BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hemorrhoid merupakan jenis penyakit atau gangguan pada anus. Saat ambeien bibir anus mengalami pembengkakan yang terkadang disertai pendarahan. Ambeien bisa terjadi karena terlalu banyak duduk atau berdiri, kesalahan dalam melakukan gerakan pada olahraga tertentu misalnya pada olahraga angkat beban atau olahraga pernapasan, dan dapat terjadi pada wanita hamil (Suseno, 2013). Upaya untuk mengatasi
hemorhoid itu salah satunya adalah dengan
penggunaan sediaan suppositoria yang mengandung bahan alam berasal dari tanaman (Widjajanti, 1993). Salah satu tanaman yang dapat mengobati hemorrhoid adalah daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun ungu mengandung senyawa aktif diantaranya adalah flavonoid sebagai anti inflamasi dan tanin sebagai astrigen yang dapat digunakan untuk mengobati hemorrhoid dan mengempiskan hemorrhoid (Thomas, 1992). Secara empiris menurut Suseno (2013), untuk mengobati hemorrhoid digunakan 15 lembar dengan cara direbus menggunakan air sebanyak 1 liter dan disisakan menjadi 2 gelas diminum 2 kali sehari masing-masing 1 gelas. Penggunaan secara empiris ini kurang praktis, tidak acceptable, dosis kurang seragam serta kurang higienis. Maka dari itu perlu dibuat suatu sediaan yang inovatif dan siap digunakan sewaktu-waktu yaitu dalam bentuk suppositoria.
1
2
Basis suppositoria memiliki peranan penting dalam kecepatan pelepasan obat baik untuk sistemik maupun lokal. Kemungkinan adanya interaksi antara basis dengan zat aktif secara kimia dan atau fisika akan dapat mempengaruhi stabilitas atau bioavaibilitas dari obat. Polietilenglikol (PEG) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk basis suppositoria yang memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya yang inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur dan dapat dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya sehingga didapatkan suatu basis suppositoria yang dikehendaki beda (Lachman dkk., 1986). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suseno (2012), hasil evaluasi sifat fisik sediaan diantaranya uji titik lebur dan uji waktu leleh menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi PEG 400 dalam formula, menurunkan titik lebur dan waktu leleh sediaan suppositoria. Sedangkan pada uji kekerasan menunjukkan bahwa konsentrasi PEG 400 yang semakin tinggi akan menurunkan kekerasan suppositoria ekstrak daun ungu. Sehingga konsentrasi PEG dalam berbagai kombinasi sebagai basis mempengaruhi sifat fisik suppositoria, dan formula yang paling baik adalah formula dengan perbandingan PEG 6000:400 (50%:50%). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh kombinasi terhadap kombinasi PEG yang lain yaitu PEG 4000 dan PEG 400 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
3
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah pengaruh kombinasi basis PEG 4000 dan PEG 400 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff)?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini yaitu : Mengetahui pengaruh kombinasi basis PEG 4000 dan PEG 400 terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff).
D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian yang dilakukan diharapkan memperkaya data ilmiah tentang obat tradisional di Indonesia dan sebagai acuan membuat sediaan yang inovatif dari bahan alam terutama daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) dalam bentuk suppositoria.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, sampai saat ini belum ditemukan penelitian tentang “Pengaruh Kombinasi Basis PEG 4000 dan PEG
4
400 terhadap Sifat Fisik Suppositoria Ekstrak Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff)“, tetapi ditemukan penelitian pendahuluan yaitu: 1. Formulasi Sediaan Suppositoria Ekstrak Daun Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) dalam Basis Oleum Cacao (Nursal dan Widayanti, 2010). 2. Formulasi Sediaan Suppositoria Ekstrak Etanol Daun Wungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) dalam Basis Polietilenglikol 6000:400 (Suseno, 2012 ).
F. Tinjauan Pustaka 1.
Tanaman Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) Tanaman Ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) adalah tanaman obat
yang sangat populer, yang berkhasiat mengobati hemorrhoid (wasir) atau ambeien. Bagian yang digunakan adalah bagian daun, di daerah Sunda daun ini sering disebut dengan nama daun handeulum, sedangkan di Yogyakarta daun ungu lebih sering disebut dengan nama daun wungu. Orang Bali menyebut daun ungu dengan nama temen, karotong (Madura), daun putrid dan dongora (Ambon), dank obi-kobi (Ternate) (Permadi, 2008; Suseno, 2013). Tanaman wungu berasal dari Irian dan Polynesia, dapat ditemukan dari dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.250m dpl. Perdu atau pohon kecil, dengan tinggi 1,5-3 m, batang 45 berkayu. Kulit dan daun berlendir dan baunya kurang enak. Cabang bersudut tumpul, berbentuk galah dan beruas rapat. Daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya berhadapan bersilang, bulat telur sampai lanset, ujung dan pangkal runcing, tapi bergelombang, pertulangan menyirip, panjang 8-20 cm, lebar 3-13 cm, permukaan atas warnanya ungu
5
mengilap. Perbungaan majemuk, keluar diujung batang, tersusun dalam rangkaian berupa tanda yang panjangnya 3-12 cm, warnanya merah keunguan (Suseno, 2013). Gambar tanaman dan daun ungu dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini :
(1a) (1b) Gambar 1a. Tanaman Ungu ; Gambar 1b. Daun Ungu
Tanaman ungu memiliki batang yang berwarna ungu dengan penampang batang yang mirip segitiga tumpul. Tanaman ini juga lebih menyerupai perdu dengan tinggi yang bisa mencapai 3 meter. Susunan dari daun ungu ini adalah posisi daun yang letaknya beradu muka dengan bunga dan tersusun dalam serangkaian tandan berwarna merah tua (Suseno, 2013). Klasifikasi tanaman ungu dapat dilihat di bawah ini: Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Ordo
: Lamiales.
Family
: Acanthaceae.
Genus
: Graptophyllum.
Spesies
: Graptophyllum pictum
Sinonim
: Handeuleum / Justicia picta L. (Backer and Bakhiuzen Van
Den Brink, 1965)
6
Kandungan kimia yang terdapat adalah diantaranya alkoloid nontoksik, flavonoid, glikosid, steroid, polifenol, saponin, tanin, lendir (Ardi, 1987). Tanaman ini dikenal mampu mengobati berbagai macam penyakit. Kandungan tersebut menyebabkan daun ungu ini memiliki sifat sebagai anti inflamasi, peluruh air seni, mempercepat pemasakan bisul, pencahar ringan, pelembut kulit kaki, melunakkan feaces, mengempiskan hemorrhoid (Depkes RI, 1985). Ramuan tradisional daun ungu dapat digunakan dengan cara merebus 15 helai daun ungu, kunyit sebesar ibu jari, dan sedikit gula aren dengan 4 gelas air sampai airnya tinggal 2 gelas saja. Disaring ramuan tersebut, lalu diminum secara rutin 2x sehari, masing-masing 1 gelas (Suseno, 2013). 2.
Ekstrak Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstrasi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan suatu cairan penyari yang sesuai (Depkes RI, 1979). Ekstrak dibagi menjadi 3 macam, yaitu: a. Ekstrak cair, merupakan ekstrak yang dibuat sedemikian rupa, sehingga diperoleh 2 bagian ekstrak cair dari 1 bagian simplisia (Voigt, 1984). Ekstrak cair, dengan penyari etanol harus dibiarkan di tempat sejuk selama 1 bulan, kemudian disaring (Depkes RI, 1979). Ekstrak cair memerlukan penyimpanan dengan suhu 5-15 ºC. b. Ekstrak kental, merupakan ekstrak yang kental dalam keadaan dingin tidak dapat dituang. Kandungan airnya hingga 30%. Tingginya kandungan air,
7
menyebabkan ekstrak menjadi tidak stabil karena terjadinya reaksi hidrolisis terhadap zat aktif yang dikandungnya serta mudah mengalami pencemaran akibat tumbuhnya bakteri dan jamur. Ekstrak kental juga sulit ditakar sehingga dosis terapi sulit ditentukan (Voigt,1984). c. Ekstrak kering, merupakan ekstrak dengan kadar air sekitar 5%. Beberapa keuntungan dari ekstrak kering yaitu lebih stabil, kandungan zat aktif relatif lebih tinggi, lebih mudah dalam hal standarisasi dan kontrol kualitasnya (Runha dkk., 2001). Metode pembuatan ekstrak yang umum digunakan adalah maserasi. Maserasi berasal dari istilah maceration yang artinya merendam, maka prinsip maserasi adalah perendaman simplisia yang mempunyai derajat kehalusan tertentu dengan cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel kemudian masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, sehingga melarutkan zat aktif. Adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel-sel akan mendesak keluar larutan zat aktif di dalam sel yang lebih pekat. Peristiwa ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Ekstraksi dengan cara maserasi mempunyai beberapa keuntungan antara lain cara melakukan mudah, alat yang digunakan sederhana dan dapat digunakan untuk simplisia dengan kandungan zat aktif tidak tahan panas. Sedangkan kerugian cara maserasi
yaitu penyarian kurang sempurna dan waktu
8
pengerjaannya lama, maserasi biasanya digunakan untuk menyari simplisia dengan kandungan zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoid, dan stirak (Depkes RI, 1986). Maserasi dilakukan pada temperatur 15-20ºC selama 3 hari sampai bahan-bahan yang diinginkan melarut (Ansel, 1989). Penyari etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena memiliki sifat yang lebih selektif jika dibandingkan air, selain itu etanol pada kadar diatas 20% membuat kapang dan kuman sulit tumbuh. Etanol tidak beracun, bersifat netral, memiliki absorbsi yang baik, dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan dan untuk proses pemekatan memerlukan panas yang lebih sedikit. Penyari etanol maupun metanol dalam proses ekstraksi dapat memerlukan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, kurkumin, antrakinon, flavanoid, steroid, dammar dan klorofil, sedangkan lemak, malam, tannin dan saponin hanya sedikit larut, dengan demikian zat pengganggu yang larut akan terbatas (Depkes RI, 1986). Penggunaan air sendiri sebagai cairan penyari kurang menguntungkan karena disamping zat aktif ikut tersari, zat lain yang tidak diperlukan juga ikut tersari sehingga akan mengganggu proses pembuatan sari (Depkes RI, 1986).
9
3.
Suppositoria Suppositoria adalah suatu bentuk sediaan obat padat yang umumnya
dimaksudkan untuk dimaksukkan ke dalam rectum, vagina. Bobot suppositoria adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk anak-anak (Ansel, 1989). Suppositoria merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang umumnya berbentuk torpedo dan meleleh pada suhu tubuh. Suppositoria sangat berguna bagi pasien dengan kondisi yang tidak memungkinkan dengan terapi obat secara peroral, misalnya pada pasien muntah, mual, tidak sadar, anak-anak, orang tua yang sulit menelan dan selain itu juga dapat menghindari metabolisme obat di hati (Voigt, 1984). Tujuan penggunaan suppositoria diantaranya adalah : a. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan hemorrhoid dan penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membran mukosa dalam rektum. Hal inir dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral tidak memungkinkan, seperti pada pasien yang mudah muntah atau pingsan. b. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam sirkulasi pembuluh darah. c. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
10
d. Bentuknya yang seperti torpedo menguntungkan karena suppositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya bila bagian yang besar masuk melalui oto penutup dubur. e. Suppositoria dapat menghindari terjadinya iritasi obat pada lambung. f. Obat dapat langsung masuk ke dalam saluran darah sehingga efeknya lebih cepat daripada panggunaan obat secara oral. Suppositoria mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan bentuk pemakaian lainnya, misalnya penggunaan peroral dari obat. Dalam hal ini dapat disebutkan antara lain: tidak merusak lambung, tanpa rasa yang tidak enak (kemualan), mudah dipakai bahkan pada saat pasien tidak sadarkan diri, sulit menelan dan sebagainya. Arti yang istimewa, dimiliki suppositoria dalam penyembuhan anak-anak. Jika injeksi memberikan rasa nyeri pada pasien, minimal rasa yang tidak menyenangkan, maka pemakaian suppositoria pada umumnya tidak menimbulkan rasa sakit (Voigt, 1984). Macam-macam suppositoria berdasarkan tempat penggunaan, bobot dan bentuk: a. Suppositoria rektum Suppositoria untuk rektum biasanya dengan jari tangan untuk dewasa berbentuk lonjong seperti torpedo dan biasanya mempunyai bobot 2 g. Untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan beratnya setengah dari ukuran dan berat untuk orang dewasa (Ansel, 1989). b. Suppositoria vaginal Suppositoria vaginal mempunyai berat 5 g, berbentuk bulat dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air. Untuk suppositoria vagina khususnya vaginal
11
insert atau tablet vaginal, kadang juga disebut pessaries yang diolah secara kompresi dapat dimasukkan lebih jauh kedalam saluran vagina dengan bantuan alat khusus (Ansel, 1989). c. Suppositoria uretra Suppositoria uretra disebut juga bougi, berbentuk runcing seperti pensil. Suppositoria untuk laki-laki beratnya 4 g dan paanjangnya 100 sampai 15 mm, untuk wanita masing-masing suppositoria 2 g dan panjang 60 sampai 75 mm (Lachman dkk., 1986). 4.
Basis Suppositoria Bahan dasar atau basis yang digunakan untuk membuat suppositoria harus
dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang sering digunakan adalah lemak coklat (oleum cacao), polietilenglikol (PEG), lemak tengkawang (oleum shoreae), atau gelatin (Voigt, 1984). a. Lemak coklat Lemak ini merupakan senyawa trigliserida, berwarna kekuningkuningan, dan baunya khas. Jika dipanaskan sekitar 30ºC, lemak coklat mulai mencair dan akan meleleh pada suhu 34ºC – 35ºC. Jika dibawah suhu 30ºC zat ini merupakan massa semi padat yang mengandung lebih banyak kristal (polimorfisme) daripada trigliserida padat. Bila dipanaskan pada suhu tinggi, lemak coklat mencair sempurna seperti minyak tetapi akan kehilangan semua inti kristalnya yang berguna untuk memadat. Lemak coklat akan mengkristal dalam bentuk kristal metastabil bila didinginkan dibawah 1ºC. Oleh karena itu, pemanasan lemak coklat sebaiknya dilakukan sampai meleleh dan bisa dituang sehingga tetap memiliki inti kristal bentuk
12
stabil. Agar titik lebur naik. Lemak coklat dapat ditambahkan cera atau cetaseum. Penambahan cera flava dapat menaikan daya serap lemak coklat terhadap air. Lemak coklat sangat cepat membeku pada saat pengisian massa suppositoria ke dalam cetakan dan akan terjadi penyusutan volume pada saat pendinginan hingga terbentuk lubang di atas massa. Maka dari itu, pada saat melakukan pengisian cetakan harus diisi berlebih dan kelebihanya dipotong setelah massa menjadi dingin (Voigt, 1984). Lemak coklat memiliki beberapa bentuk polimorfisme, yaitu: Bentuk gamma tidak stabil yang melebur pada suhu 18ºC, bentuk alfa yang melebur pada suhu 22ºC, bentuk beta tidak stabil melebur pada suhu 28ºC, bentuk beta stabil yang melebur pada suhu 34,5ºC (Voigt, 1984). b. Polietilenglikol (PEG) atau carbowax PEG adalah polimerasi etilenglikol dengan bobot molekul 300-6000 (dalam perdagangan yang tersedia carbowax 400, 1000, 1500, 4000, 6000). PEG yang bobotnya kurang dari 1000 merupakan zat cair, sedangkan yang memiliki bobot molekul di atas 1000 berupa padatan lunak seperti malam (Ansel, 1989). Bila dibandingkan lemak coklat suppositoria berbahan dasar PEG lebih dipilih karena memiliki keuntungan mudah larut dalam cairan rektum, tidak ada modifikasi titik lebur yang berarti, dan tidak mudah meleleh pada penyimpanan suhu kamar. Selain itu basis PEG tidak toksik, mudah bercampur dengan obat, stabil atau tidak meleleh saat penyimpanan dan dapat melarut dalam cairan tubuh (Lachman dkk., 1986).
13
Campuran dari polietilenglikol dapat digunakan sebagai basis suppositoria, PEG memiliki banyak keunggulan dibandingkan lemak. Misalnya, titik leleh suppositoria dapat dibuat lebih tinggi untuk menahan paparan iklim hangat; pelepasan obat tidak tergantung pada titik lebur; stabilitas fisik pada penyimpanan lebih baik; dan mudah dicampur dengan cairan rektal. Polietilenglikol memiliki kelemahan sebagai berikut: mereka lebih reaktif daripada lemak, lebih besar perawatan yang diperlukan dalam pengolahan untuk menghindari lubang kontraksi dalam suppositoria; laju pelepasan obat larut dalam air menurun dengan peningkatan berat molekul dari polietilenglikol, dan polietilenglikol cenderung lebih mengiritasi mukosa membran daripada lemak (Rowe dkk., 2009). Titik beku < -65oC, untuk PEG 200; -15oC sampai -8oC, untuk PEG 300; 4-8oC, untuk PEG 400; 15-25oC, untuk PEG 600 titik lebur 37-40 o
C, untuk PEG 1000; 44-48oC, untuk PEG 1500; 40-48oC, untuk PEG 1540;
45-50oC, untuk PEG 2000; 48-54oC, untuk PEG 3000; 50-58 oC, untuk PEG 4000; 55-63oC, untuk PEG 6000; 60-63oC, untuk PEG 8000; 60-63oC (Rowe dkk., 2009). 5.
Monografi Bahan a. PEG 4000 PEG 4000 adalah PEG, H(OCH2CH2)nOH dimana harga n antara 68 dan 84. Pemerian : Serbuk licin putih atau potongan putih kuning gading, praktis tidak berbau, tidak berasa, kelarutan : mudah larut dalam air, dalam
14
etanol (95 %) P dan dalam kloroform P dan praktis tidak larut dalam eter P (Depkes RI, 1995). b. PEG 400 Polietilenglikol 400 adalah suatu polimer tambahan dari etilen oksida dan air dinyatakan dengan rumus H(OCH2CH2)nOH, dimana harga n antara 8,2 dan 9,1. Pemerian : cairan kental jernih, tidak berwarna atau praktis tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopis. Kelarutan : larut dalam air, dalam etanol (95 %) dalam aseton P, dalam glikol lain dan dalam hidrokarbon aromatik, praktis larut dalam eter P dan dalam hidrokarbon alifatik (Depkes RI, 1995). 6.
Metode Pembuatan Suppositoria Metode Pembuatan Suppositoria a. Pembuatan dengan cara mencetak Langkah-langkah dalam metode pencetakan termasuk: melebur basis, mencampurkan bahan obat yang diinginkan, menuang hasil leburan ke dalam cetakan, membiarkan leburan menjadi dingin dan mengental menjadi suppositoria, dan melepaskan suppositoria. Basis oleum cacao, gelatin gliserin, polietilenglikol, dan banyak basis suppositoria lainnya yang cocok dibuat dengan cara mencetak (Ansel, 1989). Cara mencetak juga dikenal dengan cara penuangan (Voigt, 1984). b. Pembuatan dengan cara kompresi Suppositoria dibuat dengan menekan massa yang terdiri dari campuran basis dengan bahan obatnya dalam cetakan khusus memakai alat/
15
mesin pembuat suppositoria. Pembuatan dengan cara kompresi dalam cetakan, basis suppositoria dan bahan lainnya dalam formula dicampur/ diaduk dengan baik, pergeseran pada proses tersebut menjadikan suppositoria lembek seperti kentalnya pasta. Proses kompresi khususnya cocok untuk pembuatan suppositoria yang mengandung bahan obat yang tidak tahan pemanasan dan untuk suppositoria yang mengandung sebagian besar bahan yang tidak dapat larut dalam basis. Berbeda dengan metode mencetak pada pengolahan suppositoria dengan cara kompresi tidak memungkinkan bahan yang tidak dapat larut mengendap (Ansel, 1989). Cara kompresi disebut juga dengan cara pencetakan (Voigt, 1984). c. Pembuatan secara menggulung dan membentuk dengan tangan Metode ini dilakukan dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahanbahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan. Adanya cetakan suppositoria dalam macam-macam ukuran dan bentuk, pengolahan suppositoria dengan tangan oleh ahli farmasi sekarang hampir tidak pernah dilakukan (Ansel, 1989).
16
G. Landasan Teori Salah satu tanaman yang dapat mengobati hemorrhoid adalah daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff). Daun ungu mengandung senyawa aktif yaitu flavonoid dan tanin yang dapat digunakan untuk mengobati hemorrhoid dan mengempiskan hemorrhoid (Suseno, 2013). Polietilenglikol (PEG) merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk basis suppositoria. Salah satu basis yang dapat digunakan untuk suppositoria adalah basis polietilenglikol yang memiliki beberapa keuntungan karena sifatnya inert, tidak mudah terhidrolisis, tidak membantu pertumbuhan jamur dan dapat dikombinasikan berdasarkan bobot molekulnya sehingga didapatkan suatu basis suppositoria yang baik (Lachman dkk., 1986). PEG 4000 mempunyai titik lebur yang tinggi, sehingga untuk mendapatkan sifat fisik yang lebih baik maka dikombinasikan dengan PEG 400 yang mempunyai titik lebur yang lebih rendah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suseno (2012), hasil evaluasi sifat fisik sediaan diantaranya uji titik lebur dan uji waktu leleh menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi PEG 400 dalam formula, menurunkan titik lebur dan waktu leleh sediaan suppositoria. Sedangkan pada uji kekerasan menunjukkan bahwa konsentrasi PEG 400 yang semakin tinggi akan menurunkan kekerasan suppositoria ekstrak daun ungu. Sehingga konsentrasi PEG dalam berbagai kombinasi sebagai basis mempengaruhi sifat fisik suppositoria, dan formula yang paling baik adalah formula dengan perbandingan PEG 6000:400 (50%:50%).
17
H. Hipotesis Kombinasi basis PEG 4000 dan PEG 400 berpengaruh terhadap sifat fisik suppositoria ekstrak daun ungu (Graptophyllum pictum (L.) Griff) yaitu titik lebur, waktu leleh, dan kekerasan. Semakin tinggi konsentrasi PEG 400, titik lebur, waktu leleh dan kekerasan semakin rendah.