukuran yang dideskripsikan pada jenis makanan yang dikonsumsi setelah treatment. Penelitian tentang intervensi perubahan perilaku dengan meningkatkan dan membentuk perilaku makan buah dan sayur yang dilakukan sejak kecil dilakukan oleh Cockroft, Durkin, Masding, dan Cade (2005); Kreausukon, Gellert, Lippke, dan Schwarzer (2012). Kedua penelitian ini memiliki tujuan yang sama yaitu menghasilkan perubahan perilaku dan untuk membentuk kebiasaan hidup sehat mulai dari usia anak-anak awal sampai usia dewasa.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Jennings, McEvoy, dan Corish (2011) dengan menggunakan setting sekolah, yaitu menggunakan metode full-day-care pada pra sekolah memberikan kontribusi secara signifikan terhadap asupan nutrisi dan kebiasaan diet pada anak usia pra sekolah. Selain bentuk intervensi yang dijelaskan dari beberapa penelitian, hal utama yang berhubungan dengan kesulitan makan pada anak adalah pemberian makan yang dilakukan oleh orang tua, khususnya ibu (Gregory, Paxto, & Brozovic, 2010). Beberapa peneliti yang mengkaji hal tersebut, antara lain Dubois, Farmer, dan Peterson (2007); Evans, dkk (2011); Gregory, Paxton, dan Brozovic (2010); Morosho, dan Breannan (2013); Vazir, dkk (2013); Wondafrash, Amsalu, dan Woldie (2012). Penelitian-penelitian tersebut bertujuan untuk melakukan analisis terkait kesulitan makan pada anak dan gaya pemberian makan yang dilakukan oleh orang tua. Penelitian tentang kesulitan makan pada anak juga sudah dilakukan di Indonesia. Uraian penelitian terkait hal tersebut, diantaranya Rifani (2008) yang melakukan penelitian dengan cara meningkatkan pengetahuan dan perilaku makan sehat pada anak dengan menggunakan program sayur ceria. Selain itu, Harinda (2012), Nurhayati dan Sudewi (2009) meneliti tentang penyebab kesulitan makan pada anak. Hasil dari ketiga penelitian tersebut menjelaskan bahwa penyebab kesulitan makan pada anak sangat berhubungan dengan pola pembentukan kebiasaan makan yang tidak tepat yang dilakukan oleh orang tua. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis selain berdasarkan dari beberapa review literatur yang telah dilakukan sebelumnya, juga karena adanya keluhan-keluhan yang sering dijumpai di lingkungan sekitar. Keluhan yang diperoleh dari dua ibu melaporkan hal yang sama, yaitu anaknya sangat rewel, tidak mau makan, dan cenderung memilih-milih makanan. Kedua ibu tersebut sangat mengharapkan adanya bantuan untuk mengatasi kesulitan makan pada anak. Selain itu, penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian sebelumnya karena menggunakan subjek ibu yang memiliki anak susah makan pada usia pra sekolah.
Intervensi yang diberikan pun juga cenderung berbeda karena menggunakan pendekatan positive behavior support yang berpusat pada ibu yang memiliki hubungan langsung dengan anak saat proses makan. Oleh karena itu, untuk menciptakan hal yang berbeda dari penelitian sebelumnya, maka peneliti membuat sebuah program “MONITOR” yang akan diberikan kepada ibu dalam mengatasi kesulitan makan pada anak usia dini. Berdasarkan informasi dan pengetahuan dari peneliti, menyebutkan bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang melakukan hal yang sama, sehingga keaslian dari penelitian yang akan dilakukan dapat dipertanggung jawabkan.