BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Micobacterium tuberculosis (M. tuberculosis). Tuberkulosis disebarkan melalui partikel aerosol yang dihasilkan ketika batuk maupun bersin oleh individu yang menderita TB aktif. Sampai saat ini TB masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan menduduki peringkat kedua penyebab kematian akibat penyakit menular setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV) (WHO, 2014). Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2013 diperkirakan terdapat 9 juta kasus TB di dunia dan 1,5 juta kematian akibat TB, dimana 400.000 diantaranya adalah HIV positif. Kasus TB terbesar terjadi di Asia (56%) dan Afrika (26%). Sebagian besar kasus terjadi di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah termasuk Indonesia. Tuberkulosis banyak terjadi pada laki-laki namun beban terberat akibat TB diderita oleh perempuan. Tuberkulosis secara perlahan menurun setiap tahun, namun angka kematian akibat TB masih sangat tinggi (WHO, 2014). Kasus baru TB, infeksi laten, infeksi ulang (reactivation), resistensi terhadap Obat Anti TB (OAT), kejadian koinfeksi TB pada pasien HIV (HIV-TB) dan alat uji diagnostik yang kurang cepat dan tepat memberikan kontribusi terhadap tingginya angka kesakitan dan kematian akibat TB. Tes mikroskopik pengecatan sputum Basil Tahan Asam (BTA) dan kultur bakteri M. tuberculosis sebagai standar emas diagnosis TB dilaporkan kurang sensitif dan spesifik
1
2
terutama untuk mendeteksi TB pada anak dan individu yang immunocompromise seperti pada penderita HIV dan MDR-TB. Diagnosis TB pada pasien yang resisten terhadap OAT masih tergantung pada kultur bakteri dan uji kerentanan obat yang membutuhkan waktu lama dan proses yang rumit (WHO, 2014). Uji
diagnostik
konvensional
Tuberculin
Skin
Test
(TST)
yang
dipergunakan untuk mendiagnosis TB aktif maupun laten mempunyai spesifisitas yang rendah (Bai et al., 2008). Dapat menimbulkan reaksi silang antara purified protein derivative (PPD) dengan antibodi yang dihasilkan oleh vaksin BCG maupun mikobakteri lain non tuberkulosa (Diel et al., 2009). World Health Organization mempunyai visi untuk eliminasi TB pada tahun 2050. Bersama dengan Stop TB Partnership mentargetkan pada tahun 2015 untuk mengurangi beban global TB hingga 50% dibandingkan tahun 1990 seperti tertuang dalam Millenium Development Goals (MDGs). Pengembangan alat diagnostik sebagai salah satu pilar utama untuk mengatasi masalah TB sangat diperlukan. Alat diagnostik yang optimal, hendaknya dapat mendeteksi semua bentuk TB lebih awal, dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dan hasil dapat diketahui secara cepat, tepat, murah dan mudah untuk diaplikasikan (Dillon, et al., 2000; WHO, 2013). Bulan Desember 2010, WHO merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF assay, yaitu uji diagnostik baru untuk mendeteksi TB secara simultan dan sekaligus uji resistensi terhadap rifampicin. Xpert MTB/RIF assay berbasis pada teknik amplifikasi asam nukleat real-time Polimerase Chain Reaction (rtPCR). Pengujian dilakukan dalam satu tes secara otomatis, cepat, tepat dan akurat
3
sehingga sangat menjanjikan dan dianggap sebagai terobosan penting untuk diagnosis TB, namun penggunaannya masih terbatas di negara-negara dengan penghasilan tinggi (Steingart et al., 2013; WHO, 2013; WHO, 2014). Teknik diagnostik baru, seperti amplifikasi asam nukleat dan reaksi imunologi yang didasarkan pada cells mediated immune respone (CMI) telah banyak dikembangkan dan diterapkan. Teknik amplifikasi asam nukleat memiliki banyak keunggulan, terutama dapat mendeteksi M. tuberculosis meskipun jumlah kuman sedikit, akan tetapi biaya mahal sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat dengan penghasilan rendah (Kumar, et al., 2010). Uji serodignostik untuk deteksi antibodi M. tuberculosis merupakan metode deteksi yang cepat, mudah, dan tidak memerlukan sel hidup (Jia et al., 2012) sehingga dapat menjadi pilihan yang tepat untuk uji diagnostik. Kendala yang masih dihadapi hingga saat ini, meskipun berbagai antigen M. tuberculosis yang mampu menghasilkan titer antibodi spesifik pada pasien TB telah teridentifikasi (Lyashchenko, et al., 1998; Wilkins, et al., 1994) namun, belum ada antigen tunggal yang ideal untuk digunakan sebagai uji serodiagnostik (Dillon, et al., 2000). Antigen tunggal terbaik saat ini yang dipergunakan untuk uji serodignostik adalah antigen 38 kDa (Chang, et al., 1994). Studi yang menguji sensitivitas dan spesifisitas penggunaan antigen 38kDa dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) menunjukkan hasil sensitivitas dan spesifisitas yang rendah terutama untuk pasien dengan BTA negatif (Jakkets, et al., 1988). Berbagai kelemahan dalam uji diagnostik yang tersedia saat ini, menjadikan sebuah tantangan untuk menemukan alat uji
4
diagnostik yang cepat dan tepat guna mendeteksi TB lebih dini. Sampai saat ini, Indonesia masih belum mampu menyediakan alat uji diagnostik yang cepat, spesifik dan sensitif dengan biaya yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat dan mudah untuk diterapkan. Perkembangan
teknologi
di
bidang
molekuler,
telah
berhasil
mengidentifikasi genom lengkap M. tuberculosis. Genom lengkap M. tuberculosis terdiri dari 4.000 gen dimana 200 gen diantaranya berlokasi di 16 lokus regions of difference (RD1-16). Penelitian terhadap gen-gen yang terletak di lokus RD1 telah banyak dilakukan oleh karena perannya yang diduga berhubungan dengan patogenesis dan penentu virulensi. Lokus RD1 ditemukan pada M. tuberculosis strain H37Rv namun tidak ditemukan pada strain vaksin Micobacterium bovis (M. bovis) BCG (Andersen, 2000; Zwi, et al., 2008). Wilayah RD1 memiliki panjang 9,5 kb, berisi 9 open reading frames (ORFs), berisi produk-produk gen yang disekresikan pada tahap awal infeksi (secreted antigen) untuk memodulasi respon imun. Antigen-antigen tersebut di antaranya adalah Early Secretory Antigen Target-6 (ESAT-6), Antigen 85 (Ag85) komplek dan Culture Filtrate Protein (CFP)-10. Protein-protein tersebut telah diselidiki dan dipergunakan untuk mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas yang ideal untuk mendeteksi M. tuberculosis dalam bentuk single antigen maupun antigen rekombinan (Zwi, et al., 2008; Bekmurzayeva, et al., 2013). Cuture Filtrate Protein 10 kDa merupakan salah satu antigen dominan di wilayah RD1 dan telah teridentifikasi pada tahun 1998 (Berthet, et al., 1998; Meher, et al., 2006). Antigen CFP-10 termasuk dalam famili ESAT-6 dan
5
dikodekan oleh 100 asam amino (Anderson, et al., 2000) dengan berat molekul 10 kDa dan berukuran 304 bp. Protein CFP-10 terbukti memiliki antigenisitas yang tinggi dan dapat menginduksi respon imun seluler sel T berupa sekresi interferon (IFN)-γ sehingga mampu memberikan perlindungan terhadap M. tuberculosis (Yousefi, et al., 2009). Penelitian terdahulu untuk mengidentifikasi antigen M. tuberculosis yang mungkin dapat melengkapi rekombinan antigen 38-kDa (r38-kDa) dalam uji serodiagnostik dan peran CFP-10 dalam diagnosis dini TB laten telah banyak dilakukan. Jafari et al., (2006) dan Brock et al., (2004) melaporkan, bahwa antigen CFP-10 dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe tertunda pada marmut sehingga dapat menjadi alternatif yang tepat untuk uji diagnostik TST. Lalvani and Mallington, (2007) juga melaporkan bahwa respon terhadap CFP-10 dapat membedakan antara TB aktif dan vaksin BCG. Yousefi, et al., (2009) berhasil mengamplifikasi CFP-10 dengan primer spesifik dan menghasilkan single fragment 304 bp, kemudian mengkloningnya ke dalam vektor pET102/D. Hasil klon kemudian diekspresikan dan dianalisis dengan sodium dodecyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dalam bentuk protein solubel, untuk tujuan mengembangkan alat uji diagnostik yang sensitif dan spesifik (Yousefi, et al., 2009). Hemmati, et al., (2011) telah melakukan ekspresi dan pemurnian terhadap protein rekombinan M. tuberculosis: ESAT-6, CFP-10, dan fusi ESAT-6/CFP-10 dengan tujuan untuk mengetahui potensi protein-protein tersebut sebagai alat
6
deteksi dan diagnosis TB. Sensitivitas ketiga antigen tersebut kemudian diuji menggunakan Enzyme-Linked Immunosorbent Spot (ELISPOT) dengan hasil nilai sensitivitas masing-masing antigen adalah 93% untuk rekombinan (r) ESAT-6, 90% untuk rCFP-10 dan 100% untuk fusi ESAT-6/CFP-10. Secara signifikan sensitivitas ketiga antigen lebih tinggi dari nilai yang diperoleh dalam tes konvensional TST sehingga dapat dijadikan kandidat alat uji diagnostik yang reliabel untuk mendeteksi TB (Hemmati, et al., (2011). Mahmoudi, et al., (2013) berhasil mengkloning gen penyandi CFP-10 M. tuberculosis ke dalam vektor kloning pTZ57R/T dan mengekspresikannya ke dalam Escherichia coli (E. coli) TOP10. Setelah proses retriksi dan konfirmasi, untuk ekspresi rekombinan protein, gen yang mengkode CFP-10 disubkloning ke dalam vektor pET32a (+) kemudian ditransformasikan ke E. coli BL21. Protein rekombinan yang didapat kemudian diperbanyak untuk tujuan pengembangan alat uji diagnostik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan kloning gen penyandi antigen CFP-10 M. tuberculosis pada E. coli untuk mendapatkan plasmid rekombinan sebagai dasar untuk pengembangan alat uji diagnostik molekuler TB yang cepat, sensitif dan spesifik sebagai salah satu upaya pengendalian TB.
7
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah kloning gen penyandi antigen CFP-10 M. tuberculosis akan
dapat
dimanfaatkan
sebagai
dasar
penelitian
selanjutnya
guna
pengembangan alat uji diagnostik molekuler pada pasien TB ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mengamplifikasi gen penyandi antigen CFP-10 M. tuberculosis
2.
Mendapatkan M.
plasmid
tuberculosis
rekombinan
sebagai
dasar
gen
untuk
penyandi penelitian
antigen
CFP-10
selanjutnya
guna
pengembangan alat uji diagnostik molekuler TB D. Keaslian Penelitian Penelitian terdahulu yang hampir serupa dengan penelitian ini, yaitu: 1. Yousefi et al., (2009) dengan judul Cloning, expression and purification of 10 kDa culture filtrated protein (CFP-10) of Mycobacterium tuberculosis in Iran. Penelitian mengamplifikasi gene cfp-10 dengan primer spesifik, menghasilkan
single fragmen 304 bp dan hasil konfirmasi DNA insert
menunjukkan 538 bp. Hasil analisis sekuensing, urutan sekuen identik dengan CFP-10 dan hasil klon CFP-10 dapat diekspresikan dalam bentuk protein solubel sehingga dapat diterapkan untuk mengembangkan uji diagnostik yang sensitif dan spesifik sebagai alternatif untuk prosedur diagnostik. Perbedaan pada penelitian ini adalah terletak pada sampel yang dipergunakan, metode dan tempat penelitian.
8
2. Hemmati et al., (2011) dengan judul Expression and Purification of Recombinant Mycobacterium tuberculosis Antigens ESAT-6, CFP-10 and ESAT-6/CFP-10 and Their Diagnosis Potential for Detection of TB Patients. Hasil penelitian mengamplifikasi gene esat-6, cfp-10, dan fusi antara esat6/cfp-10 menghasilkan produk 288 bp untuk esat-6, 303 bp untuk cfp-10 dan 591 bp untuk hasil fusi esat-6/cfp-10. Hasil analisis sekuensing menunjukkan urutan sekuen yang identik, berhasil diekspresikan dan dideteksi dengan SDS-PAGE. Perbedaan pada penelitian ini adalah terletak pada sampel yang dipergunakan, metode dan tempat penelitian. 3. Mahmoudi et al., (2013) dengan judul Cloning, expression and purification of Mycobacterium tuberculosis ESAT-6 and CFP-10 antigens. Hasil penelitian mengamplifikasi
gen
esat-6, cfp-10, dan fusi
antara
esat-6/cfp-10
menghasilkan produk 288 bp untuk esat-6, 303 bp untuk cfp-10 dan 591 bp untuk hasil fusi esat-6/cfp-10. Hasil analisis sekuensing menunjukkan urutan sekuen yang identik, berhasil diekspresikan dan dideteksi dengan SDS-PAGE. Perbedaan pada penelitian ini adalah terletak pada sampel yang dipergunakan, metode dan tempat penelitian. E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya mengenai kloning gen penyandi antigen CFP-10 guna pengembangan alat uji diagnostik molekuler yang cepat, sensitif dan spesifik untuk mendeteksi M. tuberculosis.