BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang masih menjadi masalah dunia. Pada tahun 2006 Indonesia dikatakan telah memenuhi target Angka Penemuan Kasus dan Angka Keberhasilan Pengobatan namun, Indonesia masih menjadi negara yang masuk kedalam lima besar kasus insiden TB terbanyak di dunia. Indonesia merupakan negara peringkat keempat terbanyak penderita tuberkulosis (TB) setelah India, China, dan Afrika Selatan. Kelima negara yang memiliki kasus insiden terbanyak pada tahun 2011 yaitu India (2 - 2,5juta), China (0,9 juta - 1,1 juta), Afrika Selatan (0,4 juta – 0,6 juta), Indonesia (0,4 juta – 0,5 juta), dan Pakistan (0,3 juta – 0,5 juta) dimana India dan China masih menjadi penyumbang terbesar dari kasus TB di seluruh dunia (WHO, 2012). Beberapa penelitian yang ada menyatakan tuberkulosis dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi di beberapa negara sehingga perlu adanya program prevalensi di setiap negara. Pada tahun 2013, diperkirakan ada 9 juta kasus insiden TB dan 1,5 juta orang meninggal karena penyakit ini (1,1 juta kematian yaitu penderita TB dengan HIV-negatif dan 360.000 orang diantaranya merupakan penderita TB dengan HIV-positif). Kematian tersebut terdapat sekitar 210.000 diantaranya mengalami kematian akibat TB dengan
1
2
Multi Drug Resistance (TB-MDR) dari total kejadian 480.000 kasus TB MDR (WHO, 2014). Tuberkulosis di Indonesia masih menjadi program pemerintah dalam rangka menuju Indonesia sehat. Usaha keras yang telah dilakukan oleh pemerintah menjadikan Indonesia sebagai negara pertama di wilayah Asia Tenggara yang mencapai target TB global yaitu Angka Penemuan Kasus (Crude Detection Rate/CDR) diatas 70% dan Angka Keberhasilan Pengobatan (Treatment Success Rate/TSR) diatas 85% pada tahun 2006. (Depkes RI, 2015). Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat (seperti pada negara yang sedang berkembang), kegagalan program TB, perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, serta dampak dari penyakit HIV. Penyakit HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Resistensi ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multi drug resistance = MDR) juga semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya menyebabkan epidemi TB yang sulit ditangani (Depkes RI, 2011). Kegagalan pasien TB dalam pengobatannya dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti obat, penyakit, dan pasiennya sendiri. Faktor obat terdiri dari paduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang tidak adekuat, tidak teratur minum obat, jangka waktu pengobatan yang kurang dari semestinya,
3
dan terjadinya resistensi obat. Faktor penyakit biasanya disebabkan oleh lesi yang terlalu luas, adanya penyakit penyerta, dan adanya gangguan imunologis. Sedangkan untuk faktor pasien itu sendiri dapat diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan akan penyakit TB, masalah sosial ekonomi, dan pasien yang merasa sudah sembuh (Kondoy et al., 2014). Tuberkulosis
merupakan
penyakit
yang
membutuhkan
waktu
pengobatan jangka panjang, sehingga ketidakpatuhan terhadap pengobatan TB merupakan salah satu masalah yang penting dalam memberantas TB. Faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pengobatan pada pasien sangat beragam dan melibatkan lebih dari karakteristik maupun respon pasien terhadap pengobatan. Faktor lain tersebut seperti sifat kronis penyakit, lingkungan sosial dan budaya, ekonomi yang lemah, dan interaksi antara tenaga/pemberi layanan kesehatan (Thiam et al., 2007). Usaha untuk melakukan peningkatan kepatuhan pasien terhadap kepatuhan sangatlah penting, sehingga perlu dilakukan penelitian bagaimana tingkat kepatuhan pasien dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Menurut penelitian Rachmawati (2011) dikatakan bahwa tingkat kepatuhan pasien TB di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta tidak tetap/berubah-ubah (64,71%) dimana terletak pada kuadran 3 (42,18%) yang dilakukan pada 34 responden. Hasil yang diperoleh yaitu terletak di kuadran 3 dimana tingkat pengetahuan pasien akan penyakitnya tinggi namun motivasi pasien masih rendah, sehingga salah satu faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan pasien yaitu kurangnya motivasi.
4
Pada penelitian di RSUP Dr. Sardjito kali ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lagi tentang kepatuhan pasien TB pada periode Desember 2014 – Maret 2015. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. Sardjito karena RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit rujukan untuk tuberkulosis sehingga diharapkan peneliti mendapatkan data yang lengkap penelitian ini. Pada penelitian kali ini peneliti mengevaluasi kepatuhan pengobatan pasien TB terkini serta melihat faktor-faktor pendukung kepatuhan pada pengobatan pasien tuberkulosis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan informasi kepada rumah sakit terkait tentang pola pengobatan TB serta tingkat kepatuhan pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana pola pengobatan TB yang dijalankan oleh pasien TB dewasa di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2014 – Maret 2015? 2. Bagaimana gambaran tingkat kepatuhan pasien TB dalam menjalankan pengobatan TB dewasa di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2014 – Maret 2015 ? 3. Apakah faktor pendukung kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan TB di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2014 – Maret 2015?
5
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pola pengobatan TB yang dijalankan oleh pasien TB dewasa di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2014 – Maret 2015. 2. Untuk mengetahui tingkat kepatuhan pasien TB dalam menjalankan pengobatan TB dewasa di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2014 – Maret 2015. 3. Untuk
mengetahui
faktor
pendukung
kepatuhan
pasien
dalam
menjalankan pengobatan TB di Poli Paru RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2014 – Maret 2015.
D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi terkait pola pengobatan terapi OAT di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 2. Memberikan informasi terkait faktor pendukung kepatuhan penggunaan OAT pada pasien tuberkulosis di RSUP Dr. Sardjito. 3. Menjadi dasar penelitian selanjutnya di bidang terapi TB.
6
E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Tuberkulosis a. Definisi tuberkulosis Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.
Mycobacterium
tuberculosis
merupakan bakteri yang lebih cenderung menginfeksi pada manusia. Tuberkulosis pada saat ini masih menyebabkan pembunuh utama di dunia. Tuberkulosis dapat menyebabkan infeksi yang bersifat aktif dan progresif (Dipiro et al., 2008).
b. Epidemiologi Pasien dengan TB BTA positif dapat menjadi sumber penularan karena pada dahak
pasien terdapat bakteri M.
tuberculosis. Pada tuberkulosis anak tidak selalu menularkan pada orang sekitarnya kecuali anak tersebut menderita TB denagna BTA positif atau menderita adult type TB. Faktor risiko penluaran TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pejanan, dan daya tahan tubuh pada anak (Depkes RI, 2013). Percikan dahak yang dikeluarkan oleh pasien pada saat batuk maupun bersin dapat menyebarkan bakteri ke udara sehingga penyakit akan menjadi mudah menular. Penularan biasanya dapat terjadi dalam ruangan yang terpapar oleh percikan dahak dalam waktu lama. Percikan dapat bertahan selaman beberapa jam dalam
7
keadaan yang gelap dan lembab. Ruangan dengan ventilasi akan menyebabkan sirkulasi lancar sehingga dapat mengurangi jumlah percikan dahak dalam ruangan. Selain itu dengan adanya sinar matahari langsung akan membunuh bakteri M. tuberculosis. Daya penularan
pasien
ditentukan
oleh
banyaknya
kuman
yang
dikeluarkan dari paru-parunya. Semakin tinggi derajat kepositifan hasil pemerikasaan dahak, maka semakin tinggi juga daya penularan pasien. Faktor yang dapat memungkinkan seseorang dapat tertular bakteri tersebut yaitu karena banyaknya percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara yang telah terpapar percikan (Depkes RI, 2011).
c. Patofisiologi Menurut Serafino (2013), M. tuberculosis yang dihirup oleh orang akan terjadi empat kemungkinan di dalam tubuh yaitu : 1) tubuh dengan segera membersihkan dari bakteri 2) infeksi laten 3) timbul penyakit aktif (penyakit primer) 4) timbul penyakit aktif bertahun-tahun kemudian (penyakit reaktivasi). Penyakit reaktivasi terjadi sekitar 5 – 10% dari total kasus dan meningkat signifikan pada penderita dengan HIV. Penderita yang terinfeksi oleh M. tuberculosis dapat berkembang menjadi penyakit primer yang progresif. Bakteri M.
8
tuberculosis akan menginfeksi paru-paru dan akan dibawa dalam tetesan (droplet) kecil berukuran 5 – 10 mikron agar dapat mencapai ruang alveolar. Sistem pertahanan tubuh pada inang yang gagal untuk
menghilangkan
infeksi
akan
menyebabkan
bakteri
berkembang biak di dalam makrofag alveolar dan akhirnya membunuh sel inang. Makrofag yang terinfeksi akan memproduksi sitokin dan khemokin yang menarik sel fagosit lainnya, makrofag aveolar lain, monosit, dan netrofil yang membentuk struktur granulomatosa nodular dan disebut dengan tuberkulum. Replikasi bakteri tidak terkontrol menyebabkan tuberkulum akan berkembang dan bakteri dapat masuk dalam kelenjar getah benig pada daerah lokal. Hal tersebut dapat menyebabkan limfadenopati. Bakteri yang disebarluaskan dengan lesi menyerupai biji milet disebut dengan TB miliar. Bakteri juga dapat masuk kedalam saluran paru-paru dan dapat menular kepada orang lain (Serafino, 2008). Penyakit reaktivasi merupakan penyakit yang awalnya tidak aktif kemudian menjadi aktif setelah beberapa waktu kemudian. Penyakit reaktivasi berhubungan dengan imunosupresi dari inang. Masih belum jelas diketahui penyebab terpicunya infeksi laten sehingga menjadi infeksi aktif pada inang. Proses penyakit TB reaktivasi cenderung terjadi pada daerah lokal berbeda dengan penyakit primer dan peyakit ini jarang menular (Serafino, 2008).
9
d. Transmisi tuberkulosis Mycobacterium tuberculosis ditularakan dari orang ke orang melalui percikan dahak di udara yang dihasilkan dari batuk maupun bersin. Setiap percikan dahak yang dihasilkan mengandung 1-3 bakteri di dalamnya. Diperkirakan sekitar 30% individu yang mengalami kontak dengan penderita TB menular akan terinfeksi oleh bakteri M. tuberculosis. Seseorang yang terinfeksi HIV lebih berisiko terkena infeksi karena sistem kekebalan tubuh pada penderita HIV melemah (Dipiro et al., 2008). . e. Klasifikasi tuberkulosis Tuberkulosis merupakan penyakit yang memiliki beberapa tipe kasus sehingga, tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Klasifikasi penyakit dan tipe kasus tuberkulosis antara lain meliputi lokasi atau organ tubuh yang sakit, pemeriksaan bakteriologi (tes dahak), riwayat pengobatan TB sebelumnya, dan status HIV pada pasien (Depkes RI, 2011). Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe yaitu (Depkes RI, 2011) : 1) Menentukan panduan pengobatan yang sesuai, untuk mencegah pegobatan yang tidak adekuat dan menghindari pengobatan yang tidak perlu. 2) Melakukan registrasi kasus secara benar
10
3) Standarisasi proses (tahapan) dan pengumpulan data 4) Menentukan prioritas pengobatan TB, dalam situasi dengan sumber daya yang terbatas. 5) Analisis kohort hasil pengobatan, sesuai dengan definisi klasifikasi dan tipe. 6) Memonitor kemajuan dan mengevaluasi efektifitas program secara akurat baik pada tingkat kabupaten, provinsi, nasional, regional, maupun dunia.
Klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh yang terkena antara lain yaitu (Depkes RI, 2007): 1) Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tetapi tidak termasuk pleura (selaput paru)
dan
kelenjar
pada
hilus.
Tuberkulosis
paru
di
klasifikasikan lagi menjadi dua berdasarkan hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis, yaitu : a) Tuberkulosis paru BTA positif (1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak sewaktupagi-sewaktu (SPS) hasilnya BTA positif. Dahak sewaktu diambil pada saat pasien berada di tempat pelayanan kesehatan dan dahak pagi diambil ketika pasien berada di rumah setelah bangun tidur.
11
(2) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. (3) Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. (4) Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
b) Tuberkulosis paru BTA negatif Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: (1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. (2) Foto
toraks
abnormal
menunjukkan
gambaran
tuberkulosis. (3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. (4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru Pada penderita TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit :
12
a) TB ekstra paru ringan Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra paru berat Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.
Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan dengan adanya riwayat pengobatan sebelumnya yaitu (Depkes RI, 2011) : 1) Kasus Baru Kasus baru merupakan pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (4 minggu) dimana pemeriksaan BTA dapat positif maupun negatif. 2) Kasus yang sebelumnya diobati a) Kasus kambuh (relaps) Kasus kambuh merupakan pasien TB yang sebelumnya telah
mendapat
pengobatan
tuberkulosis
dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.
dan
telah
13
b) Kasus setalah putus berobat (default) Kasus setelah putus berobat merupakan pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. c) Kasus setelah gagal (failure) Kasus setelah gagal
merupakan pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobtan. 3) Kasus pindahan (transfer in) Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain (fasilitas kesehatan lain) untuk melanjutkan pengobatannya. 4) Kasus lain Kasus lain merupakan semua kasus yang tidak memenuhi kriteria diatas seperti tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
pernah
diobati
tetapi
tidak
tahu
hasil
pengobatannya, dan kembali diobati dengan BTA negatif.
f. Gejala dan Diagnosis TB Gejala umum yang dirasakan oleh penderita TB baik paru maupun ekstra paru yaitu adanya penurunan berat badan. Pada penderita TB paru, gejala yang sering dirasakan seperti batuk dengan atau tanpa sputum (selama 3 minggu atau lebih), batuk berdarah, nyeri dada, turunnya napsu makan, penurunan berat badan,
14
berkeringat di malam hari, demam, dan cepat lelah. Gejala yang dirasakan pada penderita ekstra paru biasanya tergantung dengan organ atau bagian tubuh yang terinfeksi seperti TB tulang belakang yang menyebabkan sakit punggung, TB meningitis menyebabkan sakit kepala, atau TB pada ginjal yang dapat menyebabkan pendarahan sehingga urin mengandung darah. Pada TB ekstra paru harus dilakukan pertimbangan dalam mendiagnosis seseorang yang memiliki gejala sistemik dan seseorang yang mempunyai risiko tinggi tuberkulosis (CDC, 2013). Pada orang yang diduga menderita TB paru harus dilakukan pemeriksaan dahak secara secara mikroskopis di laboratorium. Dahak diambil 3 kali ketika sewaktu, pagi, dan sewaktu. Hasil yang diperoleh minimal harus ada dua dahak positif TB untuk pasien BTA-positif dan minimal ada satu spesimen pagi. Diagnosis pada orang yang diduga menderita TB ekstra paru maka spesimen yang diperoleh harus dilihat secara mikroskopi, kultur, dan pemeriksaan histologi. Selain pemeriksaan dahak secara mikrobiologi juga dapat dilakukan pemeriksaan dengan foto rontgen pada orang yang diduga menderita TB. Diagnosis tuberkulosis paru dengan sputum BTAnegatif harus berasarkan kriteria yaitu setidaknya ada dua sputum negatif (termasuk minimal satu spesimen pagi), temuan foto rontgen sesuai dengan TB, dan kurangnya respon terhadap pemberian antimikroba spektrum luas (TBCTA, 2009).
15
Suspek TB Paru Pemeriksaan dahak mikroskopis - Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) Hasil BTA +++ ++-
Hasil BTA
Hasil BTA
+--
--Antibiotik Non-OAT Tidak ada perbaikan
Foto toraks dan pertimbangan
Ada perbaikan
Pemeriksaan dahak mikroskopis Hasil BTA +++ +++--
Hasil BTA ---
Foto toraks dan pertimbangan dokter
TB
BUKAN TB
Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik, alur diagnostik ini dapat digunakan secara fleksibel : pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan bersamaan dengan foto toraks dan pemeriksaan lain yang diperlukan Keterangan: Suspek TB Paru: Seseorang dengan batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain. Antibiotik non OAT: Antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki efek anti TB (jangan gunakan florokuinolon). Gambar 1. Bagan Diagnosis pada TB Paru (Depkes RI, 2011).
Diagnosis TB dengan tes kulit dapat dilakukan dengan melakukan uji Mantoux. Pada uji mantoux digunakan purified protein derivative (PPD) yang diinjeksikan secara intrakutan pada
16
lengan bawah. Kemudian dilakuan pengukuran pada daerah benjolan bukan daerah yang kemerahan dan dibaca selama 48 sampai dengan 72 jam setelah injeksi (Dipiro et al., 2008). Hasil uji Mantoux negatif dapat diartikan bahwa orang tersebut tidak terinfeksi oleh bakteri TB sedangkan hasil positif dapat diartikan bahwa orang tersebut terinfeksi oleh bakteri TB. Hasil uji mantoux juga dapat menghasilkan positif palsu maupun negatif palsu. Hal ini dapat disebabkan karena adanya infeksi (virus, jamur, bakteri), vaksinasi, obat lain, kontaminasi, usia, rute pemberian yang salah, atau kesalahan dalam membaca hasil uji. Intrerpretasi hasil uji Mantoux dikatakan positif jika (CDC, 2011) : 1) Indurasi 5 mm atau lebih Indurasi ini merupakan seseorang yang terinfeksi HIV, sedang atau baru saja berhubungan dengan penderita TB, terdapat perubahan radiologis berupa fibrotik (tanda TB), transplantasi organ, dan immunocompromised. 2) Indurasi 10 mm atau lebih Indurasi ini merupakan seseorang yang datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB. Indurasi ini bukan merupakan penderita HIV tetapi pengguna narkotika atau ijection drug users (IDU), 3) Indurasi 15 mm atau lebih Indurasi ini menyatakan hasil uji yang positif pada semua orang termasuk dengan orang yang tidak memiliki faktor risiko TB.
17
g.
Faktor Risiko Anak dengan usia kurang dari 2 tahun dan pada usia dewasa tua lebih dari 65 tahun memiliki dua sampai lima kali berisiko lebih besar untuk terkena penyakit aktif. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan faktor risiko yang paling penting untuk TB aktif, terutama pada pasien dengan usia 25 – 44 tahun. Pasien TB yang koinfeksi dengan HIV mungkin tidak menyebabkan peningkatan risiko tertular infeksi M. tuberculosis, tetapi dapat meningkatkan kemungkinan perkembangan penyakit aktif. Pasien HIV yang terinfeksi M. tuberculosis memiliki kemungkinan progresifitas 100 kali lebih besar dibandingnya dengan pasien tanpa HIV (Dipiro et al., 2008).
2.
Terapi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Tujuan pengobatan TB secara umum yaitu untuk menyembuhkan pasien dan meminimalkan penularan M. tuberculosis kepada orang lain. Dengan demikian, keberhasilan pengobatan TB memiliki manfaat baik untuk individu pasien dan masyarakat di lingkungan pasien (CDC, 2012). Menurut WHO tujuan dari pengobatan TB antara lain untuk menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas, untuk mencegah kematian, untuk mencegah kekambuhan, untuk mengurangi penularan, dan untuk mencegah resistensi (WHO, 2010).
18
Aktivitas, efektifitas, rute administrasi, toleransi, ketersediaan, dan biaya maka obat anti tuberkulosis (OAT) dapat diklasifikasikan menjadi lima kelompok yakni (TBCTA, 2009) : a.
Kelompok 1 Kelompok ini merupakan OAT lini pertama yang terdiri dari isoniazid, rifampicin, etambutol, pirazinamid, dan rifabutin.
b.
Kelompok Kelompok ini merupakan obat injeksi yang hanya boleh dipilih satu saja. Contoh obat kelompok ini yang digunakan di Indonesia yaitu streptomisin.
c.
Kelompok 3 Kelompok ini merupakan OAT golongan flouroquinolones yang dikelompokkan karena resistensi silang dan toksisitas obat.
d.
Kelompok 4 Kelompok ini merupakan OAT oral yang kurang poten terdiri dari etionamid, protionamide, cycloserine, terizidone, dan asam paminosalisilat.
e.
Kelompok 5 Kelompok ini merupakan OAT yang belum teruji secara klinis atau belum diketahui manfaatnya. Obat tersebut antara lain clofazimine, linezolid, amoksilin/klavulanat, thioacetazone, imipenem, dan klaritromisin.
19
Tabel I. Regimen Pengobatan OAT pada Pasien TB Dewasa (Dirjen Binfar dan Alkes, 2014). Nama Obat Sediaan/ Kekuatan/ Restriksi Peresepan Maksimal 15 mg/kg BB, etambutol Tablet 400 mg maksimal selama 4 Dapat digunakan untuk paduan OAT bulan lanjutan kategori 2, tahap lanjutan pemberian 3x 1 tab/ 15kgBB, maksimal selama 4 bulan seminggu. lanjutan pemberian 3x seminggu Dapat digunakan untuk TB MDR Tablet 500 mg 10 mg/kg BB, isoniazid tablet 100 mg maksimal 6 bulan Dapat digunakan untuk profilaksis TB setiap hari. pada anak. 10 mg/kg BB, maksimal 6 bulan setiap hari. 1 tab (300 mg)/ hari, tablet 300 mg maksimal 6 bulan. Dapat digunakan untuk profilaksis TB pada ODHA dewasa. 1 tab (300 mg)/hari, maksimal 6 bulan. 20-30 mg/kg BB. pirazinamid tablet 500 mg Dapat digunakan untuk TB MDR. streptomisin Dapat digunakan untuk paduan OAT kategori 2 dan tahap awal. 15 mg/kg BB maks 2 serbuk inj 1000 mg/vial bulan pertama 15 mg/kg BB maksimal 2 bulan pertama pemberian setiap hari. pemberian setiap hari. Dapat digunakan untuk TB MDR. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk dewasa Rifampicin kaplet 150 mg 1 tab/15 kgBB, maks selama 2 bulan Isoniazid tablet 75 mg pertama Pirazinamid tablet 75 mg Etambutol tablet 275 mg Rifampicin kaplet 150 mg 1 tab/15 kg BB, Isoniazid tablet 150 mg selama 4 bulan
lanjutan. Paduan dalam bentuk Kombipak untuk dewasa rifampisin kaplet 450 mg isoniazid tablet 300 mg pirazinamid tablet 500 mg etambutol tablet 250 mg dan 500 mg rifampisin kaplet 450 mg isoniazid tablet 300 mg
Maksimal 448 tab selama 2 bulan pertama, pemberian setiap hari. Maksimal 144 tab selama 4 bulan, lanjutan pemberian 3x seminggu
Di Indonesia terdapat dua macam bentuk OAT yaitu dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) dan kombipak (obat lepas). Pada OAT KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4
20
jenis obat dalam satu tablet dan diberikan kepada pendertita sesuai dengan berat badan pasien sedangkan paket kombipak merupakan sediaan obat lepas. Paket tersebut terdiri dari Isoniazid, Rifampicin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paket kombipak disediakan untuk pengobatan pada penderita TB yang mengalami efek samping dari OAT KDT (Depkes RI, 2011). Paduan OAT yang digunakan berdasarkan Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia dibagi dalam kategori berikut ini (Depkes RI, 2007) : a.
Kategori-1 Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif dengan foto toraks positif, dan pasien ekstra paru. Pada tahap intensif terdiri atas HRZE yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Pada tahap lanjutan diberikan HR selama 3 kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3) setelah fase intensif.
b.
Ketegori-2 Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Pada tahap intensif diberikan HRZE ditambah dengan injeksi Streptomisin setiap hari selama 3 bulan. Injeksi streptomisin dilakukan oleh tenaga kesehatan di unit pelayanan kesehatan.
21
c.
Kategori Sisipan Terapi sisipan diberikan pada akhir tahap intensif pengobatan baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 dimana hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, sehingga perlu untuk diberikan obat sisipan HRZE setiap hari selama 1 bulan (28 hari).
d.
Kategori Anak Prinsip dasar pada pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan selama 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif (2RHZ) maupun tahap lanjutan (4RH). Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Penatalaksanaan untuk pengobatan TB pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sama seperti pasien TB lainnya. Prinsip pengobatan TB harus diberikan segera, sedangkan untuk pengobatan antiretroviral (ARV) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. Pada pasien TB dengan multi drug resistance (MDR) prinsip pengobatannya yaitu dilakukan dengan minimal 4 macam OAT yang masih efektif, tidak menggunakan obat yang menimbulkan cross-reistance (resistensi silang), dan membatasi obat yang tidak aman. Tahap pengobatan pasien TBMDR terdiri dari tahap awal dan lanjutan. Pada tahap awal diberikan injeksi selama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah konversi biakan. Lama pengobatan pada pasien TB-MDR minimal adalah 18 bulan setelah
22
konversi biakan. Konversi dapat diketahui dari hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak 30 hari (Depkes RI, 2011).
3.
Kepatuhan Terapi Kepatuhan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku seseorang dalam hal minum obat, mengikuti diet, atau melaksanakan perubahan gaya hidup telah sesuai dengan anjuran medis atau kesehatan. Istilah kepatuhan dapat diasumsikan sebagai bentuk kerjasama antara pasien dengan penyedia pelayanan kesehatan mengenai keputusan terapi dan sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan pasien (Bhardwaj et al., 2012). Kepatuhan menurut WHO (2003) dapat diartikan sebagai sejauh mana pasien mengikuti anjuran atau instruksi medis. Kepatuhan untuk regimen pengobatan mencerminkan perilaku kesehatan pasien satu dengan yang lainnya. Contoh perilaku kesehatan ini antara lain melakukan perawatan medis, mengambil resep ulang, minum obat secara tepat, menghadiri follow up, maupun diet yang sehat. Menurut WHO (2003) tingkat kepatuhan pasien dapat diukur dengan menggunakan : a. Kuesioner Kuesioner yang digunakan dapat digunakan untuk melihat faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien sehingga dapat
23
digunakan untuk memberikan rekomendasi yang sesuai guna meningkatkan kepatuhan pasien. b. Pill
counts
kepatuhan
dapat
diukur
dengan
menggunakan
menghitung jumlah obat yang tersisa dihitung ketika pasien melakukan follow up. c. Medication Event Monitoring System (MEMS) Medication Event Monitoring System yaitu perangkat elektronik yang dapat mencatat waktu dan tanggal ketika wadah obat dibuka sehingga menggambarkan kapan pasien mengambil obat. Kelemahan perangkat ini yaitu tidak dapat menghitung jumlah obat yang diambil oleh pasien. d. Biokimia Pengukuran biokimia merupakan pemeriksaan secara biologis dengan menggunakan darah atau urin untuk melihat kadar obat dalam tubuh sehingga dapat digunakan dalam memberikan bukti bahwa pasien telah mendapatkan pengobatan.
Kepatuhan
pasien
TB
sangat
dituntut
dalam
menjalani
pengobatan yang memerlukan waktu lama. Upaya patuh dalam minum obat diharapkan agar bakteri TB dalam tubuh dapat berkurang dan mati. Kepatuhan minum obat diperlukan pada penyakit yang memiliki pengobatan jangka panjang terutama penyakit TB dan HIV yang
24
membutuhkan pengawasan ekstra dalam pengobatannya (Nursiswati, 2013). Menurut Jin et al. (2008) faktor kepatuhan yang dapat mempengaruhi terapi yaitu : a. Rute administrasi Penggunaan obat yang susah biasanya tidak disukai oleh pasien. Seperti pada pasien asma yang harus menggunakan inhaler yang penggunaannya memerlukan edukasi terlebih dahulu. b. Terapi yang kompleks Pengobatan yang kompleks dapat mempengaruhi kepatuhan pasien. Kepatuhan berkolerasi dengan jumlah obat yang diresepkan tetapi pada frekuensi penggunaan obat setiap hari dari seluruh obat yang diresepkan. c. Durasi pengobatan Semakin lama pengobatan maka tingkat kepatuhan pasien akan semakin menurun. Hal tersebut biasanya terjadi pada penyakit kronik. d. Efek samping obat Efek samping yang ditimbulkan menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan keraguan tentang efikasi obat sehingga menurunkan kepercayaan pasien kepada tenaga kesehatan.
25
e. Perilaku yang harus diubah Tingkat perubahan perilaku yang harus diubah akan terkait dengan motivasi pasien untuk menjalani terapi. Seperti perubahan gaya hidup tidak sehat. f. Faktor sosial dan ekonomi Faktor sosial dan ekonomi dapat berupa komitmen waktu, biaya pengobatan, dan dukungan sosial. Komitmen waktu dapat berupa waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan menuju fasilitas kesehatan maupun waktu yang diperlukan untuk melakukan pengobatan karena pasien tidak dapat meinggalkan pekerjaan. Biaya pengobatan yang lebih tinggi daripada pendapatan pasien juga akan mempengaruhi tingkat kepatuhan, kecuali untuk pasien yang biaya pengobatan telah dibiayai oleh asuransi kesehatan. Selain itu, dukungan sosial dan bantuan dari keluarga pasien akan menjadikan motivasi dan pengingat bagi pasien untuk meningkatkan kepatuhan.
4.
Adverse Drug Reaction (ADRs) dan Interaksi Obat Adverse drug reaction atau efek samping dari OAT relatif jarang terjadi pada pasien. Namun, pada beberapa pasien dapat mengakibatkan efek samping yang fatal. Efek samping ringan pada umumnya dapat dikelola dengan terapi simptomatik sedangkan untuk obat yang dapat menimbulkan efek samping fatal harus dihentikan (CDC, 2013).
26
Pada pengobatan TB sebagian besar memerlukan kombinasi lebih dari satu obat untuk mematikan bakteri TB. Obat anti tuberkulosis lini pertama merupakan obat yang direkomendasikan oleh WHO. Obat-obat tersebut antara lain yaitu kombinasi antara isoniazid, rifampicin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin (WHO, 2010). Daftar ADR yang sering terjadi pada pasien akibat penggunaan OAT lini pertama dan lini kedua dapat dilihat pada Tabel II.
Tabel II. Daftar Efek Samping dari OAT (Depkes RI, 2011) Efek Samping Penyebab Penangangan Tidak nafsu makan, mual, Rifampicin Obat diminum pada malam sakit perut sebelum tidur
Ringan
Nyeri sendi
Pyrazinamid
Beri aspirin
Kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni (urin)
Isoniazid (INH)
Gatal dan kemerahan pada kulit
Semua jenis OAT
Tuli
Streptomisin
Gangguan keseimbangan
Streptomisin
Ikterik
Hampir semua OAT Hampir semua OAT
Beri vitamin B6 (piridoksin) 100 mg perhari Beri penjelasan kepada pasien, tidak perlu diberi apa-apa Singkirkan dahulu penyebab kemungkinan lain. Beri antihistamin dan meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Jika kulit merah sebaiknya hentikan OAT sampai kemerahan menghilang, jika memburuk sebaiknya dirujuk. Streptomisin dihentikan, ganti dengan etambutol Streptomisin dihentikan, ganti dengan etambutol. Hentikan semua OAT sampai ikterus menghilang Hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi hati
Etambutol
Hentikan etambutol
Rifampisin
Hentikan rifampisin
Rifampicin
Berat
Bingung dan muntah (permulaan ikterus karena obat) Gangguan penglihatan Purpura dan renjatan (syok)
27
Pasien TB dengan regimen anti TB multidrug saat ini telah dikaitkan dengan adanya peningkatan kejadian reaksi obat yang merugikan dari OAT. Efek merugikan ini dapat berupa reaksi obat ringan maupun yang berakibat fatal (Banu, 2006). Obat anti tuberkulosis yang sering digunakan seperti isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid merupakan obat yang sangat efektif tetapi juga dapat menyebabkan hepatotoksisitas pada pasien (Singla, 2010). Interaksi obat adalah situasi di mana suatu zat memengaruhi aktivitas obat, yaitu meningkatkan atau menurunkan efeknya, atau menghasilkan efek baru yang tidak diinginkan atau direncanakan. Interaksi OAT dengan obat-obatan lain yang diminum secara bersamaan dapat menyebabkan peningkatan toksisitas atau dapat menyebabkan penurunan efikasi dari OAT. Rifampicin merupakan OAT yang memiliki aktifitas sebagai enzym inducer sehingga dapat menyebabkan turunnya kadar obat-obatan yang dimetabolisme oleh enzim tersebut. Oleh sebab itu pasien yang menggunakan rifampicin harus meningkatkan dosis obatobat tersebut dan diturunkan kembali dosisnya setelah penggunaan rifampicin dihentikan. Contoh inetraksi rifampicin yaitu dengan protease inhibitor, antibiotika makrolida, levotiroksin, norentindon, wafarin, siklosporin, fenitoin, verapamil, diltiazem, digoxin, teofilin, notripilin, alprazolam, diazepam, midazolam, triazolam, dan beberapa obat lainnya. Isoniazid juga merupakan inhibitor enzim pemetabolisme sehingga penggunaan
Isoniazide
bersamaan
dengan
obat-obat
tertentu
28
menyebabkan kenaikan kadar obat tersebut dan meningkatkan efek toksisitas. Contoh obat yang dapat berinteraksi dengan Isoniazide yaitu fenitoin dan karbamazepin (Depkes RI, 2005)
5.
Outcome Terapi Tuberkulosis Outcome merupakan hasil dari pengobatan tuberkulosis yang telah dilaksanakan oleh penderita tuberkulosis. Menurut Dipiro et al. (2008) outcome terapi yang diinginkan untuk pengobatan TB antara lain : a.
Identifikasi cepat dari kasus TB baru
b.
Inisiasi pengobatan spesifik antituberkulosis
c.
Memberikan keputusan hasil dari tanda-tanda dan gejala penyakit
d.
Tercapai keadaan tidak menular pada pasien
e.
Kepatuhan terhadap pengobatan TB oleh pasien
f.
Kesembuhan pasien secepat mungkin atau biasanya 6 bulan pengobatan. Hasil pengobatan pada penderita TB merupakan penentu langkah
selanjutnya.
Berdasarkan
Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Tuberkulosis hasil pengobatan di kategorikan menjadi 6 kelompok yaitu (Depkes RI, 2007): a.
Sembuh Sembuh adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pada pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya.
29
b.
Pengobatan lengkap Pengobatan lengkap adalah pasien yang telah mneyelesaikan pengobatan secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
c.
Meninggal Meninggal adalah pasien yang meninggal selama pengobatan karena sebab apapun.
d.
Pindah Pindah adalah pasien yang tidak berobat ke unit dengan register TB 03 (register TB kabupaten) yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
e.
Default Default adalah pasien yang tidak berobat selama dua bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
f.
Gagal Gagal adalah pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif atau menjadi kembali positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
6.
Rumah Sakit Pada penelitian ini rumah sakit yang menjadi tempat penelitian yaitu Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito. Peraturan
Mentri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Menurut nomor
30
340/Menkes/Per/III/2010, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Sedangkan rumah sakit umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito didirikan oleh Prof. Dr. Sardjito
guna
mencukupi
kebutuhan
pelayanan
kesehatan
bagi
masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Jawa Tengah Bagian Selatan. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito didirikan dengan SK MenKes RS no. 126/Ka/B.VII/74 tanggal 13 Juni 1974, yaitu sebagai RSU tipe B pendidikan pengelolaan oleh Dep.Kes. RI melalui Dir.Jen.Yan.Med. Tugas
utamanya adalah
melakukan pelayanan
kesehatan masyarakat dan melaksanakan sistem rujukan bagi masyarakat DIY dan Jawa Tengah bagian Selatan, serta dimanfaatkan guna kepentingan pendidikan calon dokter dan dokter ahli oleh Fakultas Kedokteran (FK) UGM. Saat ini RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit yang telah diakui dengan akreditasi tingkat Paripurna oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit dan akreditasi Academic Medical Center Hospital oleh Joint Commission International (RSUP Dr. Sardjito, 2015). Selain itu, tahun 2013 RSUP Dr. Sardjito tercatat sebagai rumah sakit rujukan untuk diagnosis dan pengobatan TB-MDR (TB Indonesia, 2015).
31
F. Hipotesis Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya oleh Rachmawati (2011), bahwa kepatuhan pasien TB di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berada pada tingkat kepatuhan berubah–ubah atau tidak tetap. Maka disusun hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga kepatuhan penggunaan OAT pada pasien TB di RSUP Dr. Sardjito memiliki kepatuhan tinggi.