BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perubahan merupakan suatu proses yang dinamis di dalam fase kehidupan. Hans J. Daeng (2000) dalam bukunya menyebutkan bahwa waktu terus berubah dan manusia ikut berubah di dalamnya (tempora mutantur et nos mutamur Illis). Perubahan juga berlaku pada perilaku – perilaku individu didalam menjaga keberlangsungan dimensi ekonominya. Perubahan merupakan salah satu isu yang sangat penting untuk organisasi atau perusahaan dalam menghadapi pergerakan lingkungan bisnis yang terjadi secara terus menerus. Lingkungan sekitar yang berubah secara cepat menuntut suatu organisasi atau perusahaan untuk terus beradaptasi dengan kondisi tersebut (Robbins dan Judge, 2007). Pemimpin organisasi atau perusahaan yang baik harus bisa merespon melalui usaha yang tepat terhadap tantangan baru yang terjadi. Perusahaan harus menemukan posisi yang sesuai dan cara – cara baru dalam menyikapi perubahan sehingga memiliki peluang yang lebih kecil untuk tersingkir dari perubahan yang cepat. Lingkungan luar organisasi yang dinamis memberikan dampak terhadap kondisi perusahaan dimasa yang akan datang. Faktor – faktor dari lingkungan luar seperti perkembangan teknologi, perubahan keadaan pasar, keadaan sosial dan politik memberikan andil yang cukup besar terhadap perubahan pada organisasi (Robbins & Judge, 2007). Selain itu, ada faktor lain yang berasal dari dalam organisasi yang membuat organisasi harus mengalami perubahan seperti, kesempatan mengembangkan bisnis, penemuan inovasi baru, dan kebijakan manajemen (Medsen, Miller dan John, 2005). Kondisi yang dinamis menuntut setiap pelaku kegiatan untuk senantiasa dapat merespon secara terencana agar perusahaan memperoleh keunggulan di dalam perubahan yang terjadi. Setiap 1
2 perkembangan yang terjadi pada perusahaan merupakan manifestasi dari ketidakpastian kondisi disaat ini dan masa depan. Kegiatan bisnis pada sektor pupuk bersubsidi di Indonesia sedang mengalami rangkaian perubahan dalam mekanisme kegiatan bisnisnya, khususnya pada pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi. Kegiatan bisnis pupuk bersubsidi di Indonesia merupakan kegiatan bisnis yang diawasi oleh pemerintah. Pemerintah melalui empat kementrian (menteri keuangan, BUMN, perdagangan, pertanian) bertanggung jawab untuk memfasilitasi penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian. Fasilitasi penyediaan dan penyaluran pupuk bersubsidi diharapkan dapat mendukung kebijakan Pemerintah dalam peningkatan ketahanan pangan nasional dan surplus produksi padi 10 juta ton beras pada tahun 2014 (Abdullah dan Hakim, 2011). Sistem pengadaan dan penyaluran Pupuk bersubsidi di indonesia dilakukan oleh produsen, distributor dan pengecer resmi hingga sampai ditangan petani atau kelompok tani. Produsen adalah perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pihak dari kementrian badan usaha milik negara (BUMN) untuk memproduksi pupuk bersubsidi. Produsen memiliki kewajiban untuk mengadakan penyaluran dan pengawasan produk di tingkat kabupaten dan kota sesuai wilayah tanggung jawabnya. Distributor merupakan perusahaan berbadan hukum yang ditunjuk oleh produsen untuk melakukan penyaluran pupuk sampai tingkat kecamatan sesuai wilayah tanggung jawabnya. Pengecer resmi merupakan perseorangan yang bekerja di bawah wewenang distributor untuk menyalurkan pupuk bersubsidi secara langsung kepada petani atau kelompok tani. Produsen dalam penyaluran pupuk bersubsidi menerapkan kebijakan penyaluran tertutup melaui mekanisme rencana definitif kebutuhan kelompok (Anual Report, 2013). Penyaluran tertutup melalui rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) secara sederhana diartikan bahwa pupuk bersubsidi hanya diperuntukan untuk petani yang tergabung dalam kelompok tani dengan kriteria –
3 kriteria tertentu. Pelaporan administratif yang berlangsung baik menjadi kunci sukses dalam penerapan subsidi pupuk dengan sistem RDKK (Anual Report, 2013). Pada tahun 2012, PT Pupuk Sriwidjaja Indonesia (selanjutnya akan disingkat PT. PUSRI) selaku produsen pupuk urea bersubsidi mengalami rekstrukturisasi melalui mekanisme pemisahan tidak resmi (spin off). PT Pupuk Sriwidjaja Palembang kini berubah status menjadi anak perusahaan dibawah induk PT Pupuk Indonesia Holding Company (Anual Report, 2013). Perubahan tersebut terjadi karena keluarnya keputusan mentri BUMN saat itu Dahlan Iskan terkait penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Informasi didapatkan dari pimpinan perwakilan pemasaran daerah (PPD) wilayah Lampung terkait perubahan yang terjadi. Adanya rekstukturisasi dengan mekanisme holding berakibat pada kebijakan sistem penyaluran pupuk urea bersubsidi yang kini menjadi lebih tersentralisasi. Peran – peran krusial dalam kegiatan bisnis penyaluran pupuk urea bersubsidi menjadi terpusat terutama dalam penebusan dan pelaporan administratif. Perwaklian PT. PUSRI didaerah saat ini hanya sebagai pengawas dalam penyaluran dan kualitas produk Pupuk urea. Pihak PPD menekankan pentingnya kordinasi yang kuat dari distributor selaku organisasi mitra PT. PUSRI terhadap perubahan yang cepat. Distrubutor saat ini menjadi tanggung jawab langsung dari Pusat. Pengecer resmi selaku pihak terakhir dalam kegiatan penyaluran pupuk urea bersubsidi dituntut untuk lebih proaktif dalam membuat laporan pertangung jawaban serta praktik penyaluran di lapangan. Pada tahun 2014, Direktorat Jendral sarana dan prasarana pertanian menetapkan regulasi baru melaui surat keputusan No.181.1/Kpts/SR.130/B/kpa/01/2014 (PSP.Deptan, 2014) tentang pelaksanaan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi. Regulasi menjelaskan perlu dilaksanakannya verifikasi dan validasi data kegiatan penyaluran pupuk bersubsidi hingga tingkat kabupaten dan kecamatan (pada distributor dan pengecer resmi).
4 Sebelumnya pelaksanaan verifikasi dan validasi hanya dilakukan antara jajaran direksi (produsen) dan pihak kementerian pertanian berkaitan dengan tagihan pembayaran subsidi, namun kini pelaksanaannya hingga pada level pengecer resmi. Pengecer resmi selaku pihak terakhir dari kegiatan penyaluran pupuk bersubsidi memiliki kewajiban untuk menyusun pelaporan administrasi dan realisasi penyaluran pupuk bersubsidi untuk dievaluasi pihak eksternal. Komisi pengawas pupuk dan pestisida selaku pihak eksternal kemudian melakukan verifikasi dokumen kepada pengecer dengan melakukan cross check data dan penyaluran pupuk urea bersubsidi dilapangan. Pelaksanaan verifikasi dan validasi penyaluran pupuk bersubsidi memiliki tujuan untuk menyempurnakan sistem pembayaran subsidi kepada produsen. Informasi menarik didapatkan dari pimpinan perwakilan pemasaran daerah (PPD) PT PUSRI wilayah Lampung terkait perubahan regulasi tersebut. PT PUSRI selaku produsen pupuk bersubsidi memberlakukan kebijakan baru bagi perusahaan mitra (Distributor) yaitu tentang kepemilikan bank garansi. Keputasan tersebut diambil sebagai respon PT. PUSRI terhadap perubahan regulasi baru. Pemerintah hanya membayar subsidi pupuk kepada produsen yang penyalurannya bisa dipertanggung jawabkan dan sesuai dengan sistem verifikasi dan validasi yang berlaku (by name by adress). Kebijakan tersebut sebagai proktesi bila pada kemudian hari ditemukan ketidaksesuaikan pada evaluasi akhir antara pemerintah dan pihak produsen. Kebijakan tersebut sangat krusial bagi distributor dalam menjalankan kegiatan bisnis penyaluran pupuk urea bersubsidi dilapangan. Distributor diprediksi akan mengalami kerugian secara financial dan kehilangan kepercayaan dari PT PUSRI jika pengecer resmi di wilayah tanggung jawabnya melakukan pengabaian atau kesalahan terhadap penerapan regulasi yang berlaku. Distributor selaku organisasi bisnis yang berada di bawah tanggung jawab PT. PUSRI memiliki kewajiban untuk mengakomodasi para
5 pengecer resmi mereka untuk tidak melakukan pengabaian terhadap penerapan regulasi baru tersebut. Pengecer resmi harus merubah cara – cara lama dalam kegiatan penyaluran dan pelaporan pupuk urea bersubsidi. Apabila ditemukan pengecer resmi yang tidak beres dalam pelaksanaan verifikasi ditingkat kecamatan maka akan berpengaruh hingga tingkat pusat dan konsekuensinya adalah pada pembayaran tagihan subsidi kepada PT. PUSRI. Perubahan pada dasarnya adalah sebuah pergerakan dari kondisi lama menuju pembentukan kondisi baru. Perubahan berkaitan dengan penggunaan ide atau perilaku baru oleh sebuah organisasi dengan merubah cara – cara konvensional menjadi cara – cara yang lebih fleksibel dalam berfikir dan bertindak (Jick dan Peiperl, 2003). Setiap perubahan pada organisasi pasti akan menimbulkan sikap dan reaksi tertentu dari setiap anggota di dalamnya. Individu memiliki kecenderungan bersifat konservatif dan menolak untuk berubah sehingga agenda perubahan yang telah direncanakan oleh perusahaan bukanlah kegiatan yang mudah untuk dilaksanakan. Perubahan pada organisasi yang terjadi memiliki dampak pada individu berupa ketakutan, kebingungan, kecemasan dan ketidakpastian (Jick dan Peiperl, 2003). Perubahan menyebabkan perasaan terancam yang dapat membuat karyawan menjadi shock karena ketidakpastian, frustasi dengan keadaan yang asing dan menimbulkan kecenderungan untuk turn-over (Morrel, Loan-Clarke dan Wilkinson, 2004). Perubahan organisasi dalam bentuk rekstrukturisasi menimbulkan dampak negatif terhadap aspek sosio-psikologis anggota organisasi yang ditandai turunnya tingkat kepercayaan dan kepuasan kerja (Lee dan Teo, 2005). Hal – hal tersebut bisa terjadi karena dipicu oleh perubahan- perubahan rutinitas, pola kerja dan kebiasaan. Reaksi negatif yang muncul pada anggota harus diantisipasi dengan baik oleh pihak organisasi untuk menghidari penolakan dalam proses perubahan. Schein (1979) dalam French, Bell dan Zawacki (2000) menjelaskan bahwa resistensi merupakan salah satu
6 faktor penyebab gagalnya implementasi perubahan yang terjadi pada sebuah organisasi dan dapat dikurangi dengan membentuk kesiapan untuk berubah pada diri individu terlebih dahulu. Resistensi yang terjadi pada anggota organisasi terhadap perubahan yang terjadi berupa pengabaian tugas, absensi, dan dilakukannya sabotasi dalam pekerjaan. Cummings dan Worley (2005) menyatakan bahwa membentuk kesiapan untuk berubah pada individu merupakan landasan utama bagi organisasi untuk mengatasi resistensi terhadap perubahan. Sikap yang ditunjukan oleh individu terkait perubahan akan sangat ditentukan oleh kesiapan individu dalam menghadapi perubahan yang sedang terjadi dalam organisasi. Penolakan yang tinggi individu terhadap perubahan memberikan dampak negatif seperti hilangnya kredibilitas perusahaan dan pemimpinnya (Smith, 2005). Usaha usaha perlu dilakukan agar individu yang berada dalam situasi perubahan dapat menerima dan mendukung secara aktif pada perubahan tersebut. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan saat terjadi perubahan agar usaha – usaha yang dilakukan berjalan efektif dan tidak menimbulkan perlawanan ataupun penolakan adalah kesiapan untuk berubah atau dikenal dengan readiness for change (Holt, Armenakis, Harris dan Feild, 2007). Organisasi perlu menganalisi faktor-faktor apa saja yang membentuk kesiapan untuk berubah para anggotanya kemudian melakukan usaha-usaha spesifik sehingga perubahan berlangsung secara effektif (Armenakis, Harris dan Mossholder, 1993). Dari hasil – hasil penelitian sebelumnya terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan kesiapan untuk berubah. Hanparcern, Morgan dan Griego (1998) menyebutkan bahwa ada korelasi positif antara pengetahuan, job demands, hubungan sosial, kepemimpinan dan budaya organisasi dengan kesiapan untuk berubah. Menurut Madsen, Miller dan John (2006) faktor- faktor yang mempengaruhi kesiapan untuk berubah dapat terlihat dari perbedaan yang dimiliki oleh individu yaitu pengalaman hidup individu, tingkat motivasi, karakteristik sosiodemografi, pengetahuan, dan dukungan dari sistem, nilai yang dianut
7 dan pola prilaku yang dimiliki. Individu yang siap dalam menghadapi perubahan dapat memunculkan tingkah laku yang mendukung dalam perubahan tersebut. Hal tersebut akan mempermudah perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan yang ada. Armenakis, Harris dan Mossholder (1993) menyatakan bahwa kesiapan karyawan dipengaruhi oleh pesan yang disampaikan melalui strategi, atribut dari agen perubahan, hubungan interpersonal dan dinamika sosial dari anggota dalam sebuah organisasi. Proses membentuk usaha- usaha yang sukses dalam perubahan tidak pernah bisa dilepaskan dari seorang agen perubahan (French, Bell dan Zawacki, 2000). Agen perubahan dapat berasal dari luar maupun dari dalam organisasi. Pemimpin perusahaan merupakan salah satu agen perubahan yang berperan dalam menyampaikan pesan pesan perubahan kepada anggota dalam suatu organisai (Smith, 2005). Pemimpin ketika dihadapkan pada sebuah berubahan di tuntut untuk menjadi pemberi motivasi, bertindak sebagai panutan perubahan yang baik agar usaha-usaha perubahan berjalan effektif. Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kepemimpinan transformasional merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang dirasa tepat untuk organisasi yang mengalami perubahan dan mengadapi situasi yang tidak menentu seperti kompetitor bisnis dan kebijakan pemerintah yang menuntut seluruh elemen perusahan untuk melakukan perubahan (Den Hoogh, Den Hartog, Koopman, Thierry dan Weide, 2004). Kepemimpinan transformasional memiliki fokus pada perubahan individu dengan menekankan pada motivasi internal untuk tidak berfokus pada kepentingan pribadi. Penelitan yang dilakukan Saragih, Hutagaol, Pasaribu dan Djohar (2013), menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional memberikan pengaruh positif terhadap perubahan. Oleh karena itu peneliti bermaksud menjadikan kepemimpinan transformasional sebagai variabel independen yang diduga berpengaruh terhadap kesiapan untuk berubah.
8 Hubungan interpersonal juga disebutkan sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan untuk berubah (Armenakis, Harris dan Mossholder, 1993). Pada sebuah organisasi, membangun hubungan interpersonal yang baik tidak terlepas dari cara individu berkomunikasi satu sama lain. Kualitas komunikasi interpersonal yang berjalan lancar antara seluruh anggota yang ada dalam organisasi berhubungan terhadap kesiapan untuk berubah pada individu dalam menghadapi perubahan organisasi (Bouckenooghe, Devos dan Broeck, 2009). Menurut Harcot, Krizan dan Merrier (1996), para pengurus menghabiskan 95% masa kerja mereka untuk berkomunikasi, dimana karyawan menggunakan 60% masa kerja mereka dalam berbagai bentuk komunikasi. Ini menunjukkan proses komunikasi dalam organisasi dapat melibatkan setiap anggota organisasi. Komunikasi interpersonal pada organisi terjadi dalam bentuk vertikal maupun horizontal. Membentuk kesiapan untuk berubah dapat dilakukan dengan cara mengekspos hal – hal positif terhadap target perubahan (Andersen, 2008). Komunikasi yang baik dan saling memahami di antara anggota organisasi menumbuhkan perasaan memiliki dan bertanggung jawab terhadap organisasi. Hal tersebut menggambarkan bagaimana komunikasi interpersonal yang efektif akan memberikan efek positif saat perubahan yang terjadi pada organisasi. Perasaan positif secara tidak langsung akan membuat individu lebih siap dan mendukung perubahan. Distributor, pengecer dan petani/kelompok tani (konsumen) merupakan pihak – pihak penting dalam sistem penyaluran pupuk urea bersubsidi. Komunikasi interpersonal yang dibangun oleh pengecer kepada distributor, pengecer kepada kelompok tani menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan kebijakan sistem RDKK pada penyaluran pupuk bersubsidi. Permasalah komunikasi dikhawatirkan memiliki dampak terhadap kesiapan pengecer resmi dalam menghadapi perubahan – perubahan yang terjadi begitu
9 cepat pada kegiatan bisnis penyaluran pupuk urea bersubsidi. Ketidak tepatan penafsiran maksud seseorang terhadap orang lain akan menyebabkan kesalah pahaman antar individu satu dan yang lainya serta memicu resistensi terhadap perubahan. Membentuk kesiapan untuk berubah merupakan upaya menggarahkan dukungan kelompok untuk membangun kesadaran antar anggota bahwa keberadaannya dalam organisasi merupakan sumber daya dan solusi untuk perubahan yang terjadi (French, Bell dan Zawacki, 2000). Efektivitas Komunikasi interpersonal yaang terjadi pada setiap lapisan dalam organisasi dapat menumbuhkan semangat positif dan membangun kesadaran secara kolektif untuk mendukung perubahan serta terbentuknya kesiapan untuk berubah. Oleh karena itu penting untuk menyertakan efektivitas komunikasi interpersonal sebagai salah satu variabel bebas yang diduga mempengaruhi kesiapan untuk berubah. Dalam penelitian ini, kesiapan untuk berubah ditempatkan sebagai variabel dependen
dengan
kepemimpinan
transformasional
dan
efektivitas
komunikasi
interpersonal dijadikan sebagai variabel independen.
B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan transformasional dan efektivitas komunikasi interpersonal dengan kesiapan untuk berubah.
C. Manfaat Penelitian Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah: 1. Hasil penelitian ini diharapkan menambah wawasan, khususnya dalam kajian positif organization behavior mengenai kesiapan untuk berubah pada individu dalam organisasi dengan memperhatikan faktor kepemimpinan transformasional dan efektivitas komunikasi interpersonal.
10 2. Sebagai pandangan alternatif yang dapat digunakan bagi organisasi khususnya distributor untuk mendorong partisipasi pada pengecer resmi dalam perubahan yang sedang terjadi dengan memperhatikan faktor – faktor yang berhubungan dengan kesiapan untuk berubah.