BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia hidup di lingkungan yang terus berubah, dan perubahan yang terjadi seringkali dipersepsikan sebagai ancaman, tantangan, atau kebutuhan bagi individu. Perubahan tersebut dapat berdampak stres pada individu dengan berbagai manifestasi yang ditimbulkan (Keliat et al, 2012). Pada kondisi lingkungan tertentu, individu dapat jatuh dalam gangguan jiwa (Videbeck, 2008). Hasil studi WHO menunjukkan bahwa dalam populasi secara umum sebesar manusia sehat jiwa (20%), 20% gangguan jiwa, dan 20% berada di antara sehat dan gangguan jiwa (Soewadi, 2005). Gangguan jiwa telah mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan terus berkembang mencapai 15% di tahun 2030 (WHO, 2009). Sekitar 30% orang yang datangkepelayanan kesehatan primer memenuhi kriteria DSM-IV sebagai pasien gangguan psikiatrik (Hidayat et al, 2010). Hingga saat ini, lebih dari 450 juta penduduk hidup dengan gangguan jiwa. Data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi di Indonesia sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa (DepKes, 2009). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki prevalensi psikosis tertinggi setingkat Aceh, yaitu sebesar 2,7/mil (Riskesdas, 2013). Menurut DinKes DIY (2013), masalah gangguan jiwa di DIY cenderung meningkat seiring dengan peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup, dan efek samping modernisasi.
1
Masalah kesehatan jiwa memang tidak menyebabkan kematian secara langsung, namun dapat menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan menjadi beban bagi orang disekitarnya (Efendi dan Makhfudli, 2009). Menurut Studi Bank Dunia di beberapa negara tahun 1995 dalam DepKes tahun 2005, diketahui bahwa 81% hari produktif dari Global Burden of Disease hilang karena masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan dampak penyakit TBC (7,2%), kanker (5,8%), jantung (4,4%), maupun malaria (2,6%). Berdasarkan indikator Adjusted Life Years, beban yang disebabkan gangguan yang bersifat kronik dan ketidakmampuan karena penyakit diproyeksikan meningkat dari 12,3% pada tahun 2000 menjadi 15% pada tahun 2020 (DepKes, 2010). Status kesehatan jiwa mempengaruhi tingkat kualitas hidup individu. Kualitas hidup merupakan indikator penting dalam mengevaluasi keberhasilan pelayanan kesehatan (Evans et al, 2006). Aspek psikologis merupakan salah satu aspek yang dinilai dalam kualitas hidup individu. Gangguan fungsi alam pikiran berupa disorganisasi (kekacauan) sering terjadi pada penderita gangguan jiwa, yang ditandai dengan munculnya gejala gangguan pemahaman, persepsi, dan daya realitas individu (Efendi dan Makhfudli, 2009). Gangguan kemampuan kognitif tersebut dapat menjadi hambatan individu untuk menentukan koping yang sesuai dalam mengahadapi stimulus yang ada (Rubbyana,2012). Sehingga penderita gangguan jiwa non-psikotik dan gangguan jiwa psikotik tambahan menunjukkan kemampuan koping yang buruk (Wigman et al, 2014). Sementara itu koping
merupakan faktor yang paling menunjang dalam kemampuan mengontrol perilaku individu (Gee et al, 2003). Individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa, sering menunjukkan perilaku aneh (Efendi dan Makhfudli, 2009). Selain itu, stigma dan diskriminasi di masyarakat dapat menimbulkan respon psikologis pada penderita gangguan jiwa, yaitu perasaan khawatir dan tidak berguna. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu dalam menjalin hubungan interpersonal (Rubbyana, 2012). Masalah kesehatan jiwa dapat menimbulkan dampak sosial, antara lain kekerasan, kriminalitas, bunuh diri, penganiayaan anak, perceraian, kenakalan remaja, penyalahgunaan zat, HIV/AIDS, perjudian, dan pengangguran (DepKes, 2005). Sehingga masalah kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani secara serius. Tahun 2000, paradigma pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia mengalami perubahan dari kesehatan jiwa berbasis rujukan (rumah sakit), menuju kesehatan jiwa berbasis komunitas di pelayanan kesehatan primer (Wasniyati, 2013). Artikel yang berjudul “Recovery from Mental Illness: the Guiding Vision of the Mental Health Service System in the 1990s” menjelaskan bahwa konsep pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas mampu mengidentifikasi komponen penting yang dibutuhkan masyarakat dalam memberikan dukungan dan pelayanan yang adekuat kepada individu dengan masalah kesehatan jiwa (Anthony, 1993). Saat ini, penambahan jumlah rumah sakit untuk meningkatan kesehatan jiwa bukan merupakan prioritas utama. Hal ini disebabkan oleh banyaknya temuan psikofarmaka yang efektif dan mampu mengendalikan gejala gangguan jiwa.
Sehingga pasien gangguan jiwa cukup diberikan obat yang tepat dan memadai dengan berobat jalan (Efendi dan Makhfudli, 2009). Saat ini, program intervensi dan terapi gangguan jiwa diharapkan dapat diimplementasikan di masyarakat atau komunitas, dibandingkan dengan di rumah sakit (Efendi dan Makhfudli, 2009). Intervensi dan terapi tersebut diharapkan mampu
memfasilitasi
perubahan
perilaku
maladaptif
menjadi
adaptif,
meningkatkan rasa percaya diri, dan kemandirian pasien gangguan jiwa. Sehingga pasien mampu mencapai kondisi sehat jiwa, yaitu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial, yang dilihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional (Videbeck, 2008). Community Mental Health Nursing (CMHN) merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan pelayanan kesehatan jiwa di komunitas. Pada program rehabilitasi dan penyembuhan pasien, CMHN berperan sebagai advokad, pemberi terapi bagi individu maupun keluarga, serta pemberi terapi kelompok dan manajemen lingkungan (Gardner, 2010). Intermediate Course CMHN telah mengembangkan Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam mendeteksi dan membantu pemulihan pasien gangguan jiwa di masyarakat. Dengan program DSSJ, diharapkan kesiagaan masyarakat terhadap munculnya masalah kesehatan jiwa dapat meningkat. Selain itu, melalui program ini perawat dapat memberikan asuhan keperawatan jiwa spesialistik seperti terapi psikofarmakologi, terapi somatik, terapi kognitif, terapi perilaku, terapi rehabilitasi, dan terapi modalitas untuk mengubah perilaku penderita yang
maladaptif menjadi perilaku adaptif sesuai dengan norma umum yang berlaku (Keliat et al, 2012). Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas yang dapat dilakukan di masyarakat (Keliat et al, 2012). Berdasarkan hasil studi, pemberian TAK stimulasi persepsi terbukti dapat mempengaruhi strategi koping problem focused coping pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan (Wulandari, 2013). Selain itu, pemberian TAK pemenuhan kebutuhan dasar berpakaian dan berhias, secara signifikan dapat meningkatkan harga diri pasien gangguan jiwa (Wulansari, 2010). Namun, pelaksanaan TAK sebagai salah satu terapi yang dapat digunakan untuk mengembalikan fungsi dan kualitas hidup penderita jiwa secara optimal, masih jarang dilakukan di masyarakat. Saat ini, TAK banyak dilakukan di rumah sakit. Padahal, rumah sakit bukan merupakan tempat seumur hidup bagi pasien. Fasilitas dan pelayanan yang ada di rumah sakit digunakan untuk membantu pasien dan keluarga dalam mengembangkan kemampuan mencegah masalah, menanggulangi masalah, dan mempertahankan keadaan adaptif (Zaenuri, 2008). Pasien yang telah dinyatakan sembuh akan kembali ke masyarakat, sementara itu kondisi di masyarakat berisiko menimbulkan stressor yang dapat memicu kekambuhan pasien gangguan jiwa. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 6 Mei 2014 melalui wawancara dan telaah pustaka, menunjukkan bahwa kabupaten Bantul memiliki kasus gangguan jiwa yang cukup tinggi. Kabupaten Bantul merupakan wilayah post bencana gempa bumi 2006 dengan jumlah pasien gangguan jiwa terbanyak di Daerah Istimewa Yogyakarta. Puskesmas Jetis II dan Puskesmas Kasihan II
Bantul Yogyakarta merupakan puskesmas yang telah mempunyai DSSJ di wilayah kabupaten Bantul. Jumlah penderita gangguan jiwa di Puskesmas Jetis II Bantul mencapai 171 orang pada tahun 2012, dengan 341 jumlah kunjungan pada tahun 2013. Sedangkan di Puskesmas Kasihan II Bantul, jumlah pasien gangguan jiwa mencapai 139 orang pada tahun 2009, dengan jumlah kunjungan 2.839 pada tahun 2013. Mayoritas penderita gangguan jiwa yang berada di wilayah tersebut memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah dan merasa malu untuk bersosialisasi maupun berperan dalam lingkungan. Beberapa pasien gangguan jiwa diwilayah tersebut melakukan perilaku aneh seperti, berbicara sendiri, tidak berpakaian, dan melakukan perilaku kekerasan yang dapat mencederai keluarga maupun lingkungan. Puskesmas Jetis II dan Kasihan II Bantul Yogyakarta telah memiliki beberapa program dalam lingkup kesehatan jiwa, yaitu home visit pasien gangguan jiwa, pendataan pasien gangguan jiwa, family gathering, pembentukan DSSJ, pelatihan dan refreshing kader sehat jiwa. Meskipun program tersebut sudah dilaksanakan, petugas kesehatan di puskesmas mengungkapkan seringnya terjadi kekambuhan pada pasien. Salah satu penyebabnya adalah dukungan keluarga dan program terapi lanjutan dimasyarakat yang belum optimal (Puskesmas Jetis II, 2013). Berdasar fenomena tersebut peneliti tertarik untuk meneliti tentang efektifitas dari Terapi Aktivitas Kelompok terhadap aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa Wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah: “Apakah Terapi Aktivitas Kelompok efektif terhadap perubahan nilai aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa Wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta”.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Secara umum penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas Terapi Aktivitas Kelompok terhadap perubahan nilai aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa Wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta. 2. Tujuan khusus: a. Mengetahui perubahan nilai aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa Wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta sebelum dan setelah menerima Terapi Aktivitas Kelompok. b. Mengetahui perbedaan perubahan nilai aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa antara kelompok yang menerima Terapi Aktivitas Kelompok dan yang tidak menerima Terapi Aktivitas Kelompok di Desa Siaga Sehat Jiwa Wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis: a. Sebagai
masukan
dalam
proses
pembelajaran,
yaitu
untuk
mengoptimalkan kemampuan dan pengetahuan mahasiswa tentang intervensi keperawatan yang dapat dilakukan untuk mengubah aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di puskesmas. b. Berkontribusi dalam pengembangan pengetahuan tentang efektifitas dari Terapi Aktivitas Kelompok terhadap aspek psychological being dalam pasien gangguan jiwa di puskesmas. 2. Manfaat praktis: a. Bagi pasien gangguan jiwa adalah memberikan pengetahuan tentang gangguan jiwa serta pentingnya kepercayaan diri, kontrol diri, koping, dan perilaku yang baik dalam meningkatkan kualitas hidup. b. Bagi tenaga kesehatan, khususnya bagi perawat jiwa, adalah memberikan pengetahuan tentang intervensi keperawatan yang dapat mempengaruhi aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di tingkat pelayanan kesehatan primer atau puskesmas. c. Bagi puskesmas dan instansi terkait adalah sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan penanganan dan perawatan pasien gangguan jiwa, sehingga dapat meningkatkan fungsi dan peran puskesmas dan instansi terkait secara optimal.
Bagi peneliti adalah dapat memberikan wacana baru dan kerangka pemikiran untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang aspek psychological being dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa.
B. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, belum pernah dilakukan penelitian yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan. Adapun penelitian serupa yang pernah dilakukan dan berkaitan dengan penelitian yang akan peneliti lakukan antara lain: No 1.
2.
Peneliti dan Tahun Wulandari,A .N (2013)
Wulansari, I (2010)
Judul Penelitian Pengaruh TAK Stimulasi Persepsi Perilaku Kekerasan Terhadap Perubahan Strategi Koping Pasien Skizofrenia Dengan Perilaku Kekerasan Di RS Grhasia DIY Pengaruh TAK Pemenuhan Kebutuhan DasarBerpakaian Dan Berhias Terhadap Harga Diri Pasien Gangguan Jiwa Di RS Grhasia Provonsi DIY
Tabel 1. Keaslian Penelitian Metode Penelitian dan Tujuan Hasil Penelitian Jenis penelitian eksperimen dengan rancangan pretestpostest with control group dengan uji nonparametrik Wilcoxon Signd Rank Test untuk mengetahui pengaruh TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan terhadap perubahan strategi koping skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJ Grhasia DIY
Tidak ada pengaruh pemberian TAK stimulasi persepsi perilaku kekerasan terhadap perubahan strategi koping pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan, tapi secara signifikan berpengaruh PFC kelompok intervensi
Jenis penelitian kuasieksperimen dengan rancangan pretest-postest with control groupdengan uji nonparametrik Wilcoxon Signd Rank Test untuk mengetahui pengaruh TAK pemenuhan kebutuhan dasar dan berhias terhadap harga diri pasien gangguan jiwa di RS Grhasia provinsi DIY
TAK pemenuhan kebutuhan dasar berpakaian & berhias signifikan berpengaruh meningkatkan harga diri, kemandirian, & kemampuan berhias pasien gangguan jiwa di RS Grhasia Provinsi DIY.
Persamaan dengan Penelitian Jenis penelitian eksperimen dengan pretest-postest with control group dan tujuan penelitian yaitu melihat pengaruh/efektifitas dari TAK terhadap salah satu variabel yang akan di ukur yaitu strategi koping Jenis penelitian eksperimen dengan pretest-postest with control group dan tujuan penelitian yaitu melihat pengaruh/efektifitas dari TAK
Perbedaan dengan Penelitian Setting penelitian berada di RSJ sedangkan penelitian ini di Puskesmas (komunitas). Subjek penelitian penelitian pasien skizofrenia dengan perilaku kekerasan sedangkan dalam penelitian ini pasien gangguan jiwa. Variabel bebas juga berbeda
Setting penelitian berada di RSJ sedangkan penelitian ini di Puskesmas (komunitas). Subjek penelitian penelitian pasien gangguan jiwa harga diri rendah sedangkan dalam penelitian ini pasien gangguan jiwa. Jenis variabel juga berbeda
Lanjutan Tabel 1. 3. Rusjini (2007)
4.
Suryaningsih, V (2007)
5.
Caddy, L., Crawford F & Page A.C. (2011)
Pengaruh Konseling Dan TAK Terhadap Perubahan Perilaku Psikososial PaadaWanita Dewasa Pasca Gempa Di Desa Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta Pengaruh TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi Terhadap Frekuensi Halusinasi Di Ruang P2A RS Grhasia Prov DIY ‘Painting a path to wellness’: correlations between participating in a creative activity group and improved measured mental health outcome
Jenis penelitian preeksperimental design menggunakan one group pretest-postest untuk mengetahui pengaruh konseling dan TAK terhadap perubahan perilaku psikososial pada wanita dewasa pasca gempa di desa Wonokromo Pleret Bantul
Terdapat perbedaan perilaku psikososial wanita dewasa pascagempa di desaWonokromo Pleret Bantul sebelum dan sesudah intervensi
Intervensi yang digunakan, yaitu TAK. Ruang lingkup penelitian dilakukan di komunitas
Jenis penelitian menggunakan pre-eksperimental design menggunakan one group pretest-postest, sedangkan penelitian ini menggunakan kuasi-eksperimen dengan pretest-postest with control group. Jenis variabel penelitian berbeda.
Jenis penelitian kuasieksperimen prepost-postest one group design untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan TAK stimulasi persepsi halusinasi terhadap frekuensi terjadinya halusinasi pada klien rawat inap di Ruang P2A RS Grhasia Jenis penelitian noneksperimental dengan rancangan cross- sectional untuk mengetahui hubungan partisipasi di creative activity group dengan peningkatan status kesehatan mental
Terdapat penurunan frekuensi halusinasi setelah dilakukan TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi
Tujuan dari penelitian untuk melihat pengaruh/efektivitas dari TAK
Terdapat hubungan antara partisipasi di cerative activity group dengan peningkatan status kesehatan mental. Partisipasi dalam kegiatan ini dapat mengurangi gejala
Variabel yang digunakan yaitu terapi aktivitas berkelompok dan responden yang digunakan yaitu pasien dengan masalah kesehatan jiwa
Jenis penelitian menggunakan quasi-eksperimental design menggunakan one group pretest-postest, sedangkan penelitian ini menggunakan eksperimen dengan pretestpostest with control group. Jenis variabel penelitian berbeda. Tujuan penelitian untuk melihat hubungan sedangkan penelitian ini untuk melihat pengaruh, menggunakan noneksperimental dengan rancangan cross- sectional sedangkan penelitian ini menggunakan eksperimen dengan pretest-postest with control group. Jenis variabel penelitian berbeda.
Lanjutan Tabel 1. 6. Paone, T.R., Krista M.M & Jose M.M. (2008
Exploring Group Activity Therapy With Ethnically Diverse adolescents
Jenis penelitian eksperimental dengan qualitatively explores untuk mengetahui hasil dari 12 sesi terapi aktivitas kelompok dengan beragam etnis pada remaja di lingkungan sekolah
TAK dapat membantu remaja untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi, kemampuan berpikir abstrak,& meningkatkan dukungan sosial.
Variabel yang digunakan yaitu terapi aktivitas berkelompok dan tujuanpenelitian yaitu untuk mengetahui pengaruh dari TAK.
Setting dan jenis penelitian dalam penelitian mengguanakan eksperimen tanpa group control yang dilakukan di sekolah pada remaja. Pendekatan penelitian dengan metode kualitatif eksploratif.