BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Eritromisin merupakan salah satu antibiotika pilihan utama yang penting, terutama bagi pasien yang sensitif serta resisten terhadap turunan penisilin (Siswandono, 1995). Eritromisin dapat diproduksi melalui fermentasi memakai Streptomyces sp. (Karp, 2005). Saat ini, produksi skala industri menggunakan bakteri jenis Saccharopolyspora erythraea. Proses produksi antibiotik biasanya menggunakan sistem kultur pertumbuhan biakan/sel bakteri ( Martin & Bushell, 1996). Biosintesis eritromisin melalui prekursor propionil KoA dan metilmalonil KoA yang berkondensasi membentuk aglikon eritronolid, lalu mengadakan ikatan dengan gula deoksi (Corcoran, 1981 ;O’Hagan, 1991). Di dalam mikroba terjadi interkonversi
antara kedua turunan KoA tersebut, sehingga zat-zat yang
biotransformasinya ataupun hasil uraiannya yang dapat menghasilkan zat tersebut akan meningkatkan produksi eritromisin (Retnaningtyas, 2003). Peningkatan produksi antibiotik dapat dilakukan dengan pendekatan secara fisiologis dan biokemis melalui optimasi media fermentasi yang dapat berupa pemberian prekusor, penambahan induser atau inhibitor enzim dan optimasi kondisi fermentasi, misalnya dengan pengaturan pH, agitasi dan aerasi. Pendekatan secara genetis dan biokemis dengan pemuliaan galur baik melalui mutasi acak maupun
1
2
rekayasa genetik juga dilakukan untuk meningkatkan produksi antibiotik (Omura & Tanaka, 1984). Media produksi eritromisin terdiri dari komponen yang kompleks antara lain, sumber karbon, nitrogen, fosfat dan trace element (Martin & Demain, 1980). Hasil fermentasi sangat tergantung pada komposisi media. Dalam proses fermentasi eritromisin, sumber karbon memiliki kadar yang lebih besar dari komponen lainnya dan berperan besar dalam menentukan hasil metabolit sekunder (El enshasy et al., 2008). Pada situs resmi Merck paa tanggal 22 April 2013 tercatat harga
D(+)-
Glukosa monohidrat standar untuk media fermentasi, yaitu Rp 570.000/kg sedangkan sukrosa Rp 1.090.000/kg. Kedua bahan tersebut paling sering digunakan dalam proses produksi eritromisin. Harga bahan media yang mahal mempengaruhi biaya produksi sehingga harga eritromisinpun menjadi mahal. Salah satu cara untuk menekan biaya produksi adalah dengan mengganti sumber karbon dengan bahan subtitusi yang lebih murah. Bahan substitusi sumber karbon yang dapat digunakan adalah air tajin, limbah pembuatan susu (milk whey), selulosa (Najafpou & Shan, 2003), gula beet, dan bekatul (Retnaningtyas, 2003). Selain itu, penggantian sumber karbon bisa menggunakan bahan lainnya antara lain dengan memanfaatkan limbah gula tebu (molasses). Selain mengandung sukrosa 33,4 % dan gula invert 21,2 %
(
Fardiaz, 1988) serta banyak kandungan lain seperti vitamin, mineral, protein dan asam amino yang sangat bermanfaat dalam pertumbuhan mikroba, molasses dapat diperoleh di pasaran dengan mudah dan murah yakni sekitar Rp 7.000/kg (Mono,
3
2013).
Molasses
dapat
digunakan
untuk
pembuatan
media
fermentasi
Saccharomyces cereviciae dalam produksi α glukan (Kusmiyati, 2011), produksi eritromisin dari Saccharopolyspora erythraea ( El enshasy et al., 2008) dan produksi magnamisin dari Streptomyces halstedii (Abou-zeid et al., 2008). Penelitian tentang pengaruh molasses sebagai bahan pengganti sumber karbon dalam media produksi eritromisin sudah pernah dilakukan di Mesir (El enshasy et al., 2008). Namun, pada penelitian ini, peneliti melakukan uji sampel yang belum pernah dilakukan pada penelitian sebelumnya antara lain pertumbuhan sel dengan metode PMV, gula tereduksi dalam sampel menggunakan uji DNS, kadar gula total menggunakan uji C organik dan uji aktivitas sampel terhadap Micrococcus luteus ATCC 9431 dengan mengukur diameter hambat pada media agar pertumbuhan bakteri. Penelitian ini
diharapkan akan berguna
dalam ilmu pengetahuan,
terutama untuk mengetahui pengaruh molasses terhadap peningkatan produksi eritromisin sehingga limbah tersebut dapat didayagunakan dan berguna bagi industri fermentasi, khususnya industri yang memproduksi obat. Selain itu, bukti ilmiah yang dapat menunjukkan kemanfaatan limbah tersebut, dapat dipublikasikan dalam bentuk jurnal ilmiah dan dikembangkan menjadi komposisi medium dalam produksi eritromisin.
4
B. Tinjauan Pustaka 1. Eritromisin Eritromisin merupakan antibiotik yang aktif secara oral, yang ditemukan oleh McGuire pada tahun 1992 dalam produk metabolisme Streptomyces erythraeus. Spesies mikroba penghasil eritromisin lainnya adalah Streptomyces griseoplanus dan Arthobacter sp (Omura & Tanaka, 1984). Dari ketiganya yang merupakan penghasil utama eritromisin adalah Streptomyces erythraeus. Nama dari mikroba telah mengalami retaksonomi menjadi Saccharopolyspora erythraea. Seno & Hutchinson (1986) menyatakan bahwa mikroba ini bukan tergolong dalam genus Streptomyces, karena dinding sel dari genus Streptomyces terdiri dari asam L-Dimetilamino pimelat (L-DMP), sedangkan pada Saccharopolyspora erythraea terdapat pula meso-DMP yang umum terdapat pada genus Saccharopolyspora (Omura & Tanaka, 1984). Sehingga nama baru yang diusulkan adalah Saccharopolyspora erythraea. Eritromisin tersebut termasuk dalam golongan makrolid, yang terdiri dari bagian aglikon berupa cincin lakton dengan anggota 14 atom, yang terikat pada molekul gula, yakni desosamin dan L-kladinosa / L-mikarosa (Omura & Tanaka, 1984) seperti pada struktur berikut :
5
Gambar 1. Struktur Eritromisin Keterangan: Antibiotika
R1
R2
R3
R4
Gula Netral
Eritromisin A
OH
CH3
CH3
H
Kladinosa
Eritromisin B
H
CH3
CH3
H
Kladinosa
Eritromisin C
OH
H
CH3
H
Mikarosa
Eritromisin D
H
H
CH3
H
Mikarosa
Eritromisin E
OH
CH3
CH2
O
Kladinosa
Eritromisin F
OH
CH3
CH2OH
H
Kladinosa
Eritromisin A merupakan produk akhir dalam biosintesis eritromisin oleh mikroba penghasil, sedangkan pada eritromisin B dan C merupakan bentuk intermediet dalam biosintesis eritromisin. Biosintesis dari eritromisin melalui dua jalur, yaitu jalur pertama merupakan terjadinya cincin 6-deoksieritronolid B dan jalur kedua menuju kepada glikosilasi 6-deoksieritronolid B. Sedangkan jalur biosintesis 6-deoksieritronolid B dari propionil KoA dan 2-metilmalonil KoA
6
berjalan melalui tujuh langkah, seperti tertera pada gambar berikut (Sudibyo, 1998) :
Gambar 2. Biosintesis 6-deoksieritronolid B
Asam propionat dapat digunakan untuk biosintesis eritromisin yang berasal dari metabolisme oksidatif piruvat melalui suksinat, dari pemecahan asam lemak dengan jumlah atom karbon gasal, dari asam-asam amino rantai cabang (valin dan isoleusin) atau dari asam amino seperti treonin dan metionin. Aglikon dari eritromisin adalah lipida dan pembentukan secara biologinya terlihat menyerupai asam lemak rantai panjang. Mayoritas propionat yang digunakan dalam pembentukan eritromisin A sepertinya diturunkan dari pemecahan asam amino rantai cabang (Corcoran, 1981). Di bawah ini adalah skema pembentukan eritromisin A.
7
1 Propionil Ko A + 6 Metilmalonil KoA
6-Deoksieritronolid B
Eritronolid B
3-α-mikarosileritronolid B
Eritromisin C
Eritromisin D
Eritromisin A
Eritromisin B
Gambar 3. Skema biosintesis eritromisin A (Summers, 1997)
Eritromisin A merupakan senyawa dengan rumus molekul C13H67NO13 dengan BM 733,22. Bentuk senyawa berupa kristal berwarna putih atau agak kuning, sedikit higroskopis, tidak terlalu berbau dengan jarak lebur 135-140°C. Antibiotik ini sangat larut dalam alkohol, aseton, kloroform, asetonitril dan etil asetat. Dalam air kelarutannya 2 mg/mL. Eritromisin bersifat basa dan memiliki harga pKa 8,8 sehingga bila bereaksi dengan asam akan membentuk garam (Budavari, 1999). Antibiotik ini memiliki aktivitas sebagai bakteriostatik maupun bakterisida tergantung dari jenis mikroba patogen dan konsentrasi obat. Mekanisme aksi eritromisin adalah dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dengan jalan berikatan secara reversible dengan ribosom subunit 50 S.
8
Eritromisin memiliki spektrum cukup luas terhadap bakteri gram positif (Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes dan Streptococcus pneumoniae) dan gram negatif (Haemophilus influenzae, Pasteurella multocida, Brucella dan Rickettsia) maupun mikoplasma (Chlamydia) namun tidak memiliki aktivitas terhadap virus, ragi ataupun jamur. Penggunaan eritromisin terbukti aman dalam pemakaiannya.
2. Molasses Molasses merupakan hasil samping dari pabrik gula tebu, berbentuk cairan berwarna coklat hitam, merupakan sumber karbohidrat murah dan kaya akan gula, mengandung nitrogen, vitamin, dan elemen lainnya. Pemanfaatan molasses sampai saat digunakan sebagai bahan baku pembuatan alkohol, penyedap rasa, bahan tambahan makanan hewan ternak dan pupuk organik. Penggunaan molasses sebagai sumber karbon dalam fermentasi karena adanya kandungan gula dan berbagai nutrisi yang diperlukan bagi mikroorgansme untuk tumbuh dan berkembang biak (Rosen, 1987).
Gambar 4. Molasses
9
Perbedaan kualitas molasses tergantung pada lokasi, kondisi iklim, dan proses produksi dari masing-masing pabrik. Komposisi molasses dapat dilihat pada tabel I. di bawah ini . Tabel I. Komposisi kandungan molasses (Paturau, 1969)
Komposisi
Kisaran (%)
Rata-rata (%)
Air
17-25
20
Sukrosa
30-40
35
Glukosa
4-9
7
Fruktosa
5-12
9
Pereduksi lain
1-5
3
Karbohidrat lain
2-5
4
Abu
7-15
12
Komponen nitrogen
2-6
4,5
Komponen non nitrogen
2-8
5
Lilin, sterol, fosfolipid
0,1-1
0,4
Selain itu, analisis kualitas molasses dilakukan secara teratur oleh tim analisis dari Pabrik Gula Madukismo. Analisis dilakukan secara teratur setiap kali setelah produksi selesai. Berikut ini data kualitas molasses hasil analisis dari Pabrik Gula Madukismo pada tanggal 21 September 2012:
10
Tabel II. Komposisi molasses berdasarkan hasil analisis dari Pabrik Madukismo 29 September 2012 (Pabrik Gula Madukismo, 2012)
Komposisi
Kisaran
Gula
Metode Pengujian
Brix (jumlah padatan terlarut) (%)
88,37
Piknometris
Pol (%)
25,13
Polarimetris
HK (Harga Kemurnian) (%)
28,44
Perhitungan
Sukrosa (%)
28,47
Polaritas Ganda
HK Sukrosa (%)
32,22
Perhitungan
Gula Reduksi (%)
26,88
Lane & Eyton
TSAI (Total Sugar At Invertion)
56,85
Perhitungan
Bahan Kering (%)
78,67
Oven
Abu Konduktiviti (%)
11,44
Konduktometris
Kemurnian dicapai (%)
35,49
Perhitungan
Kemurnian dihitung (%)
36,55
Perhitungan
Perbedaan Praktis (%)
-1,06
Perhitungan
Viskositas pada 50°C (mPa,s)
5040
Viskosimetris
Kadar air
21,33
Perhitungan
(%)
3. Metabolisme mikroorganisme Metabolisme didefinisikan sebagai suatu rangkaian proses transformasi enzimatis molekul organik dalam sel (Lehninger, 1991). Metabolisme sel ini
11
merupakan aktivitas yang teratur dan melibatkan rangkaian kerja enzim-enzim. Proses metabolisme dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a. Metabolisme primer Metabolisme primer merupakan serangkaian proses yang bersifat menyusun atau menghancurkan makromolekul seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mikroba. Senyawa yang dihasilkan disebut metabolit primer (Manitto, 1981). Metabolisme primer biasanya terbentuk selama fase eksponensial (Jawetz, 1986). Proses ini hampir semua organisme memiliki kesamaan meskipun organisme tersebut mempunyai perbedaan genetik (Manitto, 1981). b. Metabolisme sekunder Metabolisme sekunder memiliki peranan cukup besar bagi kelangsungan hidup mikroba terutama dalam menghadapi ancaman dari lingkungan atau serangan dari mikroba lainnya atau bila mikroba dalam kondisi tertekan. Produk yang dihasilkan disebut metabolit sekunder, sifatnya spesifik tergantung jenis spesiesnya dan terbentuk pada fase stasioner pertumbuhan mikroba (Stanbury et al., 2003). Manusia memanfaatkan metabolit sekunder untuk berbagai hal antara lain, anti bakteri, beberapa merupakan inhibitor enzim yang spesifik, pemacu pertumbuhan dan sebagian lagi memiliki efek farmakologi yang penting (Stanbury & Whitaker, 1984)
12
Ada enam sifat khas metabolit sekunder yaitu, spesifik untuk satu atau beberapa spesies, tidak diperlukan untuk pertumbuhan sel, produksinya sangat dipengaruhi oleh faktor ligkungan, beberapa diproduksi mirip struktur, biosintesisnya dikendalikan oleh mekanisme yang berbeda dengan metabolit primer dan metabolit sekunder biasanya dihasilkan secara ekstraseluler (Crueger & Crueger, 1984). 4. Fermentasi Fermentasi berasal dari bahasa latin fervere yang berarti mendidih. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan aksi ragi dalam ekstrak buah atau biji-bijian yang menghasilkan gelembung-gelembung gas CO2 sebagai akibat proses katabolisme anaerob dari gula yang terdapat dalam ekstrak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fermentasi adalah penguraian metabolik senyawa organik mikroorganisme yang menghasilkan energi yang pada umumnya berlangsung dengan kondisi anaerobik dan dengan pembebasan gas. Secara skematis proses fermentasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
13
Gambar 5. Skema proses fermentasi
Dalam biokimia dan mikrobiologi industri fermentasi diartikan sebagai pembentukan energi melalui senyawa organik, sedangkan aplikasinya dalam mikrobiologi industri pengertian tersebut menjadi lebih luas, yaitu suatu proses untuk mengubah bahan dasar menjadi produk oleh massa sel mikroorganisme. Dalam suatu fermentasi sistem tertutup dengan jumlah nutrien terbatas, biakan mikroba akan mengalami empat fase pertumbuhan yaitu fase adaptasi, fase eksponensial/logaritmik, fase pertumbuhan tetap dan fase kematian (Stanbury & Whitaker, 1984; Crueger & Crueger, 1984). Fase-fase tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini,
14
Gambar 6. Profil pertumbuhan mikroba dalam fermentasi sistem tertutup Keterangan: 1=fase adaptasi 2=fase logaritmik 3=fase pertumbuhan tetap 4=fase kematian
a. Fase adaptasi Fase ini terjadi bila mikroba dipindahkan ke dalam media kultur yang baru. Dalam kondisi ini mikroba menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya dan tidak terjadi penambahan jumlah sel. Lingkungan yang baru ini dapat berupa susunan medium yang berbeda, perubahan pH, bertambahnya nutrien, berkurangnya zat penghambat tumbuh
dan
faktor lainnya. Panjang pendeknya fase adaptasi tergantung pada perbedaan kondisi lingkungan mikroba sebelum dipindahkan dengan lingkungan baru. Semakin sesuai lingkungan untuk pertumbuhan mikroba serta umur inokulum tidak terlalu tua maka makin pendek fase adaptasinya (Prescott et al., 1999; Stanbury & Whitaker, 1984).
15
b. Fase logaritmik Fase logaritmik sel yang sudah beradaptasi dengan lingkungan baru mulai mengalami pertumbuhan. Fase ini dinamakan fase tropophase yang berarti fase pertumbuhan. Pada fase tersebut pertumbuhan sel merupakan pertumbuhan maksimum. Selama fase eksponensial mikroba menghasilkan produk esensial untuk pertumbuhan sel seperti asam-asam amino, protein, karbohidrat, lemak dan sebagainya (Stanbury & Whitaker, 1984) c. Fase stasioner Fase stasioner keterbatasan nutrien dan akumulasi produk toksis menyebabkan pertumbuhan mikroba melambat atau terhenti sama sekali serta jumlah populasi sel relatif tetap (Morison, 1988) sehingga terjadi fase stasioner. Dalam fase ini terjadi perubahan sistem metabolisme dari metabolisme primer ke metabolisme sekunder dan produk metabolismenya disebut metabolit sekunder yang bersifat sangat khas dan tidak esensial untuk pertumbuhan serta penting artinya bagi fermentasi komersial. d. Fase kematian Pada fase ini nutrien yang tersedia telah habis dan terjadi peningkatan produk yang toksik, sehingga sel mengalami lisis total. Kematian mulai terjadi dan populasi sel menurun dengan laju eksponensial (Crueger & Crueger, 1984; Stanbury & Whitaker, 1984).
16
Dengan memperhatikan fase pertumbuhan mikroba dalam medium yang digunakan, kondisi fermentasi dapat dikendalikan untuk meningkatkan produk yang diinginkan. Produk metabolisme primer dapat ditingkatkan dengan menggunakan kondisi fementasi yang memperpanjang fase eksponensial. Kondisi fermentasi yang memperpendek fase eksponensial dan memperpanjang fase stasioner ataupun mengurangi laju pertumbuhan mikroba dalam fase eksponensial dapat mempercepat produk metabolisme sekunder (Stanbury & Whitaker, 1984)
5. Saccharopolyspora erythraea Streptomyces erythraeus merupakan penghasil utama eritromisin. Nama dari mikroba telah mengalami retaksonomi menjadi Saccharopolyspora erythraea. Seno & Hutchinson (1986) menyatakan bahwa mikroba ini bukan tergolong dalam genus Streptomyces. Berikut adalah foto secara mikroskopis bakteri Streptomyces sp.
Gambar 7. Foto mikroskopis bakteri Streptomyces sp.
17
Bakteri ini banyak digunakan dalam
industri produksi eritromisin
menggunakan sistem fermentasi tertutup (Martin & Bushell, 1996; Heydarian et al., 1999) ataupun dengan sistem immobilisasi sel (El enshasy et al., 2008) sehingga penelitian ini menggunakan Saccharopolyspora erythraea sebagai bakteri utama.
6. Micrococcus luteus ATCC 9341 Micrococcus luteus adalah salah satu bakteri gram positif bersifat obligat aerob berbentuk spherical. Micrococcus luteus dapat ditemukan di tanah, debu, air, dan udara. Micrococcus luteus merupakan mikroflora normal pada tumbuhan dan kulit mamalia. Selain itu, bakteri ini membentuk koloni pada mulut manusia, mukosa, dan saluran pernafasan bagian atas (www.microbelibrary.org). Bakteri ini banyak digunakan untuk uji aktivitas senyawa obat. Pada penelitian ini, Micrococcus luteus ATCC 9341 digunakan sebagai perwakilan dari bakteri gram positif dalam uji aktivitas sampel terhadap pertumbuhan bakteri.
C. Landasan Teori Eritromisin dibentuk melalui kombinasi dua lintasan jalur biosintesis. Lintasan biosintesis pertama mengarah pada pembentukan eritronolid (bagian aglikon) yang merupakan inti lakton eritromisin dan lintasan kedua yang bekerja untuk mendukung biosintesis eritromisin menghasilkan gula deoksi (bagian glikon) pada antibiotik (Corcoran, 1981).
18
Produksi antibiotik secara fermentasi memerlukan media yang mengandung sumber karbon, nitrogen, vitamin, mineral dan lain sebagainya yang diperlukan untuk pertumbuhan, energi, pembentukan biomassa dan produk-produk lainnya. Sumber karbon merupakan sumber energi yang dibutuhkan mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Sumber karbon yang digunakan pada proses fermentasi dapat menggunakan monosakarida seperti glukosa dan disakarida seperti sukrosa dan laktosa. Pada produksi skala industri dicari alternatif menggunakan sumber karbon yang murah dan mudah didapatkan. Selain itu sumber karbon yang dipilih harus menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Pemanfaatan limbah sisa produksi gula tebu seperti molasses merupakan salah satu sumber karbon yang telah banyak dikembangkan dewasa ini (Kusmiyati, 2011). Molasses dalam gula tebu mengandung sukrosa 33,4 %, gula invert 21,4%, bahan organik lain 19,6 % , Nitrogen 0,4-1,5%, trace elemen seperti P2O3, CaO, MgO, K2O, SiO2, Al2O3 , Fe2O3, vitamin-vitamin yakni, tiamin, riboflavin, piridoksin, niasinamida, asam pantotenat, asam folat, biotin dan abu ( Fardiaz, 1988). Ketersediaan sumber karbon berbentuk sukrosa dan gula invert pada molasses dapat menggantikan sumber karbon pada media. Penggunaan molasses untuk penggantian sumber karbon dapat dilakukan pada media perkembangbiakan Saccharopolyspora erythraea dalam produksi eritromisin.
19
D. Hipotesis Penggantian glukosa dengan molasses dapat mempengaruhi media produksi eritromisin biakan Saccharopolyspora erythraea BM/1 A13 terhadap pertumbuhan sel, kadar gula total dalam media, kadar gula reduksi dan aktivitas media terhadap bakteri Micrococcus luteus ATCC 9431.