BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Istilah tugas berganda diterjemahkan dari kata multitask dalam Bahasa Inggris. Kata “multi” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1989 berarti berganda, banyak, lebih dari satu, lebih dari dua. Oleh karena itu tugas berganda didefinisikan sebagai beberapa tugas yang dikerjakan sekaligus dalam waktu yang sama.
1. Arti penting performansi tugas berganda Profisiensi atau kecakapan melaksanakan tugas berganda sangat penting bagi individu dan organisasi karena faktanya kondisi tugas berganda lebih sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tugas berganda juga banyak dilakukan untuk efisiensi. Tugas berganda didefinisikan sebagai beberapa tugas yang dikerjakan sekaligus dalam waktu yang sama. Istilah tugas berganda diterjemahkan dari potongan kata multi dan task dalam bahasa Inggris karena kata multitask sendiri belum ditemukan padanan bakunya dalam bahasa Indonesia. Kata “multi” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1989 berarti: berganda, banyak, lebih dari satu, lebih dari dua, sementara task berarti tugas. Tugas adalah elemen utama dari sebuah pekerjaan (Karwowski & Bedny, 2011). Tugas berganda sering dibudayakan diantara pekerja kantor karena tugas berganda dianggap lebih efisien daripada hanya berfokus pada tugas tunggal pada suatu waktu. Tugas berganda menjadi penting karena banyak
1
2
instansi yang memerlukan pekerja yang mampu melakukan tugas berganda. Appelbaum & Marchionni (2008) menyebutkan bahwa meskipun tugas berganda menghabiskan waktu penyelesaian tugas yang lebih lama, namun kondisi tugas berganda tidak dapat dihindari dalam dunia kerja. Mereka juga membuktikan adanya persyaratan kemampuan mengelola tugas berganda pada lebih dari 5000 pekerjaan. Contoh tugas berganda yaitu seorang sekretaris dalam 30 menit harus menjawab telepon, merespon email, membuat laporan dan mengedit surat. Bahkan terkadang dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas tersebut pekerja harus melakukan dua tugas bersamaan yang disebut dengan tugas ganda (dual-task), misalnya mengetik surat elektronik sambil menerima telepon. Tugas berganda sering terjadi dalam keseharian manusia, antara lain dibuktikan pula dari kutipan dua artikel berikut: “…Di kantor misalnya, tak jarang kita menerima telepon sambil membalas e-mail kolega. Di jalanan, kita memutar head unit sambil menyetir mobil.” (Prianggoro, 2010) “….. Kadang kita harus berlompatan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dari satu proyek ke proyek lain, dalam waktu bersamaan.” (Dharnoto, 2011)
Pentingnya profisiensi dalam tugas berganda juga dibuktikan dengan contoh pelaksanaan pekerjaan berikut ini (Fine, 1986; Smith, 2005). Contoh pertama adalah pekerjaan Asisten Administrasi yang tugas pokoknya adalah menyediakan dukungan administratif kepada departemen dan manajer. Selain tugas-tugas klerikal, pekerjaan ini juga melakukan tugas-tugas resepsionis dan tugas-tugas berdasarkan proyek. Dengan demikian manakala seorang Asisten Administrasi sedang menjawab telepon dan menyambungkan dengan staf yang memerlukannya, tidak jarang di saat yang sama juga harus menyambut klien atau tamu perusahaan. Bahkan
3
tugas-tugas administrasi seperti membuat dan mengubah dokumen, mengirim faksimili, dan pengarsipan juga harus dilakukannya segera. Contoh kedua adalah pekerjaan Manajer SDM (Sumber Daya Manusia). Tugas
sehari-harinya
adalah
mengelola,
mengkoordinasi,
dan
menyelaraskan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan SDM untuk mendukung kebutuhan perusahaan. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa selain terdapat tugas-tugas yang kompleks (memiliki banyak tahap hierarki), kuantitas tugasnya juga banyak sehingga seringkali terjadi situasi tugas
berganda
dalam
pelaksanaannya
sehari-hari.
Tidak
menutup
kemungkinan saat seorang Asisten Administrasi sedang melakukan tugas klerikal, ia juga harus menerima telepon dan mengatur jadwal pertemuan. Saat seorang Manajer SDM sedang merancang kebijakan, ia harus mengevaluasi hasil kerja stafnya sebagai bahan diskusi pertemuan yang akan berlangsung satu jam kemudian. Banyak perusahaan menerapkan tugas berganda agar penggunaan sumber daya manusia menjadi lebih efektif dan efisien. Pada contoh deskripsi pekerjaan di atas dapat dibayangkan
besarnya
biaya
yang
dikeluarkan
jika
perusahaan
mempekerjakan satu orang karyawan untuk melakukan tugas klerikal saja, atau satu orang karyawan untuk merancang kebijakan saja. Adanya kebutuhan multitasker ditunjukkan pada komentar James W. Sasongko, seorang praktisi Organizational Development yang dikutip dari media online tanggal 11 Desember 2010: “…Saat ini saja, saya menulis blog, sekaligus membuka email account saya dan menjawab beberapa email. Organisasi ingin memiliki multitasker tapi tak mudah mendapatkan orang seperti itu. Organisasi maunya punya SDM super yang hebat, bisa melakukan banyak hal, sehingga bisa dapat hasil kerja yang bagus dan banyak dengan sedikit orang. Ternyata SDM yang bisa multitasking lebih ‘mahal’ daripada yang tidak. Organisasi
4
mengharapkan efisiensi dengan menggunakan SDM yang bisa mengerjakan beberapa hal yang berbeda sekaligus/secara simultan.” (www.portal.com)
Hal ini diperkuat oleh artikel berjudul “Karyawan Potensial bagi Perusahaan”, yang dimuat dalam okezone.com yang menyebutkan bahwa dalam survei tahun 2009 yang dilakukan oleh CareerBuilder dan Robert Half International, perusahaan menginginkan calon karyawan yang punya keahlian multitasking (36%), inisiatif (31%), dan kreatif (21%), selain dari keterampilan yang sesuai dengan posisi yang ditawarkan. Trend saat ini adalah perluasan tugas. Diilustrasikan misalnya jika untuk mencetak, menyalin, dan memindai suatu naskah diperlukan tiga mesin untuk hal tersebut, maka saat ini satu mesin dirancang untuk dapat melakukan ketiganya dengan satu input. Analogi lain, telepon genggam saat ini sudah banyak yang memungkinkan penggunanya untuk mengirim pesan singkat sambil tetap mendengarkan musik bersamaan. Pada suatu keadaan, tugas berganda mengimplikasikan bagaimana individu mengendalikan situasi yang kacau. Pada keadaan lain, tugas berganda mengimplikasikan efisiensi tujuan untuk menghasilkan hal-hal yang diinginkan misalnya individu menjawab telepon dan surat elektronik secara bersamaan diharapkan dapat mengerjakan lebih banyak tugas lain dalam sehari dibandingkan bila melakukan kedua hal tersebut secara serial. Dengan kata lain tugas berganda dilakukan dalam rangka meningkatkan produktivitas. Dengan performa tugas berganda yang baik, banyak target kerja yang dapat dicapai dalam satu waktu dan hal ini menunjukkan produktivitas yang diharapkan. Bahkan Schottner (2007) juga menyatakan bahwa kondisi tugas berganda dapat memacu inovasi dan kreativitas.
5
2. Arti penting memprediksi kemampuan mengelola tugas berganda Profisiensi atau kecakapan dalam mengelola tugas berganda menjadi penting bagi penilaian performa seorang. Jika kemampuan ini dapat diprediksi maka perusahaan dapat menghemat biaya dengan melakukan seleksi atau potential review yang tepat. Salah satu penerapannya adalah individu yang cenderung tidak sesuai atau diprediksi menunjukkan performa tugas berganda yang buruk akan lebih tepat ditempatkan pada lingkungan kerja yang memfasilitasi kemampuan konsentrasi dan eksekusi pada satu tugas dalam suatu waktu. Kesalahan dalam prediksi membuat potensi individu tidak tampil dengan optimal, perusahaan pun akan merugi karena tujuan-tujuan tugas tidak tercapai secara efektif. Biaya ekstra harus dikeluarkan perusahaan jika terjadi kesalahan penempatan pekerja dan untuk melakukan pembinaan atau pelatihan. Sebaliknya, jika seleksi dan penempatan individu sesuai dengan kemampuan dan karakternya maka akan menimbulkan lingkungan yang kondusif dan produktif. Kaplan & Saccuzzo (2005) menyebutkan bahwa isu utama dalam bisnis dan psikologi industri adalah bagaimana mendapatkan tenaga kerja yang paling produktif. Kemampuan mengelola tugas berganda menjadi penting karena kondisi tugas berganda biasanya akan dialami pekerja seiring dengan meningkatnya tanggung jawab atau karir karena kondisi ini sangat tercermin dalam pekerjaan manajemen. Kondisi tugas berganda nampaknya lebih sulit dihadapi oleh pekerja dibandingkan dengan tugas tunggal (single task) yang memberikan pekerja keleluasaan untuk menyelesaikan satu tugas sebelum mengerjakan tugas berikutnya. Tugas berganda tidak hanya sekedar adanya lebih dari satu
6
(multi) tugas atau kegiatan (tasking), tetapi lebih pada peralihan perhatian di antara tugas-tugas tersebut. Terbatasnya waktu untuk menyelesaikan tugastugas tersebut juga memaksa individu untuk membagi waktu dan memecah perhatian. Jadi, tugas berganda akan menimbulkan beban mental tertentu karena ciri khasnya yang menuntut pekerja melakukan pembagian waktu, memecah perhatian dan beralih diantara tugas-tugas. Dalam otak, tugas berganda ditampilkan oleh proses mental eksekutif yang mengatur tugastugas tunggal dan menentukan bagaimana, kapan, dan dengan prioritas apa tugas-tugas tersebut ditampilkan. Proses eksekutif ini yang bertindak sebagai koreografer yang mengatur banyak penari sehingga dapat tampil sebagai satu kesatuan atau seorang pengatur lalu lintas udara yang membuat jadwal banyak pesawat untuk take off dan mendarat pada satu landasan pacu yang sama. Kekacauan dan kecelakaan akan terjadi jika masing-masing penari dan pesawat-pesawat yang ada tidak diatur jadwalnya sedemikian rupa. Oleh karena adanya peralihan fokus mental tersebut maka tugas berganda dapat menurunkan efisiensi (doing things right) dan efektivitas (doing the right things). Manakala konsentrasi pekerja menurun karena peralihan ini, maka kemungkinan terjadinya kesalahan akan meningkat. Dengan melakukan seleksi yang tepat maka akan diperoleh karakteristik pekerja yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan sehingga proses kerja akan menjadi lebih lancar. Pekerja akan merasa nyaman dalam bekerja dan tujuan-tujuan tugas akan tercapai. Menempatkan pekerja yang tepat dalam tugas berganda akan menguntungkan pekerja maupun organisasi. Tujuan tugas-tugas akan tercapai secara efektif,
pekerja merasa nyaman
7
melakukannya dan mengurangi kesalahan atau bahkan kecelakaan kerja. Hal ini memperkuat perlunya dilakukan prediksi terhadap kemampuan mengelola tugas berganda termasuk dalam proses seleksi.
3. Alat ukur yang banyak digunakan di Indonesia dan masalahnya Dalam prakteknya, hampir semua proses rekrutmen, promosi, dan konseling pekerja mengukur kemampuan kognitif dan non kognitif melalui tes psikologi. Alat-alat tes psikologi yang banyak digunakan antara lain adalah IST (Intelligenz Struktur Test) untuk mengukur inteligensi, Kuesioner 16 Faktor Kepribadian (16 Personal Factor Questionnaire atau 16 PF) untuk mengungkap kepribadian dan Kraeppelin untuk mengungkap kapasitas kerja. Hal ini didukung dari hasil survey melalui surat elektronik pada bulan Oktober 2010 terhadap 28 lembaga layanan psikologi di Jakarta, Bandung, Denpasar, Jambi, Makassar, Surabaya, dan Medan. Terdapat 6 lembaga (21%) yang menggunakan 16 PF, seluruh lembaga (100%) menggunakan Kraeppelin, dan IST digunakan oleh 25 lembaga (89%). Aspek-aspek yang diungkap oleh alat-alat ukur ini cukup lengkap dibanding alat lain dengan tujuan sama. IST, 16 PF dan Kraeppelin belum difungsikan untuk memprediksi performansi dalam tugas berganda, masih semata-mata digunakan untuk mengukur jenis potensi sesuai dengan tujuan dasar masing-masing alat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Demikian pula serangkaian psikotes lain yang digunakan belum dimanfaatkan lebih optimal untuk memprediksi performansi dalam tugas berganda. Oleh karena itu diperlukan
8
penelitian sejauh mana alat-alat tes psikologi yang ada di Indonesia dapat digunakan untuk memprediksinya.
4. Pengukuran performansi tugas berganda dan masalahnya Beberapa penelitian yang melakukan pengukuran performansi dalam tugas berganda antara lain adalah penelitian Delbridge (2000), yang meminta siswa mengerjakan tiga jenis soal (teliti melihat data, penilaian situasi, puzzle logika) secara berpindah-pindah dengan total waktu 45 menit. Pada penelitian Boles, Bursk, Phillips, & Perdelwitz (2007), subjek diberi empat macam tugas berupa grafik batang, kata-kata, huruf, dan garis. Mereka harus dengan cepat menentukan vokal atau konsonan, genap atau ganjil, atas atau bawah sesuai dengan instruksi masing-masing tugas. Tugas-tugas tersebut diberikan secara berpasangan atau tugas ganda (dual task), sementara dalam penelitiannya, Bauer, DeVincentis, & Taber (2008) meminta siswa untuk menyelesaikan soal-soal matematika dan pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan cerita sebuah film sambil menonton film tersebut. Di Indonesia sampai saat ini, penelitian yang melakukan pengukuran terhadap performa tugas berganda belum ditemukan sehingga belum ada sumber yang dapat dijadikan acuan. Saat ini umumnya pengukuran dilakukan sebatas pada kemampuan individu menyelesaikan beberapa jenis tugas secara serial. Individu akan dianggap kompeten untuk berbagai kondisi jika ia mampu menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan baik. Belum dibuktikan bahwa individu yang berhasil menyelesaikan tugas secara serial pasti akan menunjukkan performansi yang baik dalam tugas berganda.
9
5. Permasalahan teoritis yang mendasari teori tentang profisiensi tugas berganda Karakteristik pekerja dan situasi kerja penting untuk menjelaskan perilaku karena perilaku merupakan hasil kerjasama kedua fungsi tersebut atau person-situation interaction. Kesesuaian karakteristik individu dengan karakteristik tugas juga menjadi sasaran dari perspektif Person-Organization Fit (Hedge & Borman, 2006). Dengan kata lain teori ini juga menghasilkan teori Person-Job Fit, atau Person-Task Fit, bahwa karakteristik pekerja harus sesuai dengan tuntutan tugas dalam pekerjaan. Oleh karena itu tujuan seleksi adalah mencari orang yang tepat untuk tugas tertentu. Adanya kesesuaian antara karakteristik pekerja dengan kondisi organisasi sangat dibutuhkan untuk tercapainya performa kerja yang baik. Dalam bidang psikologi industri dan organisasi, prediktor dicari untuk menentukan kriteria performa kerja. Prediktor adalah beberapa variabel yang digunakan untuk meramalkan sebuah kriteria. Untuk keperluan ini maka psikolog industri harus mengeksplorasi berbagai macam alat yang digunakan untuk menemukan prediktor yang potensial dari kriteria performa kerja. Berdasarkan teori performa dari Campbell (Berry, 2003; Schmitt, Cortina, Ingerick & Wiechmann, 2003) determinan performansi ada tiga yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan procedural dan ketrampilan, serta motivasi. Selanjutnya perbedaan individu secara kognitif dan non kognitif mempengaruhi ketiga hal tersebut. Menurut Cook & Cripps (2005), Furnham (2008), Premuzic & Furnham (2005), secara psikologis performa kerja diprediksi melalui kemampuan kognitif dan kepribadian. Haslam (2007) serta George & Jones (2004) juga mengelompokkan perbedaan individu ke dalam dua kategori yaitu perbedaan dalam kemampuan dan perbedaan dalam
10
kepribadian. Kemampuan dibedakan menjadi fisik dan mental atau kognitif. Kemampuan akan menentukan tingkat performa yang dapat dicapai pekerja sehingga merupakan hal penting dalam meneliti performa. Kepribadian telah menunjukkan pengaruhnya terhadap pilihan karir, kepuasan kerja, stres, kepemimpinan dan beberapa aspek dari performa kerja. Kepribadian adalah pola yang relatif menetap tetapi bukan berarti kepribadian tidak dapat berubah. Kepribadian dapat saja berubah tetapi membutuhkan waktu yang lama. Kepribadian dan kapasitas kerja penting untuk dipertimbangkan dalam dunia kerja karena interaksi dari kepribadian dan faktor situasional dapat menentukan bagaimana pekerja berpikir, merasakan dan bertingkah laku. Kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan perubahan prioritas tugas juga menjadi hal penting bagi performa tugas bergandanya dan kegagalan untuk mengalihkan perhatian dapat menimbulkan kesalahan yang serius. Kesesuaian tuntutan pekerjaan dengan karakteristik pekerja berkaitan dengan aspek emosi yang kemudian menghasilkan motivasi kerja. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, motivasi kerja adalah salah satu determinan dari performa kerja. Individu akan senang dalam bekerja jika kemampuannya sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Sebaliknya jika individu tidak ditempatkan sesuai dengan karakteristiknya maka akan terjadi perilaku kontra-poduktif seperti terlambat menyelesaikan tugas, ketidakhadiran, sakit, konflik antar pribadi, kecelakaan kerja, sampai turn over yang tinggi. Berdasarkan uraian sebelumnya, mengingat pentingnya memprediksi kemampuan performa tugas berganda dalam dunia kerja maka perlu diteliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Faktor-faktor ini merupakan aspek kognitif dan non kognitif sesuai dengan teori performa yang diajukan
11
oleh Campbell. Faktor kognitif dan non kognitif akan diungkap melalui alat ukur psikologi yaitu IST, 16 PF dan Kraeppelin dengan pertimbangan bahwa alat-alat tersebut memuat aspek yang lengkap dan masih digunakan di Indonesia untuk seleksi, promosi pekerja, dan konseling karir. Dengan demikian akan diuji apakah faktor-faktor kognitif dan non kognitif yang diungkap dalam alat-alat ukur tersebut mampu memprediksi kemampuan mengelola tugas berganda.
B. Rumusan permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang, masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah: a) Bagaimana metode yang efektif untuk mengukur performansi tugas berganda? b) Apakah
faktor
kecerdasan,
kepribadian
dan
kapasitas
kerja
mempengaruhi performansi tugas berganda dan bagaimana faktor tersebut membentuk formulasi teoritis yang spesifik mengenai tugas berganda? c) Apakah alat ukur psikologi yang digunakan di Indonesia dapat digunakan untuk memprediksi kemampuan mengelola tugas berganda?
C. Tujuan dan manfaat penelitian Berdasarkan masalah yang ada maka tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengembangkan metode pengukuran performansi tugas berganda
12
2) Menguji
apakah
kecerdasan,
kepribadian
dan
kapasitas
kerja
berpengaruh terhadap performansi tugas berganda. 3) Mengetahui bagaimana faktor-faktor pada alat ukur psikologi dapat memprediksi kemampuan mengelola tugas berganda. 4) Mengeksplorasi data yang berkaitan dengan karakteristik subjek, proses simulasi tugas berganda dan alat ukur. Manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini adalah: 1) Secara metodologis dapat menghasilkan metode yang tepat untuk mengukur performansi tugas berganda. 2) Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat menemukan aspekaspek psikologis yang relevan dengan performansi tugas berganda sehingga dapat mengembangkan teori profisiensi tugas berganda. Dinamika aspek-aspek tersebut dapat menjadi unsur pembentuk formula karakteristik individu yang mampu melakukan tugas berganda dengan baik. 3) Secara praktis dapat memberikan masukan bagi praktisi psikologi dalam
menggunakan
alat
ukur
psikologi
secara
efektif
untuk
memprediksi profisiensi dalam tugas berganda pada calon pekerja.
D. Keaslian penelitian Penelitian tentang tugas berganda pernah dilakukan sebelumnya antara lain oleh Britton & Tesser (1991) yang menyebutkan tugas berganda sebagai strategi manajemen waktu yang potensial. Investigasi korelasi neuronatomikal tugas berganda juga pernah dilakukan oleh Burges, Veitch, deLacy, & Shallice (2000). Pada tahun 2001 Rubinstein, Meyer, & Evans menggunakan tugas berganda
13
secara intensif untuk mempelajari proses pengolahan informasi dan proses kontrol eksekutif. Beberapa peneliti juga menggunakan tugas ganda sebagai suatu kondisi yang berkaitan dengan tugas berganda seperti Logan & Gordon (2001) atau tugas pengalihan antara tugas-tugas oleh Monsel (2003). Khusus mengenai kaitan perbedaan individual dengan tugas berganda, Delbridge (2000) menunjukkan bahwa tugas berganda meningkatkan stres dan menurunkan performa. Interaksi inteligensi dengan tugas berganda berpengaruh pada performa, meski hanya terjadi pada inteligensi tinggi. Alat ukur inteligensi yang digunakan adalah tes Raven. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara kepribadian dengan performa tugas berganda. Konig, Buhner, & Murling (2005) memperkuat hasil penelitian tadi dengan menunjukkan bahwa fluid intelligence adalah prediktor tugas berganda dan tidak demikian halnya dengan kepribadian ekstraver. Alat ukur kepribadian yang digunakan dalam kedua
penelitian
tersebut
adalah
Big
Five-NEO-PI.
Penelitian
yang
mengembangkan teori tugas berganda dan kemampuan prediksi aspek-aspek yang diungkap alat tes psikologi terhadap kemampuan melakukan tugas berganda belum ditemukan di Indonesia. Faktanya, alat tes psikologi seperti IST, 16 PF dan Kraeppelin sudah umum digunakan tetapi belum dimanfaatkan lebih luas untuk mengungkap kemampuan tugas berganda. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan dilakukannya penelitian ini. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terletak pada kelengkapan prediktor dan metode pengukuran performansinya.