1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak tahun 2000, Indonesia telah memasuki era masyarakat berstruktur tua (aging structured population), karena 7,18% dari penduduk Indonesia berusia 60 tahun ke atas (Efendi & Makhfudi, 2009). Berdasarkan data dari Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (2010), selain memiliki jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia juga merupakan negara keempat dengan jumlah lansia terbanyak setelah China, Amerika dan India. Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 19 juta jiwa dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010 jumlah lansia sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun, sedangkan pada tahun 2020 diprediksi jumlah lansia sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan propinsi yang paling diwaspadai, karena mempunyai angka harapan hidup lansia tertinggi se-Indonesia (Arkadini, 2011). Data sensus penduduk tahun 2010 menunjukan bahwa Propinsi DIY mengalami peningkatan pertumbuhan lansia menjadi 1,02%. Sensus sebelumnya mencatat pertumbuhan lansia hanya sebesar 0,7%. Jumlah lansia di DIY mencapai 12% dari total jumlah penduduk sehingga 10 tahun kedepan di DIY diprediksi akan terjadi ledakan jumlah penduduk lansia. Sleman merupakan Kabupaten di DIY yang mempunyai usia harapan hidup tertinggi di Indonesia (KMPK UGM, 2007). Dalam buku “Kabupaten Sleman
1
2
dalam Angka 2006”, jumlah penduduk lansia (usia 60 tahun ke atas) di Kabupaten Sleman pada tahun 2006 mencapai 107.729 jiwa (10,68% penduduk), sedangkan penduduk lansia awal (usia 55-59 tahun) ada sebanyak 37.241 jiwa (3,69% penduduk). Usia harapan hidup lansia di Kabupaten Sleman mencapai lebih dari 72 tahun. Proses menua merupakan proses yang terus menerus atau berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Manusia akan mengalami kemunduran baik struktur maupun fungsi organ dan keadaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan (Nugroho, 2008). Menua adalah proses yang kompleks dari biologi, psikososial, budaya dan perubahan pengalaman (DeLaune & Ladner, 2011). Proses menua merupakan
suatu
akumulasi
secara
progresif
dari
berbagai
perubahan
patofisiologis yang terjadi seiring dengan berlalunya waktu, yang meningkatkan kemungkinan diserang penyakit serta berdampak pada kelainan fisik, mental, dan sosial. Secara fisik, lansia mengalami perubahan organobiologik. Kapasitas dan fungsi-fungsi organ tubuh menurun (0,75%-1,00% per tahun mulai usia 31 tahun hingga pada usia 56 tahun, kapasitas dan fungsi organ tubuh 75%-81%). Daya tahan tubuh menurun, mudah terkena infeksi, penurunan fungsi panca indera dan tidak mampu menahan kencing dan air besar. Perubahan-perubahan secara fisik, misalnya adanya penyakit fisik kronis, meningkatkan angka kejadian gangguan jiwa (Maslim 2012).
3
Secara mental, lansia sering mengalami gangguan mental seperti insomnia, stres psikososial, anxiety, gangguan perilaku: agresif, agitasi dan depresi (Jervis, 2007). Gangguan mental yang terbanyak dialami oleh lansia adalah depresi, yang merupakan gangguan jiwa oleh karena stresor psikososial yang bersifat kronis maupun akut (Hawari, 1997; Soewadi, 1999). Depresi merupakan masalah yang sering terjadi pada lansia yang banyak berdampak negatif terhadap bagian kehidupan mereka (Ko & Youn, 2011). Depresi pada lansia merupakan hasil interaksi dari faktor biologi, psikologi, dan sosial. Faktor biologi yaitu hilangnya sejumlah neuron di otak, genetik maupun adanya penyakit fisik. Faktor psikologi berupa rasa rendah diri dan kurang rasa keakraban. Sedangkan faktor sosial berupa kesepian, berkabung, kemiskinan dan kurangnya interaksi sosial (Agus, 2002). Depresi dapat berdampak terhadap gangguan isi pikir, gangguan tidur, interaksi sosial, kognitif dan memori serta perilaku bunuh diri (Boyd, 2008; Potter & Perry, 2011). Menurut penelitian Tsoh et al., (2005), lansia yang mengalami depresi beresiko sebesar 67% untuk melakukan bunuh diri. Sejauh ini, prevalensi depresi pada lansia di dunia berkisar 8-15%. Hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia mennggambarkan prevalensi rata-rata depresi pada lansia adalah 13,5% dengan perbandingan wanita-pria 14,1 : 8,6 (Rachmawati, 2008). Berdasarkan penelitian Wirasto (2007), di Kota Yogyakarta prevalensi gangguan depresi pada lansia mencapai 56,4%. Menurut penelitian Dewi (2011), prevalensi depresi pada lansia di Panti Wreda Abiyoso Sleman mencapai 53%. Depresi pada lansia dapat diperberat oleh adanya bencana alam
4
(Nurhasanah et al., 2009). Lansia merupakan kelompok yang sangat rentan mengalami gangguan jiwa akibat bencana (Jia et al, 2010). Erupsi Gunung Merapi pada tanggal 25 Oktober sampai 30 November 2010 merupakan erupsi terbesar sejak tahun 1870. Peristiwa itu telah meluluhlantakan rumah, bangunan, lahan pertanian, membunuh ternak yang menjadi sandaran hidup dan mengakibatkan kerusakan fisik lainnya yang luar biasa di Kabupaten Sleman dan sebagian Jawa Tengah (Joewono, 2010). Korban jiwa yang meninggal lebih dari 353 orang, yang mengalami cidera sekitar 450 orang dan cukup banyak diantara mereka yang mengalami kecacatan fisik permanen (Bappenas, 2011), serta 320.000 jiwa diungsikan (Triyoga, 2010). Bencana erupsi Gunung Merapi memang berbeda dengan erupsi gunung berapi yang lain. Letusan yang terjadi merupakan salah satu letusan terbesar yang menimbulkan lontaran material vulkanik setinggi 6,5 km dari puncak merapi (Gema BNPB, 2011). Selain itu, sering juga terjadi erupsi susulan berkepanjangan dengan intensitas rendah sampai sedang, munculnya fenomena alam yang tidak biasa seperti adanya gumpalan awan putih seperti “Petruk yang menunjukkan jari ke arah Kraton Yogyakarta”, terdengarnya suara “glar-glur” dari gunung Merapi dan guguran lava pijar. Masih dalam kondisi tercekam, sering pula datang bencana angin puting beliung dan banjir lahar dingin di Kali Gendol, Kali Boyong, maupun Kaliadem. Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memperkirakan masih ada 90 juta kubik lahar dingin Gunung Merapi yang siap meluncur saat musim hujan (Kurniawan, 2011).
5
Terjadinya bencana alam berskala besar yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran fisik yang luar biasa, menelan korban jiwa, menimbulkan kecacatan dan cidera dalam jumlah yang sangat banyak secara beruntun merupakan suatu peristiwa yang sangat traumatis dan di luar kelaziman. Peristiwa semacam itu merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan kejiwaan dan perilaku (Nurhasanah et al., 2009), serta dapat dipastikan menimbulkan stresor pasca trauma yang secara langsung akan mempengaruhi gangguan kejiwaan (Kaplan, 1995), baik bagi yang mengalami langsung maupun bagi yang menyaksikan (Galambus, 2004). Hasil penelitian Novia (2005) terhadap 52.661 individu yang mengalami bencana alam di negara berkembang, menemukan sebanyak 81% korban mengalami postraumatik, 78% mengalami gangguan somatik, 57% mengalami gejala depresi, 22% mengalami gangguan konsentrasi, dan 19% mengalami kecemasan. Menurut WHO, 60% penduduk di wilayah bencana gempa bumi dan tsunami 24 Desember 2004 di Nangroe Aceh Darussalam mengalami gangguan psikologi, dan yang didiagnosis mengalami gangguan psikiatrik sekitar 1,5 - 2 juta orang. Penelitian Good B. (2006) di 3 kabupaten di Provinsi Aceh pasca tsunami menemukan 69% mengalami gangguan kecemasan, 60% mengalami depresi berat dan 34% mengalami gangguan stres pasca trauma. Penelitian Souza (2007) terhadap 262 orang korban tsunami di Aceh menunjukkan 83,6% mengalami stres berat dan 77,1% mengalami depresi. Hasil penelitian Sumarni (2011), didapatkan data bahwa sekitar 79% wanita di Huntara Kuwang mengalami depresi.
6
Pada korban erupsi Merapi, gangguan psikiatrik akan menjadi semakin berat dan berkepanjangan dikarenakan adanya keparahan paparan baik pada individu maupun masyarakat seperti kehilangan anggota keluarga yang dicintai, harta benda, pekerjaan, tempat bercocok tanam, tempat tinggal dan ternak, serta kerusakan infrastruktur maupun lingkungan turut menambah beban hidup (Bappenas, 2011). Korban selama berbulan-bulan harus hidup dalam tenda pengungsian seadanya yang penuh sesak, bercampur dengan orang-orang sakit dengan fasilitas sanitasi yang sangat kurang dan masih terus diselimuti kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu dapat terjadi bencana susulan, banjir lahar dingin, atau puting beliung. Stresor baru yang dihadapi oleh para korban adalah bertempat tinggal di hunian sementara (Huntara) yang sempit beratap seng dan berdinding bambu. Hal ini dirasakan tidak nyaman karena panas saat siang hari dan pada malam hari terasa sangat dingin. Dinding bambu yang digunakan, anyamannya tidak rapat sehingga air hujan mudah menerobos masuk ke dalam bangunan Huntara. Apabila angin kencang, atap rumah berterbangan dan kadangkadang bisa menyebabkan rumah roboh. Selain itu, ketidakpastian pemberian jaminan hidup serta ketidakpastian harus menunggu berapa tahun tetap tinggal di Huntara juga merupakan stresor tersendiri yang berat. Kondisi yang diuraikan di atas, dalam jangka waktu tertentu akan menimbulkan kecenderungan pada sebagian besar masyarakat untuk berprasangka negatif tentang lingkungannya, merasa tidak berdaya, kurang dapat menyukai hidupnya, kehilangan harapan, dan pada gilirannya tidak mustahil memunculkan perasaan ”tidak sanggup lagi melanjutkan hidup dalam penderitaan” kemudian
7
mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri (Jing JJ., 2003). Di Kabupaten Sleman, sudah ditemukan 3 orang korban erupsi Merapi yang melakukan bunuh diri, yang diyakini berhubungan dengan penderitaan yang dialami akibat bencana erupsi Merapi. Gangguan psikiatrik dapat menjadi berkepanjangan, bisa memakan waktu hingga 10 tahun ke depan dan bahkan akan terjadi gangguan pasca trauma sampai dengan 30 tahun (Pitaloka, 2005). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jia et al (2010), kelompok lansia yang selamat dari bencana lebih mungkin berkembang mengalami post traumatic stress disorder (PTSD) dan gangguan kejiwaan umum dibandingkan pada kelompok dewasa muda. Gangguan stres pasca trauma pengaruhnya lebih buruk dialami lansia dan prevalensinya menunjukkan peningkatan pada populasi lansia yang langsung terpapar bencana (Stain, 2005). Penelitian yang dilakukan Warih (2010) menemukan bahwa 51,6% lansia korban erupsi Merapi di Kabupaten Sleman mengalami depresi setelah satu tahun pasca erupsi Merapi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada lansia umumnya saja sudah rentan mengalami depresi, terlebih lagi pada lansia korban letusan Gunung Merapi, maka tingkat depresi mereka akan lebih tinggi lagi. Untuk mengatasi depresi, beberapa literatur merekomendasikan penggunaan terapi non farmakologi. Jenis terapi non farmakologi yang paling sering direkomendasikan adalah terapi kognitif dan perilaku atau cognitive and behavioural therapies/ CBT (Morin et al., 2006; Harsora P & Hessmann J, 2009). Akan tetapi, CBT mempunyai beberapa efek merugikan yakni membutuhkan biaya yang mahal, membutuhkan terapis terlatih dan keefektifannya akan
8
menurun pada lansia (Morin et al., 2006). Salah satu terapi yang dirasa efektif diterapkan untuk segala usia, mudah dilakukan tanpa batasan tempat dan waktu, serta ekonomis untuk mengatasi depresi adalah terapi tertawa. Beberapa literatur menyatakan bahwa terapi tertawa dapat memperbaiki derajat depresi (Wilkins & Eisenbraun, 2009), khususnya memberikan efek positif terhadap kejadian depresi pada lansia (Ko, HJ & Youn CH, 2011). Terapi tertawa mempunyai beberapa metode diantaranya terapi humor (Muhammad, 2011) dan metode permainan (Sumarni, 2001 cit Nugraheni et al., 2005). Menurut penelitian Sumarni et al (1999), pemberian perlakuan berupa kegiatan rekreasi dengan permainan yang menimbulkan tertawa dinilai lebih efektif dalam upaya penurunan derajat stres atau depresi dibandingkan dengan rekreasi tanpa permainan. Berdasarkan studi pendahuluan pada tanggal 7 Februari 2012, didapatkan data bahwa jumlah lansia yang tinggal di Huntara Gondang I, Kabupaten Sleman, Yogyakarta kurang lebih sebanyak 150 orang. Wawancara yang telah dilakukan peneliti terhadap kepala dusun di daerah tersebut menunjukan bahwa ada banyak hal yang mengakibatkan beban hidup lansia di Huntara jauh lebih berat daripada sebelum terjadi bencana. Beberapa lansia ada yang masih mempunyai anak usia sekolah sehingga harus memikirkan biaya pendidikan anak mereka padahal saat ini mereka tidak bekerja. Tempat tinggal di Huntara yang sempit, berdinding bambu, dan beratap seng sehingga dirasa tidak nyaman karena panas dan banyak debu ketika musim kemarau, serta air mudah masuk ke dalam rumah ketika hujan turun. Trauma terhadap kejadian letusan Gunung Merapi juga masih terngiang di benak mereka, manakala mereka kehilangan anggota keluarga dan harta benda
9
yang mereka miliki. Hal-hal tersebut merupakan sumber stressor yang dapat menyebabkan permasalahan gangguan kejiwaan pada lansia, terutama depresi. Hal ini memerlukan penanganan serius, sesegera mungkin, berkesinambungan, dan seefektif mungkin. Keterlambatan dalam penanganan dan ketidakpedulian akan memperberat derajat depresi pada lansia, sehingga merugikan keluarga dan masyarakat karena sangat berpotensi berujung pada tindakan bunuh diri. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh humor permainan kearifan budaya lokal terhadap Depresi pada Lanjut Usia di Huntara Gondang I, Sleman”. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah pengaruh humor permainan kearifan budaya lokal pada lansia dengan depresi di Huntara Gondang I, Kabupaten Sleman, Yogyakarta”. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian humor permainan kearifan budaya lokal pada lansia dengan depresi di Huntara Gondang I, Kabupaten Sleman.
10
2. Tujuan khusus a. Mengetahui tingkat depresi pada lansia di Huntara Gondang I, Kabupaten Sleman sebelum dilakukan pemberian humor permainan kearifan budaya lokal. b. Mengetahui tingkat depresi pada lansia di Huntara Gondang I, Kabupaten Sleman sesudah dilakukan pemberian humor permainan kearifan budaya lokal. c. Mengetahui perbedaan tingkat depresi pada lansia di Huntara Gondang I, Kabupaten Sleman antara yang diberikan humor permainan kearifan budaya lokal (kelompok intervensi) dan yang tidak diberikan humor permainan kearifan budaya lokal (kelompok kontrol). D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan tentang pengaruh humor permainan kearifan budaya lokal pada lansia dengan depresi. 2. Praktis a. Lansia di Huntara Gondang I Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada lansia bahwa humor permainan kearifan budaya lokal merupakan salah satu cara untuk menurunkan depresi.
11
b. Perawat Komunitas Penelitian ini diharapkan dapat memberikan motivasi kepada perawat komunitas di Huntara Gondang I untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada lansia dengan depresi, salah satu cara tersebut adalah dengan humor permainan kearifan budaya lokal. c. Peneliti Penelitian
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
wawasan
dan
kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian sesuai kaidah yang berlaku. E. Keaslian Penelitian Sejauh pengamatan dan penelusuran oleh peneliti, penelitian mengenai pengaruh humor permainan kearifan budaya lokal terhadap depresi pada lansia belum pernah dilakukan, tetapi ada penelitian yang hampir sama, diantaranya: 1.
Hariyanto et al (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Terapi Tertawa Terhadap Stres Psikososial Pada Usia Lanjut Di Wirosaban RW XIV Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan eksperimental, dan rancangan control group pretest-postest. Subyek penelitian ini adalah 26 orang lansia yang tinggal di Wirosaban RW XIV Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Social Readjusment Rating Scale (SRRS). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh terapi tertawa terhadap stres psikososial pada lansia di Wirosaban RW XIV Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta.
12
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada subyek penelitiannya yaitu sama-sama lansia yang berada di komunitas. Rancangan penelitiannya yaitu sama-sama menggunakan control group pretestpostest. Perbedaannya terletak pada variabel terikat yaitu pada penelitian ini adalah stres psikososial sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan adalah depresi. Lokasi penelitian yaitu pada penelitian ini bertempat di Wirosaban sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertempat di Huntara Gondang I. Metode terapi tertawa yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan metode permainan modern sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan adalah terapi tertawa dengan humor permainan kearifan budaya lokal seperti menyanyi lagu daerah, menari dan melakukan permainan tradisional. 2.
Nugraheni (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi
Tertawa Terhadap Depresi Pada Usia Lanjut Di Wirosaban RW XIV, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta”. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan control group pretest-postest. Subyek penelitian ini sebanyak 16 orang lansia yang tinggal di Wirosaban RW XIV, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Geriatric Depression Scale (GDS), Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ), dan Standar Permainan Sumarni (2001). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh terapi tertawa terhadap depresi pada usia lanjut.
13
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel terikat yaitu depresi. Rancangan penelitiannya yaitu sama-sama menggunakan control group pretest-postest. Perbedaannya terletak pada lokasi penelitian yaitu pada penelitian ini bertempat di Wirosaban sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertempat di Huntara Gondang I. Metode terapi tertawa yang akan diberikan pada penelitian ini adalah terapi tertawa menggunakan metode permainan modern sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan metode terapi tertawa dengan humor permainan kearifan budaya lokal seperti menyanyi lagu daerah, menari dan melakukan permainan tradisional. 3.
Ko & Youn (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Effects Of
Laughter Therapy On Depression, Cognition and Sleep Among The CommunityDwelling Elderly”. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan control group pretest-postest. Subyek penelitian ini sebanyak 109 orang lansia dengan usia di atas 65 tahun yang tinggal di wilayah Daegu, Korea Selatan. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Geriatric Depression Scale (GDS), Mini-Mental State Examination (MMSE), Short-Form Health Survey-36 (SF-36), Insomnia Severity Index (ISI) dan Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI). Hasil penelitian menunjukan bahwa terapi tertawa merupakan intervensi yang bermanfaat, ekonomis, dan mudah diakses serta mempunyai efek positif terhadap depresi, insomnia, dan kualitas tidur pada lansia. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabelnya yaitu depresi sebagai variabel terikatnya. Rancangan penelitiannya
14
yaitu sama-sama menggunakan control group pretest-postest. Instrumennya yakni menggunakan GDS untuk mengukur depresi dan subyeknya sama-sama lansia yang tinggal di komunitas. Perbedaannya terletak pada variabel terikatnya yaitu pada penelitian ini terdapat 3 variabel terikat antara lain: depresi, kognitif, tidur sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan hanya ada satu variabel terikat yaitu depresi. Lokasi penelitian yaitu penelitian ini bertempat di suatu komunitas umum di Korea Selatan sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertempat di komunitas pasca bencana alam di Indonesia. Kriteria subyek penelitian pada penelitian ini adalah orang yang berusia 65 tahun atau lebih sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan kriterianya adalah orang yang berusia > 55 tahun serta mengalami depresi. Metode terapi tertawa yang akan diberikan yaitu pada penelitian ini terapi tertawa yang diberikan meliputi kegiatan meditasi tertawa, menari, menyanyi, dan melihat video terapi tertawa sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan metode terapi tertawa dengan humor permainan kearifan budaya lokal seperti menyanyi lagu daerah, menari dan melakukan permainan tradisional. 4.
Sumarni DW (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh
Rekreasi Terhadap Derajat Depresi Pada Tenaga Kerja Wanita Industri Tekstil di Kabupaten Sleman”. Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap survei dan eksperimen yang termasuk dalam jenis penelitian observasional dengan rancangan penelitian cross sectional dan tahap eksperimen yang termasuk dalam jenis penelitian eksperimental menggunakan rancangan pre-test and post-test control design. Subyek penelitian ini sebanyak 335 orang wanita yang bekerja di
15
Industri Tekstil PT. KSM. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Instrumen stressor psikososial SSRS, Instrumen Hamilton Depression Rating Scale (HDRS). Hasil penelitian menunjukan bahwa rekreasi humor berpengaruh lebih efektif terhadap penurunan derajat depresi pada pada tenaga kerja industri tekstil di Kabupaten Sleman dibandingkan dengan rekreasi tanpa humor, setelah diberi perlakuan rekreasi tenaga kerja industri tekstil lebih mampu mengelola stresor psikososial sehingga memperkecil kemungkinan memasuki kondisi depresi. Persamaannya terletak pada variabel bebas yaitu sama-sama terapi yang dapat menimbulkan tawa dengan metode permainan dan variabel terikatnya yaitu depresi. Perbedaannya terletak pada lokasi penelitian yaitu penelitian ini bertempat di industri tekstil dan tempat wisata di Kaliurang sedangkan penelitian yang akan dilakukan bertempat di Huntara Gondang I. Kriteria subyek penelitian pada penelitian ini adalah wanita yang bekerja di industri tekstil sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan kriterianya adalah orang yang berusia 55 tahun atau lebih. Metode terapi yang akan diberikan yaitu pada penelitian ini adalah terapi rekreasi yang dapat menimbulkan tawa dengan teknik permainan meliputi kegiatan mendengarkan musik, menari, menyanyi dangdut dan campursari, menikmati keindahan alam serta makanan khas di Kaliurang, dan melakukan permainan lucu seperti merias berantai, mengambil dan mengumpulkan tongkat dari dalam sarung. Metode terapi tertawa pada penelitian yang akan dilakukan lebih cenderung bersifat permainan yang mengangkat kearifan lokal seperti menyanyikan lagu, menari, atau melakukan permainan tradisional.